Enam hari sebelum pindah
Entah ada apa. Hari ini Vania tak dapat membuka kedua matanya. Semua terasa berat. Badannya sedikit menggigil dan suhu tubuhnya cukup panas. Ya, Vania sakit. Namun, Vania berusaha membuka kedua matanya perlahan. Ia harus mengabari teman sekelasnya bahwa ia tidak bisa masuk sekolah karena sakit.
“Las, hari ini aku enggak masuk sekolah. Aku sakit.” Vania melayangkan pesan singkatnya pada Lastri.
Ddrrrrrtttt..drrrrttt
Lastri bergegas membuka HP-nya.
“Pasti Reno!” senyumnya merekah sempurna.
Senyumnya kembali menepi saat melihat nama kontak ‘Vania’ bukan ‘Reno’.
“Iya, tidak apa-apa, Van. Lekas sembuh, ya.. nanti aku sampaikan ke guru yang dapat jadwal di kelas kita hari ini.” Balas Lastri.
Senyum Latri kembali melambung. Meskipun tak mendapat balasan apa-apa dari Reno, setidaknya hari ini ia bebas berdekatan dengan Reno.
Jam tujuh lebih lima belas tepatnya, Reno tak kunjung datang. Kelas mulai terasa riuh. Suasananya kurang baik bagi Lastri. Ia hawatir Reno pun tidak masuk.
Langit tak menunjukkan teriknya. Pagi itu langit terlihat temaram. Ribuan warna memudar. Lastri semakin hawatir Reno tidak masuk sekolah.
“Kamu dimana?” Lastri mengirimi Rreno pesan.
“Aku lagi nunggu angkot.” Reno membalas.
Lastri mengembangkan pipi dan hidungnya. Tanda rasa bahagia terpasang dalam dadanya.
“Mau aku jemput?”
“Boleh.”
“Oke.”
“Sip.”
Langkah bahagia mengiringi ketukan pagi itu. Tak peduli akan kesiangan atau tidak, hal terpenting dalam hidup Lastri segera ia temui.
“Ras, gue jemput Reno dulu, ya...” Lastri menyambar kunci motor yang tersimpan di atas meja. “Katanya dia lagi nunggguin angkot, kasihan.” Sambungnya sambil berlalu meninggalkan kelas.
Rasya hanya diam memandang temannya yang sedang terlihat aneh itu.
“On the way, Ren.” Klik send.
“Las, gue udah di angkot. Lu gak usah jemput!”
Dada Lastri terdiam seketika. Degup jantungnya seakan tak terdengar lagi. Tak terasa kunci motor jatuh begitu saja. Ada kecewa yang tak dapat ia ucapkan lagi. Ia hanya berdiri mematung di depan ratusan motor yang terparkir di sana.
Langkah gontai kini menghabisi tubuh Lastri. Ia tak dapat menahan rasa kecewanya. Namun apa daya, dirinya tak dapat melakukan apapun lagi selain menerima kenyataan bahwa ia tak akan mendapat kesempatan emas itu.
“Kenapa balik lagi, Las?” tanya Rasya.
“Gak apa-apa.” Jawab Lastri dengan datar.
“Sabar, ya, cinta itu memang butuh perjuangan dan pengorbanan.” Rasya tersenyum menggoda Lastri.
“Apa maksudmu?” Lastri mengembangkan hidungnya, pertanda ia marah.
Waktu tertitip pada sayap kupu-kupu yang terbang di depan kelas. Lastri hanya menatapnya dengan sendu. Kecewa itu masih dirasakannya. Tembok menjadi satu rahasia yang menyalahkan matahari yang bergegas pergi di sore nanti.
Wangi strawberry menyusup ke sela jendela dan pintu. Sapaan pada satu nama yang Lastri rindukan terdengar dari luar. Batang hidungnya terlihat juga. Tanpa salam, Reno duduk di bangkunya di samping Rasya.
“Vania kemana?” Reno menoleh ke arah bangku Vania yang tepat berada di belakang bangkunya.
“Sakit.” Jawab Riri, teman sebangkunya Vania.
Lastri mendengar ucapan itu dengan marah yang tak dapat ia ungkapkan.
Reno duduk dengan tenang. Menelan ludah dengan berat. Ia mencoba untuk menetralkan rasa lelahnya setelah setengah jam naik angkutan umum. Kini Reno tertunduk mengetik sesuatu di kolom pesannya.
“Kamu sakit apa?” pesannya pada Vania.
“Vania sakit apa kira-kira, Ren?” tanya Rasya pada Reno.
“Kurang tahu. Oh ya, gimana tugas PLH lu?” Reno mencoba mengalihkan.
“Done!” Rasya mengacungkan jempol seraya senyum.
“Oke.” Jawab Reno dengan singkat.
“Responnya gitu amat.” Rasya menyunggingkan bibir.
“Hahahaha... elu gitu terus. Terus gue mesti gimana?” Reno tertawa dan menepuk jidatnya sendiri.
“Hahaha.. gak apa-apa, bercanda, kok.”
Suasana kelas kembali riuh saat mendengar ketuk kaki seorang guru. Pak Darmawan dengan gaya rambutnya yang mengkilap telah menghipnotis semua siswa untuk benar-benar duduk rapi di bangku masing-masing.
“Good morning!” Sapa Pak Darmawan sambil berlalu ke tempat duduk guru. “Gimana tugasnya?” sambungnya sambil mencoba untuk memeriksa kesiapan siswa yang akan belajar dengannya.
“Selesai, Pak!” jawab siswa serentak.
“Vania kemana, Ren?” tanya Pak Darmawan.
Hati Lastri semakin menggebu. Rasa cemburu itu semakin melekat dalam tubuhnya.
“Sakit, Pak.”
“Oh, ya. Semoga lekas sembuh.” Kata Pak Darmawan sambil mengangguk-angguk.
Waktu tak menyisakan kebersamaan apapun antara Lastri dengan Reno. Hingga jam istirahat telah datang. Semua siswa bergegas keluar kelas. Hanya Lastri dan Reno yang tersisa. Dilihat dengan jeli HP milik Reno. Tak ada tanda apapun bahwa Vania membalas pesan Reno.
“Ren,” Lastri menyapa Reno yang tertunduk memperhatikan HP-nya.
“Ya?”
“Ke kantin, tuk?”
“Malas, ah.”
“Ke perpus?”
“Kau saja, lah.”
“Atau ke UKS?”
“Nanti saja sama anak PMR lainnya.”
“Tadi sarapan dulu, enggak?”
“Enggak.”
“Gue bawain makan buat Lo.” Latri menghampiri tasnya dan mengeluarkan roti rasa cokelat dari sana.
“Gue enggak lapar, Las. Mending Lo makan aja rotinya.” Dengan dinginnya, Reno pergi meninggalkan Lastri sendiri.
Meja menjadi penampung amarah gadis yang sedang mencemburui kerinduannya. Tangannya memukul-mukul meja itu.
“Kenapa sih, Ren?” teriaknya.
Tetes air mata menghangatkan kedua pipi gadis itu. Ditangisinya rasa sakit yang ia rasa sulit untuk disembuhkan.
“Van, kamu kenapa? Ada yang salah dengan aku? Maafkan aku, ya..” Reno mengirimi Vania pesan.
Atap kamar menjadi pemandangan yang dapat Vania tatap. Tubuhnya sulit untuk bergerak.
Ddrrrtttt.....ddrrrrttt
HP-nya bergetar. Vania berusaha meraih HP-nya. Menatap pesan Reno dengan datar.
“Aku baik-baik saja, Ren. Aku hanya gak enak badan.” Klik send!
“Syukurlah kalau kamu baik-baik saja.”
“Gimana tugas aku?”
“Tugas kamu sudah terkumpul. Tenang saja! Jangan pikirkan apapun!”
“Thanks.”
“Sama-sama. Lekas sembuh, ya. Semua terasa serba salah tanpa kamu.”
Vania tersenyum membaca pesan Reno. Lalu Vania menelpon lelaki yang telah membuatnya tersenyum itu.
“Ren,” ucapnya sambil tersenyum.
“Ya?”
“Kayaknya aku sembuh.” Kata Vania sambil meyentuh dahinya.
“Kok cepet sekali?”
“Gak seneng, ya, aku sembuh?” Vania memanyunkan bibirnya.
“Hahahah.. bukan gitu, kan kamu sakit.”
“Sembuh kalau digombalin kamu.”
“Ishhhh..”
“Ya sudah, aku mau tidur dulu, ya. Kamu jangan minggat-minggat lagi dari sekolah!”
“Iya,”
“Dah anak malaas..”
“Dah anak manja..”
Senyum terhias di wajah mereka. Pohon mangga kembali menjadi saksi jatuhnya hati seorang Reno. Angin mendengus sederhana. Menepuk wajah Reno yang bersenandung di siang itu. Cakrawala menyala seperti perasaan mereka. Tetapi di samping itu, kelabu mengabut di wajah Lastri. Reno tak peduli.
Lalu lalang siswa lainnya tak menjadi halangan apapun bagi seorang Reno yang merasa telah menempatkan hatinya pada sehelai daun yang selalu melambai dalam tangkai cintanya. Kini mereka merasa telah menjadi sepasang kekasih yang tak dapat dipisahkan dengan apapun.
Lima hari sebelum pindahDasi memanjang sempurna dari kerah baju Reno. Rambutnya diusap ke belakang. Parfum mewangi dalam kamarnya. Bajunya tak ia masukkan ke dalam celana. Digendongnya tas berwarna biru tua. Dan me nginjakkan kaki di tepi teras.“Reno berangkat dulu, Ma.” Reno mengecup punggung mamanya.“Sarapan dulu, Ren!” kata mama Reno.“Enggak, Ma, nanti saja di sekolah.” Jawab Reno dengan senyumannya.“Ya sudah, hati-hati!”“Iya, Ma..”Langkah Reno semakin menjauh dari rumahnya. Hingga ia menemukan angkot yang terparkir di pinggir jalan raya.“Aku udah berangkat.” Reno mengirimi Vania pesan.Lampu kamar Vania masih menyala. Wajahnya yang semrawut bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri hingga ia telah mengenakan seragam sekolahnya. Tangannya meraih HP-nya. Dan mendapati pesan dari Reno.
Empat hari sebelum pindah.Sepatu mengkilat rapi membalut kaki Vania. Dasi dan seragamnya menghiasi pagi itu. Parfum yang baru Reno berikan kemarin disemprotkannya. Sempurna. Cermin yang berdiri di depannya seakan mengatakan hal baik tentang tubuuh Vania yang mulai terlihat lebih baik dari sebelumnya. Saat Vania masih bersama Aldy. Ya, Aldy kembali menghantui pikirannya. Namun, dengan cepat ia menghapus bayangan kelam itu. Vania kembali tersenyum dengan memandang dirinya sendiri yang sedang bergaya dalam cermin itu.“Vania berangkat, Ma.” Teriak Vania.Tiada jawaban dari mamanya. Vania tak menghiraukannya. Vania berlalu dengan hati yang penuh bunga. Jalanan menjadi lebih menarik perhatiannya daripada rumah. Vania semakin berseri.“Udah berangkat belum?” Vania mengirimi Reno pesan.“Aku sudah di UKS. Kamu dimana?”“Aku masih di jalan. Jemput dong, pinjam
Tiga hari sebelum pindahLangit semakin terik. Tertatap dari surga, sepasang mata cokelat yang meratapi kehidupannya. Baju-baju telah dirapikannya. Rumah telah selesai ditatanya. Beberapa hari lagi, ia harus meninggalkan tempat yang sedang dalam kenyamanannya. Sabtu itu Vania isi dengan ratapan hatinya. Entah pada siapa ia harus mengungkapkan perasaannya.Hujan jatuh dalam bayangan. Rahasia teduhnya hanya Vania yang merasakan. Aldy menjadi bagian dari rintiknya. Vania mulai merindu. Reno tertepis bayangan itu. Bayangan yang mungkin menyakiti hatinya.“Al.. semoga suatu hari nanti kita dipertemukan kembali dengan rasa yang sama, seperti rasa yang dulu kita satukan.” Ucap Vania sambil menatap tas yang berisi pakaian miliknya.Air mata tertetes. Tak banyak. Hanya beberapa tetes saja. Namun gemuruh dalam dada seakan menjelaskan tentang kehancurannya. Aldy mungkin tak peduli lagi dengan Vania. A
Dua hari sebelum pindahAir mata jatuh membasahi pelipis Vania. Badannya sedikit menggigil. Ia mengingat kejadian kemarin, saat ia mendapati tubuhnya sendiri tersungkur ke lantai. Hatinya mengkaji dunia yang dirasa semakin kejam padanya. Ponselnya tergeletak di bawah ranjang, Vania segera meraihnya. Ada pesan yang belum terbaca. Reno atau Aldy. Pikirnya berlari pada kedua lelaki yang terhubung pada kehidupan yang sedang ia jalani.Mata Vania berantusia membaca huruf demi huruf yang ia lihat di kolom pesan dalam ponselnya.“Hari ini sesuai dengan jadwal, kalian harus sudah ada di sekolah pukul 08.00 WIB, tanpa terkecuali!” Ketua PMR mengirimi Vania pesan.“Hmm.. kukira Reno atau Aldy..” gumamnya dengan pelan. Vania menyimpan kembali ponselnya.Gema adzan berkumandang. Pertanda fajar telah melengkung di angkasa. Keheningan dalam gubahan paling syahdu. Vania sedikit merasa tenang dengan suasana di shubuh
Masih di hari yang sama. Vania menunaikan maghrib yang mencerminkan gubahan ketenangan. Langit yang menyala sempurna kembali menggelap. Menjadikan rindu tak terkurung ego mentari. Rembulan perlahan menyala dengan tenang. Hari yang telah terlewati terhapus air wudhu yang membersihkan wajah gadis itu. Dering ponsel menghiasi malam itu. Menganugerahkan rindu pada kesyahduan kelam. Vania tak menghiaraukannya. Ia bersikeras mencintai do’a-do’a yang dipanjatkannya. Ia tahu cara mengeluh pada Tuhan, ia pun paham bahwa cara mewujudkan keinginannya adalah bergantung pada Tuhan. Bukan pada manusia.“Ya Allah, hamba tahu. Dosa hamba kebih tinggi dari gunung yang paling menjulang di bumi ini. namun, hamba percaya pada-Mu, penguasa semesta tak kan pernah membiarkan hamba-Nya bersedih. Kuatkanlah hamba, Ya Allah..” ungkap Vania pada Sang Khaliq. menenggadahkan kepalanya dengan mata yang sendu. Menari dalam tangisan
Satu hari sebelum pindah.Hanya dengan menghitung waktu. Tak kan mampu membuat hati Vania luluh dengan kebahagiaaan yang belum terlihat di wajahnya. Nafas yang seperti tersengal, menjatuhkan air mata yang mengantri di sudut pelupuk kerinduan. Kesedihan mengalir, saat membuka kedua mata di sepertiga malamnya. Angin berhembus perlahan. Menyeruakkan dingin pada tubuh yang masih merasakan kerapuhan setelah beberapa jam ia istirahatkan. Hatinya tak jua tenang. Meski lengkung hening telah membangunkannya dari mimpi yang tak karuan.Langkah gontai terbayang oleh benaknya. Dirinya menangis di tempat baru. Merindukan teman dan keluarga yang menjauh dari hidupnya.“Kakak..” ia bergumam dalam hayalan itu. Mendapati rasa tentang pertemuan dengan kakak perempuannya.“Andai Kakak di sini.” Air matanya membasahi kedua pelipisnya.Bayangan lain bermain dalam benaknya. Tak meluluhkan kesedihan
Masih satu hari lagi untuk pindah.Waktu masih menyelimuti hati Vania. Dilema menumpuk di peraduan siang. Semua membebani hati dan langkah kakinya yang berat untuk mengetuk jalanan. Vania bingung. Tak tahu bagaimana caranya ia memilih. Mungkinkah ia menolak untuk pindah, dan haruskah ia mengikuti apa yang orang tuanya katakan.“Van..” Reno menghampiri Vania yang berjalan keluar gerbang sekolah.“Kenapa?” tanya Vania sambil mengangkat tas gendongnya.“Ini untuk kamu!” Reno memberikan Vania sebuah kotak berwarna merah.Cincin? Pikir Vania. Reno tak menghiraukan kernyit dahi Vania. Ia hanya tersenyum menatap gadis yang sedang ada di depannya dan berlalu meninggalkan Vania yang berdiri mematung tepat di depan gerbang. Vania hanya melihat punggung Reno yang semakin menjauh darinya. Tak setengokpun ia menoleh ke arah Vania. Ada air mata yang harus Vania tahan.Vani
Senja Di Ujung Kerinduan.Vania tersenyum melihat sang kekasih. Ditangkapnya ikan yang berenang di kolam. Kolam yang sedikit dangkal. Vania berlari di kolam itu. Ia mengejar Aldy. Aldy merentangkan tangannya di tengah kolam dan mereka saling berpelukan. Detak jantung saling beradu. Ada kehangatan yang jarang mereka rasakan.Vania memeluk begitu erat. Membiarkan ikan kecil pergi dari genggamannya. Tak hanya kaki mereka yang basah, tapi punggung mereka pun ikut terbasahi air yang menempel dari tangan keduanya. Senyum mendebar. Membiarkan angin tersenyum melihat kebahagiaan mereka.“Vaan..” seseorang berteriak memanggil nama gadis itu.Mereka berdua melepas pelukannya. Vania menoleh ke arah belakang. Tak ada siapapun yang bisa ia lihat. Ia khawatir ada orang yang melihat apa yang baru saja dilakukannya. Jantungnya berdebar tak karuan. Itu seperti suara mamanya.“Van..” panggilnya