Share

Fifth

Lima hari sebelum pindah

Dasi memanjang sempurna dari kerah baju Reno. Rambutnya diusap ke belakang. Parfum mewangi dalam kamarnya. Bajunya tak ia masukkan ke dalam celana. Digendongnya tas berwarna biru tua. Dan me nginjakkan kaki di tepi teras.

“Reno berangkat dulu, Ma.” Reno mengecup punggung mamanya.

“Sarapan dulu, Ren!” kata mama Reno.

“Enggak, Ma, nanti saja di sekolah.” Jawab Reno dengan senyumannya.

“Ya sudah, hati-hati!”

“Iya, Ma..”

Langkah Reno semakin menjauh dari rumahnya. Hingga ia menemukan angkot yang terparkir di pinggir jalan raya.

“Aku udah berangkat.” Reno mengirimi Vania pesan.

Lampu kamar Vania masih menyala. Wajahnya yang semrawut bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri hingga ia telah mengenakan seragam sekolahnya. Tangannya meraih HP-nya. Dan mendapati pesan dari Reno.

“Aku juga baru mau berangkat.” Balas Vania.

“Oke.” Tak lama, balasan dari Reno terbaca.

Cakrawala menjemput pertemuan mereka. Sejak pertama, memang ini yang Vania inginkan. Senyum terlihat dari bibir Vania. Reno menunjukkan rasa bahagianya. Sela jari mereka saling menyatu. Membentuk satu genggaman. Mata mereka saling menatap. Dan senyum. Langkah keduanya saling melengkapi.

“Ciiieeee.. ada yang lagi kasmaran, nih..” sambut Lisda yang sedang berdiri di depan kelas.

Keduanya kemudian saling melepas genggaman. Tak ingin orang lain tahu tentang hubungan mereka.

“Oke, Van. Aku ke toilet dulu, ya?”

“Iya, Ren.”

Langkah Vania terlihat ragu memasuki ruang kelas. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda di sana. Suasananya lain.

Good morning, Van.” Sapa Rsya dengan senyuman paginya.

“Pagi, Ras.” Jawab Vania sambil menyimpan tas di bangkunya.

“Kamu sakit apa kemarin?” tanya Rasya sambil memutar-mutar pensl kesayangannya.

“Enggak tahu, Ras. Kemarin badan aku panas banget.” Jawab Vania sambil mengusap-usap dahinya.

“Oh. Kecapean kali, kamu kan abis pulang kumpulan PMR ya kemarin?”

“Iya, kali. Tapi enggak lama-lama amat tuh kumpulan. Enggak capek juga.”

“Hahaha... pengen kawin kali, Lu.” Sambar Riri yang baru datang dan duduk di samping Vania.

“Ya kali.” Vania memutar bola matanya.

“Gimana? Udah enakan, Van?” tanya Riri.

“Lumayan, lah.”

Di ujung kelas, Lastri terlihat murung. Ada sesuatu yang terjadi dalam hatinya. Ada kecemasan pula di wajahnya.

“Las..” Sapa Reno.

“Iya, Ren?” Lastri cukup gugup.

Reno hanya senyum dan berlalu meninggalkannya. Reno duduk di bangkunya sambil menatap mata Vania. Riri dan Rasya merasa ada sesuatu yang berbeda di antara mereka.

“Ada apa nih? Mencurigakan banget.” Riri bolak-balik menatap mata Vania dan Reno.

“Kayak enggak ngerti orang kasmaran aja.” Timpal Rasya sambil memukul jari Riri pakai pensilnya.

“Isssh.. sakit, Ras.” Riri mencubit tangan Rasya.

Sorry.. sorry..”

Jam dinding menunjukkan waktu yang dirasa semakin lambat. Vania merasa terlalu lama untuk berada dalam kelas. Ia ingin segera ke markas anak PMR (UKS).

Siang itu, pukul tiga belas, Vania bergegas menuju ruang UKS. Sebagai anak PMR, ia selalu mengecek kelengkapan ruang tersebut. Mulai dari kebersihan hingga peralatan yang memadai. Tak lupa juga ia selalu menciptakan pelayanan terbaik bagi semua pihak sekolah.

“Kotak P3K masih aman, De?” tanya Aldo, ketua PMR di sekolah itu.

“Sejak kapan Kakak di sini?” tanya Vania sambil mengecek kotak P3K.

“Kakak baru saja dari perpustakaan. Kebetulan lihat kamu kesini.”

“Ini, obat merah sudah mau habis. Pembalut luka juga tinggal sedikit.” Vania menunjukkan obat merah dan pembalut luka yang tersimpan di kotak tersebut.

“Rivanol masih ada?” Aldi mendekati Vania.

“Masih setengahnya, Kak. Apa lebih baik kita beli lagi untuk cadangan?” Vania duduk di kursi. Menyimpan kotak P3K dalam pangkuannya.

“Coba kamu minta Reno untuk belikan!”

Hati Vania merasa tersentak mendengar nama itu. Ia hanya bengong melihat Aldo yang tak berhenti menggulung kain pembalut luka.

“Iya, Kak.”

“Kamu pacaran sama Reno?” tanya Aldo.

“Nngg... Enggak. Kenapa emang?”

“Cocok sih.”

“Ah, Kakak ini..” ucap Vania sambil menyimpan kotak P3K di tempat semula.

Dari luar sana, ketuk kaki terdengar merdu. Seseorang mendekati ruang UKS, dan semakin mendekat. Pintu ruangan kini terbuka lebar. Berdiri di sana si pria bermata hijau.

“Ren?” sapa Aldo.

“Kak..” Reno menjabat tangan sang senior.

“Nanti pulang dari sekolah, kamu beli kekurangan kotak P3K, ya?” ucap Aldo sambil beranjak mengambil kotak P3K.

“Apa saja, Kak?” tanya Reno sambil melepas jaketnya.

“Rivanol dua, obat merah dua, pembalut luka, kasa pembalut, kapas juga tambahin aja.” Kata Aldo sambil mengecek satu per satu.

“Siap, Kak.” Ucap Reno sambil menatap Vania yang tak berhenti menunduk.

“Nanti kita undang teman-teman yang lainnya untuk besok apel pagi. Coba kalian berdua sebar ke semua member! Ada yang ingin saya sampaikan besok.” Ucap Aldo sambil menyimpan kembali kotak P3K.

“Siap, Pak Ketua!” ucap Reno.

“Saya pulang duluan, ya. Kalian hati-hati di sini! Takut baper.” Goda Aldo dalam pamitnya.

Vania langsung mengangkat kepalanya. Matanya terbelalak menatap Aldo dan tertawa dengan sedikit rasa malu.

“Kakak, ih.” Vania nyengir.

“Ya udah, saya pamit.” Ucap Aldo sambil menjabat tangan kedua juniornya.

Angin berhembus. Menerpa jendela yang tertutup tirai putih dan menerbangkannya. Cahaya mengintip dari luar. Menggerakkan pintu yang terbuka setengahnya. Terdengar di luar sana suara-suara orang yang sedang berkumpul di lapangan olahraga. Rupanya anak pramuka sedang mengadakan meeting terik.

Vania hanya diam menatap tandu yang tergeletak di dekat meja kesehatan. Sedang Reno hanya menyilangkan tangannya di dada dan memperhatikan Vania.

“Ke kantin, yuk?” ajak Reno.

“Beli apa?” Vania menoleh.

“Minuman?”

“Minuman apa?” Vania memicingkan matanya.

“Kamu maunya apa?”

“Cokelat dingin sepertinya enak?” Vania nyengir.

“Yakin?”

“Iya.”

“Ya sudah, yuk?” Reno berdiri mengulurkan tangannya pada Vania.

“Kamu saja, aku nunggu disini.”

“Kok?”

“Aku malu diliatin orang-orang.”

“Oh, oke!” Reno melangkahkan kakinya untuk pergi dari ruangan tersebut.

Angin masih berhembus menerpa jendela dan pintu. Suara di luar masih terdengar riuh. Vania merasa kurang baik untuk menyaksikan derita para pemburu terik mentari hari ini. ia hanya diam dalam ruang UKS sambil menunggu Reno membawakannya satu cup minuman cokelat dingin kesukaannya.

Lelaki itu kembali lagi dengan cepat. Di tangannya sudah ada minuman pesanan Vania dan memberikannya pada Vania.

“Waaah, terimakasih Kakak Ganteng.” Ucap Vania sambil tersenyum dan menyeruput cokelat dinginnya.

“Sama-sama.” Ucap Reno sambil memutar bola matanya.

“Kita nyari perlengkapan UKS, yuk?” ajak Reno.

“Kemana?” Vania menatap mata Reno.

“Ke hatimu.” Reno mulai menggoda.

“Ih, dasar.” Vania menyunggingkan bibir atasnya.

“Apa?” Reno mengangkat kedua alisnya.

“Enggak.” Vania memutar bola matanya.

“Mmmmhh..” Reno mengembangkan hidungnya.

“Kenapa?” Dahi Vania mengerut.

“Enggak apa-apa.” Reno mengangkat bahunya.

“Yakin?” Vania mendekatkan tubuhnya pada Reno.

“Ya, yakini aja.” Reno melakukan hal yang sama dengan Vania.

“Ih.” Vania menjauhkan tubuhnya.

“Takut, ya?” Reno menggoda lagi.

Tawa kecil diantara keduanya mengisi ruang UKS. Pukul 15.00 tepatnya, mereka berkelana mencari barang yang harus mereka beli. Jalanan menjadi cerita terbaik untuk dua sejoli yang sedang dirundung kasmaran. Debu tak mereka pedulikan. Waktu tak mereka perhitungkan. Rasa lelah tak mereka ributkan. Semua terkalahkan rasa bahagia yang mereka miliki. Dunia serasa menjadi milik mereka berdua. Seperti yang selalu guru mereka katakan bahwa orang lain hanya penghuni yang mengontrak di bumi ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status