Share

Fourth

Author: Sarahyo
last update Last Updated: 2021-08-02 02:50:16

Enam hari sebelum pindah

Entah ada apa. Hari ini Vania tak dapat membuka kedua matanya. Semua terasa berat. Badannya sedikit menggigil dan suhu tubuhnya cukup panas. Ya, Vania sakit. Namun, Vania berusaha membuka kedua matanya perlahan. Ia harus mengabari teman sekelasnya bahwa ia tidak bisa masuk sekolah karena sakit.

“Las, hari ini aku enggak masuk sekolah. Aku sakit.” Vania melayangkan pesan singkatnya pada Lastri.

Ddrrrrrtttt..drrrrttt

Lastri bergegas membuka HP-nya.

“Pasti Reno!” senyumnya merekah sempurna.

Senyumnya kembali menepi saat melihat nama kontak ‘Vania’ bukan ‘Reno’.

“Iya, tidak apa-apa, Van. Lekas sembuh, ya.. nanti aku sampaikan ke guru yang dapat jadwal di kelas kita hari ini.” Balas Lastri.

Senyum Latri kembali melambung. Meskipun tak mendapat balasan apa-apa dari Reno, setidaknya hari ini ia bebas berdekatan dengan Reno.

Jam tujuh lebih lima belas tepatnya, Reno tak kunjung datang. Kelas mulai terasa riuh. Suasananya kurang baik bagi Lastri. Ia hawatir Reno pun tidak masuk.

 Langit tak menunjukkan teriknya. Pagi itu langit terlihat temaram. Ribuan warna memudar. Lastri semakin hawatir Reno tidak masuk sekolah.

“Kamu dimana?” Lastri mengirimi Rreno pesan.

“Aku lagi nunggu angkot.” Reno membalas.

Lastri mengembangkan pipi dan hidungnya. Tanda rasa bahagia terpasang dalam dadanya.

“Mau aku jemput?”

“Boleh.”

“Oke.”

“Sip.”

Langkah bahagia mengiringi ketukan pagi itu. Tak peduli akan kesiangan atau tidak, hal terpenting dalam hidup Lastri segera ia temui.

“Ras, gue jemput Reno dulu, ya...” Lastri menyambar kunci motor yang tersimpan di atas meja. “Katanya dia lagi nunggguin angkot, kasihan.” Sambungnya sambil berlalu meninggalkan kelas.

Rasya hanya diam memandang temannya yang sedang terlihat aneh itu.

On the way, Ren.” Klik send.

“Las, gue udah di angkot. Lu gak usah jemput!”

Dada Lastri terdiam seketika. Degup jantungnya seakan tak terdengar lagi. Tak terasa kunci motor jatuh begitu saja. Ada kecewa yang tak dapat ia ucapkan lagi. Ia hanya berdiri mematung di depan ratusan motor yang terparkir di sana.

Langkah gontai kini menghabisi tubuh Lastri. Ia tak dapat menahan rasa kecewanya. Namun apa daya, dirinya tak dapat melakukan apapun lagi selain menerima kenyataan bahwa ia tak akan mendapat kesempatan emas itu.

“Kenapa balik lagi, Las?” tanya Rasya.

“Gak apa-apa.” Jawab Lastri dengan datar.

“Sabar, ya, cinta itu memang butuh perjuangan dan pengorbanan.” Rasya tersenyum menggoda Lastri.

“Apa maksudmu?” Lastri mengembangkan hidungnya, pertanda ia marah.

Waktu tertitip pada sayap kupu-kupu yang terbang di depan kelas. Lastri hanya menatapnya dengan sendu. Kecewa itu masih dirasakannya. Tembok menjadi satu rahasia yang menyalahkan matahari yang bergegas pergi di sore nanti.

Wangi strawberry menyusup ke sela jendela dan pintu. Sapaan pada satu nama yang Lastri rindukan terdengar dari luar. Batang hidungnya terlihat juga. Tanpa salam, Reno duduk di bangkunya di samping Rasya.

“Vania kemana?” Reno menoleh ke arah bangku Vania yang tepat berada di belakang bangkunya.

“Sakit.” Jawab Riri, teman sebangkunya Vania.

Lastri mendengar ucapan itu dengan marah yang tak dapat ia ungkapkan.

Reno duduk dengan tenang. Menelan ludah dengan berat. Ia mencoba untuk menetralkan rasa lelahnya setelah setengah jam naik angkutan umum. Kini Reno tertunduk mengetik sesuatu di kolom pesannya.

“Kamu sakit apa?” pesannya pada Vania.

“Vania sakit apa kira-kira, Ren?” tanya Rasya pada Reno.

“Kurang tahu. Oh ya, gimana tugas PLH lu?” Reno mencoba mengalihkan.

Done!” Rasya mengacungkan jempol seraya senyum.

“Oke.” Jawab Reno dengan singkat.

“Responnya gitu amat.” Rasya menyunggingkan bibir.

“Hahahaha... elu gitu terus. Terus gue mesti gimana?” Reno tertawa dan menepuk jidatnya sendiri.

“Hahaha.. gak apa-apa, bercanda, kok.”

Suasana kelas kembali riuh saat mendengar ketuk kaki seorang guru. Pak Darmawan dengan gaya rambutnya yang mengkilap telah menghipnotis semua siswa untuk benar-benar duduk rapi di bangku masing-masing.

Good morning!” Sapa Pak Darmawan sambil berlalu ke tempat duduk guru. “Gimana tugasnya?” sambungnya sambil mencoba untuk memeriksa kesiapan siswa yang akan belajar dengannya.

“Selesai, Pak!” jawab siswa serentak.

“Vania kemana, Ren?” tanya Pak Darmawan.

Hati Lastri semakin menggebu. Rasa cemburu itu semakin melekat dalam tubuhnya.

“Sakit, Pak.”

“Oh, ya. Semoga lekas sembuh.” Kata Pak Darmawan sambil mengangguk-angguk.

Waktu tak menyisakan kebersamaan apapun antara Lastri dengan Reno. Hingga jam istirahat telah datang. Semua siswa bergegas keluar kelas. Hanya Lastri dan Reno yang tersisa. Dilihat dengan jeli HP milik Reno. Tak ada tanda apapun bahwa Vania membalas pesan Reno.

“Ren,” Lastri menyapa Reno yang tertunduk memperhatikan HP-nya.

“Ya?”

“Ke kantin, tuk?”

“Malas, ah.”

“Ke perpus?”

“Kau saja, lah.”

“Atau ke UKS?”

“Nanti saja sama anak PMR lainnya.”

“Tadi sarapan dulu, enggak?”

“Enggak.”

“Gue bawain makan buat Lo.” Latri menghampiri tasnya dan mengeluarkan roti rasa cokelat dari sana.

“Gue enggak lapar, Las. Mending Lo makan aja rotinya.” Dengan dinginnya, Reno pergi meninggalkan Lastri sendiri.

Meja menjadi penampung amarah gadis yang sedang mencemburui kerinduannya. Tangannya memukul-mukul meja itu.

“Kenapa sih, Ren?” teriaknya.

Tetes air mata menghangatkan kedua pipi gadis itu. Ditangisinya rasa sakit yang ia rasa sulit untuk disembuhkan.

“Van, kamu kenapa? Ada yang salah dengan aku? Maafkan aku, ya..” Reno mengirimi Vania pesan.

Atap kamar menjadi pemandangan yang dapat Vania tatap. Tubuhnya sulit untuk bergerak.

Ddrrrtttt.....ddrrrrttt

HP-nya bergetar. Vania berusaha meraih HP-nya. Menatap pesan Reno dengan datar.

“Aku baik-baik saja, Ren. Aku hanya gak enak badan.” Klik send!

“Syukurlah kalau kamu baik-baik saja.”

“Gimana tugas aku?”

“Tugas kamu sudah terkumpul. Tenang saja! Jangan pikirkan apapun!”

Thanks.”

“Sama-sama. Lekas sembuh, ya. Semua terasa serba salah tanpa kamu.”

Vania tersenyum membaca pesan Reno. Lalu Vania menelpon lelaki yang telah membuatnya tersenyum itu.

“Ren,” ucapnya sambil tersenyum.

“Ya?”

“Kayaknya aku sembuh.” Kata Vania sambil meyentuh dahinya.

“Kok cepet sekali?”

“Gak seneng, ya, aku sembuh?” Vania memanyunkan bibirnya.

“Hahahah.. bukan gitu, kan kamu sakit.”

“Sembuh kalau digombalin kamu.”

“Ishhhh..”

“Ya sudah, aku mau tidur dulu, ya. Kamu jangan minggat-minggat lagi dari sekolah!”

“Iya,”

“Dah anak malaas..”

“Dah anak manja..”

Senyum terhias di wajah mereka. Pohon mangga kembali menjadi saksi jatuhnya hati seorang Reno. Angin mendengus sederhana. Menepuk wajah Reno yang bersenandung di siang itu. Cakrawala menyala seperti perasaan mereka. Tetapi di samping itu, kelabu mengabut di wajah Lastri. Reno tak peduli.

Lalu lalang siswa lainnya tak menjadi halangan apapun bagi seorang Reno yang merasa telah menempatkan hatinya pada sehelai daun yang selalu melambai dalam tangkai cintanya. Kini mereka merasa telah menjadi sepasang kekasih yang tak dapat dipisahkan dengan apapun.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mencarimu dalam Bimbang   Entah

    Tanganku menyentuh punggung besi pembatas jalan. Tatapanku berpaling pada bukit yang terlihat asri yang terhias sungai cantik yang mengalir di sana. Ku rasakan gemuruh itu lebih menusuk jantung yang dibuat berdegup sakit oleh seseorang yang kini mengikutiku dengan tangan menyentuh besi pembatas jalan. Tubuhnya yang bersandar, memandang tubuhku yang sedang menikmati sore bersama seseorang yang akan membuat hatiku lebih sakit lagi suatu saat nanti.“Kamu tidak cantik, tapi aku mencintaimu dengan hati yang tak dapat kau lihat. Aku tidak kaya, semua yang ku miliki adalah milik orang tuaku dan itu semua hanya titipan Tuhan.”Kemeja abu tua dengan kancing yang terbuka, menunjukkan kaos abu muda yang dikenakannya. Tangannya terlihat kedinginan, warna ungu yang terhias pada kulit merahnya terlihat mengganggunya. Dan dengan cepat ia memasukkan tangan ke saku celananya.Tampan sekali, tapi kamu bukan untukku.Hatiku berucap kata dengan rasa sa

  • Mencarimu dalam Bimbang   Ke kampus

    “Aku pulang, ya?”Ia hanya mengangguk dengan tatapan tak lepas dari tubuhku yang beranjak pergi meninggalkannya sendiri. Ketika kaki melangkah lebih jauh dari mobil yang terparkir dan masih menyala itu, ku lihat mobil itu masih terdiam dengan sendirinya. Tak ada tanda-tanda segera pergi meninggalkanku yang kan berlalu meninggalkannya terlebih dahulu.Sore kan segera hilang, mobil yang ku harap segera pergi itu tak jua meninggalkanku. Aku mencoba kembali melangkahkan kaki untuk segera menghampirinya. Senyum yang terhias di bibirnya, menatapku yang kembali mendekat padanya. Kaca mobil yang terketuk membuat jari telinjuknya segera memencet tombol untuk membukakan kaca untukku.“Ada apa? Masih kangen sama aku?” Godanya dengan mata nakal yang berkedip bersama senyumannya.“Aku hanya penasaran. Kenapa kamu masih di sini?”Tanganku mencoba untuk menelusuri tombol hitam untuk ku buka kunci pintu mobil yang masih terdiam bersama pe

  • Mencarimu dalam Bimbang   Jembatan

    “HATI INITELAH IA BAWA PERGIBERSAMAKESEMUASenyum cemara dalam rumpun cerita yang melihatku begitu sendu. Ku lihat bibirnya begitu manis. Bagai perasan anggur yang tertuang dalam cawan emas.Aku terduduk di sebuah mobil yang baru saja membawaku bersuka ria melewati bukit-bukit senyuman. Membawa mata untuk menyaksikan keindahan yang Tuhan anugerahkan, hamparan awan yang menutupi kepingan kota. Lambai daun yang masih tersisa di pinggir jalan menemaniku yang semakin menyerah untuk bertahan. Rasa lelah yang tiba-tiba memeluk tak menghancurkan jalan yang tak jua membiarkan roda yang membawaku menyentuh punggungnya.“Aku ingin menikah. Tidak pacaran terus seperti ini.”Adrian tersentak mendengar apa yang aku katakan dengan raut yang dilihatnya begitu datar.“Ada apa? Apa yang kamu pikirkan?”“Aku ingin kamu lamar aku. Jangan banyak alasan untuk hal ini!”

  • Mencarimu dalam Bimbang   Salam

    Langkah kakiku ku lihat begitu bergetar ketika kesulitan datang menyelubunginya. Penantian yang sungguh membelenggu kakak perempuanku benar-benar tak dapat ia pupus dengan air mata yang dibiarkannya terjatuh begitu saja. Tanganku pun menikmati getar, bagai kekokohan sebuah tiang yang berdiri di atas tanah yang segera ambruk, menjatuhkan segala sesuatu yang ditopangnya.Menghela nafas sedalam samudera hindia untuk sekejap menghirup debu yang penuh dengan alunan kematian dan rasa sakit yang kan meresap pada tubuh yang kian menikmatinya. Di antara langit yang terjunjung senyum yang selalu terenyuh bersama kebahagiaan, dan di antara bumi yang terpijaki kedamaian ketika tertunduk, merasa tersakiti dengan kehancuran semesta. Terlihat celah membelah batuan kebahagiaan. Seperti sebuah jurang yang menyimpan berjuta kesengsaraan. Ada cinta yang terhirup, menghitamkan dada yang dibuat pulas ketika mimpi memeluk mata yang tertidur. Surya meng

  • Mencarimu dalam Bimbang   Puisi

    Irama keyword terus berkerlik, mengetuk pintu tombol huruf demi huruf, hingga tersurat gagasan cantik penuh rima.Seketika tongkat penopang amarah runtuh. Purnama itu terluka. Diam-diam geram merenggut keteguhan jiwa yang siap merana. Angin sejuk terhirup sesaat, ketika sesuatu tengah memberatkan beban yang ku pikul dengan benak yang lemah, purnama yang selalu ku puisikan.Hati ini tak pernah tegar, seringkali sedih berpangku pada nyanyian sukma yang terus mengganggu akal, nalar, dan pikiran yang penuh dengan rimbunan daun-daun kebutaan.Terlarut dalam kerasnya tantangan hukum dunia yang penuh dengan kebiadaban, aku terkalahkan. Aku tak mengerti dengan semua tuntutan kehidupan yang sungguh membebani.Daun-daun bertanya pada tumpukan kerinduan yang terdengar hampa.Aku milik siapa?Ombak yang membuat semua kegaduhan di hamparan samudera, tak menjawab apapun untuk lambaian nyiur yang tak bersuara.Aku butuh seseorang yan

  • Mencarimu dalam Bimbang   Kakak

    Ku saksikan senja di tengah kota. Terduduk lesu dalam kelajuan roda di sore yang buta. Suara kendaraan tak lagi ku perhatikan, hanya rambu-rambu jalan yang ku jadikan sebagai tempat ku bertukar cerita, cerita yang begitu menyakitkan.Masih dalam detik kehilangan senja yang sungguh melelahkan. Menyambut kesedihan yang mengundang. Jingga menyalami langit yang menceritakan masalah tentang lepasnya penantian. Kecemasan tenggelam dalam kelam, hingga tiada rasa percaya, bahwa roda akan berputar, dan cahaya terang akan dating bersama rembulan yang menemani malam di tengah rumpun keramaian.Gerutu yang berkecamuk membakar suara kota. Gemuruhnya lenyap ditelan kepedihan. Lelahku siap menjemput malam. Hanya Jangkrik yang berderik di atas pohon yang berdiri di atas kekokohan trotoar. Tiang-tiang tak menghentikan kekacauan. Kehancuran seolah membunuh dan hatiku tiada hentinya mengeluh.Dalam kegelisahan yang mengutuk. Aku hanya diam, menyesali apa yang sudah terjadi.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status