Share

Episode 3 (Perubahan Bella)

Bia berada di sebuah mall besar di Jakarta. Kini, penampilannya pun berubah, ia tampak seperti Bia asli, bukan Bella. Mengenakan dress selutut berwarna putih, topi putih, sepatu putih, serta masker hitam yang menutupi wajahnya. Sambil menenteng banyak belanjaan, ia berjalan dengan suka ria. Di tangannya, ia menggenggam sebuah ponsel yang baru saja ia beli menggunakan uang Bella.

"Banyak duit juga si Bella," ucapnya. "Huh, sayang banget dia harus meninggal di usia muda. Tapi tenang aja Bel, gue akan cari tau kebenaran tentang elo," lanjutnya seakan Bella berada di depan matanya.

Sambil berjalan, Bia menghubungi seseorang dengan ponsel baru miliknya.

"Halo, Di, lo dimana?" tanya Bia pada seseorang yang diteleponnya.

"Oke, gue kesana sekarang," ucap Bia lalu mematikan telepon. Ia pun berjalan menuju lantai 3 mall.

Sampai lah Bia di cafe lantai 3. Ia melihat sekeliling, pandangannya terhenti ketika melihat sosok pria berjaket cokelat tengah duduk sambil melambaikan tangan pada Bia. Ia pun menghampiri pria tersebut.

Pria kurus dengan tubuh tinggi sekitar 175 cm. Berkulit putih bersih, dengan rambut pendek yang sedikit bergelombang. Pria itu juga mengenakan kacamata minus. Dia adalah Andi, sahabat Bia sejak SMA.

"Hai, Bi," sapanya.

"Hai, Andi." Bia menyapa balik sahabatnya sembari duduk di kursi.

"100% Bia sih," ucap Andi sambil sedikit tertawa.

"Ya iya lah. Emang siapa?" tanya Bia yang juga ikut tertawa. "Kalo foto ini, Bia atau bukan?" lanjut Bia sambil menunjukkan sebuah foto yang ia ambil dari dalam tasnya.

Andi menggelengkan kepala, "rambut sama panjang, sama lurus, kulit sama putih, hidung sama pesek, tapi sedikit lebih gemuk dari Bia."

"Hey, pesek? Parah lo," balas Bia sambil tertawa. Ia berbicara tanpa melepas masker di wajahnya.

"Dia Bella?" tanya Andi. Mungkin Andi adalah satu-satunya orang yang mengetahui rahasia Bia.

Bia mengangguk. "Gimana keadaan rumah? Oma baik-baik aja, kan?" tanya Bia. Wajahnya nampak sedih ketika mengingat sang Oma.

"Oma baik. Sejak pemakaman, Oma jadi jarang keluar rumah. Itu sih yang gue tau. Tapi gue udah pastikan beliau baik-baik aja," ucapan Andi kali ini berhasil membuat Bia tenang.

"Terus, kasus Bella?" tanya Bia lanjut.

Andi melipat kedua tangannya di atas meja. "Seperti yang lo mau, gue udah hancur-in hp Bella sebelum ada orang yang hubungi dia. Juga, setelah gue hubungi Oma soal Bella, Oma bereaksi sesuai prediksi lo."

"Prediksi gue yang kedua," jawab Bia sambil mengangguk-angguk mengerti. "Artinya Bella emang saudara kandung gue. Dan Oma gak mau sampai ada orang yang tau. Tapi kenapa? Oma baik banget kok ke gue." Bia mulai bertanya-tanya, begitu banyak pertanyaan yang ingin ia lontarkan pada sang Oma, namun ia tau bahwa jalan tersebut bukanlah ide yang bagus. Satu-satunya cara untuk mengungkap kebenaran adalah dengan tetap berpura-pura menjadi Bella.

"Oma pasti punya alasan, Bi. Udah jangan sedih, gue akan bantu lo sampai masalah ini betul-betul clear." Andi menenangkan sahabatnya yang terlihat murung.

"Thanks, Di. Oh iya, semua aman kan? Oma gak tau kan kalau lo yang ancam pake foto Bella?" tanya Bia yang kini mengkhawatirkan sahabatnya.

"Harusnya sih aman, setelah gue hubungi Oma, gue hancur-in semua bukti. Dan lo tau, sekitar 2 jam setelah gue w******p, ajudan Oma langsung bereaksi. Nomornya langsung terlacak, untung gue gerak cepet." Andi memang sahabat Bia yang cekatan.

"Ya itu kenapa gue mau temenan sama lo, karena lo smart, bisa diandalkan," puji Bia sambil mengacungkan jempol.

Mendengar pujian Bia, Andi tampak malu. "Heleh, dasar lo. Eh iya, lo tinggal dimana sekarang?"

"Di jl mawar, gue tinggal satu atap sama cowok, Di," ucap Bia yang sontak membuat sahabatnya terkejut.

"Ha?"

"Serius, namanya Dafa. Dia anak dari orang tua yang udah ngasuh Bella," jelas Bella.

"Kakaknya Bella?" tanya Andi.

"Bella naksir berat sama tu cowok, sampai pin ATMnya aja tanggal lahirnya Dafa, kebayang gak lo?"

Andi tertawa lepas mendengar ucapan Bia. "Parah sih, jadi sekarang lo harus pura-pura bucin dong sama si Dafa."

"Gak lah, gue Bia dan tetap Bia. Bella kan amnesia."

"Yaudah yang penting lo hati-hati, Bi. Jangan sampai ketahuan. Kalau ada apa-apa langsung hubungi gue. Sekarang kan lo udah ada hp." Andi mulai mengkhawatirkan sahabatnya. Ia takut terjadi sesuatu pada Bia. Langkah yang Bia ambil memang bukanlah langkah yang mudah.

"Ya, pasti lah. Kalo gak hubungi lo mau hubungi siapa lagi?" balas Bia sambil tersenyum lebar. "Oh iya, Di, gue mau minta tolong cari tahu siapa pemilik nomor telepon ini," kata Bia sembari mengambil sebuah amplop di dalam tasnya. Amplop itu adalah amplop yang ia temui di kamar Bella.

"Oke," jawab Andi santai sambil mengambil amplop dari tangan Bia.

***

Bia sampai di rumah tepat pukul 5 sore. Ia memasuki kamar dan langsung merobohkan badannya di kasur. Tak lupa masker yang sedari tadi menutupi wajahnya pun dilepasnya.

"Hah, akhirnya bisa bernafas bebas," ucapnya sambil menghirup udara yang masuk dari jendela.

Baru 5 menit telentang, tiba-tiba seseorang mengetuk kamar Bia. Ia pun bangkit dari tempat tidur dan membuka pintu.

Dafa berdiri tepat di depan pintu kamar Bia. "Ada apa?" tanya Bia jutek.

Dafa melihat Bia dari ujung kaki hingga ujung rambut. Ia nampak keheranan. "Lupa ingatan bikin Bella jadi feminim?" ucap Dafa.

"Emang kenapa? Bella tambah cantik ya kalo feminim?" tanya Bia sengaja memancing Dafa.

Dafa memalingkan wajah. "Nomor hp kamu," pinta Dafa dengan cuek.

"Buat?"

"Kamu pikir tinggal disini gratis? Kerja. Udah sehat kan, udah bisa ke mall belanja pakaian dan lain-lain? Catat nomor hp kamu, besok masuk kantor jam 7." Dafa mengulurkan ponsel ditangannya pada Bia.

Tanpa komplain, Bia pun menurut. Ia mengambil ponsel dari tangan Dafa dan mencatat nomor teleponnya.

***

Dafa dan Sandi berada di meja masing-masing. Sandi tengah fokus pada pekerjaannya di komputer, sementara Dafa fokus mengecek berkas-berkas. Di dalam kantor memang hanya terdapat 2 komputer, yaitu di meja Sandi dan Yoga. Sementara meja Dafa terdapat tumpukan berkas yang diperolehnya dari Sandi ataupun Yoga.

"Pagi." Bia datang dan memberi ucapan selamat pagi pada rekan-rekannya.

Sandi dan Dafa pun kompak menoleh ke arah pintu masuk.

"Bella?" Sandi terkejut ketika melihat Bia berdandan layaknya wanita feminim. Bia mengenakan celana jeans pendek dengan baju ber-syal berwarna biru muda. Rambut lurusnya terurai indah. Bulu mata lentiknya semakin nampak dengan polesan maskara.

Sandi menoleh ke arah Dafa dengan wajah yang masih tercengang.

"Ini Bella?" tanya Sandi pada Dafa.

Dafa mengangkat bahu, ia juga tidak mengerti dengan perubahan drastis yang dialami Bella sejak amnesia.

Pak Irwan keluar dari ruangan disusul oleh Yoga. Mereka pun tercengang ketika melihat Bia berdiri di pintu masuk.

"Hai," sapa Bia sambil melambaikan tangan pada pak Irwan dan Yoga.

"Hai," balas Yoga yang juga melambaikan tangannya menyambut Bia dengan wajah yang sama terkejutnya dengan Sandi.

"Udah sehat?" tanya pak Irwan mencoba mencairkan suasana yang nampak kaku.

Bia mengangguk sambil tersenyum lebar. Plaster di dahinya telah ia lepas, bekas luka pun sudah tampak samar. Wajah cantiknya terpancar jelas.

"Ya sudah, silahkan ke meja Bella," balas pak Irwan sambil menjulurkan tangannya mengarah pada meja Bella. Hanya pak Irwan yang menyambut Bia dengan normal.

Bia pun bergegas menuju meja.

"Coba aja Bella dari dulu kaya gini, pasti Dafa udah balas suka." Sandi mulai menggoda Bia dan Dafa.

"San," tegur Dafa. Sandi pun terdiam. Sementara pak Irwan terlihat menggelengkan kepala. Ia pun keluar dari kantor diikuti Yoga.

"Pak Irwan sama Yoga pergi kemana?" tanya Bia penasaran.

"Kerja lah," jawab Dafa yang sibuk memilah tumpukan kertas di mejanya.

"Pak Irwan sama Yoga pergi ke kantor polisi. Mau interogasi," jawab Sandi menerangkan kebingungan di kepala Bia.

"Interogasi siapa?" tanya Bia lagi.

"Narapidana. Dirut perusahaan tekstil," jawab Sandi.

"Oh, korupsi?" tanya Bia lagi. Ia tampak begitu penasaran dengan kasus yang ditangani rekannya.

"Bukan, Bel. Penyelundupan." Sandi dengan sabar menjawab pertanyaan Bia. Meski sibuk dengan komputer di depannya, pria bermata sipit ini cukup fokus dengan pertanyaan-pertanyaan Bia.

"Oh," jawab Bia sambil tercengang. Kasus penyelundupan bukanlah kasus yang ringan. Bia tersenyum sendiri tampak begitu senang, ia merasa ini adalah sebuah tantangan serta perjalanan yang seru baginya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status