Share

Rumah Bu Esih

"Kapan mau pindah, Nin?” tanyaku, seperti biasa Nina selalu menonton televisi sambil memakan camilan. 

“Pindah ke mana?” Dia menoleh sekarang.

“Ke rumah baru, Nin. ‘Kan rumahnya sudah dipasang keramik, sayang kalau kelamaan gak ditempatin.” Nina tak menjawab, matanya kembali fokus pada televisi. Semakin hari kok sikapnya bak anak kecil saja. Masa iya aku harus bersabar terus.

“Memangnya Ibu mau aku segera pindah?” tanyanya setelah sekian lama membisu, tangannya terlihat meraih pakaian yang baru selesai dijemur di sebuah keranjang yang sengaja kusimpan dekat televisi.

“Jangan salah sangka dulu, Nin. Ibu cuma takut rumahnya jadi dingin, kalau rumah lama gak ditempatin hawanya suka beda, suka cepat rusak pula,” ucapku sambil mengeluarkan debu keluar dengan sapu.

“Duh, Bu. Pindah rumah itu butuh modal, perlu syukuran. Nanti saja nunggu Mas Wahyu pulang. Masa iya aku harus pindahan seorang diri? Lagi pula mengadakan syukuran itu nggak gratis!” Nina berkata sembari melipat baju, tentu hanya pakaiannya sendiri dan Adel yang diberesi. Sementara bajuku juga adik iparnya dibiarkan begitu saja, padahal baju kami menyatu di keranjang yang sama.

“Wahyu ‘kan pulangnya masih lama, Nin. Kalau syukuran tak apa-apa nggak ada Wahyu juga. Biar nanti biayanya Ibu bantu juga.”

“Ibu saking mau aku cepat pindah sampai mau bantuin segala.” Nina menyeringai. Duh, Gusti … kenapa gak pernah masuk sih bicara sama orang ini?

“Yo wes, lah. Sakarepmu, Nin. Ibu hanya kasih saran.”

“Lho, kok Ibu jadi ngedumel, sih?” Nina menatapku, namun aku tak peduli, lebih memilih mendekati keranjang yang tinggal berisi bajuku juga Farhan.

Selama hidup di sini, aku belum pernah melihat Nina melipat bajuku walau pakaian kami menyatu saat diangkat dari jemuran. Padahal tak jarang dia menitipi cucian sekalian menjemur baju yang basah. Bukannya tak ikhlas, hanya saja merasa aneh, hidup bersama mertua kok seperti orang ngekos. Nafsi-nafsi.

Pernah saking sibuknya dengan pekerjaan rumah, aku tak sempat melipat baju, hingga sampai hampir petang jemuran yang sudah kering dan kuangkat tetap numpuk di dekat televisi. Kebetulan saat itu Nina sedang menyapu kamarnya, melihat tumpukkan bajuku dan anak-anak dia malah mendorong kain-kain tersebut ke pojokkan dengan sapu. Aku hanya bisa geleng kepala.

Anehnya lagi, Nina hanya menyapu kamarnya saja. Ya, selama beberapa tahun menikah dengan Wahyu dan tinggal di sini, Nina tak pernah membersihkan ruangan lain selain ruangan favoritnya itu.

Entahlah, sampai kapan aku bisa bertahan dengan sikapnya yang langka itu. Semoga saja dia cepat berubah sebelum aku tak lagi membendung kesabaran nantinya.

*** 

“Mau ke mana, Nin?” tanyaku saat menyapu halaman. Pagi sekali Nina tampak sudah rapi.

“Indah,” jawabnya ketus.

“Mau sama Enin ….” Adel tiba-tiba merengek.

“Enin lagi nyapu, Del.” 

“Mau sama Enin ….” ulang cucuku membuat hati ini terenyuh.

Nina terdengar mengembuskan napas, lalu mengajakku untuk ikut ke rumah Bu Esih. Terpaksa aku menghentikan pekerjaan demi sang cucu. 

Sebenarnya Adel anteng sekali jika bermain denganku, dia juga selalu ingin ikut kemana pun aku pergi. Tapi ya begitu, Nina selalu membatasi kedekatan kami.

Sepanjang perjalanan ke rumah Bu Esih, Adel tak hentinya memegang tanganku. Sementara Nina berjalan lebih dulu, sesekali langkahnya tampak berhenti hanya untuk selfie kalau kata anak muda zaman sekarang.

Tak perlu lama langkah kami sudah sampai, kuucap salam saat di depan rumah Bu Esih. Sebenarnya tak enak pagi-pagi sudah main ke rumah orang, namun begitulah menantuku, tak pernah tahu kapan waktu yang pas berkunjung ke tetangga.

“Waalaikumussalam. Eh … Dek Adel. Masuk-masuk.” Indah, menantu Bu Esih yang tengah mengandung anak keduanya menyambut kami. Wajahnya selalu hangat, enak dipandang. Jarang sekali memasang ekspresi ketus, pantas saja Bu Esih amat mencintai menantunya itu.

“Maaf ya, Non Indah. Pagi-pagi sudah main.”

“Loh, gak apa-apa lah, orang aku biasa main jam segini. Iya ‘kan, Mbak?” Nina malah menyahuti.

“E-eh, iya, nggak apa-apa kok, Bu Ami. Ayo masuk, kebetulan saya lagi buat bolu.” Wanita yang usianya mungkin sama dengan Nina ini menarik Adel dengan lembut. Aku dan Nina pun mengekori.

“Lagi hamil besar masih produktif aja, Non.” Aku berkata saat duduk di sofa empuk milik Bu Esih. Semerbak harum pewangi ruangan seolah menghipnotis kenyamanan.

“Hehe, pengobat jenuh saja, Bu Ami. Boro-boro produktif, karena cuti hamil jadi sering rebahan sekarang.” Sambil menuangkan air putih Indah menjawab.

Saat menyapukan pandangan pada Nina, betapa malunya aku melihat menantu langsung menyambar camilan tanpa izin. Padahal Indah sendiri belum menawari.

“Kacang gorengnya enak, Mbak. Beli di mana?” Andai saja Nina anak kandungku, sudah kupelototi dia dan membawanya pulang.

“Oh, itu aku yang buat, Nin.”

Nina membulatkan mulut, lalu matanya seolah mencari sesuatu. Kini tangannya terjulur kembali, mengambil stoples yang lain berisi nastar.

“Hahaha, belum lebaran kok sudah bikin nastar, Mbak?” ucapnya dengan nada mengejek. Membuatku semakin mengeratkan pelukan pada Adel yang berada di pangkuan. 

“Kurang manis, sih. Ini kamu lagi yang buat?” tanya Nina, tentu sambil mengunyah kue tersebut. Indah hanya mengiyakan.

“Bu Ami, permisi dulu, ya? Mau panggil Ibu sekalian ngecek bolu.” Sopan sekali Indah dalam bertutur kata, membuatku kian merasa malu dan tak berdaya.

“Nin, jaga sikap, Nduk.” Mata Nina langsung tertuju padaku.

“Jaga sikap apa, Bu? Aku sudah biasa main ke sini, jangan katrok, ah!” ucapnya, tangan Nina kembali menjulur ke atas meja. Hendak mengambil stoples yang lain namun keburu kutahan.

Nina menatap saat tangannya kugenggam, aku menggeleng saat mata kami bertautan. Tapi nyatanya Nina kukuh ingin mengambil wadah berisi pilus tersebut.

“Jangan keterlaluan, Nin.” Aku berbisik.

“Apa, sih? Ini ‘kan sengaja buat camilan tamu.” Aku menggeleng lagi, membuat Nina melepas paksa genggaman hingga akhirnya stoples tersebut jatuh dan menumpahkan bulatan pilus ke lantai.

“Yah … tumpah.” Adel berujar. Buru-buru aku memindahkan Adel dari pangkuan ke sofa, hendak memunguti pilus-pilus tersebut sebelum Bu Esih dan Indah datang.

“Aduh, Bu Ami kenapa?” Akhirnya kelihatan juga.

“Maaf Bu Esih, Ibu saya grogi jadi numpahin pilusnya.” Aku menoleh pada Nina yang berucap demikian, dengan santainya dia menuduhku sambil duduk di atas sofa. 

Kuhela napas dalam sambil memunguti pilus kembali, tapi tiba-tiba Indah ikut mengambil makanan yang berserakan di lantai.

“Duh, sudah, Non. Bahaya.”

“Iya, Nduk. Biar nanti si Mbok yang sapukan.” Bu Esih berujar, kemudian memanggil pekerja rumahnya. Aku hanya bisa menahan malu.

“Nggak apa-apa, Bu. Aku tahu siapa kok pelakunya.” Bu Esih berbisik saat mengambil tutup stoples di dekatku, aku hanya bisa mengangguk.

“Nah, ini dimakan bolunya. Sudah jadi.” Indah menawari bolu yang sudah ia tempatkan di atas meja, lagi-lagi Nina menyambar duluan, terasa hilang wajahku ini, Gusti.

Aku yang telanjur malu tak mencomot potongan bolu, namun Bu Esih memaksa dan akhirnya aku ikut makan juga. 

“Pandai sekali Non Indah ini.” Aku memujinya dengan jujur.

“Iya, Bu. Gak pernah mau diem menantuku ini, padahal aku selalu bawel nyuruh dia istirahat.”

“Tapi bagus kok, Bu Esih. Lagi hamil tua banyak gerak.” 

“Iya juga, Bu. Tapi yang namanya Ibu ya selalu khawatir, apa lagi lihat Indah nggak pernah berhenti beraktivitas walau lagi cuti kerja. Dari mulai masak, nyapu, ngepel, nyuci, bahkan nulis.”

“Non Indah masih nulis?” tanyaku antusias. Bu Esih mengangguk, sedangkan menantunya hanya tersenyum tulus.

“Iya, Bu Ami. Bulan ini launching novelnya yang ke lima. Haduh … padahal Bagas selalu ngasih nasihat biar dia berhenti nulis dulu untuk sementara waktu, takut ngaruh ke si utun, ‘kan nulis harus pakai otak, mikir! Hehe.” Aku mengangguk-ngangguk seraya menahan rasa kagum pada wanita serba bisa ini.

“Haykal ke mana, Bu?” Aku menanyakan cucu pertamanya.

“Biasalah bocah laki-laki, hobinya main di luar.” Bu Esih menjawab sambil menyuapi Adel dengan bolu. Dia memang sangat menyukai cucuku itu, walau sikapnya pada Nina jelas tak pernah ramah.

“Mbak Indah masih nulis?” tanya Nina tiba-tiba.

“Iya, Nin.”

“Memang upah dari nulis itu berapa, sih? Pasti nggak banyak, ‘kan? Bukunya sudah mau lima buah tapi kok masih belum ngebangun rumah, Mbak? Padahal Mbak Indah sama Mas Bagas dua-duanya kerja.” Mulai lagi, ‘kan?

“A-ah … itu—”

“Sedangkan aku hanya suami yang kerja tapi udah punya rumah,” potongnya lagi. Semakin ingin pulang saja aku.

“Sudah selesai rumahmu, Nin?” Bu Esih menimpali.

“Iya, sudah pasang keramik. Tinggal nunggu Mas Wahyu pulang, nanti mau ditempatin.”

“Oalah, bagus lah. Kalau Indah memang sengaja aku larang dia pisah rumah sama Ibu. Habis sayang banget sama menantu satu ini, langka gitu, Nin. Sudah sopan sama mertua, baiknya kebangetan. Kan zaman sekarang susah tuh dapatin menantu kayak Indah, kebanyakan mantu sekarang songong sama Ibu mertua. Apa lagi kalau Ibu mertuanya baik.” Panjang lebar Bu Esih menjelaskan, membuatku takut terjadi perang dunia ke tiga.

Melihat wajah Nina memerah, aku hanya bisa pasrah.

“Kalau pindahan ngadain syukuran dong, ya?” lanjut Bu Esih.

“Iya, dong, Bu. Tapi rumahnya belum diisi apa-apa, jadi kurang nyaman buat ditempatin sekarang-sekarang.”

“Ah, tinggal beli aja apa susahnya, Nin? Nina ‘kan orang punya.”

“Bu Esih … bisa saja. Tapi yaa alhamdulillah sih, walau aku cuma jadi ibu rumah tangga, gak bisa bantuin suami kerja, tapi udah punya rumah. Itu berarti aku dan suami memang orang berada.” Malu aku, malu ….

“Hehe, iya lah, Nin, Kamu memang harus bersyukur jadi orang berada, apa lah daya dengan kami yang masih masak menggunakan tabung gas melon.” Nina terdiam mendengar penuturan Bu Esih.

“Kan tabung gas melon hanya diperuntukkan untuk kalangan bawah,” lanjutnya. Nina semakin terpojok sepertinya, terbukti dia langsung mengajakku dan Adel pulang.

Nin, Nin. Suruh siapa sombong sama orang kaya beneran, kena skak jadinya kamu. Padahal aku tahu kalau Bu Esih tak pernah memakai tabung gas tiga kilo gram.

Bersambung ☘

Follow saya juga yaa di kbm app. Username : aazuuraa

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status