Bia, Dafa, dan Sandi berhasil membawa buronan yang merupakan komplotan NJ ke kantor polisi. Di sana, pak Irwan dan Yoga telah menunggu untuk melakukan interogasi. Sebelum interogasi dimulai, buronan bertemu dengan NJ yang baru saja keluar dari ruang interogasi. Mereka saling bertatapan dan melempar senyum. Entah apa arti dari senyuman mereka.
"Silahkan masuk," ucap Yoga sembari mengulurkan tangan ke arah ruangan interogasi. Buronan itu pun masuk dengan tersenyum tenang. Dengan tangan di borgol, ia duduk di kursi dan berhadapan langsung dengan pak Irwan yang di dampingi Yoga. Sementara Dafa, Sandi, dan Bia menunggu di luar."Bahtiar Pratama," ucap pak Irwan menyebut nama sang buronan. "Nama panggilan Bapak Tiar, CEO di perusahaan e-commerce."Pria bernama Tiar itu tetap dengan wajah tenang walau tengah di interogasi."Kasus apa yang membuat wakil kepala Bareskrim turun langsung untuk menginterogasi?" tanya pak Tiar.Pak Irwan tersenyum. "Jika bukan kasus berat kenapa harus susah payah berhadapan dengan pria cerdas seperti pak Tiar?" balas pak Irwan yang kini semakin bersemangat untuk melakukan interogasi.Sementara interogasi berjalan, Bia, Dafa, dan Sandi duduk di kursi luar ruangan."Kenapa tiba-tiba pake masker?" tanya Dafa pada Bia yang sampai saat ini tidak melepas masker dari wajahnya."Takut keliatan sama buronan, kalau nanti dia bebas terus ketemu di jalan sedangkan aku lagi sendirian gimana? Kalau balas dendam gimana?" jawab Bia yang nampak cemas.Mendengar penjelasan Bia, Sandi tertawa. "Bel, kamu bener-bener berubah sejak amnesia. Jadi tambah lucu," ucap Sandi yang tidak bisa berhenti tertawa."Tapi kata dokter luka kamu gak serius, kenapa lupa ingatannya belum sembuh?" tanya Dafa yang mulai mencurigai Bia. Pria dengan rambut berponi itu memang sedari awal meragukan Bia.Bia mencoba menutupi rasa cemas akan pertanyaan Dafa, "mana aku tau? Kamu pikir aku pengen lupa ingatan? Tapi syukur sih kalau gak sembuh selamanya, jadi aku gak akan pernah ingat kalau pernah suka sama cowok kaya kamu," ucap Bia dengan kesal."Emang sekarang udah gak suka, Bel?" tanya Sandi."Gak lah, siapa yang suka sama cowok sedingin salju," balas Bia."Salju dingin tapi lembut lho, Bel." Sandi terus menggoda Bia."Kalau gitu bukan salju deh, es batu aja. Udah dingin, keras." Bia tak mau kalah."Tapi kan bisa mencair, Bel, kalau kamu anget-in." Sandi memang begitu ahli dalam hal menggoda rekan-rekannya."Ngomong lagi gue tampol lo, San." Dafa mulai mengeluarkan suara setelah terdiam mendengar obrolan konyol Bia dan Sandi.Setelah lama menunggu, Yoga keluar dari ruangan interogasi. Sementara pak Irwan dan pak Tiar masih berada di dalam ruangan."Gimana, Yog?" tanya Sandi.Yoga menghampiri teman-temannya."Masih interogasi, pak Tiar bukan orang yang mudah ditekan," ucap pria berwajah oval itu."Tapi dia mudah di ancam," balas Bia."Kok kamu tau, Bel?" tanya Sandi penuh keheranan.Bia terkejut seakan dirinya salah bicara. "Ya ... ya kan setiap orang takut kalau di ancam?" balas Bia yang kini sedikit gelagapan."Kita gak mengancam rakyat, sekalipun mereka narapidana," jawab Dafa. "Dia emang tenang, tapi justru ketenangannya mencurigakan," lanjut pria berambut hitam pekat itu."Setuju." Yoga mengangguk, ia sependapat dengan Dafa bahwa pak Tiar memang mencurigakan."Bener juga sih, kalo gue di posisi dia, sekalipun gue bener gue gak akan setenang itu sih. Malah kaya ngelunjak gitu kalo tenang-tenang aja, ya gak?" Sandi ikut menyuarakan isi pikirannya."Dia lagi pura-pura tenang supaya gak ketauan, mungkin?" Tak luput Bia ikut membicarakan pak Tiar."Bisa jadi, atau sebetulnya dia udah punya rencana lain," balas Dafa. Mereka saling bertukar pikiran.***Kini Bia dan Dafa sudah berada di rumah. Sore ini langit terlihat mendung, nampaknya hujan akan mengguyur Jakarta.Dafa dan Bia duduk di kursi ruang keluarga. Untuk pertama kalinya mereka duduk berdua dalam satu ruangan. "Kayanya rumah ini kurang pembantu, deh, jadi bisa makan di rumah gak harus makan di luar," ucap Bia di tengah keheningan.Dafa memainkan ponselnya, ia tidak merespon Bia. Entah tidak mendengar ucapan Bia atau memang malas untuk menjawab.Bia nampak kesal dengan tingkah Dafa, "Dafa ... " teriak Bia dengan kencang sembari meletakkan kedua tangan di samping mulutnya."Apaan sih?" tanya Dafa menyempitkan mata mendengar teriakan Bia yang memang begitu nyaring di telinga."Pem ... ban ... tu ... kita butuh pembantu," ucap Bia dengan begitu jelas."Rewel amat abis kecelakaan," balas Dafa dan kembali fokus pada ponselnya.Bia kembali kesal dengan ucapan Dafa, ia melipat kedua tangannya dan menyenderkan badan di sofa. Kali ini ia harus berpikir keras untuk dapat melunakkan Dafa. Setelah lama berpikir, Bia tampak menemukan ide bagus. Ia tersenyum sambil memandang Dafa yang tengah sibuk dengan ponselnya."Gimana kalau aku yang masak setiap hari?" Bia melompat ke sofa tempat Dafa duduk. Kini tidak ada jarak diantara mereka. Sementara Dafa terkejut dan memalingkan ponsel dari arah Bia."Ih ngapain pake disembunyiin? Jangan-jangan lagi nonton konten 18+ ya?" Goda Bia yang nampak sengaja memancing emosi Dafa."Apaan sih horni banget pikirannya. Sana cepetan kalo mau masak," usir Dafa yang kini tak hanya menjauhkan ponselnya, namun juga bergeser menjauhi Bia."Oke," balas Bia sambil mengedipkan sebelah matanya pada Dafa. Hal itu tentu saja membuat Dafa sedikit merinding.Bia berjalan menuju dapur. Ia nampak begitu gembira. Ia mulai dengan mengambil beberapa bahan di kulkas untuk dimasaknya. Waktu menunjukkan pukul 5 sore, hujan pun mulai turun. Bia menikmati aktivitasnya di dapur, ia memasak sembari bernyanyi ria. Suara rintikan hujan berpadu dengan nyanyian Bia, sangat mengganggu ketenangan Dafa."Udah selesai?" tanya Dafa menghampiri Bia ke dapur. Sepertinya ia sudah mulai kelaparan."5 menit lagi," jawab Bia sambil mengaduk masakannya yang belum matang."Lama amat," seru Dafa sembari duduk di meja makan menunggu Bia."Rewel amat tinggal makan," balas Bia yang tak mau terus menerus mengalah.Tepat seperti yang Bia ucapkan, setelah 5 menit berjalan masakan pun selesai. Bia menghidangkan masakannya di meja makan. Wangi masakan Bia tercium lezat. Ia memasak udang dan juga sayur bayam."Tara ... udah selesai," ucap Bia sembari mempersilahkan Dafa untuk mencicipi masakannya.Tanpa berpikir panjang, Dafa pun mengambil nasi dan mulai mencicipi masakan Bia."Sejak kapan Bella bisa masak?" tanya Dafa yang terlihat begitu menikmati makanannya."Iyalah, semua berawal dari masakan," ucap Bia pelan. Ia berbicara pada dirinya sendiri, bukan pada Dafa. Bia pun turut mencicipi masakannya. Dan lagi, untuk pertama kali Bia dan Dafa akur bahkan mereka makan bersama dalam satu meja.Setelah selesai makan, Dafa beranjak dari kursi dan hendak membawa piring ke wastafel tempat mencuci piring."Gak usah," Bia berdiri dan dengan cepat mengambil piring yang berada di tangan Dafa. "Biar Bella aja yang cuci," ucapnya dengan memberikan senyuman lebar pada Dafa."Oh yaudah," ucap Dafa dengan senang hati lalu pergi meninggalkan dapur.Bia tersenyum kecut, "seperti kata Sandi, es batu akan mencair juga kalo dianget-in," ucapnya. Kali ini Bia berencana untuk membuat Dafa luluh padanya.Waktu menunjukkan pukul 06.45. Kantor nampak sepi, hanya ada Sandi yang tengah sibuk dengan komputernya. Jaket di tubuhnya pun tak sempat ia lepas. Pria bermata sipit dengan tubuh berisi itu nampak begitu serius dengan pekerjaannya."Pagi," sapa seorang yang muncul dari pintu masuk, dia adalah Bia. Wanita itu kali ini berpakaian cantik dengan rambut lurus yang terikat. Memakai sedikit eyeshadow, dengan bibir merah merona. Jeans pendek dengan atasan kaos berwarna putih bersih."Pagi, Bella. Cantik banget hari ini," goda Sandi yang melihat Bia berdiri tegap di pintu masuk. Hanya melirik sebentar, Sandi kembali fokus pada komputer. Anehnya, walau begitu cantik, Bia tak mampu menarik perhatian Sandi. Hal itu membuat Bia melipat bibirnya."Kenapa?" tanya Sandi menghentikan pekerjaannya lalu fokus pada Bia yang masih berdiri tegap."Cantik, kan? Kok kamu kaya biasa aja. Ngomong doang cantik tapi gak diliat," ucap Bia ketus sembari berjalan melewati Sandi, ia pergi men
Bia duduk di sebuah cafe di dalam mall tempat sebelumnya ia bertemu dengan Andi. Tak lupa ia mengenakan masker yang menutupi wajah cantiknya. Topi hitam yang entah dari mana ia dapat juga menyempurnakan penyamarannya. Ia memutar-mutar ponselnya sambil sesekali menoleh ke kanan dan ke kiri."Dor ... ." Setelah cukup lama terdiam, seseorang datang mengagetkan Bia."Andi," teriak Bia yang kesal dengan ulah temannya.Di balik masker, Andi nampak tertawa lepas. Ia pun duduk di kursi dekat Bia."Ngapain pake masker juga?" tanya Bia."Biar gak ada yang liat. Tau nggak, waktu dulu kita ketemu disini, temen nongkrong kita si Geo liat gue. Dikira gue lagi nge-date, untung aja gak nyamperin. Bisa bahaya, kan?" jelas Andi.Bia terkejut mendengar ucapan Andi, ia takut penyamarannya akan terbongkar, "yap, Lo emang harus pake masker juga," balasnya."Gimana semua? Aman?" tanya Andi sambil menyeruput secangkir capuccino yang telah di pesan oleh Bia. Hanya membuka ma
Matahari perlahan mulai terbit. Kicauan burung membangunkan Bia dari tidur. Setelah terkena hangatnya mentari, Bia beranjak dari kasur lalu berlari keluar kamar. Ia menoleh ke seluruh sudut ruangan, menatap lekat kamar di ujung yang merupakan kamar Dafa. Namun tak ada tanda Dafa pulang sejak kemarin."Hufff ... ." Bia terlihat begitu kesal lantaran Dafa meninggalkannya sendiri di rumah tanpa pamit. Ia kembali ke dalam kamar dengan wajah lesu. Bia pun bersiap untuk berangkat bekerja.Bia berjalan dengan wajah tertunduk lemas memasuki kantor. Di sana, Dafa terlihat sibuk dengan pekerjaannya. Tak luput, Sandi dan Yoga berada di meja masing-masing.Menyadari kedatangan Bia, Sandi pun menyapa, "pagi Bella, kusut banget mukanya hari ini."Bia mengangkat kepalanya, matanya kini tertuju pada sosok pria yang membuatnya kesal, Dafa. Ia menatap Dafa dengan penuh amarah. Sementara Sandi tertawa melihat tatapan Bia pada Dafa. Mendengar tawa temannya, Dafa pun menoleh ke arah
Wajah Bia tampak pucat. Badannya lemas seketika. Matanya masih melotot mendengar Yoga membacakan nama yang muncul di layar monitor adalah namanya."Bianca siapa?" tanya Sandi nampak asing dengan nama yang diucapkan temannya.Bia semakin ketakutan. Sepertinya ia telah salah mengambil kartu memori. Bagaimana jika kartu memori tersebut dapat membongkar rahasia Bia?"Eh, kok mati sih," ucap Yoga panik ketika melihat monitornya berubah menjadi hitam gelap.Berbeda dengan Yoga, Bia justru tampak lega. Ia begitu tenang ketika layar monitor itu mulai mati. Ia tak lagi ketakutan rahasianya terbongkar, terlebih rencananya bersama Andi berjalan seperti yang diinginkan."Kenapa, Yog?" tanya Dafa yang melihat Yoga panik."Komputer gue mati tiba-tiba," jawab Yoga yang masih mengotak-atik komputernya agar menyala."Kok bisa?" tanya Sandi yang kini menghentikan pekerjaannya dan mengalihkan fokusnya pada Yoga."Jangan-jangan karena memorinya, ya, Yog?" tanya Bia
Bia mengemudi mobil dengan cukup santai. Ia membawa teman-temannya ke tempat penahanan pak Tiar. Jalanan tampak macet, weekend kali ini nampaknya banyak orang berlibur.Setelah 20 menit dalam perjalanan, Bia, Dafa, Sandi, dan Yoga sampai di tujuan. Mereka turun dari mobil, sementara Bia masih terdiam. Ia tidak tahu apakah harus turun atau tidak."Bel, ayo," teriak Sandi dari kejauhan meminta Bia untuk ikut dengan mereka. Bia pun hanya memberi kode dengan mengangkat jempol kanannya."Aduh, gak bawa masker," ucap Bia sambil menepuk dahinya. Ia pun terpaksa turun dari mobil dan berlari menuju rekan-rekannya.Terik matahari semakin menyengat. Dafa, Sandi, dan Yoga berlari memasuki kantor. Dengan cepat mereka menuju sebuah ruangan dekat pintu masuk. Di dalam ruangan tersebut pak Irwan nampaknya telah menunggu.Tanpa berlama-lama, Yoga menyampaikan bahwa ia membaca pesan masuk di ponsel pak Tiar dimana pesan itu berupa ancaman."Ayo, Yog. Dafa dan Sandi tunggu
Dag dig dug, jantung Bia masih berdetak begitu kencang. Rahasianya akan segera terbongkar, sedangkan ia hanya bisa berdiam diri. Berharap Tuhan akan melindunginya untuk kesekian kali."Pak Tiar, mohon tenang," teriak pak Irwan. Namun pak Tiar tidak berhenti meneriakkan nama Bia, pak Irwan pun meminta Dafa membawa pak Tiar ke dalam tahanan. Tanpa basa-basi Dafa dibantu Sandi menyeret paksa pak Tiar.Setelah keadaan cukup kondusif, pak Irwan menghampiri Bia yang masih terlihat shock. Diikuti oleh Yoga yang nampak cemas melihat Bia ketakutan. "Bella, kamu baik-baik saja?" tanya pak Irwan.Bia pun coba mengontrol dirinya. Ia harus bersikap normal agar tidak mencurigakan. "Dia gak liat muka Bella, kan?" tanya Bia.Pak Irwan menggelengkan kepala."Gak kok, Bel. Mungkin ini cuma taktik pak Tiar aja, ada rencana apa yang pak Tiar buat kita gak tau. Jadi lebih baik kalau pak Tiar segera kembali ke tahanan." Kali ini Yoga pun ikut menenangkan Bia. Bia lega karena pak
Embun pagi masih menghiasi dedaunan. Kicauan burung menyambut datangnya hari baru. Sementara Bia tertidur pulas di bawah selimut tebalnya. Suara ketukan pintu kamar memaksa Bia membuka mata."Apa sih pagi banget, matahari belum muncul juga," teriak Bia pada seorang dibalik pintu kamarnya."Keluar," terdengar suara Dafa dari balik pintu.Dengan wajah kusut, Bia beranjak dari tempat tidurnya untuk membuka pintu. Ia berjalan dengan mata pekat."Apa?" tanya Bia kesal.Dafa berdiri tegap di hadapan Bia. Ia menggelengkan kepala saat melihat gadis di depannya itu berbicara sambil menutup mata. "Siap-siap, kita ke tempat kemarin."Bia mengerutkan dahi. Ia tidak mengerti tempat apa yang Dafa maksud. "Tempat mana?""Pak Tiar meninggal," ucap Dafa dengan santai.Ucapan Dafa kali ini sontak membuat mata Bia terbuka lebar. Ia sangat terkejut mendengar bahwa pamannya yang kemarin berada dalam tahanan kini telah meninggal. "Se
"Istrinya."Akhirnya pak Irwan membuka mulutnya. Ia memberitahukan rekan-rekannya bahwa istri pak Tiar lah yang membawakan makan malam. Sontak hal tersebut membuat semua terkejut, terutama Bia. Terlihat dari raut wajahnya ia tak menyangka bahwa bibinya lah yang meracuni sang paman."Masuk akal, istrinya kasi makan malam. Setelah suaminya meninggal, pihak keluarga enggan untuk dilakukan otopsi. Tanpa penyelidikan sudah jelas istrinya adalah tersangka utama," jawab Sandi. Kali ini suaranya cukup mewakilkan semua orang."Setuju," balas Yoga. Sementara Dafa hanya terdiam. Ia masih berpikir keras coba mendalami kasus kali ini sebelum akhirnya membuka suara."Gak setuju," ucapan Bia kali ini cukup untuk mencengangkan seluruh rekannya. "Seorang istri pasti mencintai suaminya dan ingin hidup bersama selamanya. Jadi gak mungkin istri pak Tiar pelakunya."Sandi pun mempertanyakan pendapat Bia, "terus kenapa sang istri menolak untuk otopsi?"