Pagi itu berjalan dalam sunyi. Tidak ada lagi senyum hangat, tidak ada sentuhan lembut. Hanya ada dua hati yang sama-sama dipenuhi luka semalam. Ambar duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke arah jendela. Kelopak matanya bengkak, wajahnya pucat. Di dalam dada, ada riuh yang tak bisa ia redam. Kenapa semua terasa salah? Bukankah bersama Gion seharusnya membuatku merasa aman? Lalu mengapa aku justru merasa terikat… seolah tidak punya kebebasan untuk bernapas? Di belakangnya, Gion berdiri kaku. Sorot matanya campur aduk—ada cinta, ada marah, ada takut kehilangan. “Ambar…” suaranya rendah, tapi mengandung tekanan. “Jawab aku satu hal saja. Apa aku ini hanya pelarian bagimu? Atau di hatimu… masih ada dia?” Ambar terdiam, seakan kehilangan kata. Pertanyaan itu seperti pisau yang menoreh luka lama. Ia menoleh, menatap Gion dengan mata berkaca-kaca. “Kenapa kamu terus bertanya begitu? Aku memilihmu, Gion. Bukankah itu cukup?” “Tidak cukup!” Gion menggebrak meja, suaranya mening
Pagi itu seharusnya menjadi awal yang indah. Cahaya matahari menembus jendela, membelai wajah Ambar yang baru saja terbangun. Namun suasana hangat semalam perlahan memudar saat Gion menatapnya serius. “Ambar…” suaranya pelan, tapi matanya tajam. “Aku ingin tahu. Siapa sebenarnya Ivan?” Ambar tertegun. Senyum yang sempat menghiasi wajahnya lenyap begitu saja. Ia menarik selimut lebih erat, berusaha menghindari tatapan Gion. “Kenapa kamu terus menanyakan itu? Untuk apa kita membahas sesuatu yang tidak penting?” Gion menghela napas panjang, tapi nada suaranya semakin tegas. “Karena aku berhak tahu, Ambar. Aku berhak tahu siapa orang yang mengganggu kekasihku. Dan aku juga berhak tahu siapa masa lalumu.” Kata-kata itu menusuk Ambar. Hatinya bergemuruh, bercampur malu dan marah. Ia menunduk, matanya berair. “Masa lalu itu… kebodohan yang ingin aku kubur dalam-dalam. Kenapa kamu harus mengungkitnya lagi? Kenapa pagi ini harus dirusak dengan nama itu?” Gion mendekat, meraih
Senyum tipis terbit di bibir Ambar. “Kalau begitu, percayalah padaku. Kamu tempat aku pulang.” Pelukan mereka menutup percakapan itu, hangat, seolah dunia berhenti. Tapi keheningan pecah ketika ponsel Ambar bergetar di meja. Nama yang muncul di layar membuat darahnya berdesir—Ivan. Gion melihatnya lebih dulu. Sorot matanya berubah, menajam, menahan sesuatu yang bergolak di dalam dada. Ambar terdiam, jemarinya ragu menyentuh layar. Jantungnya berdetak lebih keras daripada nada dering yang terus berulang. Dan di tengah ketegangan itu, hanya satu hal yang jelas: malam yang seharusnya ditutup dengan tenang… baru saja membuka pintu menuju badai berikutnya. Ambar menatap layar ponselnya yang terus berdering. Nama itu—Ivan—membuat darahnya berdesir dingin. Tanpa ragu, ia menekan tombol mati lalu mematikan ponselnya. Gion yang duduk di sampingnya menoleh, nada suaranya lembut tapi menyimpan tanda tanya. “Kenapa kamu abaikan? Siapa dia, Ambar?” Ambar mencoba mengatur napas. Seny
Popularitas Ambar melejit sejak video bersama Gion viral. Tawaran wawancara datang bertubi-tubi, dari stasiun TV nasional hingga kanal YouTube besar. Semua ingin tahu: siapa Gion? Seberapa serius hubungan mereka? Apakah ini sekadar strategi menaikkan popularitas? Ambar terseret dalam pusaran perhatian publik. Hampir setiap hari ia harus tampil, menjelaskan hal-hal yang sebenarnya ingin ia simpan untuk dirinya sendiri. Kadang ia merasa kehilangan kendali atas hidupnya sendiri. Tapi ini harga dari keputusan besar: mempublikasikan kisah cintanya. Gion tidak tinggal diam. Ia menuntut untuk menemaninya ke setiap acara. “Aku tidak bisa diam di rumah sementara semua mata menatapmu, Ambar,” katanya tajam. “Kalau kamu sibuk, aku ikut sibuk. Kalau kamu lelah, aku akan menahanmu agar tidak jatuh.” Ambar tahu sulit menolak. Gion hadir di berbagai acara, duduk manis di ruang tunggu VIP, sesekali muncul di layar dengan tenang tapi mencuri perhatian. Banyak yang terpesona pengusaha muda ini—ma
Gion tak langsung menjawab. Ia menatap ke luar jendela. “Aku tahu kamu jaga jarak. Aku tahu kamu punya alasan. Tapi izinkan aku mencintaimu dengan caraku. Aku nggak ingin kamu terus menangis karena masa lalu. Kalau kau mau… biarkan aku jadi ruang baru untukmu.” Kata-kata itu menyelinap ke pertahanan Ambar. Ia terdiam, hanya mendengarkan detak jam yang terdengar jelas di antara mereka. Akhirnya, tanpa berkata apa pun, ia menyandarkan kepala di bahunya. Tak ada “ya” atau “tidak.” Hanya keheningan yang memberi ruang pada kemungkinan. Dan malam Bali pun menjadi saksi: dua hati yang sama-sama rapuh, berusaha menemukan arti di antara luka dan keberanian baru.Pagi itu, sinar matahari menyusup perlahan dari sela tirai kamar hotel, menyapu wajah Ambar yang masih setengah bersandar di dada Gion. Damai yang aneh menyelimuti, seperti mimpi panjang yang belum sempat dibangunkan. Suara burung camar dari kejauhan mengisi sela keheningan mereka. Ambar menggerakkan tangannya pelan, menggenggam ta
Ambar tahu sejak awal, hubungan yang melaju terlalu cepat nyaris selalu berakhir kacau. Dan Gion… pria yang baru semalam hadir dalam hidupnya, sudah menunjukkan sisi terlalu agresif untuk diabaikan. Di lokasi syuting, Ambar mencoba menyingkirkan semua pikiran. Naskah ia baca berulang, adegan ia mainkan dengan totalitas. Ia ingin segera menyelesaikan pekerjaan hari ini dan kembali ke Jakarta. Ia butuh ruang—untuk bernapas, untuk mengukur apakah perasaan yang muncul itu ketertarikan… atau sekadar luka lama yang menyamar sebagai gairah. Siang merambat ke sore. Sutradara akhirnya berteriak, “Cut! Selesai! Thank you semua!” Ambar mengembuskan napas lega. Ia melepas heels, duduk sebentar di belakang van produksi, meneguk air mineral. Rani, manajernya, muncul terburu-buru sambil membawa ponsel. Wajahnya serius. “Mbak… Gion hubungi aku. Dia juga nanya ke beberapa kru. Sekarang dia ada di parkiran.” Ambar terlonjak. “Apa?! Ngapain dia di sini?” Wajahnya tegang, campuran panik dan kesal.