Share

Episode 5 (Mencairkan es batu)

Bia, Dafa, dan Sandi berhasil membawa buronan yang merupakan komplotan NJ ke kantor polisi. Di sana, pak Irwan dan Yoga telah menunggu untuk melakukan interogasi. Sebelum interogasi dimulai, buronan bertemu dengan NJ yang baru saja keluar dari ruang interogasi. Mereka saling bertatapan dan melempar senyum. Entah apa arti dari senyuman mereka.

"Silahkan masuk," ucap Yoga sembari mengulurkan tangan ke arah ruangan interogasi. Buronan itu pun masuk dengan tersenyum tenang. Dengan tangan di borgol, ia duduk di kursi dan berhadapan langsung dengan pak Irwan yang di dampingi Yoga. Sementara Dafa, Sandi, dan Bia menunggu di luar.

"Bahtiar Pratama," ucap pak Irwan menyebut nama sang buronan. "Nama panggilan Bapak Tiar, CEO di perusahaan e-commerce."

Pria bernama Tiar itu tetap dengan wajah tenang walau tengah di interogasi.

"Kasus apa yang membuat wakil kepala Bareskrim turun langsung untuk menginterogasi?" tanya pak Tiar.

Pak Irwan tersenyum. "Jika bukan kasus berat kenapa harus susah payah berhadapan dengan pria cerdas seperti pak Tiar?" balas pak Irwan yang kini semakin bersemangat untuk melakukan interogasi.

Sementara interogasi berjalan, Bia, Dafa, dan Sandi duduk di kursi luar ruangan.

"Kenapa tiba-tiba pake masker?" tanya Dafa pada Bia yang sampai saat ini tidak melepas masker dari wajahnya.

"Takut keliatan sama buronan, kalau nanti dia bebas terus ketemu di jalan sedangkan aku lagi sendirian gimana? Kalau balas dendam gimana?" jawab Bia yang nampak cemas.

Mendengar penjelasan Bia, Sandi tertawa. "Bel, kamu bener-bener berubah sejak amnesia. Jadi tambah lucu," ucap Sandi yang tidak bisa berhenti tertawa.

"Tapi kata dokter luka kamu gak serius, kenapa lupa ingatannya belum sembuh?" tanya Dafa yang mulai mencurigai Bia. Pria dengan rambut berponi itu memang sedari awal meragukan Bia.

Bia mencoba menutupi rasa cemas akan pertanyaan Dafa, "mana aku tau? Kamu pikir aku pengen lupa ingatan? Tapi syukur sih kalau gak sembuh selamanya, jadi aku gak akan pernah ingat kalau pernah suka sama cowok kaya kamu," ucap Bia dengan kesal.

"Emang sekarang udah gak suka, Bel?" tanya Sandi.

"Gak lah, siapa yang suka sama cowok sedingin salju," balas Bia.

"Salju dingin tapi lembut lho, Bel." Sandi terus menggoda Bia.

"Kalau gitu bukan salju deh, es batu aja. Udah dingin, keras." Bia tak mau kalah.

"Tapi kan bisa mencair, Bel, kalau kamu anget-in." Sandi memang begitu ahli dalam hal menggoda rekan-rekannya.

"Ngomong lagi gue tampol lo, San." Dafa mulai mengeluarkan suara setelah terdiam mendengar obrolan konyol Bia dan Sandi.

Setelah lama menunggu, Yoga keluar dari ruangan interogasi. Sementara pak Irwan dan pak Tiar masih berada di dalam ruangan.

"Gimana, Yog?" tanya Sandi.

Yoga menghampiri teman-temannya.

"Masih interogasi, pak Tiar bukan orang yang mudah ditekan," ucap pria berwajah oval itu.

"Tapi dia mudah di ancam," balas Bia.

"Kok kamu tau, Bel?" tanya Sandi penuh keheranan.

Bia terkejut seakan dirinya salah bicara. "Ya ... ya kan setiap orang takut kalau di ancam?" balas Bia yang kini sedikit gelagapan.

"Kita gak mengancam rakyat, sekalipun mereka narapidana," jawab Dafa. "Dia emang tenang, tapi justru ketenangannya mencurigakan," lanjut pria berambut hitam pekat itu.

"Setuju." Yoga mengangguk, ia sependapat dengan Dafa bahwa pak Tiar memang mencurigakan.

"Bener juga sih, kalo gue di posisi dia, sekalipun gue bener gue gak akan setenang itu sih. Malah kaya ngelunjak gitu kalo tenang-tenang aja, ya gak?" Sandi ikut menyuarakan isi pikirannya.

"Dia lagi pura-pura tenang supaya gak ketauan, mungkin?" Tak luput Bia ikut membicarakan pak Tiar.

"Bisa jadi, atau sebetulnya dia udah punya rencana lain," balas Dafa. Mereka saling bertukar pikiran.

***

Kini Bia dan Dafa sudah berada di rumah. Sore ini langit terlihat mendung, nampaknya hujan akan mengguyur Jakarta.

Dafa dan Bia duduk di kursi ruang keluarga. Untuk pertama kalinya mereka duduk berdua dalam satu ruangan. "Kayanya rumah ini kurang pembantu, deh, jadi bisa makan di rumah gak harus makan di luar," ucap Bia di tengah keheningan.

Dafa memainkan ponselnya, ia tidak merespon Bia. Entah tidak mendengar ucapan Bia atau memang malas untuk menjawab.

Bia nampak kesal dengan tingkah Dafa, "Dafa ... " teriak Bia dengan kencang sembari meletakkan kedua tangan di samping mulutnya.

"Apaan sih?" tanya Dafa menyempitkan mata mendengar teriakan Bia yang memang begitu nyaring di telinga.

"Pem ... ban ... tu ... kita butuh pembantu," ucap Bia dengan begitu jelas.

"Rewel amat abis kecelakaan," balas Dafa dan kembali fokus pada ponselnya.

Bia kembali kesal dengan ucapan Dafa, ia melipat kedua tangannya dan menyenderkan badan di sofa. Kali ini ia harus berpikir keras untuk dapat melunakkan Dafa. Setelah lama berpikir, Bia tampak menemukan ide bagus. Ia tersenyum sambil memandang Dafa yang tengah sibuk dengan ponselnya.

"Gimana kalau aku yang masak setiap hari?" Bia melompat ke sofa tempat Dafa duduk. Kini tidak ada jarak diantara mereka. Sementara Dafa terkejut dan memalingkan ponsel dari arah Bia.

"Ih ngapain pake disembunyiin? Jangan-jangan lagi nonton konten 18+ ya?" Goda Bia yang nampak sengaja memancing emosi Dafa.

"Apaan sih horni banget pikirannya. Sana cepetan kalo mau masak," usir Dafa yang kini tak hanya menjauhkan ponselnya, namun juga bergeser menjauhi Bia.

"Oke," balas Bia sambil mengedipkan sebelah matanya pada Dafa. Hal itu tentu saja membuat Dafa sedikit merinding.

Bia berjalan menuju dapur. Ia nampak begitu gembira. Ia mulai dengan mengambil beberapa bahan di kulkas untuk dimasaknya. Waktu menunjukkan pukul 5 sore, hujan pun mulai turun. Bia menikmati aktivitasnya di dapur, ia memasak sembari bernyanyi ria. Suara rintikan hujan berpadu dengan nyanyian Bia, sangat mengganggu ketenangan Dafa.

"Udah selesai?" tanya Dafa menghampiri Bia ke dapur. Sepertinya ia sudah mulai kelaparan.

"5 menit lagi," jawab Bia sambil mengaduk masakannya yang belum matang.

"Lama amat," seru Dafa sembari duduk di meja makan menunggu Bia.

"Rewel amat tinggal makan," balas Bia yang tak mau terus menerus mengalah.

Tepat seperti yang Bia ucapkan, setelah 5 menit berjalan masakan pun selesai. Bia menghidangkan masakannya di meja makan. Wangi masakan Bia tercium lezat. Ia memasak udang dan juga sayur bayam.

"Tara ... udah selesai," ucap Bia sembari mempersilahkan Dafa untuk mencicipi masakannya.

Tanpa berpikir panjang, Dafa pun mengambil nasi dan mulai mencicipi masakan Bia.

"Sejak kapan Bella bisa masak?" tanya Dafa yang terlihat begitu menikmati makanannya.

"Iyalah, semua berawal dari masakan," ucap Bia pelan. Ia berbicara pada dirinya sendiri, bukan pada Dafa. Bia pun turut mencicipi masakannya. Dan lagi, untuk pertama kali Bia dan Dafa akur bahkan mereka makan bersama dalam satu meja.

Setelah selesai makan, Dafa beranjak dari kursi dan hendak membawa piring ke wastafel tempat mencuci piring.

"Gak usah," Bia berdiri dan dengan cepat mengambil piring yang berada di tangan Dafa. "Biar Bella aja yang cuci," ucapnya dengan memberikan senyuman lebar pada Dafa.

"Oh yaudah," ucap Dafa dengan senang hati lalu pergi meninggalkan dapur.

Bia tersenyum kecut, "seperti kata Sandi, es batu akan mencair juga kalo dianget-in," ucapnya. Kali ini Bia berencana untuk membuat Dafa luluh padanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status