Share

Neighbour from Hell

Suara alarm terdengar nyaring memekakkan telinga ketika subuh menjelang. Jika saja di sini adalah pedesaan, maka akan terdengar bunyi ayam jantan berkokok. Sayangnya kamar ini berada di gedung apartemen yang tinggi, sehingga tidak ada ayam jantan yang bertengger hanya sekedar untuk membangunkan penduduk.

Tangan yang cukup berotot itu bergerak meraba atas nakas, tempat ponsel berada. Sepasang netra elang berwarna hitam perlahan terbuka, mencari tahu pukul berapa sekarang. Ah, seharusnya tidak begitu juga karena dia tahu persis jam berapa alarm diterapkan.

Farzan langsung mengubah posisi menjadi duduk, karena sebentar lagi waktu subuh tiba. Dengan masih terkantuk, ia berusaha berdiri kemudian melangkah menuju kamar mandi untuk menggosok gigi.

“Kalau mau salat Subuh jangan lupa gosok gigi, Dek. Mau ketemu sama manusia aja kita nggak pede kalau belum gosok gigi, apalagi ketemu sama Allah.” Nasihat yang kerap dilontarkan Arini, selalu terpatri di dalam ingatannya. Itulah yang dilakukannya sebelum mengambil air wudu.

Pola hidup yang dijalani Farzan sekarang, tidak lepas dari ajaran kakak iparnya. Sejak kecil, ia sudah diajarkan bangun untuk salat Subuh, puasa wajib dan melakukan perintah agama lainnya. Karena itu juga, ia merasa nyaman dengan Arini karena selalu mendidik dalam kebaikan.

Selesai mengambil wudu, Farzan langsung mengganti pakaian untuk menunaikan salat Subuh. Biasanya pemuda itu ikut salat berjamaah di masjid, namun kali ini memilih salat di apartemen karena belum familiar dengan keadaan sekitar. Sebenarnya ia belum tahu di mana masjid terdekat.

“Farzan.” Tiba-tiba terdengar suara perempuan memanggil ketika ia sedang sujud pada rakaat pertama.

“Farzan,” panggil suara cempreng diiringi dengan ketukan pintu.

Pemuda itu mulai tidak konsentrasi dengan bacaan salat. Meski demikian, ia kembali fokus beribadah. Farzan masih larut dengan ibadah hingga ponselnya berdering pada tahiyat akhir.

Astaghfirullah,” ucapnya beristighfar meminta ampun karena ibadah yang seharusnya khusuk menjadi terganggu.

Ketika nada dering berhenti, terdengar lagi suara panggilan. “Farzan.”

Kali ini suara ketukan pintu terdengar gaduh. Seharusnya perempuan yang berada di balik pintu itu, bisa memencet bel bukannya mengetuk pintu.

Selesai berdoa, Farzan langsung beranjak dari atas sajadah. Dia melangkah menuju pintu dan mengintip terlebih dahulu sebelum membukanya. Desahan pelan keluar dari sela bibir ketika tahu siapa yang berdiri di balik pintu itu.

Farzan menarik napas berat terlebih dahulu sebelum memutar gagang pintu. “Kenapa pagi-pagi bikin gaduh, Mbak?” tanyanya malas.

Raut wajah panik Nadzifa langsung berubah saat melihat Farzan berdiri dengan baju koko dan kain sarung yang melekat di tubuh. Tak lupa juga peci bulat berwarna putih menutup kepala.

Secarik senyum tergambar di paras gadis itu. “Alim banget. Salat tepat waktu.”

“Mbak mau ngapain pagi-pagi ketuk pintu flat saya? Kenapa nggak pencet bel aja sih?” sungut Farzan masih memberi tampang malas.

Wajah Nadzifa kembali panik bercampur sedih. “Sorry.Tadi itu kaget banget.”

“Kaget kenapa?” Farzan bingung sendiri.

Air muka gadis itu berubah, wajahnya mulai berkerut sebelum suara tangis keluar. “Kucing gue.” Dia menunjuk ke flat yang berada tepat di depan flat Farzan.

“Kucing kesayangan gue mati,” sambungnya sebelum tangis pecah.

Astaghfirullah, saya pikir ngapain, Mbak. Ya tinggal dikubur aja kalau meninggal,” tanggap Farzan dingin.

“Masa harus gue yang kuburin sih? Pagi-pagi lagi, masih gelap ‘kan di luar.”

Pemuda itu mendesah lagi. “Trus siapa lagi? Pemilik kucingnya siapa? Mbak ‘kan?”

Nadzifa terdiam sebentar masih melihat Farzan dengan raut memelas.

“Maaf, Mbak. Saya harus beres-beres dulu, biar nggak telat kerja.” Farzan bersiap menutup pintu, namun ditahan oleh Nadzifa.

“Tolongin dong. Gue nggak kenal siapa-siapa di gedung ini. Cuma kenal lo doang,” pintanya mengedipkan mata pelan.

Farzan menggeleng cepat. “Saya banyak kerjaan. Mbak aja yang urus.”

“Tega banget sih,” decit Nadzifa masih mengiba, “lo mau lihat gue ke luar kuburin kucing sendirian? Masih jauh tempatnya di belakang sana.”

Pemuda itu bergeming menatap datar Nadzifa.

“Kamu harus bisa menghormati wanita, Dek. Perlakukan mereka dengan baik, jangan pernah sakiti mereka.” Lagi-lagi penggalan nasihat yang diberikan Arini berputar di pikirannya.

Kenapa sang Kakak Ipar begitu sering memberikan petuah kepadanya? Sehingga ia tidak bisa lagi menutup mata dengan keberadaan gadis yang mengharapkan uluran tangannya.

“Ya udah saya ganti baju dulu. Mbak tunggu aja di sini.” Farzan memutar balik tubuh bersiap memasuki flat. Ternyata Nadzifa ikut masuk ke dalam flat miliknya.

“Mbak tunggu di sana dulu. Setelah ganti baju saya keluar.” Farzan mendelik melihat gadis itu.

“Nggak boleh masuk nih?” tanya Nadzifa pura-pura bego.

Flat saya tipe studio, jadi nggak bisa terima tamu perempuan,” tolak Farzan keberatan.

“Gue bisa tunggu di sofa kok,” kata gadis itu melirik ke arah sofa yang bersebelahan dengan tempat tidur, “tutup aja tirainya kalau mau ganti baju. Nggak bakalan gue intip kok.”

Bibir Farzan bergerak kecil saat ingin merespons perkataan Nadzifa. “Maaf, Mbak. Sesuai dengan perintah agama, laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom nggak boleh berada di dalam satu ruangan tertutup berdua saja.”

Pemuda itu tidak menyerah memberikan alasan agar bisa menolak kehadiran Nadzifa di dalam flat.

“Waktu di Zürich lo bawa gue ke apartemen.”

“Itu kondisi urgent, Mbak.”

“Sekarang juga urgent,” balas gadis itu pantang menyerah.

Farzan merapatkan gigi, sehingga rahangnya tampak tegas. Dia mulai terganggu dengan kehadiran wanita ini. Rasanya seperti game yang sering ia mainkan berjudul Neighbour From Hell.

“Mbak, please! Bisa nggak sih tunggu di luar aja? Atau saya nggak jadi bantuin Mbak nih,” tegas Farzan mulai naik pitam.

Nadzifa mengangguk sambil mengangkat kedua telapak tangan sejajar bahu. Dia mundur pelan ke belakang, sehingga keluar lagi dari flat Farzan.

“Oke. Gue tunggu lo di sini. Cepetan, jangan lama-lama. Kasihan kucing gue,” tutur gadis itu setelah bersandar di pintu flat miliknya.

Farzan mengangguk singkat, kemudian menutup pintu. Dia langsung berganti pakaian agar tidak membuang waktu. Pagi ini ia telah menyusun jadwal sedemikian rupa, karena barang-barang yang dibawa kemarin belum ditata.

Sorry ya ganggu pagi-pagi,” desis Nadzifa setelah Farzan kembali menemuinya di luar flat.

“Nanti gue bantuin deh beresin barang-barang lo,” sambungnya disambut dengan kernyitan di dahi Farzan.

“Eh, ini sebagai balas budi karena lo udah bantuin gue dua kali. Jangan mikir yang aneh-aneh.” Nadzifa nyengir kuda memperlihatkan dua gigi besar di bagian tengah. Dia membuka pintu flat bersiap masuk ke dalam.

“Nggak perlu. Saya bisa sendiri, Mbak,” balas Farzan sebelum melangkah mengikuti gadis itu.

“Lo kenapa sih nggak bisa lembut sama cewek? Selalu aja jutek,” celoteh Nadzifa menoleh sekilas kepada Farzan.

Pemuda itu tidak mengindahkan celotehan Nadzifa. Tilikan mata elangnya mencari keberadaan kandang kucing.

“Kucingnya di mana, Mbak?”

Pandangan Farzan masih mengitari flat milik Nadzifa. Sorot matanya berhenti saat melihat foto seorang gadis dengan anak kecil berusia sepuluh tahun, menggantung di dinding.

“Itu foto gue waktu masih kecil sama tante yang paling gue sayang,” terang Nadzifa tanpa diminta. Gadis itu mendekati foto berukuran 10R tersebut. Dia tersenyum kecut saat menoleh kepada Farzan. “Cantik ‘kan?”

Pemuda itu mengangguk singkat.

“Itu kenangan terakhir yang gue miliki dengan tante gue.”

Farzan menatap bingung Nadzifa.

“Tante gue meninggal waktu gue masih umur sepuluh tahun.” Wajah yang tadi sedih kini bertambah sedih. Hidung mancung mungil itu perlahan membersit tidak nyaman.

Innalillahi w* inna ilaihi raaji’uun,” gumam Farzan pelan.

“Sakit atau kecelakaan, Mbak?” tanya Farzan menunjukkan rasa duka.

“Bunuh diri,” jawab Nadzifa lugas.

“Bunuh diri?”

Gadis itu mengangguk singkat. Sorot mata yang tadi sendu kini berganti tajam. Tampak kebencian menyelimuti dari caranya menatap.

“Tante gue bunuh diri, karena dicampakkan begitu saja sama cowok yang nggak bertanggung jawab,” geramnya dengan menggertakkan gigi rapat. Kedua tangan Nadzifa mengepal erat di kedua sisi tubuh.

Bersambung....

LeeNaGie

Bab ini aku tulis waktu kucingku bernama Luna mati, karena terkena virus. Selang sepuluh hari kemudian anaknya yang baru usia 4 bulan juga mati, karena virus yang sama. Padahal mereka lucu banget. Hiks. Maaf jadi curhat tentang kucing. T_T

| Like
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ami Lee
jadi nadzifa nih mau balas dendam.karna tante nya bunuh diri..dan menyalahkan brandon
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status