Share

4. Cinta memang sejahat itu

“Kenalin, Na. Ini ini sahabat gue dari kecil, Nora.”

Luna tersenyum simpul pada perempuan di hadapannya, menyapa setenang mungkin.

“Ra, ini pacar gue, Luna.”

Allard memperkenalkan kedua gadis yang ada di depannya itu, agar Luna tidak salah paham akan hubungannya dengan Nora. Allard dan Nora sudah kenal sejak keduanya masih menjadi kanak-kanak, selalu bermain bersama sampai suatu situasi memisahkan mereka.

Dan sekarang, Nora kembali dan bersekolah di sekolah yang sama. Itu membuat Allard senang karena memang sudah sangat lama mereka tidak bertemu, sekitar tiga tahun yang lalu saat akan kelulusan sekolah menengah pertama.

“Na, lo gue pesanin taksi, ya.” Allard merangkul bahu Luna, “gue mau nganter Nora ke rumah sakit dulu.”

Luna kembali menelan pil pahit, dengan terpaksa dia mengangguk lagi dan lagi. Sudah dikatakan, Luna akan selalu mengiyakan pria di hadapannya itu. Selalu begitu, sejak mereka berpacaran Luna selalu mengiyakan semua mau Allard.

Allard mengantar Nora terlebih dahulu menuju mobilnya, baru membawa Luna menuju halte depan gerbang. Di mana banyak murid lain yang juga menunggu bus atau pun taksi.

“Gak pa pa, kan, pulang sendiri?”

“Iya, gak pa pa.”

Sebuah taksi berhenti tepat di depan mereka setelah Allard mengehentikannya. Sebelum Luna masuk, Allard menyempatkan untuk memeluk gadis itu.

“Nanti hubungin gue kalo udah sampek.” Allard mencium kening Luna, dan juga kedua mata kekasihnya itu yang terlihat berkaca-kaca.

“Gue sayang sama lo, percaya sama gue.”

Luna menganggukkan kepalanya, ia melepas pelukan Allard dan memasuki mobil. Sedikit membuka jendela dan tersenyum tipis pada Allard, ia melambaikan tangannya.

Allard juga melambai, menatap Luna yang sebentar lagi akan basah pipinya.

“Hati-hati, sayang.”

Taksi perlahan melaju, seiring tangisan Luna yang kembali hadir. Sebenarnya apa yang pria itu pikirkan, kenapa senang sekali menyakiti gadis cantik ini. Luna sudah sebaik itu tidak meninggalkannya, tapi Allard dengan tidak tahu dirinya menjadikan kebaikan Luna sebagai alasan untuk terus melukai hati gadis itu.

***

Pagi sekali Luna sudah bangun, matahari bahkan belum menyapa bumi dengan sinarnya. Sudah ia selesaikan pekerjaan rumahnya, karena Luna memang tinggal sendiri sejak duduk di bangku SMP. Kedua orang tuanya sudah lebih dulu berpulang, karena peristiwa empat tahun silam yang menyimpan luka dalam di hati Luna.

Dengan bantuan tongkat, Luna melangkahkan kakinya perlahan keluar pagar rumah sederhana yang menjadi kediamannya. Satu-satunya peninggalan orang tua Luna yang sangat berharga baginya.

Butuh lima belas menit Luna sampai di lapangan yang menjadi tempat di mana orang-orang akan berkumpul di akhir pekan ini, lapangan di mana selalu ramai akan muda-mudi hingga yang tua untuk menghabiskan weekend pagi mereka dengan jogging dan olahraga.

Luna melepas tongkatnya, ia berdiri hati-hati hendak melatih kakinya untuk berdiri sendiri tanpa bantuan. Sudah dua bulan ia hidup dengan tongkat, karena kakinya tidak cukup kuat untuk menopang tubuhnya sejak insiden itu terjadi.

Dan benar saja, Luna terjatuh saat ia mencoba untuk melangkahkan kakinya. Beruntung seseorang menahan tubuhnya hingga tidak sampai menyentuh rerumputan lapangan.

“Lo kenapa belajar jalan sendirian tanpa ada yang ngawasin, sih?” Allard menatap marah Luna, seharusnya gadis itu tidak nekad belajar berjalan sendiri tanpa pengawasan.

“Allard, kamu di sini?” tanya Luna tanpa menjawab pertanyaan Allard.

“Ngapain belajar jalan sendiri?” Allard sedikit menaikkan oktafnya, ia takut terjadi apa-apa pada kekasihnya itu.

“Aku mau normal lagi, aku capek pake tongkat terus.” Luna berpegangan di lengan kokoh Allard.

“Kenapa gak bilang gue kalo mau belajar jalan?” Allard membantu Luna duduk di kursi panjang yang tersedia di sisi lapangan.

“Tadi aku telepon kamu, tapi kamunya gak bisa dihubungi,” jawab Luna.

“Kamu ke sini sama siapa?” Dalam hati Luna berharap pria itu datang sendirian.

Namun sepertinya dunia lagi-lagi tidak berpihak padanya, gadis bernama Nora muncul dari belakangnya.

“Lard, gue mau pulang.”

Allard menoleh pada Nora, lalu menatap Luna dengan tatapan yang tidak enak. Mengerti akan tatapan itu, Luna menganggukkan kepalanya.

“Gak pa pa, kamu pulang aja,” tutur Luna menahan nyeri di dadanya.

Allard mengangguk, ia masih sempat-sempatnya memeluk Luna, mengelus lembut surai gadis itu dan mencium kening Luna sejenak.

“Gue pulang, kapan-kapan latihan jalan sama gue.”

Luna mengangguk lagi, memaksakan senyum terpatri di bibirnya. Mati-matian Luna menahan tangisnya melihat punggung Allard yang kini menjauh bersama Nora. Yang lebih menyakiti hati Luna, saat Allard menggenggam jemari Nora seakan mereka adalah sepasang kekasih.

Siapa sebenarnya pacar Allard di sini, Luna ataukah Nora? Bahkan Allard sudah melakukan hal itu pada banyak perempuan, gilanya Luna malah memaafkan Allard akan semua tindakan semena-mena kekasihnya itu pada hatinya.

Seseorang menahan tubuh Luna saat gadis itu oleng sebab mencoba untuk berjalan lagi, padahal kakinya masih sangat lemah.

“Gue udah bilang, kalo pagi jangan nangis.”

Luna mendongak melihat pria yang membantunya berjalan, ia sudah tahu siapa pria itu sebelum melihatnya. Arshaka tersenyum teduh, membuat Luna semakin berkaca-kaca matanya.

“Lho, Na. Kok malah tambah nangis, sih?” Arshaka dibuat kelimpungan saat gadis itu terisak.

“Shaka, kapan tangan aku digenggam segitu eratnya sama Allard? Kapan aku jadi prioritas dia, Ka?” Luna semakin terisak.

Arshaka mencoba menenangkan Luna, sebelum orang-orang mencurigainya yang tidak-tidak. Ia jelas tahu perasaan Luna teriris, sampai-sampai Arshaka sangat ingin mematahkan tulang Allard saat ini juga jika ia tidak mengingat betapa cintanya Luna pada pria bajingan itu.

“Jangan nangis, please. Lo Puteri kerajaan dengan mahkota, jangan jadi lemah.” Arshaka memegang tangan Luna yang mulai bergetar seiring isakan yang semakin terdengar.

Tiba-tiba Luna menyandarkan kepalanya di bahu lebar Arshaka, tangannya melingkar di pinggang pria itu. Pecah sudah tangis Luna, ia menggigit bibirnya berusaha agar suara tangisnya teredam. Bahu Arshaka bahkan terasa lebih aman dibanding bahu Allard yang hanya sesekali ia dekap.

“Kenapa harus aku, Ka? Kenapa harus aku yang selalu mengalah? Aku capek, Ka ... hiks.”

Arshaka mengusap rambut Luna, menenangkan gadis itu dengan sapuan tangannya. Arshaka tidak bisa melihat air mata mengalir dari mata cantik Luna, ia tidak pernah bisa untuk menyaksikan itu. Arshaka mendekap balik gadis itu lebih erat, mencoba menyalurkan sedikit kekuatan yang padahal dia sendiri juga tak punya banyak.

Arshaka sudah memendam perasaan pada Luna, jauh sebelum Luna mengenal Allard. Arshaka mampu terus menenangkan Luna yang sedang patah, padahal ia sudah tinggal puing-puing saja. Sesabar itu Arshaka menunggu di mana gadis itu akan menyadari kehadirannya, entah kapan, Arshaka akan terus menunggu.

“Na, kadang yang diinginkan hati, belum tentu diaminkan kenyataan.”

“Tapi kenapa keinginan Allard selalu diaminkan kenyataan?”

Arshaka terdiam mendengar perkataan Luna, Allard memang selalu mendapatkan apa yang ia mau. Selingkuh dan mempermainkan hati Luna sudah berkali-kali dilakukannya, permintaan maafnya juga selalu Luna terima. Bahkan hati Luna sudah pria bajingan itu kuasai tanpa menyisakan sedikit untuk Arshaka. Semudah itu semuanya Allard dapatkan, hati Luna sepenuhnya dia miliki.

“Gak pa pa, cinta memang sejahat itu, Na ....”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status