Share

3. Debu di pagi hari

Ponsel Luna berdering, sebuah panggilan masuk dari Allard. Ia segera mengangkat panggilan itu karena memang Luna sudah menunggu pacarnya itu sejak tadi.

“Halo?”

“Halo? Na, gue gak bisa jemput, ya. Hari ini gue sama temen, gak enak soalnya kemarin udah janjian.”

“Tapi, Lard ... aku udah tungguin kamu dari tadi. Harusnya kamu bilang lebih awal.”

“Iya gue lupa, lo ribet banget, sih. Tinggal pesen taksi, kan, bisa? Nanti gue bayarin, deh, taksinya.”

“Bukan masalah bayarnya, Lard. Aku dari tadi tungguin kamu, masa kamu tinggal gitu aja?” Luna melirik kanan-kiri, tidak ada satu pun bus atau pun taksi yang lewat, “Lagian kamu pake mobil, kan? Masa aku gak boleh ikut? Kan kamu lewat sini ke sekolahnya?”

“Lo jangan nyari ribut, Na! Udah lah, tinggal pesen taksi juga! Repot banget!”

Tut!

Panggilan itu mati sepihak, Luna memegangi dadanya yang terasa sangat sakit karena ucapan Allard. Dia rela berjalan dengan kaki pincang dari rumahnya menuju halte depan gang yang lumayan jauh, hanya karena kemarin sore Allard berjanji akan menjemputnya. Agar pria itu tidak perlu lagi ke rumahnya yang jalannya sangat sempit dan berbatu.

Mata Luna berkaca-kaca, ia kemudian berdiri melihat ke sekitarnya siapa tahu masih ada bus yang lewat. Namun sepuluh menit menunggu, satu pun tidak ada yang lewat di halte yang memang sering kali sepi itu.

Mau tidak mau Luna berjalan kaki, dengan bantuan tongkatnya dia melangkahkan kakinya langkah demi langkah. Air matanya kini mengalir, perasaannya begitu sakit saat Allard membentaknya tadi. Luna hanya ingin menebeng saja karena pria itu juga melewati halte tempatnya menunggu tadi, tapi Allard menyuruhnya untuk naik taksi saja.

Suara klakson berbunyi membuyarkan lamunan Luna, motor sport mengambil jalur kiri dan berhenti tepat di sebelah Luna yang sedang berjalan sendirian di trotoar.

“Luna, kok jalan?” Pria itu membuka helm full face-nya.

Luna dengan cepat menghapus air matanya, ia kemudian menoleh pada pria yang menghampirinya itu.

“Iya, Ka. Busnya aku tungguin gak datang-datang.”

“Pacar lo mana?”

“Allard ada urusan, jadi aku berangkat duluan.”

Arshaka mengangguk mengerti. “Berangkat sama gue aja, ya. Belakang kosong, nih.”

“Boleh?”

“Ya boleh, lah, bayar tapi.”

Luna terkekeh mendengar perkataan Arshaka, ia menganggukkan kepalanya.

“Iya, nanti aku bayar. Hutang dulu tapi, ya.”

Arshaka tersenyum tipis mengiyakan, “Iya, deh.”

Pria itu turun dari motornya, membantu Luna melipat tongkat dengan gadis itu yang berpegangan di lengannya lebih dulu.

“Ayo, naik.”

Arshaka membantu Luna naik ke motor, sebelumnya ia membuka jaketnya untuk menutupi paha gadis itu.

“Shaka!” jerit Luna saat Arshaka sengaja menggoyangkan motor sedang gadis itu sudah berada di atasnya.

Arshaka terkekeh melihat wajah panik Luna, ia menyudahi aksinya lalu naik ke motor. Melaju dengan kecepatan sedang menuju sekolah SMA Mediterania.

“Pelan banget, Ka?”

“Kapan lagi ngebonceng cewek cantik?”

Senyum tipis Luna terbit, bisa Arshaka lihat dari kaca spion yang memperlihatkan wajah cantik gadis itu. Angin pagi sepertinya mendukung Arshaka, ia berhembus sepoi-sepoi menerpa kedua anak manusia itu, mengiringi menuju gedung yang menjadi saksi keduanya bertemu pertama kalinya.

Memasuki pekarangan sekolah, Arshaka memarkirkan motornya di parkiran dekat lapangan bola basket. Kembali membantu Luna untuk turun, dan menyerahkan tongkat gadis itu. Mereka berdua lalu berjalan beriringan, melewati lapangan luas yang biasanya di pakai para siswa untuk bermain sepak bola.

“Bentar, Na. Gue ke kantin bentar, lo tunggu sini, ya.”

Luna menganggukkan kepalanya, menunggu Arshaka di pinggir lapangan. Sedang pria itu berlari menuju kantin, entah ingin membeli apa.

Tak lama, ia melihat sebuah mobil sedan Corolla Altis memasuki gerbang. Luna tahu itu adalah mobil pacarnya, karena hanya Allard yang punya mobil itu di sekolah ini. Mobil itu terparkir mulus, lalu pintu terbuka memperlihatkan Allard yang menyampirkan tasnya di punggung kanannya.

Luna merasa hatinya kembali tertusuk saat melihat seorang gadis yang keluar dari mobil Allard, itu kah teman yang pacarnya itu maksud?

Gadis itu baru kali ini Luna lihat, terlihat sangat akrab dengan Allard. Seperti sudah mengenal sangat lama, mereka berinteraksi sedekat itu. Lagi-lagi, Allard menyakiti hatinya untuk kesekian kalinya, pria itu kembali mendekati wanita lain dengan status masih berpacaran dengannya.

Seseorang tiba-tiba merangkulnya, membawanya pergi dari sana. Arshaka menggandengnya menjauh dari tempat di mana ia kembali menjadi sakit. Rupanya Allard batal menjemputnya karena ingin berangkat berdua dengan perempuan yang baru lagi.

“Jangan nangis, maaf, gue gak tau kalo debunya bakalan datang sepagi ini.”

Arshaka menghapus air mata gadis cantik itu, menuntun Luna menaiki tangga. Padahal tadi dia hanya meninggalkan Luna sebentar saja, tapi tak ia sangka debu itu datang lebih cepat. Sudah berapa kali dia meminta Luna untuk melepas Allard, tapi Luna menolak dengan keras.

“Salah aku apa, Ka? Kenapa Allard terus-terusan nyakitin hati aku?”

Arshaka menggelengkan kepalanya. “Lo gak salah apa-apa, Na.”

“Langit mulai cerah, lo gak seharusnya nangis.”

***

“Allard, kamu mau ke mana?” tanya Luna pada Allard saat pria itu akan menaiki tangga menuju lantai tiga.

“Gue mau ke atas,” jawab Allard.

“Kamu ke atas mau ngapain?”

“Ke kelas temen gue,” Allard mengeluarkan coki-coki dari kantong plastik yang ia bawa dan diberikan pada Luna, “buat lo, gue ke atas dulu, Na.”

Allard berlalu dari hadapan Luna setelah mengelus rambut panjang gadis itu, Allard lagi-lagi mengabaikan Luna yang sudah berjalan tergesa-gesa mengejarnya tadi.

Luna tersenyum miris melihat coki-coki pemberian Allard, sedang ia tahu jika dalam plastik tadi berisi makanan. Mungkin Allard akan memberikannya untuk sarapan gadis tadi. Selama ini Allard tidak pernah repot-repot untuk sekedar menemuinya di kelas, pasti Luna yang akan ke kelas pria itu.

Dengan hati yang kembali teriris, Luna berbalik badan. Melangkah perlahan kembali ke kelasnya, ia memegangi coki-coki itu dengan kuat. Ia menunduk dalam, bisa-bisanya ia jatuh hati pada pria brengsek seperti Allard.

Luna duduk di kursinya, meletakkan coki-coki tadi di atas meja dan tidak lagi ia sentuh sama sekali.

“Makan, lo belum sarapan, kan?”

Luna mengangkat wajahnya, Arshaka menyodorkan sekotak bekal. Ia menatap pria itu sejenak, lalu menggeleng setelahnya. Luna tahu itu kotak bekal milik Arshaka, Luna tidak ingin membuat pria itu repot. Lagian Luna tidak ingin dikasihani.

“Makan aja, tadi gue udah sarapan di rumah.”

“Enggak, Ka. Itu punya kamu, nanti aku bisa makan di kantin.”

“Nanti kapan? Ini udah mau masuk jam pelajaran lagi, dan lo sama sekali belum makan. Gak usah nolak.”

Luna akhirnya menerima pemberian Arshaka, membuka dan memakannya di depan pria itu.

“Enak?”

Luna menganggukkan kepalanya.

“Iya lah enak, calon mertua lo tuh yang bikin.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status