Share

Bab 4 Nasihat yang Baik

Aku buru-buru membawa ponselku ke kamar tidur dan mengangkatnya, “Bagus, ya, kamu. Aku sudah jauh-jauh datang, kamu malah langsung pergi!”

“Tadi aku ada urusan mendadak di kantor,” ujar Fanny dengan suara serak dan nada yang terdengar sangat kelelahan. “Ini baru saja selesai, makanya aku baru sempat hubungin kamu lagi. Kenapa kamu malah marah-marah? Memangnya aku pengangguran kayak kamu!”

Aku terdiam sejenak untuk meredam segala kekesalanku dan bertanya,”Itu tadi … kamu bilang dua hari yang lalu ngelihat Harry. Di mana? Jam berapa?”

Pertanyaan ini terus menghantuiku selama satu harian penuh. Aku dapat merasakan Fanny yang berada di sisi lain terdiam sejenak dan kemudian menjawabya dengan nada yang datar, “Aku juga lupa persisnya di mana, cuma lewat sekilas pas lagi nyetir.”

“Oh ….”

Entah mengapa jawabannya membuatku sedikit kecewa. Tanganku yang dari tadi mengepal erat seketika melemas, dan telapak tanganku dipenuhi dengan keringat dingin. Di situ aku terkekeh. Apakah aku baru akan puas setelah membuktikan bahwa Harry memang selingkuh? Harus kuakui, Harry adalah segalanya bagiku.

“Aku baru sadar ternyata kamu itu sudah tergila-gila sama suami kamu, ya. Kamu langsung bersemangat setiap kali membahas soal Harry. Bisa mandiri sedikit, nggak, sih? Adele sudah masuk TK, kamu juga ada kesibukan sendiri. Jangan bilang kamu mau seumur hidup bergantung sama Harry! Aku lihat kamu ini benar-benar sudah gila, ya. Bahkan kamu sudah nggak berhubungan sama dunia luar lagi. Yang ada di dunia kamu cuma Harry doang.”

Mendengar itu, aku hanya bisa tersenyum malu dan menghela napasku, “Tapi, Harry bilang ….”

“Tuh, lihat, ‘kan? Selalu saja bawa-bawa Harry. Aku nggak salah ngomong, ‘kan? Pokoknya apa pun yang dia bilang bakal kamu turutin, gimana kalau nanti dia suruh kamu mati? Kalau suatu hari nanti Harry ngejual kamu, apa kamu juga bakal bantuin dia?”

“Puih, mana mungkin dia tega ngejual aku!”

“Halah! Oke, mungkin dia nggak ngejual kamu, tapi aku!”

“Mending kamu pikir lagi sendiri. Setiap orang itu harus punya value-nya sendiri, jangan jadi cewek yang selalu disuruh-suruh. Itu bukan cinta namanya, tapi kebodohan! Kalau kamu kerjanya cuma sebatas menuhin kebutuhan sehari-harinya doang, apa lama kelamaan dia nggak bosan sama kamu? Bukannya mau jahat, tapi sekarang, selain suami dan anak, apa kamu sempat mikirin diri sendiri?”

Perkataan Fanny bagaikan senapan mesin yang terus menembakiku dengan fakta keras, tanpa memberikan aku kesempatan untuk membalas. Akhirnya dia pun terdiam karena aku tidak berbicara sepatah kata pun, lalu dia kembali berkata dengan nada yang kali ini lebih lembut. “Maya, aku benar-benar berharap bisa ngelihat kamu yang penuh percaya diri lagi. Kamu yang dulu jauh lebih berkualitas daripada sekarang. Aku cuma ngerasa sayang saja kalau kamu seharian di rumah doang jadi ibu rumah tangga!”

“Jangan begitu, dong. Sudah nampar aku, sekarang malah elus-elus. Memangnya siapa yang bikin kamu marah sampai ngelampiasin semuanya ke aku.”

Alhasil kami berdua pun tertawa lepas. Fanny memang seperti itu orangnya. Apa pun yang ada di pikirannya pasti akan dia sampaikan apa adanya. Dulu Fanny pernah mengatakan hal yang sama padaku, tapi mendengarnya kembali hari ini membuatku merasakan sesuatu. Entah apa sebabnya, aku mulai merasa panik dan berpikir jangan-jangan ada maksud tersembunyi di balik ucapannya itu?

Kala itu Harry masuk ke kamar dan tersenyum ramah, “Sayang, ayo makan!”

Fanny yang mendengar Harry memanggilku makan pun berkata, “Ya sudah, kamu makan dulu sana!” namun dia kembali mengingatkanku dengan suara lirih, “Ingat kata-kataku tadi. Jangan sampai keindahan di depan mata bikin kamu terbuai!”

Setelah panggilan itu berakhir, aku ditarik ke dalam pelukan Harry, dan dia menciumku, “Tadi itu siapa?”

“Fanny,” jawabku.

“Ngomongin apa kalian sampai harus bisik-bisik begitu? Sudah lama aku nggak ketemu dia!”

Harry tentu saja tahu seberapa dekat hubunganku dengan Fanny, karena dulunya kami adalah teman kuliah. Namun aku terkejut ketika mendengar Harry bilang sudah lama tidak bertemu dengannya. Apakah itu berarti saat Fanny bilang bertemu dengan Harry dua hari yang lalu, mereka berdua berjarak cukup jauh satu sama lain. Aku pun lega mendengar itu. Sepertinya aku yang terlalu banyak berpikir. Mungkin saja Fanny salah lihat, sama sepertiku yang salah mengenali Harry di video itu.

“Kenapa? Kamu kok dari tadi kelihatan melamun begitu? Lagi mikir apa?” tanya Harry seraya mencubit kedua pipiku.

Aku pun tersadar kembali dan tersenyum, “Oh, nggak apa-apa. Ayo makan!”

“Kalau ada apa-apa, bilang saja, oke? Kita selesaiin bareng-bareng!”

“Beneran nggak ada apa-apa, kok. Sudah, ayo makan!”

Harry tersenyum dan menciumku, lalu menarikku keluar dari kamar. Namun entah mengapa, perasaan curiga yang terus menghantuiku makin bertambah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status