Share

Bab 3

"Kalau Ibu mau menerima saran dariku, lebih baik Ibu jangan pernah lagi memasak dan mencucikan pakaian atau perabotan kotor bekas makan dan minum mereka. Biar mereka berpikir sendiri, bagaimana seharusnya orang yang sudah berkeluarga. Biar mereka tau, kalau Ibu bukanlah pembantu gratisan di rumah ini," ungkap Reno memberi saran.

Ia berkata dengan setengah berbisik, seolah takut didengar oleh Wati dan juga Roni.

"Reno, apa Ibu memang harus mekakukan ini? Nanti Kakakmu malah akan bertambah marah sama Ibu, jika Ibu seperti itu," ujarku merasa ragu.

"Bu, memangnya Ibu mau sampai kapan diperlakukan seperti pemantu oleh mereka? Ingat ya, Bu, Mas Roni dan Mbak Wati tidak akan pernah mikir, kalau Ibu tidak bersikap tegas terhadap mereka. Anggap saja ini sebagai dasar untuk belajar mandiri, sebab yang namanya sudah berumah tangga harus siap dengan segala sesuatunya. Kalau mereka dibantu terus, bagaimana mereka bisa bertanggung jawab dengan kehidupan mereka kedepannya, belum lagi jika nanti mereka punya anak. Kalau dibiarkan begini terus, yang ada Ibu sendiri yang akan keteteran. Ibu yang terus menerus akan menjadi korban keegoisan mereka. Toh mereka saja akan menganggap kita tidak ada di rumah ini, masa Ibu tidak bisa mengikuti permainan mereka? Sudahlah, Bu, lebih baik sekarang Ibu ikuti saja alurnya," ungkap Reno lagi panjang lebar.

Ia menegaskan dan memberi saran untuk mengikuti permainan anak dan menantuku.

Aku pun mulai berpikir, serta memang tidak ada salahnya untuk mencoba saran yang diberikan Reno.

"Ya sudah, nanti Ibu akan mencoba saran dari kamu. Ibu akan membutakan mata Ibu, serta berpura-pura tidak melihat apa pun yang dilakukan mereka berdua. Karena untuk menyuruh mereka pergi dari sini sepertinya tidak mungkin, apalagi Roni tadi berkata seperti itu."

"Iya, Bu, mulai besok Ibu tidak perlu lagi memasak dan mencucikan pakaian serta perabotan bekas Mas Roni dan Mbak Wati. Ibu hanya cukup mencuci pakaian dan perabotan bekas Ibu dan Ibu juga nggak usah khawatir, kalau untuk sarapan dan makan malam Ibu biar Reno yang belikan. Tapi untuk makan siang Ibu, sepertinya Reno tidak bisa menjamin, sebab Ibu tau sendiri kan kalau tempat kerja Reno jauh. Jadi untuk makan siang Ibu harus mencarinya sendiri ya, Bu. Pokoknya Ibu nggak usah masak lagi, apalagi mencucikan pakaian mereka, keenakan banget mereka kalau selalu diladenin. Pokoknya biar mereka mikir sendiri, kalau mereka mau makan atau mau pakaian mereka bersih." Reno mewanti-wanti padaku, supaya aku stop membantu Kakak serta istrinya.

"Baiklah, Nak, memang hanya kamu yang mau mengerti perasaan Ibu," kataku merasa terharu kepada putra bungsuku ini.

Padahal usianya baru menginjak sembilan belas tahun, tetapi perkataan serta perbuatannya lebih dewasa dari Kakaknya yang sudah berusia dua puluh lima tahun.

Setelah selesai memberi pepatah kepadaku, Reno pun pamit, katanya ia mau mandi karena belum melaksanakan shalat ashar. Reno pun langsung pergi ke kamarnya, sedangkan aku pun pergi ke belakang untuk mengambil jemuran.

Kali ini hanya jemuranku dan Reno yang aku angkat, sedangkan pakaian Roni dan istrinya sengaja aku tinggal. Aku mulai mencoba acuh dengan semua hal yang berkaitan dengan anak menantuku tersebut. Jika mereka pikir aku akan tetap diam saja diperlakukan seperti itu, mereka salah besar. Aku ini orang tua serta seorang mertua, jadi aku akan bertindak tegas mulai dari saat ini.

Walaupun nantinya mereka tidak mau merubah sikapnya, aku yakin mereka tidak akan mau terus menerus berada di rumah peninggalan orang tuaku ini. Karena akan aku cuekin, seperti tidak ada mereka di rumah ini. Bukan aku tega atau bagaimana, hanya saja aku ingin mereka berdua sadar, kalau apa yang dilakukan mereka berdua itu salah.

***

"Ibu ... sini dulu sebentar," teriak Wati kepadaku, kebetulan saat ini aku sedang mencuci pakaian.

"Ada apa sih, Wati, kok kamu teriak-teriak begitu," tanyaku sambil menghampiri menantuku.

"Bu, mana sarapannya, kok mejanya masih kosong sih? Aku sama Mas Roni itu mau sarapan tau, Bu," tanya Wati dengan nada suara yang masih tinggi.

Ia tidak ada sopan santunnya sama sekali padaku, padahal aku ini merupakan mertuanya serta pemilik tempat dimana ia tinggal saat ini. Ia yang baru keluar kamar langsung heboh karena pagi ini tidak ada sarapan, seperti pagi-pagi sebelumnya.

"Wati, mulai hari ini dan seterusnya Ibu tidak akan memasak lagi. Jadi kalau memang kamu dan Roni mau sarapan, kamu masak sendiri aja ya. Kamu kan sekarang sudah menjadi istri, lagian juga Ibu sudah tidak punya uang lagi sekarang. Karena uang pemberian Reno sudah habis, sedangkan selama ini baik kamu maupun Roni juga tidak pernah memberi uang belanja kepada Ibu. Jadi mulai sekarang kamu harus belanja dan belajar masak sendiri, walaupun hanya cukup untuk kalian berdua saja. Kamu tidak perlu memikirkan Ibu dan juga Reno mau makannya kaya gimana," sindirku.

"Oh, jadi sekarang Ibu tidak akan membuatkan masakan untuk aku dan Mas Roni lagi ya? Ibu mau balas dendam nih ceritanya," tanya Wati menatapku dengan sangat garang.

"Ada apa sih, Sayang, kok pagi-pagi sudah ribut," tanya Roni menghampiri istrinya, ia sudah siap dengan pakaian kerjanya.

"Ini, nih, Mas, Ibu kamu bikin ulah lagi. Masa iya Ibumu tidak mau membuatkan sarapan untuk kita, hanya karena katanya kita tidak pernah memberikan jatah belanja untuk Ibumu. Padahal aku selalu memberikan jatah untuk ia belanja kok," sahut Wati berbohong.

Padahal selama ia menikah dengan Roni dan tinggal bersamaku, tidak pernah sepeserpun Wati memberikan uang kepadaku. Bahkan uang dari Renolah yang selalu aku belanjakan untuk keperluan makan di rumah ini.

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status