Kantor nampak hening, Dafa dan Sandi sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Tidak ada suara yang terdengar selain suara keyboard komputer Sandi serta kertas yang bergesekan di meja Dafa. Sementara itu, Bia hanya termenung, ia nampak jenuh.
Dafa beranjak dari kursi dan pergi ke belakang, tempat toilet kantor. Bia pun menggunakan kesempatan untuk bertanya-tanya pada Sandi."Sandi." Bia mulai memanggil Sandi dengan suara pelan."Kamu ingat siapa aku, Bel?" tanya Sandi yang sontak terkejut mendengar Bia memanggil namanya.Bia menunjuk akrilik yang terpampang nama Sandi. Sandi pun kecewa, "iya, kan ada papan nama ya, kirain kamu udah ingat," ucap Sandi melemas."Oh iya, aku liat semua pada sibuk. Emang banyak kerjaan?" tanya Bia lanjut. Bia dan Sandi mengobrol dalam kejauhan. Meja mereka berjarak sekitar 5 meter."Iya lah, Bel. Kita gak pernah gak ada kerjaan," jawab Sandi yang kini kembali fokus pada komputer di hadapannya."Oh ..." Bia mengangguk-angguk. "Terus aku ngapain? Gak ada kerjaan?" tanya Bia lanjut."Ya nanti, kalau kita udah action," jawab Sandi dengan santai.Bia nampak kebingungan, "action?""Iya, kalau udah mau tangkap buronan." Kali ini Sandi menghentikan pekerjaannya dan memutar kursi ke arah meja Bia."Terus aku ngapain?" Bia tidak berhenti bertanya."Nyetir lah, kamu kan driver disini."Sontak Bia terkejut, ia seakan dihantam besi dengan berat 1 ton. Bagaimana mungkin gadis sepertinya menjadi driver untuk berburu narapidana."Kenapa? Gak trauma nyetir mobil kan, Bel?" tanya Sandi yang melihat Bia tampak menyedihkan.Bia menggelengkan kepala sambil tersenyum ragu. Pantas saja saat kecelakaan terjadi Bella tengah mengemudi dengan kecepatan tinggi, ternyata ia sudah terlatih menjadi driver."Gue harus latihan nyetir," bisik Bia pada dirinya sendiri. Tak lama setelah Bia dan Sandi menghentikan obrolan, Dafa datang dan kembali pada mejanya."Kringgg ... ." Telepon yang berada di meja Sandi berdering. Ia pun dengan cepat mengangkat telepon."Halo.""San, kompatriot NJ berhasil gue lacak. Gue kirim ke hp lo. Segera ya,""Oke," jawab Sandi lalu menutup telepon dengan cepat. Ia pun memberitahu Dafa untuk segera berangkat."Daf, ketemu. Yok," ajak Sandi sambil membereskan meja. Sementara itu, Dafa juga bergegas dengan memasang jaket yang semula tergantung di kursi."Ayo, Bel, buruan," ajak Sandi yang melihat Bia terpaku."Ha, eee ... oke," balasnya sembari ikut bergegas.Dafa, Bia, dan Sandi kini berada di parkiran depan kantor."Ini kunci mobilnya. Cepet ya, Bel." Sandi melempar kunci mobil ke arah Bia sambil berjalan dengan cepat. Bia menangkap kunci dengan cukup baik.Bia mengemudi mobil dengan kecepatan tinggi. Sandi berada di sampingnya, sementara Dafa memilih kursi di belakang. Sandi terus mengarahkan Bia pada jalan yang harus dilalui. Menggantikan Bella bukanlah hal yang mudah, namun tekad Bia kali ini mengharuskan ia mampu melakukan apapun yang bisa Bella lakukan.Di tengah jalan, Bia mengerem mendadak."Ada apa, Bel?" tanya Sandi."Ada kucing nyeberang," jawab Bia."Bel, kemampuan nyetir kamu udah ilang juga?" tanya Sandi keheranan."Udah, gak usah cerewet. Kita harus sampai paling nggak 7 menit dari sekarang. Atau target keburu pergi." Dafa mulai panik. Ia menekan Bia untuk terus melanjutkan perjalanan. Bia pun kembali menancap gas.Setelah sampai di tempat, Sandi dan Dafa turun dari mobil. Mereka tiba di sebuah hotel besar bintang 7. Hotel itu nampak tak begitu ramai."Kayanya hotel ini gak asing deh," ucap Bia ketika melihat hotel yang ada dihadapannya. Ia pun turun dari mobil hendak menyusul rekannya."Bella kamu tunggu di mobil," ucap Dafa yang melihat Bia turun dari mobil."Ha, oke ... ." Bia tidak melawan. Situasi memang terlihat cukup menegangkan, ia pun kembali memasuki mobil."Wah, seru juga ya." Bia menarik nafas sembari tertawa. Ia merasa pengalamannya menjadi Bella memang cukup menyenangkan walau seringkali menegangkan.Sementara itu, Sandi dan Dafa tengah bersiap menangkap target. Sandi terus berkomunikasi dengan Yoga by telepon."Gimana, Yog? Target belum terlihat," ucap Sandi."Terget di lantai empat, berjalan melewati kamar nomor 103 ke arah selatan," jawab Yoga dari seberang telpon."San, lo dari kiri gue dari kanan. Kalau bisa sebelum 5 menit, target ada di depan kamar 112," jelas Dafa yang kini mulai memainkan otak matematikanya."Siap mengerti," jawab Sandi. Mereka pun bergerak dari arah berbeda.Setelah 3 menit lebih berjalan dengan langkah lebar, Dafa sampai di jarak 7 meter dari target. Ia pun tanpa ragu mengeluarkan borgol yang ia bawa di dalam jaket hitam miliknya.Target merupakan seorang pria yang berusia sekitar 38 tahun. Berpakaian rapi dengan jas biru setel dengan dasi yang melingkar di lehernya. Memiliki tinggi sekitar 175 cm. Ia tengah berjalan melewati kamar hotel tepat seperti prediksi Dafa."Bapak ditangkap atas dugaan kerjasama penyelundupan tekstil." Dafa menangkap target dan langsung memborgol kedua tangannya."Ada surat perintah?" tanya si target dengan wajah yang begitu tenang.Sandi pun datang sambil menunjukkan kartu identitas. Dalam kartu tersebut tertulis bahwa Sandi merupakan anggota bareskrim (Badan Reserse Kriminal). Ternyata Sandi adalah seorang polisi, lalu bagaimana dengan Dafa dan rekan yang lain? Apakah mereka juga seorang polisi atau hanya agen penyelidikan?Target tersenyum santai, "baik," ucapnya pasrah. Pria berkacamata ini membawakan diri begitu tenang. Terlihat dari sikapnya ia adalah pria yang cukup cerdik.Dafa dan Sandi membawa pria yang telah diborgol itu menuju mobil. Sesampai di mobil, mereka bertemu dengan Bia yang kini mengenakan masker. Tentu saja hal itu membuat Dafa dan Sandi tampak heran, namun mereka memilih untuk tidak bertanya hal sepele tersebut. Mereka lebih fokus untuk membawa buronan itu sampai di kantor polisi.Bia, Dafa, dan Sandi berhasil membawa buronan yang merupakan komplotan NJ ke kantor polisi. Di sana, pak Irwan dan Yoga telah menunggu untuk melakukan interogasi. Sebelum interogasi dimulai, buronan bertemu dengan NJ yang baru saja keluar dari ruang interogasi. Mereka saling bertatapan dan melempar senyum. Entah apa arti dari senyuman mereka."Silahkan masuk," ucap Yoga sembari mengulurkan tangan ke arah ruangan interogasi. Buronan itu pun masuk dengan tersenyum tenang. Dengan tangan di borgol, ia duduk di kursi dan berhadapan langsung dengan pak Irwan yang di dampingi Yoga. Sementara Dafa, Sandi, dan Bia menunggu di luar."Bahtiar Pratama," ucap pak Irwan menyebut nama sang buronan. "Nama panggilan Bapak Tiar, CEO di perusahaan e-commerce."Pria bernama Tiar itu tetap dengan wajah tenang walau tengah di interogasi."Kasus apa yang membuat wakil kepala Bareskrim turun langsung untuk menginterogasi?" tanya pak Tiar.Pak Irwan tersenyum. "Jika bukan kasus berat ken
Waktu menunjukkan pukul 06.45. Kantor nampak sepi, hanya ada Sandi yang tengah sibuk dengan komputernya. Jaket di tubuhnya pun tak sempat ia lepas. Pria bermata sipit dengan tubuh berisi itu nampak begitu serius dengan pekerjaannya."Pagi," sapa seorang yang muncul dari pintu masuk, dia adalah Bia. Wanita itu kali ini berpakaian cantik dengan rambut lurus yang terikat. Memakai sedikit eyeshadow, dengan bibir merah merona. Jeans pendek dengan atasan kaos berwarna putih bersih."Pagi, Bella. Cantik banget hari ini," goda Sandi yang melihat Bia berdiri tegap di pintu masuk. Hanya melirik sebentar, Sandi kembali fokus pada komputer. Anehnya, walau begitu cantik, Bia tak mampu menarik perhatian Sandi. Hal itu membuat Bia melipat bibirnya."Kenapa?" tanya Sandi menghentikan pekerjaannya lalu fokus pada Bia yang masih berdiri tegap."Cantik, kan? Kok kamu kaya biasa aja. Ngomong doang cantik tapi gak diliat," ucap Bia ketus sembari berjalan melewati Sandi, ia pergi men
Bia duduk di sebuah cafe di dalam mall tempat sebelumnya ia bertemu dengan Andi. Tak lupa ia mengenakan masker yang menutupi wajah cantiknya. Topi hitam yang entah dari mana ia dapat juga menyempurnakan penyamarannya. Ia memutar-mutar ponselnya sambil sesekali menoleh ke kanan dan ke kiri."Dor ... ." Setelah cukup lama terdiam, seseorang datang mengagetkan Bia."Andi," teriak Bia yang kesal dengan ulah temannya.Di balik masker, Andi nampak tertawa lepas. Ia pun duduk di kursi dekat Bia."Ngapain pake masker juga?" tanya Bia."Biar gak ada yang liat. Tau nggak, waktu dulu kita ketemu disini, temen nongkrong kita si Geo liat gue. Dikira gue lagi nge-date, untung aja gak nyamperin. Bisa bahaya, kan?" jelas Andi.Bia terkejut mendengar ucapan Andi, ia takut penyamarannya akan terbongkar, "yap, Lo emang harus pake masker juga," balasnya."Gimana semua? Aman?" tanya Andi sambil menyeruput secangkir capuccino yang telah di pesan oleh Bia. Hanya membuka ma
Matahari perlahan mulai terbit. Kicauan burung membangunkan Bia dari tidur. Setelah terkena hangatnya mentari, Bia beranjak dari kasur lalu berlari keluar kamar. Ia menoleh ke seluruh sudut ruangan, menatap lekat kamar di ujung yang merupakan kamar Dafa. Namun tak ada tanda Dafa pulang sejak kemarin."Hufff ... ." Bia terlihat begitu kesal lantaran Dafa meninggalkannya sendiri di rumah tanpa pamit. Ia kembali ke dalam kamar dengan wajah lesu. Bia pun bersiap untuk berangkat bekerja.Bia berjalan dengan wajah tertunduk lemas memasuki kantor. Di sana, Dafa terlihat sibuk dengan pekerjaannya. Tak luput, Sandi dan Yoga berada di meja masing-masing.Menyadari kedatangan Bia, Sandi pun menyapa, "pagi Bella, kusut banget mukanya hari ini."Bia mengangkat kepalanya, matanya kini tertuju pada sosok pria yang membuatnya kesal, Dafa. Ia menatap Dafa dengan penuh amarah. Sementara Sandi tertawa melihat tatapan Bia pada Dafa. Mendengar tawa temannya, Dafa pun menoleh ke arah
Wajah Bia tampak pucat. Badannya lemas seketika. Matanya masih melotot mendengar Yoga membacakan nama yang muncul di layar monitor adalah namanya."Bianca siapa?" tanya Sandi nampak asing dengan nama yang diucapkan temannya.Bia semakin ketakutan. Sepertinya ia telah salah mengambil kartu memori. Bagaimana jika kartu memori tersebut dapat membongkar rahasia Bia?"Eh, kok mati sih," ucap Yoga panik ketika melihat monitornya berubah menjadi hitam gelap.Berbeda dengan Yoga, Bia justru tampak lega. Ia begitu tenang ketika layar monitor itu mulai mati. Ia tak lagi ketakutan rahasianya terbongkar, terlebih rencananya bersama Andi berjalan seperti yang diinginkan."Kenapa, Yog?" tanya Dafa yang melihat Yoga panik."Komputer gue mati tiba-tiba," jawab Yoga yang masih mengotak-atik komputernya agar menyala."Kok bisa?" tanya Sandi yang kini menghentikan pekerjaannya dan mengalihkan fokusnya pada Yoga."Jangan-jangan karena memorinya, ya, Yog?" tanya Bia
Bia mengemudi mobil dengan cukup santai. Ia membawa teman-temannya ke tempat penahanan pak Tiar. Jalanan tampak macet, weekend kali ini nampaknya banyak orang berlibur.Setelah 20 menit dalam perjalanan, Bia, Dafa, Sandi, dan Yoga sampai di tujuan. Mereka turun dari mobil, sementara Bia masih terdiam. Ia tidak tahu apakah harus turun atau tidak."Bel, ayo," teriak Sandi dari kejauhan meminta Bia untuk ikut dengan mereka. Bia pun hanya memberi kode dengan mengangkat jempol kanannya."Aduh, gak bawa masker," ucap Bia sambil menepuk dahinya. Ia pun terpaksa turun dari mobil dan berlari menuju rekan-rekannya.Terik matahari semakin menyengat. Dafa, Sandi, dan Yoga berlari memasuki kantor. Dengan cepat mereka menuju sebuah ruangan dekat pintu masuk. Di dalam ruangan tersebut pak Irwan nampaknya telah menunggu.Tanpa berlama-lama, Yoga menyampaikan bahwa ia membaca pesan masuk di ponsel pak Tiar dimana pesan itu berupa ancaman."Ayo, Yog. Dafa dan Sandi tunggu
Dag dig dug, jantung Bia masih berdetak begitu kencang. Rahasianya akan segera terbongkar, sedangkan ia hanya bisa berdiam diri. Berharap Tuhan akan melindunginya untuk kesekian kali."Pak Tiar, mohon tenang," teriak pak Irwan. Namun pak Tiar tidak berhenti meneriakkan nama Bia, pak Irwan pun meminta Dafa membawa pak Tiar ke dalam tahanan. Tanpa basa-basi Dafa dibantu Sandi menyeret paksa pak Tiar.Setelah keadaan cukup kondusif, pak Irwan menghampiri Bia yang masih terlihat shock. Diikuti oleh Yoga yang nampak cemas melihat Bia ketakutan. "Bella, kamu baik-baik saja?" tanya pak Irwan.Bia pun coba mengontrol dirinya. Ia harus bersikap normal agar tidak mencurigakan. "Dia gak liat muka Bella, kan?" tanya Bia.Pak Irwan menggelengkan kepala."Gak kok, Bel. Mungkin ini cuma taktik pak Tiar aja, ada rencana apa yang pak Tiar buat kita gak tau. Jadi lebih baik kalau pak Tiar segera kembali ke tahanan." Kali ini Yoga pun ikut menenangkan Bia. Bia lega karena pak
Embun pagi masih menghiasi dedaunan. Kicauan burung menyambut datangnya hari baru. Sementara Bia tertidur pulas di bawah selimut tebalnya. Suara ketukan pintu kamar memaksa Bia membuka mata."Apa sih pagi banget, matahari belum muncul juga," teriak Bia pada seorang dibalik pintu kamarnya."Keluar," terdengar suara Dafa dari balik pintu.Dengan wajah kusut, Bia beranjak dari tempat tidurnya untuk membuka pintu. Ia berjalan dengan mata pekat."Apa?" tanya Bia kesal.Dafa berdiri tegap di hadapan Bia. Ia menggelengkan kepala saat melihat gadis di depannya itu berbicara sambil menutup mata. "Siap-siap, kita ke tempat kemarin."Bia mengerutkan dahi. Ia tidak mengerti tempat apa yang Dafa maksud. "Tempat mana?""Pak Tiar meninggal," ucap Dafa dengan santai.Ucapan Dafa kali ini sontak membuat mata Bia terbuka lebar. Ia sangat terkejut mendengar bahwa pamannya yang kemarin berada dalam tahanan kini telah meninggal. "Se