Share

Menantu yang Tak Diinginkan
Menantu yang Tak Diinginkan
Author: Riffi

BAB 1 Tawaran Kakak Ipar

Hari ini, merupakan resepsi pernikahanku. Akan tetapi, justru berubah menjadi proses pemakaman. Meninggalnya bapak mertuaku secara tiba-tiba, jujur saja membuatku benar-benar terpukul.

Karena di keluarga ini, hanya beliaulah satu-satunya orang yang menerimaku dengan baik. Aah ... Pak, mengapa Bapak meninggalkan kami begitu cepat ...?

"Ibu ndak akan setuju! Jika kamu menikahi perempuan yang hanya lulusan SMP ini!"

Teringat penolakan ibu mertua waktu itu. Beliau sangat keras menolak kehadiranku.

Namun, berbanding terbalik dengan tanggapan bapak. Ia dengan tangan terbuka menerima dan menyemangati Mas Rey —suamiku—untuk melanjutkan pernikahan. Jika bukan karena beliau, mungkin pernikahan ini tidak akan pernah terjadi.

Apa hendak dikata, bapak malah meninggal di hari bahagia kami. Aku merasa sangat kehilangan.

Ramai kerabat suamiku dan tetangga berdatangan. Mereka memberikan ucapan belasungkawa dan turut berduka atas kepergian mendiang bapak mertua.

Aku yang sadar diri akan posisi sebagai menantu di keluarga ini, ikut menyumbang tenaga menjamu tamu yang berdatangan terus menerus. Dari mulai membuatkan minum, membawakan kue, dan mencuci piring. Semua aku lakukan, karena merasa memiliki tanggung jawab atas hal ini.

Setelah jenazah bapak mertuaku dimandikan, dikafani, lalu disolatkan, jenazahnya kemudian dimasukan ke dalam keranda untuk dibawa ke tempat pemakaman.

Saat itu sudah jam 19:30, cuacanya juga gerimis. Akan tetapi, itu tak membuat proses pemakamannya terhambat, karena mau bagaimanapun, menunda proses pemakaman adalah hal yang tidak baik.

"Mas ... aku mau ikut ke tempat pemakaman," tuturku, membuat suamiku membuang napasnya kasar.

"Marya, ini sudah malam dan cuaca juga tidak bagus, ibu dan perempuan lainnya juga tidak ikut karena gerimisnya semakin deras. Mengertilah, ya?" bujuk Mas Rey.

Aku akhirnya memilih untuk menuruti perkataan suamiku, dia mengantar diriku untuk masuk ke dalam kamar miliknya, kamar yang luas dan nyaman.

"Mar, ini kamarku. Kamu istirahat saja di sini, ya?" ucap Mas Rey.

Aku mengangguk setuju, jujur tubuhku juga sudah sangat lelah karena sedari tadi ikut membantu menjamu tamu yang terus berdatangan.

Setelahnya, suamiku pergi untuk ikut mengantarkan jenazah ke tempat pemakaman. Aku mengedarkan pandangan melihat sekeliling ruangan yang besar, nyaman, dan rapih. Berbeda sekali dengan kamarku yang dindingnya saja terbuat dari papan.

Atensiku tertuju pada sebuah foto di atas nakas dekat tempat tidur, aku berjalan mendekati foto itu, sebuah foto masa kecilku dengan Mas Rey.

Aku tak pernah menyangka bisa disukai oleh lelaki tampan, pintar, dan baik seperti suamiku ini.

Aku mengembangkan senyuman tipis saat melihat foto kami berdua, lalu aku mendaratkan tubuhku di atas kasur yang nyaman dan empuk.

Seketika rasa kantuk yang luar biasa menjalar ke seluruh tubuh, dan pada akhirnya aku terlelap tidur bersama cuaca yang juga gerimis membuat suasana tidurku menjadi sangat nyaman.

Sesaat, aku terbangun dari tidur. Membuka mata perlahan dan menatap langit-langit kamar, spontan aku mengambil ponselku, dan saat aku melihat jam, ternyata aku tertidur selama 25 menit.

Suamiku belum pulang, karena memang lokasi pemakamannya lumayan jauh dari rumah ini. Tenggorokanku terasa kering, aku hendak keluar kamar untuk mengambil segelas air ke dapur.

Tapi, saat aku masih memegang gagang pintu, samar-samar terdengar obrolan dari luar kamar yang terdengar oleh telingaku.

"Nasibku benar-benar buruk! punya menantu yang tidak berguna. Lihatlah! di saat keluarga suaminya berduka saja dia malah enak-enakan mengurung diri di dalam kamar," ucap seorang wanita yang aku kenali suaranya. Itu adalah suara Ibu Mertuaku.

"Bukannya ini memang sudah suatu pertanda buruk ya? di hari pertama wanita itu datang sebagai menantu keluargamu, malah musibah yang terjadi," balas seorang ibu-ibu yang tak kukenal suara dan namanya.

Niatku untuk membuka pintu pun urung, tanpa sadar air mata menetes begitu saja. Rasa haus dan laparku seketika lenyap, berganti dengan rasa sakit di hati.

Sejak awal aku tau resikonya, tetapi aku tetap nekat menikah dengan Mas Rey hanya karena dilandaskan cinta dan keyakinan.

Keyakinan kalau aku bisa merebut hati keluarga dari lelaki yang kucintai, tapi sepertinya tak ada celah bagiku untuk diterima dengan baik oleh keluarga Prawijaya ini.

Akankah aku harus seumur hidup mendapatkan perlakuan seperti ini di keluarga suamiku sendiri?

Aku kembali naik ke atas kasur, memeluk diriku sendiri untuk menenangkan diri. Sebenarnya perutku ini sedari tadi sudah berbunyi, dari awal acara pernikahan hingga malam ini, aku belum menyentuh makanan apapun.

Tubuhku lemas tak bertenaga, hingga akhirnya aku memutuskan menutup mataku perlahan untuk tidur lagi.

****

Pagi sekitar jam 04:55 aku terbangun, di sampingku ada pria dengan memakai kaos putih sedang tertidur lelap.

Tampan dan berkarisma, rasanya seperti mimpi bisa dicintai oleh pria sesempurna Mas Rey.

"Mas ...." Aku membangunkan suamiku, karena ini sudah masuk waktu untuk sholat subuh.

"Sholat subuh dulu, yuk?"

Pria tampan itu membuka matanya perlahan, menatapku dengan hangat sambil tersenyum.

"Iya Dek, Mas bangun."

"Ha?" aku sedikit bingung, pertama kalinya Mas Rey memanggilku dengan sebutan 'Dek', rasanya aneh saja ditelingaku.

Melihat ekspresi wajahku, suamiku terkekeh pelan.

"Kan kamu memanggilku dengan sebutan 'Mas', jadi biar serasi aku akan panggil kamu 'Dek' mulai sekarang," ucapnya, sambil mengelus lembut pipi kananku.

Rasanya seperti ada kupu-kupu di perutku, jujur aku tak terbiasa mendengar ucapan manis seperti ini dari sosok pria di depanku saat ini.

Mas Rey yang aku kenal itu cuek, dingin, dan hemat bicara. Aku tak tau jika ia punya sisi yang semanis ini.

Aku dan suamiku beranjak dari kasur untuk bersiap sholat subuh bersama, kami berwudhu di kamar mandi yang memang terletak di dalam kamar Mas Rey.

Untuk pertama kalinya, aku menjadi makmum untuk lelaki yang kucintai ini. Lantunan surat Al-fatihah terdengar merdu dari suaranya, membuat jiwaku tenang.

Kami melaksanakan sholat dengan khusyuk, MasyaAllah ... beruntungnya aku memiliki imam seperti Mas Rey.

Setelah selesai salat dan berdoa, aku mencium punggung tangan suamiku dan dibalas dengan kecupan singkat di keningku.

"Dek, tolong buatkan teh ya," ujar lelaki itu padaku. Aku mengangguk mengiyakan permintaannya.

Kemudian aku keluar dari kamar untuk menuju dapur, ruangan tampak sunyi. Sepertinya tetangga dan para kerabat tak sampai menginap dan langsung pulang ke tempat mereka masing-masing.

Di dapur aku melihat Mbok Yem sedang mencuci piring-piring dan gelas yang cukup banyak, ia adalah salah seorang pembantu di rumah ini.

"Mbok, mau Marya bantu?" ucapku, menawarkan bantuan.

"Halah, ndak usah Non. Bentar lagi selesai kok," balasnya sambil tersenyum ke arahku.

Aku mengangguk, dan segera mengambil gelas kosong dan merebus air.

"Mbok, tehnya ditaruh di mana ya?" tanyaku pada Mbok Yem.

Mbok Yem menoleh ke arahku, dan menunjuk sebuah lemari penyimpanan di dekatku.

"Itu di sana Non, rak paling atas," ujarnya.

"Oh iya, makasih Mbok," ucapku, dibalas dengan senyuman oleh Mbok Yem.

"Haduh, pagi-pagi sudah liat yang bikin enek aja!" ketus Mbak Jeni, kakak ipar ku yang pertama.

"Pagi Non," sapa Mbok Yem, kemudian ia keluar dari dapur. Meninggalkan aku berdua dengan Mbak Jeni.

Jujur, aku merasa tak nyaman. Dimana Mbak Jeni terus menatapku dengan judesnya. Entah kenapa airnya tak kunjung mendidih, membuatku gregetan sendiri.

"Kenapa wajahmu seperti tak suka melihatku? gak sopan! Padahal cuma numpang!" ucapnya menghinaku, membuatku tak berani menatap wajahnya.

Dadaku terasa sesak rasanya.

"Berapa banyak sih, uang yang kamu butuhkan untuk berpisah dengan Adikku?"

Deg!

Jantungku seakan berhenti sejenak mendengar ucapan kakak iparku itu. Maksudnya apa bicara seperti itu?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status