Seorang Dokter dan dua perawat. Mereka masuk ke ruang ICU dengan tergesa-gesa. Amira dan Alisa panik. Mereka takut kalau yang di tujunya itu ibu mereka.
"Dokter apa yang terjadi? ada apa ini Dok?" Tanya Amira dengan panik. Farel juga datang sambil berlari. Pria itu langsung memeluk istrinya. Memberi kekuatan agar Alisa tidak cemas memikirkan ibunya di dalam ruangan itu. "Mas. Dokter itu. Mereka tidak sedang mengatasi ibu kan? Ibu baik-baik saja kan?" Ucap Alisa mengharap tidak terjadi sesuatu pada ibunya. "Kita berdoa saja. Semoga ibu kita cepat melewati masa kritisnya!" Jawab Farel "Mas. Apa Mas Farel bisa bantu menyembuhkan ibu?" Tanya Amira. Wanita itu mendadak seperti bodoh. Padahal dia tahu kalau kakak iparnya itu adalah seorang Dokter anak. Bukan Dokter spesialis. "Aku cuma Dokter anak. Aku tidak bisa berbuat apapun untuk itu." Jawab Farel. Amira kecewa. Wanita itu duduk di bangku depan ruangan itu. Dia duduk sendiri. Sedangkan Alisa masih terisak dalam pelukan suaminya. Farel tidak melihat keberadaan Amar di tempat itu. Dia menanyakan keberadaan suami dari adik iparnya itu. Dia mengira kalau Amar sedang pergi ke luar. "Memangnya Amar kemana? Aku belum lihat dia dari tadi." Tanya Farel. Mendengar itu. Alisa juga baru menyadari kalau tadi Amira datang hanya seorang diri. Adiknya itu tidak bersama dengan suaminya. "Iya. Tadi kamu datang sendiri. Memangnya Amar tidak ikut pulang?" Tanya Alisa. Amira hanya menggeleng. Wanita itu belum mau bercerita tentang suaminya. Dia tidak mau menambahkan beban pada kakak dan iparnya. Dokter keluar dari ruang ICU. Amira dan Alisa langsung maju menghampirinya. Mereka menanyakan keadaan ibunya. juga pasien siapa yang barusan di tanganinya. "Dokter. Tadi bukan ibu saya kan. Ibu saya baik-baik saja kan?" Tanya Amira dan Alisa. "Maaf. Pasien yang bernama Fitria. Barusan mengalami kejang-kejang. Sekarang sudah tenang kembali. Tapi mohon maaf. Pasien masih belum melewati masa kritisnya." Ucap Dokter itu kemudian pergi. Alias kembali menangis di pelukan suaminya. Sementara Amira makin merasa sedih. Melihat kakak dan adiknya saling menguatkan. Sedangkan suaminya hilang entah kemana. Hari sudah mulai petang. Sebentar lagi jam besuk malam. Mereka bisa kembali melihat ibunya di dalam ruangan ICU. Saat dua kakak beradik itu masuk dan membesuk ibunya. Mereka menangis dan memeluk sang ibu. Tapi tiba-tiba ibunya kembali kejang-kejang. Alisa langsung memanggil Dokter untuk menanganinya. "Dokter. Tolong selamatkan ibu saya Dok!" Ucap Amira setelah Dokter datang. Mereka berdua keluar dari ruangan itu. Tinggal Dokter dan perawat yang berbeda di dalam. Menangani pasien yang sedang kritis. kedua kakak beradik itu saling berpelukan. Mereka saling menguatkan. Sedangkan Farel sedang keluar membeli makanan untuk mereka berdua. Saat kembali ke tempat itu. Dokter pun juga keluar dari ruang ICU. Mereka langsung menanyakan keadaan ibunya. "Dokter. Bagaimana keadaan ibu saya?" Tanya Amira. "Saya minta maaf. Kami sudah berusaha tapi takdir berkata lain. Pasien tidak dapat tertolong." Jawab Dokter itu. Alisa langsung menghambur ke pelukan suaminya. Sedangkan Amira. Dia menangis dan berlari ke tempat jenazah ibunya. Amira menangis. Dia tidak bisa menerima kepergian ibunya. Setelah semalam suaminya menghilang. Sekarang wanita itu harus kehilangan ibunya untuk selamanya. *** Setelah proses pemakaman sudah selesai. Amira tidak mau pergi dari tempat itu. Dia ingin menemani ibunya di atas pusaranya. "Mira. Kamu tidak boleh seperti itu! Ikhlaskan kepergian ibu. Biarkan beliau tenang di alam sana." Ucap Farel menenangkan wanita itu. Alisa menuntun Amira. Mereka bertiga berjalan menuju mobil. Lalu pulang kembali ke rumah. Tujuh hari sudah setelah meninggalnya ibu. Amira pamit untuk pulang ke rumahnya. Siapa tahu Amar sudah menunggu di sana. "Kak Lisa, Kak Farel. Mira pamit pulang ya kak. Maaf sudah banyak merepotkan." Ucap Amira. "Apa kamu tidak menunggu Amar menjemputmu?" Tanya Alisa. "Tidak kak. Mira pulang dulu aja. Mungkin mas Amar sudah menunggu di rumah." Jawab Amira. Sebenarnya. Alisa dan Farel merasa curiga dengan rumah tangga Amira. Masa seorang menantu tidak hadir saat mertuanya meninggal? Hal ini menjadi pertanyaan bagi pasangan suami istri itu. Tapi keduanya tidak menanyakan pada Amira. Biarlah adiknya sendiri yang bercerita. Karena saat ini belum tepat untuk menanyakan masalah itu. *** Tiba di rumah. Amira langsung masuk ke kamarnya. Mencari keberadaan suaminya. Mungkin Amar sedang tidur. "Mas. Kamu sudah pulang mas?" Teriak Amira di dalam rumahnya. Saat melihat kamarnya yang masih rapi. Amira kembali bersedih. Ternyata suaminya belum kembali. Wanita itu menangis di atas ranjangnya. Ponsel di dalam tas berbunyi. Amira mengambil benda pipih itu dari dalam tasnya. Lalu menerima panggilan telefon itu. 'Halo kak. Ada apa?" Tanya Amira. Ternyata yang menghubunginya adalah Alisa. Dia hanya ingin memastikan adiknya itu sudah sampai rumah apa belum. Dan setelah memastikan keadaan Amira yang sudah berada di rumahnya. Mereka menutup sambungan telefonnya. "Kamu dimana mas? Kenapa tidak memberi kabar padaku? Kamu pergi ke mana mas?" Amira berbicara sendiri. Seoalah suaminya ada di depannya. Seminggu sudah Amira berada di rumahnya sendirian. Wanita itu benar-benar merasa sedih. Dia ingin bangkit dan bekerja. Dia harus bertahan demi anak di dalam kandungannya. Tok tok tok Suara pintu di ketuk. Amira membukakan pintu. Ternyata kakak dan iparnya yang datang. Wanita itu menyambutnya dengan gembira. "Kak Lisa. Mira kangen banget." Ucap Amira sambil memeluk kakaknya. "Baru seminggu juga. Sudah kangen lagi. Memang aku ini ngangenin." Jawab Alisa. "Idih. PD banget ya istriku ini." Ucap Farel di samping Alisa. "Kalian mau minum apa? Biar aku buatin." Tawar Amira. "Terserah. yang penting seger." Jawab Farel. Amira pergi ke dapur. Membuatkan minuman untuk tamunya. Setelah itu dia membawakan dua gelas es teh untuk kakak dan iparnya itu. Amira duduk di sebelah Alisa. Wanita itu menyandarkan kepalanya di pundak sang kakak. Alisa faham dengan sikap adiknya itu. Pasti sedang menghadapi masalah. Sejak kecil mereka semua hidup bersama. Hanya baru setahun lebih mereka berpisah. Setelah Amira menikah dengan Amar. Sejak itulah kakak beradik itu tidak tinggal bersama lagi. "Ada masalah apa adikku yang jelek ini. Kamu bisa cerita pada kakak!" Ucap Alisa. "Aku boleh minta tolong gak kak?" Tanya Amira. "Kalau aku bisa bantu. Pasti akan ku bantu. Memangnya mau minta tolong apa?" Tanya Alisa. "Aku minta tolong cariin kerjaan. Di rumah sendirian aku merasa jenuh. Aku juga butuh pemasukan untuk kedepannya." Jawab Amira lirih. "Memangnya Amar di mana?" Tanya Alisa dan Farel bersamaan. Mereka berdua sudah lama ingin menanyakan tentang hal ini pada Amira. Tapi waktunya yang belum tepat. Sekarang Amira sudah mulai mengeluh. Barulah mereka akan menanyakan tentang masalah yang sedang di hadapi oleh adiknya itu.Ting tong. Bel pintu rumah berbunyi. Narendra dan Nikil sedang duduk di ruang tengah. Sedangkan Savitri dan Amira membantu Art nya memasak di dapur. "Bi. Tolong bukain pintu! Kayaknya ada tamu." Teriak Narendra sambil asik nonton TV. Begitupun juga Nikil. Dia tidak mau bangkit untuk membuka pintu. Karena tidak mau meninggalkan siaran berita tentang politik. Savitri yang mendengar teriakkan suaminya. Wanita itu melarang Mbok Asih. Art nya yang hendak keluar untuk membukakan pintu. Tapi dia malah menyuruh Amira. "Gak usah mbok! Lanjutin saja masaknya. Biar Amira saja yang membukakan pintu." Ucap Savitri pada Mbok Asih. "Iya nyonya." Jawab Mbok Asih. "Mira. Tolong kamu yang bukain pintu! Sekalian. Setelah itu kamu mandi ya! Biar ini semua mama sama Mbok Asih yang kelarin." Titah Savitri pada Amira. "Iya ma." Jawab Amira. Kemudian wanita itu keluar dari dapur dan menuju ke pintu depan. Saat pintu di buka. Seorang pria dan wanita berpenampilan mewah. Mereka berdua membawa
Narendra melihat Amira berada di belakang Nikil. Wanita itu terlihat lebih cantik dari saat pertama kali bertemu waktu itu. Saat sedang hamil dulu. "Kamu?" Tanya Narendra pada Amira. Pria itu lupa dengan nama wanita itu. "Dia Humaira." Jawab Nikil. "Humaira? Bukankah dia asistenmu? Namanya A, Siapa sih aku lupa." Ucap Savitri. "Dia Amira Humaira. Mahasiswi tercantik di kampus tempat Nikil belajar." Ucap Nikil sambil melirik Amira. Amira bingung dengan apa yang di maksud oleh Nikil. Wanita itu tidak merasa dirinya masih sebagai mahasiswi. Dia sudah bekerja dan sudah menikah. Menjadi seorang ibu rumah tangga. "Oh. Jadi ini orangnya. Yang sudah membuat anakku pindah haluan." Ucap Savitri. Membuat Amira makin bingung dengan yang keluarga ini bicarakan. "Maksud tante apa ya?" Amira bertanya. Wanita itu penasaran dengan apa yang di ucapkan oleh Savitri. "Sudahlah ma! Biarkan Amira istirahat dulu. Ayok Mir! Silakan duduk!" Nikil mempersilakan pada Amira untuk duduk. Tapi wani
"Kenapa kamu menatapku seperti itu?" Tanya Nikil. Amira tersadar dari lamunannya. Wanita itu juga baru sadar kalau dirinya sudah menatap wajah pria di hadapannya tanpa berkedip. "Terimakasih. Kamu sudah peduli denganku." Jawab Amira. "Aku akan selalu peduli padamu. Karena aku mencintaimu." Ucap Nikil membuat Amira tersenyum. Wanita itu yakin bahwa Nikil serius mencintai dirinya. "Jangan berbuat seperti tadi lagi! Aku takut. Takut kehilanganmu untuk kedua kalinya." Bisik Nikil di telinga Amira. Kemudian pria itu mencium leher jenjang wanita itu. Membuatnya merasa geli dan terpancing hasrat. "Jangan menciumiku di situ!" Amira menyuruh Nikil untuk menghentikan ciumannya. Dia takut kalau sampai dirinya terbawa hasrat kemudian melakukan hal yang belum seharusnya. "Kenapa? Kamu tidak suka?" Tanya Nikil. Amira menggeleng bukan karena tidak suka. Justru karena dia sangat menikmatinya dan merasakan ciuman yang selama ini dia rindukan. "Kenapa?" Tanya Nikil lagi. "Aku takut ki
Sudah lebih dari sebulan. Nikil tidak pernah lagi pergi ke rumah sakit untuk bekerja. Pria itu tidak lagi bertugas sebagai Dokter di sana. Dan Amira baru menyadari hal itu. Saat sedang sarapan bersama. Amira bertanya pada Nikil. Tenang pekerjaan mereka berdua di rumah sakit. "Oh ya mas. Kapan kita ke rumah sakit lagi?" Tanyanya. Sekarang Amira sudah memanggil Nikil dengan sebutan mas. "Kamu sedang sakit? Apa yang kamu rasakan? Biar aku periksa." Nikil tidak menjawab pertanyaan Amira. Dia malah panik. Mengira wanita itu sedang sakit. "Tidak. Aku tidak sedang sakit. Tapi kamu kan seorang Dokter. Kamu bekerja di rumah sakit. Sepertinya sudah lama kita tidak bekerja." Amira menjelaskan maksud pertanyaannya. "Oh. Aku kira kamu sakit." Ucap Nikil. Kemudian pria itu melanjutkan menyuapkan makanan ke mulutnya. Amira merasa kesal karena pertanyaannya tidak mendapatkan jawaban. Wanita itu kembali bertanya hal yang sama. "Mas." Panggil Amira. "Iya sayang. Ada apa?" Jawab Nikil.
"Iwa. Apa nyonya belum bangun?" Tanya Nikil pada Iwa Kadek. "Sudah tuan. Tadi yang masak semua ini juga nyonya." Jawab Iwa Kadek. "Tuan di suruh makan duluan saja. Nanti nyonya akan makan sendiri katanya." Ucap Iwa Kadek lagi. "Sekarang nyonya ada di mana?" Tanya Nikil. "Ada di kamar. Tadi bilangnya mau istirahat sebentar." Jawab Iwa Kadek lagi. Nikil mengira kalau Amira sedang sakit. Pria itu tidak jadi makan. Tapi malah kembali ke kamarnya. Kemudian keluar lagi dengan membawa perlengkapan dokternya. Nikil mengetuk pintu kamar Amira dan memanggilnya. Berkali-kali dia memanggil. Tapi tidak ada suara sahutan dari dalam. Pria itu menjadi panik. Takut Amira kenapa-napa. "Mira. Mir. Buka pintunya Mir! Kamu baik-baik saja kan?" Teriak Nikil. Pria itu berusaha mendobrak pintunya. Tapi saat dia akan mendobrak. Amira membuka pintu itu dan akhirnya. Dia malah menabrak Amira. Lalu terdorong dan terjatuh. Nikil menindih tubuh Amira. Wanita itu meringis kesakitan. Karena tertimp
"Siapa yang datang Iwa?" Tanya Amira dan Nikil bersamaan. "Namanya Shella dan calon suaminya." Jawab Iwa Kadek. "Oh iya. Suruh mereka masuk!" Titah Amira. Nikil masuk ke kamarnya. Pria itu mau mandi dulu. Karena merasa badannya bau amis karena setelah mencuci udang tadi. Amira ke ruang tamu. Menyambut kedatangan temannya itu. Wanita itu terlihat sangat bahagia bertemu dengannya. "Shella. Apa kabar?" Ucap Amira sambil memeluknya. "Kabarku baik. Kamu sendiri gimana?" Tanya Sella. "Seperti yang kamu lihat." Jawab Amira. "Kamu nampak lebih baik di banding saat terakhir kita bertemu." Ucap Sella. "Oh ya?" Ucap Amira. "Iya. Beneran." Jawab Shella. "Kenalin. Ini Nandito. Calon suamiku." Shella memperkenalkan calon suaminya pada Amira. Setelah saling berkenalan. Mereka duduk di sofa. Kemudian Nikil datang. Pria itu sudah mandi dan mengganti baju santai yang lain. "Ada tamu rupanya." Ucap Nikil. "Iya mas. Ini temanku namanya Shella. Dan ini Nandito. Calon suaminya."