Kali ini Ganis duduk di jok depan di samping Ramon. Meskipun Ramon masih terlihat tidak nyaman dengan keberadaan kucing di pangkuan Ganis."Kau tak perlu memberikan kartu tabungan pada ibuku. paling juga akan dihabiskan ayah untuk fiya-foya," kata Ganis menatap jalan raya."Ayah tirimu terlalu mengerikan dan ibumu sangat bisa dimanfaatkan. Aku hanya memberi sedikit karena telah mengizinkanmu bekerja denganku,""Aku tak harus bekerja di tempatmu," kata Ganis masih enggan untuk menerima tawaran Ramon. "Kau mau tinggal dimana? tak ada yang lebih aman selain kerja di bungalow. memang kau punya pilihan lain?" ujar Ramon sambil terus menyetir membelah jalanan kota yang lumayan padat. Ganis terdiam karena memang tak punya tujuan. "Tenang saja aku juga tak tiap hari pulang ke bungalow. Beberapa Minggu ke depan aku akan sangat sibuk bekerja. Sambil menjaga bungalow kau bisa melakukan apapun yang kamu mau," jelas Ramon berusaha membujuk Ganis."Apapun itu?" mata Ganis menatap kaca spion dari
Malam itu di sudut gemerlapnya kota Buenos Aires tampak Sofia sedang setengah mabuk menikmati pesta barbeque di salah satu rumah sahabatnya semasa sekolah dulu. Sofia sengaja mengikuti acara semacam reuni itu karena ia juga sudah kangen acara pesta yang merupakan budaya negaranya. Hampir 2 tahun tinggal di Indonesia membuatnya sangat menyukai segala hal tentang kota asalnya. "Kau Benar-benar akan menikah Sofia?" tanya Sebastian. Pria yang juga pernah menjalin hubungan degan Sofia semasa kuliah dulu. Matanya menatap tubuh Sofia yang saat itu tampak kian menggoda dengan gaun yang menampilkan lekuk tubuhnya. "2 bulan lagi. Bersama Ramon Soares. Abyaksa Soares. Pria paling diinginkan di seluruh kota?" ujar Sofia yang tak bisa menahan ucapanya. Minuman telah menghilangkan kewarasannya. "Kau tidak sepenuhnya mencintainya Sof," kata Sebastian yang memang lebih mengenal Sofia. Awalnya Sofia bersama dengan Ramon hanya karena keinginan ayahnya yang memang telah mengabdi pada perusahaan keluar
Ciuman lembut itu perlahan menjadi pagutan kecil yang segera menjadi ciuman menuntut tatkala Ganis tanpa sadar membalas ciuman Ramon. "Kak Ramon aku mencintaimu," gumam Ganis tersenyum masih dengan mata terpejam. Ada kehangatan yang menjalar di dada Ramon mendengar perkataan Ganis. Jantung Ramon berdesir setelah sekian lama. Ternyata di alam bawah sadarnya Ganis menekan perasaan cintanya pada dirinya. Ramon rasa ini sungguh tak benar. Harusnya ia tak boleh merasakan ini. Perasaan berbunga-bunga seperti seorang remaja. Ia sudah punya tunangan dan umurnya juga sudah hampir kepala empat. Sangat tak pantas. Ramon segera bangkit untuk mengambil bantal dan juga selimut untuk Ganis. Ia ingin Ganis tetap menjadi gadis lugu dan tak ingin merusaknya dengan hubungan tanpa harapan.***** Ganis terbangun dan merasakan sebuah beban di perutnya. Ia melihat Katy tengah tidur di dekat kepalanya. Ia sedikit terkejut karena Ramonlah yang kini tertidur di atas perutnya. Ia menatap sekeliling. Di luar
"Sakit!" pekik Ganis ketika tukang urut itu mulai menekan pergelangan kakinya. Ramon sengaja mendatangkan tukang urut itu atas saran pak Dirman. "Tahan sedikit ya Neng," kata tukang urut itu kembali menekan satu titik."Akh!tolong!" Ganis berteriak kesakitan. Matanya sampai berair. Ramon ikut-ikutan mengernyit membayangkan rasa sakitnya. "Nah sudah. Ini akan membaik setelahnya. Jangan banyak bergerak dulu," ujar pria paruh baya itu. Ganis buru-buru mengangguk. Ia mengusap matanya. Baru kali ini kakinya terjatuh dan terkilir separah ini. Ramon mengantar tukang pijat itu sampai ke depan.Ganis berusaha berdiri dan melangkah."Auww," rasa sakit langsung menggigitnya dan membuatnya jatuh terduduk ke sofa. "Aku tak akan bisa kemana-mana sekarang," keluhnya kesal. Ramon muncul dan memandangi kaki Ganis."Gimana rasanya?" tanya Ramon."Sudah tahu sakit!" jawab Ganis ketus. Ia terjatuh gara-gara teriakan Ramon."Kenapa bisa sampai terjatuh sih," Ramon menggeleng sambil mengedikkan kepala
Mata Ganis dan Ramon saling bertemu. Keduanya bisa merasakan degup jantung yang sama-sama berdesir tak biasa.“Pelan-pelan saja!” seru Ramon membenahi letak skruk yang dipakai Ganis dan segera menjauhkan tubuhnya. Ganis hanya melengos sambil mengelus dadanya. Ia pun berjalan perlahan untuk membiasakan dirinya memakai skruk. Ia ingin membereskan alat-alat kebersihan yang masih ada di teras depan Bungalow. Ramon sendiri segera masuk ke kamarnya. Sungguh ia makin tak paham dengan perasaamya. Jelas ia tertarik dengan Ganis. Ia segera meraih laptonya. Ia akan bekerja dari rumah sampai Ganis sembuh total. Ia membawa laptopnya ke ruangan tengah dan mulai konsentrasi dengan pekerjaannya. Sesekali ia juga menghubungi asisten dan juga sekretarisnya.Dengan susah payah Ganis membawa alat kebersihan menuju ruang belakang. Ramon memperhatikan Ganis lewat ekor matanya. Untuk berjalan dari teras ke ruang belakang butuh perjuangan keras untuknya. Tapi ia tak bisa duduk diam begitu saja. Ia kemudian
Sofia tak bisa membiarkan Sebastian terus mengganggunya. Ia sudah memblokir nomornya. Rupanya pria itu tak putus asa. Sofia segera mendapatkan teror SMS lagi. Sofia pun mulai membiarkannya dan menahan diri untuk tak tak meneleponnya balik. Ia mengira Sebastian akan berhenti sampai di situ. Suatu sore saat baru saja pulang dari kantor ayahnya ia menerima seorang pria yang mengirimkan paket. Biasanya paket itu akan ditaruh di kotak khusus tempat pesanan tapi pria itu tetap menunggunya di luar pagar. Sofia merasa janggal. Ia sendiri jarang memesan barang. Pria itu memakai topi dan jaket. Sofia kemudian menghampirinya dengan perasaan was-was.“Sofia. tanda tangan di sini,” kata pria itu membuat Sofia langsung mengenali suaranya. Benar-benar nekat. Sebastian berani muncul di depan rumahnya langsung. Sebenarnya ia bisa meminta bantuan ayahnya mengusir pria itu dalam kehidupannya tapi ia masih tak mau ayahnya yang punya hubungan dengan jaringan mafia membunuh Sebastian. Bagaimanapun ia tak
Ramon hanya bisa menggelengkan kepala begitu melihat Ganis bersorak layaknya anak TK begitu mereka masuk taman hiburan. “Sungguh masa kecil kurang bahagia!” decak Ramon sambil mengikuti Ganis yang berlarian menghampiri sebuah karoussel yang sedang berputar. Ganis langsung menaiki salah satu kuda-kudaan. “Kak ayo naik!” ajaknya tersenyum cerah. Ramon menyadari senyum Ganis begitu menawan. Ramon masih tak bergeming dan hanya membalas lambaian tangan Ganis ketika karoussel itu mulai berjalan memutar. Ramon jadi teringat masa kecilnya. Karousell adalah sarana yang dari dulu sudah ada di belahan dunia manapun. Membawa kebahagiaan jutaan orang dan umumnya anak-anak. Tentu saja ia mengalami semua pengalaman masa kanak-kanak yang menyenangkan. Terutama sampai 10 tahun pertama hidupnya. Ganis muncul dan melabai pada Ramon. Ramon hanya tersenyum. “Ayo kak naik,” ajak Ganis lagi dengan wajah yang berubah masam. Tentu saja tubuh Ramon terlalu besar untuk ikut naik. Ramon hanya melambaikan
Ganis tenggelam dan mulai kehilangan akal. Kelembutan bibir Ramon membuat tubuhnya lunglai seperti jelly. Ramon sangat senang akhirnya tak ada penolakan lagi. Mulanya bibir Ganis tak memberi tanggapan. Ramon sadar Ganis tak punya pengalaman dalam berciuman. Tangan Ramon membelai pipi Ganis dengan meraih pinggang gadis itu untuk merapat pada tubuhnya. Ia ingin Ganis merasa nyaman dan rileks. Ia menuntun bibir Gadis itu agar membuka dengan menggigitnya pelan. Tangan Ramon beralih pada tengkuk Ganis. Ganis meremat sisi kemeja Ramon merasakan gelayar yang mulai menjalar ke seluruh tubuh ketika lidah Ramon mulai masuk ke dalam mulutnya dan bergerak liar di sana. Ganis cepat belajar dan mulai merespon. Pautan bibir yang awalnya pelan lama-kelaman menjadi saling menuntut. Bunyi decah basah terdengar diantara debur ombak. Ramon menghentikan pautan mereka dan melihat Ganis tersenyum dan kemudian menunduk. Ramon membawa Ganis ke dalam pelukannya. Keduanya kemudian saling merapat untuk meredakan