Share

2. Luna akan selalu kalah

“Jangan diemin gue kayak gini, Na.”

“Na!” Allard terus saja meminta Luna untuk berbicara, karena gadis itu sudah mendiamkannya sejak kemarin.”

“Na, maafin gue. Gue sayang sama lo.”

Luna akhirnya melirik pria itu, namun dengan tatapan yang tidak bersahabat. Tanpa berkata sepatah katapun, gadis itu hanya menatap Allard dalam diamnya. Membuat Allard frustrasi saking tidak senangnya jika ia didiamkan begitu saja oleh sang pacar.

Allard tahu dia tidak tahu diri, ia tahu jika dia memang terus saja membuat gadis itu sakit hatinya. Tapi dia tidak ingin kehilangan Luna, ia sangat tidak bisa jika gadis itu pergi dari kehidupannya. Walau begitu, tetap saja Allard tidak bisa menggurui dirinya sendiri. Perasaan Luna terus saja menjadi korban kebrengsekannya.

“Aku heran sama kamu, kenapa bisa segampang itu minta maaf? Seakan yang kamu lakuin itu tidak menjadi masalah sedikit pun!”

“Na, gue gak ada apa-apa sama Anne!"

“Ngelawak kamu? Kamu pikir aku buta, Allard” Anna menunjuk Allard, “terus apa maksud kamu ciuman sama dia?!”

Brak!

Luna terperanjat kaget saat Allard menggebrak meja, refleks ia menggeser posisinya menjauh dari pria itu. Tatapan Allard menjadi hal yang membuatnya was-was sekarang. Apalagi perpustakaan sangat sepi, itu terasa horor untuk Luna.

“Gue bilang gue gak ada apa-apa sama Anne!” sentak Allard.

Luna tersenyum tak ikhlas dan berkata, “Terus kamu maksudnya apa Allard? Kamu kira aku gak punya perasaan? Cium cewek kayak gak mikirin perasaan aku?!”

Allard berdiri saat Luna pergi dengan bantuan tongkatnya, ia sigap menahan tangan gadis itu dan mencengkeram bahu Luna.

“Denger gue! Gak ada yang bisa singkirin lo dari posisi lo di hati gue!! Lo tau itu!”

“Tapi aku capek, Allard! Aku capek kayak gini terus!”

“Maafin gue!”

Luna berkaca-kaca matanya saat pria itu dengan gamblangnya meminta maaf, ia mengutuk dirinya sendiri karena terlalu lemah. Allard mampu membuatnya memaafkan pria itu bahkan jika Allard tidak meminta maaf sekalipun, Luna terlalu bodoh untuk itu.

Semua teman meminta Luna untuk melepaskan Allard, banyak yang bilang jika ia bisa menemukan laki-laki lain yang lebih baik. Tapi Luna, gadis itu hanya menginginkan seorang Allard.

“Oke, you won.” Luna mengangkat tangannya, dia mengaku kalah.

Allard memeluk gadis itu, Luna adalah segalanya untuk Allard. Tapi dengan piciknya dia tidak bisa jika hanya satu, Allard seringkali jatuh pada cinta lain.

“Lo punya gue, Na ....”

***

“Luna!”

Luna memutar tubuhnya tatkala seseorang memanggilnya, rupanya Arshaka, teman sekelasnya. Sepertinya Arshaka baru saja dari Aula, pria itu memang masih menjabat sebagai ketua osis.

“Kenapa, Ka?”

Arshaka memberikan sebuah brosur pada Luna. “Ikut, kan?” tanyanya.

Luna menggeleng pelan dan menatap Arshaka setelahnya. “Kayaknya enggak, Ka.” jawabnya.

“Kenapa?”

“Gunung itu tinggi, Ka. Gak mungkin, kan, aku mendaki segitu tingginya?” ujar Luna dan melirik sejenak kakinya yang pincang.

“Ada gue, lo gak usah khawatir. Lagian pacar lo juga ikut.”

“Masa Allard ikut?” tanya Luna memperjelas lagi.

Arshaka mengangguk mantap. “Iya, tadi gue liat data murid yang ikut, nama Allard juga tercantum di situ.”

Luna menganggukkan kepalanya, berpikir sejenak memutuskan akan ikut mendaki gunung atau tidak. Sebulan lagi sekolah mengadakan tour untuk siswa-siswi kelas akhir, tidak diwajibkan ikut sebenarnya, tapi Luna yakin hampir seratus persen semuanya ikut.

“Nanti aku pikirin lagi, deh.” Gadis itu kembali melangkahkan kakinya, “makasih, Ka.”

Arshaka memberikan jempolnya. “Harus ikut ya, Na!”

“Kalo hati berkehendak, ya!”

Luna melangkahkan kakinya menuju kelas Allard yang berada di lantai satu, sekolah sudah mulai terlihat sepi karena bel pulang memang sudah berbunyi sejak beberapa menit yang lalu.

Di tangga, satu persatu ia melangkahkan kakinya menuruni tangga. Ia berhenti sejenak jika ada murid lain yang juga dari lantai atas sepertinya.

Sampai di bawah, Luna melambaikan tangannya pada Allard yang sedang berdiri di depan kelasnya. Kelas mereka memang terpisah lantai, kelas IPS berada di lantai satu, kelas IPA di lantai dua dan kelas Bahasa di lantai tiga.

Allard masih sempat-sempatnya mengedipkan sebelah matanya pada seorang adik kelas yang lewat, padahal Luna sudah berada di depannya.

“Heran banget, kelilipan kok setiap hari.” sindir Luna.

Allard terkekeh dan mendekati pacarnya itu, ia mengambil tongkat Luna dan melipatnya, sehingga Luna berpegangan di lengan pria itu. Allard kemudian menjongkokkan badannya dan meminta Luna naik ke punggungnya.

“Tuan Puteri gak boleh capek, naik cepet.”

Luna sedikit menyunggingkan senyumnya, ia lalu melingkarkan tangannya di leher Allard dan naik ke punggung pria itu. Tanpa aba-aba, Allard malah melangkah dengan cepat membuat Luna seperti terkena angin yang meliukkan tubuhnya.

“Allard, nyari mati kamu?”

Sampai di parkiran barulah Allard berhenti berlari dan menurunkan Luna, gadis itu tidak berlari tapi malah dia yang ngos-ngosan.

“Jantung aku pindah ke lambung tau, nggak!” Luna meninju perut Allard hingga meringis.

Allard lagi-lagi tertawa melihat ekspresi wajah Luna.

“Gak pa pa, yang penting nama gue masih tetap di hati lo!”

***

Dengan tisu, Allard mengelap sudut bibir Luna yang terdapat setitik es krim di sana. Dua sejoli itu berada di kedai es krim yang konon katanya adalah yang paling enak di kota metropolitan ini.

“Mau nambah?”

Luna menggelengkan kepalanya, “Udah penuh banget, nih.” Ia menepuk-nepuk perutnya.

Allard tersenyum terlihat giginya, ia merangkul bahu Luna yang sekarang sedang melihat ke arah langit. Menikmati indahnya ribuan bintang yang membuat langit malam terlihat ramai, ditemani  yang ikut memanjakan mata Luna.

“Lo tau beda bulan sama lo?” tanya Allard di sela kesunyian malam.

“Gak tau,” jawab Luna menoleh dan menggelengkan kepalanya.

“Kalo bulan menyinari malam, kalo lo menyinari hati gue.”

Luna tersenyum mengejek. “Gak pantes banget kamu gombal-gombal gitu, kayak dunia lagi gak baik-baik aja, tau gak.”

Allard terkekeh mendengar perkataan gadis itu, harusnya Luna memujinya timbang mengejek. Pria itu bahkan tidak pernah repot-repot untuk memuji kecantikan Luna, setidaknya ia mendapatkan pujian dari gadis itu.

“Lo mah, padahal gue udah mikir keras buat kata-kata itu.”

Luna mengangkat sebelah alisnya seakan tak percaya. “Aku tau kamu copas g****e, gak usah sok gitu.” Dia memukul pelan lengan Allard.

“Kamu pernah minder gak, sih?” tanya Luna tiba-tiba setelah menatap wajah Allard.

“Minder kenapa?” tanya Allard balik.

Luna mengedikkan bahunya dan berkata, “Ya minder sama orang lain gitu.”

Allard menggeleng tegas. “Gak pernah!” jawabnya.

“Oh, ya? Kenapa gak pernah?”

“Gue ganteng!” sombong pria itu.

Mata Luna membesar mendengar jawaban narsis pacarnya itu, namun dia tidak mengelak jika Allard memanglah tampan.

“Pede banget jadi orang!”

“Iya harus pede emang, kalo yang gede itu punya gue.”

“Allard!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status