Share

Bab 4

"Wati, kok kamu ngomongnya begitu sih? Memangnya kapan kamu memberikan uang belanja untuk Ibu? Kamu jangan suka berbohong, ya Wati. Kalau memang kamu mau mendapat pembelaan dari Roni boleh saja, tapi jangan sepert ini caranya. Kamu jangan pernah membuat Roni menjadi anak durhaka, yang selalu melawan terhadap Ibunya." Aku tidak terima saat Wati mengatakan, kalau aku selalu diberi uang belanja olehnya.

Padahal kapan ia memberikan uang belanja padaku? Perkataanya ini seakan mau mengadukan aku dengan anakku sendiri.

"Bu, Ibu ini sebenarnya maunya apa sih? Ibu kok sepertinya mau membuat hubungan aku dan juga Wati hancur ya? Ibu kayaknya tidak suka banget, kalau melihat aku dan Wati bahagia. Bahkan sekarang menuduh istriku tidak pernah memberikan uang belanja untuk Ibu. Maksudnya apa, Bu," tanya Roni dengan menatap nyalang kepadaku, tatapannya seperti Elang yang akan memangsa targetnya.

"Bukan begitu, Roni, hanya saja Ibu memang tidak pernah menerima sepeserpun uang dari kamu maupun Wati. Terus Ibu harus bilang apa sama kalian," tanyaku balik bertanya.

"Ibu jangan bohong sama aku ya, sebab aku selalu menitipkan uang belanja itu kepada Wati. Asal Ibu tau, kalau aku itu selalu memberi uang belanja untuk Ibu, bahkan uang belanja yang aku berikan itu dua kali lipat dari biasanya. Karena aku tau, kalau sekarang itu ada Wati," terang Roni.

Aku bengong saat mendengar penuturan Roni, yang ternyata selalu memberi uang belanja untukku. Bahkan katanya uang belanja yang ia berikan sampai dua kali lipat. Tapi entah kemana uang belanja itu perginya, sebab aku sama sekali tidak pernah menerima uang darinya.

"Apa kamu nggak salah bicara, Roni, dua kali lipat kamu bilang? Sedangkan Ibu tidak pernah sepeserpun menerima uang dari kamu maupun Wati. Jangankan uang belanja dua kali lipat seperti yang kamu bilang, uang seribu rupiah pun tidak pernah Ibu terima," terangku.

"Mas, sudahlah nggak usah diperpanjang lagi masalah ini. Mungkin Ibumu sudah pikun kali, Mas. Lebih baik kamu segera berangkat kerja saja, nanti yang ada kamu malah kesiangan masuk kantor. Kamu sarapan di kantor saja, ya Mas. Karena sekarang Ibumu sudah tidak mau memasak lagi untuk kita. Nanti biar aku yang akan belajar memasak, aku juga akan belajar mencuci baju kita, serta perabotan yang telah kita gunakan." Wati membujuk Roni, supaya ia tidak meladeni ucapanku.

Wati memang pandai bermuka dua, ia pandai sekali membuat aku jelek di mata anakku sendiri.

"Iya kamu benar, Sayang. Tidak ada gunanya berdebat dengan orang tua yang sudah mulai pikun. Nanti aku yang malah akan kena teguran bos karena terlambat masuk kantor," sahut Roni, sambil memegang pundak istrinya dengan penuh kasih sayang.

"Nah begitu dong, Mas, maksudku juga seperti itu. Kalau kamu terus meladeni ucapan Ibumu, nanti yang ada kamu malah yang akan kena hukuman dari bos. Tuh kamu lihat kan, Mas, hanya aku yang mengerti kamu. Sedangkan Ibumu yang telah mengandung dan melahirkan kamu saja tidak peka. Dia hanya bisanya membuat kamu emosi dan naik darah terus menerus. Sekarang kamu sudah sadarkan kan, Mas, siapa orang yang benar-benar peduli sama kamu. Aku, Mas, istrimu bukan Ibumu," papar Wati lagi, yang terus menjelekan diriku dihadapan Reno.

"Iya, Sayang, hanya kamu yang mengerti Mas. Mas lebih percaya kok sama kamu, ketimbang Ibu. Ya sudah, kalau begitu Mas pergi ke kantor dulu ya, biar Mas sarapan di kantor saja," pamit Roni.

Betapa sakit hati dan perasaanku, ketika mendengar perkataan anakku barusan. Ia lebih percaya kepada istrinya yang pembohong, ketimbang kepada Ibunya yang sudah bersusah payah merawatnya seorang diri, hingga dia jadi seperti sekarang.

Roni kemudian pergi meninggalkan dapur didampingi oleh istrinya, ia bahkan tidak pamit sama sekali kepadaku. Roni benar-benar berubah drastis semenjak ia menikahi perempuan itu. Perempuan yang sebenarnya tidak aku suka, sebab dia terlalu arogan menurutku.

Setelah Roni pergi, Wati pun kembali menemuiku di dapur. Karena sejak tadi aku masih membeku di sana, sambil melihat kepergian anakku yang tidak pamit dahulu terhadapku.

"Tuh, Bu, Ibu lihat sendiri kan bagaimana nurutnya anak Ibu kepadaku. Makanya Ibu jangan pernah main-main denganku, Ibu harus menuruti semua perintahku, serta jangan penah bicara macam-macam kepadanya. Karena walau bagaimanpun Ibu berkata jujur kepadanya, Mas Roni tidak akan pernah mempercayai Ibu, yang ada Ibu bakal nambah dibenci oleh anak Ibu sendiri." Wati begitu jumawa, ia terlihat puas telah membuat Roni tidak percaya kepadaku.

"Wati, kamu itu sadar nggak sih dengan semua perbuatan kamu ini? Apa kamu tidak takut terkena karma karena mendzolimi mertua kamu sendiri?"

"Apa maksud Ibu berkata seperti itu? Ibu mau menakut-nakuti aku dengan cerita tahayul ya, sudahlah nggak akan mempan buatku. Lebih baik sekarang Ibu bikinkan aku sarapan sekarang juga, jika Ibu tidak mau, maka aku akan membuat Roni lebih membenci Ibu," ancamnya.

Entah terbuat dari apa hati perempuan ini, serta bagaimana orang tuanya dulu mendidiknya, sehingga membuat Wati menjadi wanita berhati monster seperti ini.

"Maaf, Mbak Wati, Ibuku tidak akan lagi membuatkan makanan atau minuman untuk kamu maupun Mas Roni. Silakan saja kamu masak sendiri, atau beli saja makanan di luar sana," celetuk Reno, yang baru datang membeli sarapan.

"Apa maksud kamu, Reno? Kalau memang Ibumu tidak mau memasak lagi, terus bagaimana dengan kalian? Apa kalian mau menahan lapar terus begitu? Kalau aku sih gampang, tinggal pesan makanan secara online, atau pergi ke resrauran pun aku bisa dan juga mampu untuk membayarnya. Sedangkan kalian punya uang dari mana, kamu saja hanya kerja sebagai pelayan toko, yang pasti gajinya juga tidak seberapa. Sadar diri kamu, Reno karena kalian berdua nggak akan bisa melawan seorang Wati," ujarnya.

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status