Share

Fourth

Enam hari sebelum pindah

Entah ada apa. Hari ini Vania tak dapat membuka kedua matanya. Semua terasa berat. Badannya sedikit menggigil dan suhu tubuhnya cukup panas. Ya, Vania sakit. Namun, Vania berusaha membuka kedua matanya perlahan. Ia harus mengabari teman sekelasnya bahwa ia tidak bisa masuk sekolah karena sakit.

“Las, hari ini aku enggak masuk sekolah. Aku sakit.” Vania melayangkan pesan singkatnya pada Lastri.

Ddrrrrrtttt..drrrrttt

Lastri bergegas membuka HP-nya.

“Pasti Reno!” senyumnya merekah sempurna.

Senyumnya kembali menepi saat melihat nama kontak ‘Vania’ bukan ‘Reno’.

“Iya, tidak apa-apa, Van. Lekas sembuh, ya.. nanti aku sampaikan ke guru yang dapat jadwal di kelas kita hari ini.” Balas Lastri.

Senyum Latri kembali melambung. Meskipun tak mendapat balasan apa-apa dari Reno, setidaknya hari ini ia bebas berdekatan dengan Reno.

Jam tujuh lebih lima belas tepatnya, Reno tak kunjung datang. Kelas mulai terasa riuh. Suasananya kurang baik bagi Lastri. Ia hawatir Reno pun tidak masuk.

 Langit tak menunjukkan teriknya. Pagi itu langit terlihat temaram. Ribuan warna memudar. Lastri semakin hawatir Reno tidak masuk sekolah.

“Kamu dimana?” Lastri mengirimi Rreno pesan.

“Aku lagi nunggu angkot.” Reno membalas.

Lastri mengembangkan pipi dan hidungnya. Tanda rasa bahagia terpasang dalam dadanya.

“Mau aku jemput?”

“Boleh.”

“Oke.”

“Sip.”

Langkah bahagia mengiringi ketukan pagi itu. Tak peduli akan kesiangan atau tidak, hal terpenting dalam hidup Lastri segera ia temui.

“Ras, gue jemput Reno dulu, ya...” Lastri menyambar kunci motor yang tersimpan di atas meja. “Katanya dia lagi nunggguin angkot, kasihan.” Sambungnya sambil berlalu meninggalkan kelas.

Rasya hanya diam memandang temannya yang sedang terlihat aneh itu.

On the way, Ren.” Klik send.

“Las, gue udah di angkot. Lu gak usah jemput!”

Dada Lastri terdiam seketika. Degup jantungnya seakan tak terdengar lagi. Tak terasa kunci motor jatuh begitu saja. Ada kecewa yang tak dapat ia ucapkan lagi. Ia hanya berdiri mematung di depan ratusan motor yang terparkir di sana.

Langkah gontai kini menghabisi tubuh Lastri. Ia tak dapat menahan rasa kecewanya. Namun apa daya, dirinya tak dapat melakukan apapun lagi selain menerima kenyataan bahwa ia tak akan mendapat kesempatan emas itu.

“Kenapa balik lagi, Las?” tanya Rasya.

“Gak apa-apa.” Jawab Lastri dengan datar.

“Sabar, ya, cinta itu memang butuh perjuangan dan pengorbanan.” Rasya tersenyum menggoda Lastri.

“Apa maksudmu?” Lastri mengembangkan hidungnya, pertanda ia marah.

Waktu tertitip pada sayap kupu-kupu yang terbang di depan kelas. Lastri hanya menatapnya dengan sendu. Kecewa itu masih dirasakannya. Tembok menjadi satu rahasia yang menyalahkan matahari yang bergegas pergi di sore nanti.

Wangi strawberry menyusup ke sela jendela dan pintu. Sapaan pada satu nama yang Lastri rindukan terdengar dari luar. Batang hidungnya terlihat juga. Tanpa salam, Reno duduk di bangkunya di samping Rasya.

“Vania kemana?” Reno menoleh ke arah bangku Vania yang tepat berada di belakang bangkunya.

“Sakit.” Jawab Riri, teman sebangkunya Vania.

Lastri mendengar ucapan itu dengan marah yang tak dapat ia ungkapkan.

Reno duduk dengan tenang. Menelan ludah dengan berat. Ia mencoba untuk menetralkan rasa lelahnya setelah setengah jam naik angkutan umum. Kini Reno tertunduk mengetik sesuatu di kolom pesannya.

“Kamu sakit apa?” pesannya pada Vania.

“Vania sakit apa kira-kira, Ren?” tanya Rasya pada Reno.

“Kurang tahu. Oh ya, gimana tugas PLH lu?” Reno mencoba mengalihkan.

Done!” Rasya mengacungkan jempol seraya senyum.

“Oke.” Jawab Reno dengan singkat.

“Responnya gitu amat.” Rasya menyunggingkan bibir.

“Hahahaha... elu gitu terus. Terus gue mesti gimana?” Reno tertawa dan menepuk jidatnya sendiri.

“Hahaha.. gak apa-apa, bercanda, kok.”

Suasana kelas kembali riuh saat mendengar ketuk kaki seorang guru. Pak Darmawan dengan gaya rambutnya yang mengkilap telah menghipnotis semua siswa untuk benar-benar duduk rapi di bangku masing-masing.

Good morning!” Sapa Pak Darmawan sambil berlalu ke tempat duduk guru. “Gimana tugasnya?” sambungnya sambil mencoba untuk memeriksa kesiapan siswa yang akan belajar dengannya.

“Selesai, Pak!” jawab siswa serentak.

“Vania kemana, Ren?” tanya Pak Darmawan.

Hati Lastri semakin menggebu. Rasa cemburu itu semakin melekat dalam tubuhnya.

“Sakit, Pak.”

“Oh, ya. Semoga lekas sembuh.” Kata Pak Darmawan sambil mengangguk-angguk.

Waktu tak menyisakan kebersamaan apapun antara Lastri dengan Reno. Hingga jam istirahat telah datang. Semua siswa bergegas keluar kelas. Hanya Lastri dan Reno yang tersisa. Dilihat dengan jeli HP milik Reno. Tak ada tanda apapun bahwa Vania membalas pesan Reno.

“Ren,” Lastri menyapa Reno yang tertunduk memperhatikan HP-nya.

“Ya?”

“Ke kantin, tuk?”

“Malas, ah.”

“Ke perpus?”

“Kau saja, lah.”

“Atau ke UKS?”

“Nanti saja sama anak PMR lainnya.”

“Tadi sarapan dulu, enggak?”

“Enggak.”

“Gue bawain makan buat Lo.” Latri menghampiri tasnya dan mengeluarkan roti rasa cokelat dari sana.

“Gue enggak lapar, Las. Mending Lo makan aja rotinya.” Dengan dinginnya, Reno pergi meninggalkan Lastri sendiri.

Meja menjadi penampung amarah gadis yang sedang mencemburui kerinduannya. Tangannya memukul-mukul meja itu.

“Kenapa sih, Ren?” teriaknya.

Tetes air mata menghangatkan kedua pipi gadis itu. Ditangisinya rasa sakit yang ia rasa sulit untuk disembuhkan.

“Van, kamu kenapa? Ada yang salah dengan aku? Maafkan aku, ya..” Reno mengirimi Vania pesan.

Atap kamar menjadi pemandangan yang dapat Vania tatap. Tubuhnya sulit untuk bergerak.

Ddrrrtttt.....ddrrrrttt

HP-nya bergetar. Vania berusaha meraih HP-nya. Menatap pesan Reno dengan datar.

“Aku baik-baik saja, Ren. Aku hanya gak enak badan.” Klik send!

“Syukurlah kalau kamu baik-baik saja.”

“Gimana tugas aku?”

“Tugas kamu sudah terkumpul. Tenang saja! Jangan pikirkan apapun!”

Thanks.”

“Sama-sama. Lekas sembuh, ya. Semua terasa serba salah tanpa kamu.”

Vania tersenyum membaca pesan Reno. Lalu Vania menelpon lelaki yang telah membuatnya tersenyum itu.

“Ren,” ucapnya sambil tersenyum.

“Ya?”

“Kayaknya aku sembuh.” Kata Vania sambil meyentuh dahinya.

“Kok cepet sekali?”

“Gak seneng, ya, aku sembuh?” Vania memanyunkan bibirnya.

“Hahahah.. bukan gitu, kan kamu sakit.”

“Sembuh kalau digombalin kamu.”

“Ishhhh..”

“Ya sudah, aku mau tidur dulu, ya. Kamu jangan minggat-minggat lagi dari sekolah!”

“Iya,”

“Dah anak malaas..”

“Dah anak manja..”

Senyum terhias di wajah mereka. Pohon mangga kembali menjadi saksi jatuhnya hati seorang Reno. Angin mendengus sederhana. Menepuk wajah Reno yang bersenandung di siang itu. Cakrawala menyala seperti perasaan mereka. Tetapi di samping itu, kelabu mengabut di wajah Lastri. Reno tak peduli.

Lalu lalang siswa lainnya tak menjadi halangan apapun bagi seorang Reno yang merasa telah menempatkan hatinya pada sehelai daun yang selalu melambai dalam tangkai cintanya. Kini mereka merasa telah menjadi sepasang kekasih yang tak dapat dipisahkan dengan apapun.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status