Share

Bab 3 Kecemasan

“Dua hari yang lalu? Di mana?” tanyaku dengan terburu-buru.

Fanny yang menyadari ekspresi di wajahku pun bertanya, “Kenapa kamu responsnya begitu banget?”

“Kamu ngelihat dia di mana?”

Aku tak peduli dengan tanggapan darinya dan terus bertanya lebih jauh. Namun di saat itu tiba-tiba ponsel Fanny berbunyi di saat yang sangat tidak pas. Dia melihat sekilas ponselnya dan mengisyaratkan aku untuk diam. Dia bersandar ke belakang dan mengangkat teleponnya. Baru berbicara beberapa patah kata, tiba-tiba dia menegakkan badannya dan menatapku.

“... apa? Oke … aku ke sana sekarang!”

Sedetik kemudian dia menutup laptopnya, memasukkannya ke dalam tas, dan menunjuk keluar sambil berkata, “Aku pergi dulu, ya. Kapan-kapan kita ketemuan lagi!”

“Eh … kamu ….”

Fanny pergi begitu saja secepat mungkin tanpa menghiraukan aku, meninggalkanku sendirian dalam kebingungan. Dia bilang dia menemui Harry dua hari yang lalu?! dua hari yang lalu, Harry baru saja berangkat ke Riverside, jadi di mana Fanny berpapasan dengan Harry? Pastinya tidak mungkin kebetulan Fanny juga sedang dinas ke Riverside, ‘kan?

Dalam hati aku merasakan kecemasan yang tidak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Video yang kulihat di TokTok kembali terbayang di kepalaku tanpa henti, tapi aku tidak bisa memastikan apakah itu Harry atau bukan. Apa mungkin Harry berbohong kepadaku? Mungkin sebenarnya dia tidak pergi ke Riverside dan punya selingkuhan di luar sana?

Seorang diri aku melamun di dalam kedai tersebut. Hatiku terombang-ambing dan tubuhku terasa sesak seperti terjebak di dalam gua es. Walaupun sinar matahari pagi yang hangat menyinari tubuhku, aku tetap menggigil kedinginan.

Apa yang harus aku lakukan kalau ternyata Harry sungguh selingkuh? Bagaimana dengan Adele? Bagaimana dengan rumah tanggaku?

Aku melewati hari itu dengan kondisi seolah jiwaku telah pergi dari ragaku. Aku bahkan sampai lupa menjemput Adele dari TK. Untungnya hari itu Harry pulang cepat. Melihat aku belum menjemput Adele, dia segera menenangkanku dan pergi menjemput Adele.

Aku berusaha membangkitkan semangat dan masak di dapur. Namun sebelum Harry pulang bersama dengan Adele, Jasmine tiba-tiba masuk ke rumah. Dia memiliki kunci rumah ini dan datang dengan bebas seperti sedang di rumahnya sendiri. Aku sangat tidak suka dengan itu, tapi apa boleh buat, Harry yang membuatnya jadi seperti itu.

Melihat aku sedang sibuk di dapur, dia langsung menaruh tasnya dan menghampiri. Seraya bersandar di pintu, dia bertanya padaku, “Kenapa baru masak? Kakak di mana?”

“Lagi jemput Adele!” jawabku sambil memotong sayuran.

“Sudah jam berapa ini? Kenapa baru jemput sekarang?”

Jasmine selalu saja seperti ini. Selalu bertingkah seperti majikan yang sok berkuasa, dan tidak menghormatiku sebagai iparnya. Selama bertahun-tahun aku sudah terbiasa dengan sikapnya yang tak bermoral itu, karena bagaimanapun juga dia adalah adik kandungnya Harry.

“Ada cumi? Aku lagi mau makan cumi goreng tepung!” ujarnya tanpa ada rasa sungkan sedikit pun.

Aku hanya menunjuk ke arah kulkas danberata, “Lihat saja sendiri, kalau ada, keluarin!”

Di saat itu pula aku mendengar suara Adele memanggilku, “Ma, aku pulang! Hari ini Mama lupa jemput aku, ya?”

Adele berlari ke sisiku bagaikan seekor burung kecil yang terbang bebas, menatapku dengan matanya yang besar danbulat. Aku hanya tersenyum dalam rasa bersala dan mencubt hidungnya.

“Iya, tadi Mama lupa banget. Mama janji lain kali nggak bakal lupa lagi!”

Harry membawakan tas Adele masuk dan tersenyum dengan penuh kasih sayang ketika melihat kami. Jasmine juga berbalik dan memanggil kakak kandungnya.

“Ada apa kamu datang kemari?” tanya Harry, lalu dia menaruh barang bawaan, melepas jaket dan masuk ke dapur. “Sayang, biar aku saja sini! Kamu ajak Adele main saja!”

Jasmine menatap kakaknya dan berkata dengan nada yang menyindir, “Kakakku memang contoh suami yang teladan, ya! Aku jadi jadi mau punya suami kayak Kakak.”

“Pergi sana! Jangan ganggu aku! Tunggu saja sampai makanannya jadi!” bentak Harry.

“Nggak mau. Biar aku bantu!” kata Jasmine, “Aku juga mau tahu kayak apa rasanya jadi istri yang akrab sama suaminya!”

Mendengar ucapan Jasmine, dalam hati aku mengumpat. Dasar tidak tahu malu, setiap hari kerjanya hanya bersenang-senang saja masih berharap bisa mendapatkan suami yang sama seperti kakakmu. Keluarga mana yang mau menerima menantu sepertimu.

Aku yang awalnya sudah cukup kesal jadi makin kesal melihat tingkah laku Jasmine. Dia selalu saja mengganggu Harry dan bertingkah seperti seekor kucing penurut, padahal niatnya hanya ingin meminta uang.

Kondisi keluarga mereka dulunya bisa dibilang cukup kesulitan. Hanya ada ayah mertuaku yang bekerja, sedangkan ibu mertuaku hanya bekerja serabutan. Sejak kecil Jasmine sakit-sakitan dan harus sering dirawat di rumah sakit. Hari-hari mereka lalui dengan serba kekurangan, dan saat itu Harry sangat memandang rendah dirinya sendiri.

Semenjak perusahaan yang kubangun bersama Harry mulai sukses, barulah kondisi keluarganya Harry kian membaik. Sebenarnya bisa dibilang aku dan Harry menghidupi seluruh keluarganya, khususnya Jasmine. Dia adalah seorang parasit yang kerjanya hanya bisa meminta uang dan foya-foya, tapi tidak mau kerja. Aku benar-benar sudah kehabisan kata-kata untuk menghadapinya.

Aku pun membawa Adele keluar dari dapur untuk menjauhi diriku dari hal-hal yang membuatku kesal. Tepat di saat itu juga ponselku berdering. Aku melihat ada panggilan masuk dari Fanny ….

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status