Salma tertegun.
Valeri maju, dia menunduk melihat harga mantel pada label, lalu berkata, "Lagipula, ini sangat mahal. Aku rasa Kak Salma nggak akan mampu membelinya." Mantel itu memang berharga fantastis, namun itu bukan apa-apa bagi Salma. Yang membuatnya terkejut adalah perlakuan Rajasa. Dia mengangkat dagunya dan menatap Rajasa dengan dingin, "Kamu bisa memberikannya padanya. Aku sudah nggak minat." Salma membalik dan pergi. Dia bahkan nggak menoleh sama sekali. Ketika Salma hendak masuk ke dalam mobil, sebuah suara menahannya. "Kamu sangat penasaran sampai menyusul ke Durna. Wah, istri Rajasa sangat pencemburu!" Salma menoleh dan melihat Dibyo. Pria itu bersandar pada mobilnya dengan pakaian tebal. Pria itu berjalan mendekatinya, lalu berkata dengan santai, "Kuberitahu ya, Rajasa bahkan mengajak sahabat-sahabatnya liburan bersama Valeri. Kamu saja yang istrinya nggak pernah dia ajak. Bukankah sangat kasihan? Hanya orang bodoh yang akan mempertahankan statusmu." Salma mengangkat alisnya. Dia menatap Dibyo tajam. Bibirnya tersenyum. Pria itu tertegun sejenak. Meskipun dia tidak menyukai Salma, namun kecantikan wanita ini memang nggak bisa ditampik oleh pria manapun. "Aku baru tahu kalau ada pria bermulut wanita setelah bertemu denganmu, Dibyo." Sindiran Salma sangat tajam, ekspresi Dibyo menjadi muram. Selama ini Salma tidak pernah berani membalasnya karna dia adalah sahabat Rajasa. Namun hari ini, Salma memandangnya tanpa sungkan, "Awalnya aku bingung mengapa Rajasa bisa memiliki sahabat seperti kamu. Tapi akhirnya aku mengerti, pria yang mendua memang biasanya akan cocok dengan pria bermulut wanita." Wajah Dibyo menjadi merah karna menahan marah. Namun Salma yang tak peduli langsung masuk ke dalam mobilnya dan pergi. Keesokan harinya, setelah ayahnya cukup membaik, Salma kembali ke Yugos. Ketika ia sampai di rumah pernikahannya, tidak ada tanda-tanda bahwa Rajasa telah kembali. Pengamanannya memang ketat, namun Rajasa hanya menempatkan tiga orang pelayan disana sehingga rumah itu selalu terlihat sepi. Salma merasa tubuhnya demam, dia mengompres dirinya dengan air hangat lalu memilih tidur. Rajasa kembali malam itu juga. Ia tidak sempat makan dalam perjalanan kembali sehingga pria itu tidak melewatkan makan malam. Ketika dia melihat meja makan yang penuh hidangan namun tak ada Salma, Rajasa bertanya pada pelayan, "Dimana dia?" "Nyonya sedang dikamar, Tuan." Rajasa tak bertanya lagi. Dia mencicipi makanannya dan merasa itu tidak familiar di lidahnya. Itu tidak seenak biasanya. Dia akhirnya kembali bertanya, "Salma yang memasak ini?" "Tidak Tuan. Saya yang memasaknya, Nyonya tidak ke dapur hari ini. " Jawab pelayan itu lagi. Selera makan Rajasa lenyap. Dia mengambil bungkusan mantel di atas kursi. Mantel itu berbeda dengan mantel yang disukai oleh Salma, namun dia sudah mencari yang paling mirip. Seharusnya, Salma menyukainya juga. Setelah berpikir sejenak, Rajasa meraih mantel itu dan berjalan ke arah kamar utama. Rajasa mengetuk tiga kali, namun nggak ada sahutan. Ketika dia memutar snop pintu, itu tidak terkunci. Dia melangkah masuk ke dalam kamar utama. Itu adalah kamar pernikahan yang tidak pernah di tidurinya selama tiga tahun. Matanya yang tajam menangkap sosok Salma. Wanita itu tidur dengan selimut yang sangat tipis menutup sampai ke dagu. Rajasa sempat mendengar laporan dari pelayan kalau Salma sedang demam. Ia mendekat dan berdiri disamping ranjang, meletakkan mantel dalam bungkusan itu di atas nakas. Dia mengulurkan tangan untuk menyentuh dahi Salma. Itu masih agak panas. Tangannya bergerak menyingkap selimut, saat itu Salma terbangun. Pandangan mereka bertemu. Mata Salma yang terlihat memerah melotot galak. Dia menarik selimutnya dengan cepat. "Kamu ngapain?!" Rajasa terdiam. Dia hanya bermaksud memeriksa panas di leher wanita itu, nggak sadar kalau Salma hanya menggunakan pakaian dalam di balik selimut. Tenggorokannya terasa kering, jakunnya bergerak namun ekspresinya menjadi datar. "Ini mantel untukmu." Ucapnya sambil melirik mantel di atas nakas. Salma menyelimuti dirinya dengan protektif lalu berkata, "Kamu boleh keluar." Rajasa mengamatinya, suaranya terdengar sedikit dalam ketika berkata, "Kenapa kamu nggak pakai baju?" Pria itu berdiri disana, menunduk menatapnya dengan wajah tampan yang datar. Rajasa bertanya mengapa ia nggak pakai baju! Telinga Salma memerah. Suaranya yang serak dan lemah terdengar, "Aku lagi demam, ini pengobatan terbaik. Jangan masuk ke kamar wanita secara sembarangan!" Meski lemah, dia memaksa untuk terdengar galak. Rajasa menatap wanita itu. Kamar wanita apanya? Ini adalah kamar pernikahan mereka. Dia melihat wajah Salma yang pucat, mata yang indah terlihat berair dan sudut matanya memerah. "Aku tahu metode yang lebih baik." Salma melihat ke arah Rajasa dan mengernyit. Pria itu membuka satu kancing bajunya. Salma melotot. Ia tahu pria itu bermaksud menghangatkannya dengan skinship. Itu memang lebih efisien, namun siapa yang menjamin tidak terjadi hal lainnya? Rajasa telah melepas kemeja putih yang dia gunakan dan menaruhnya ke atas nakas. Tubuh bagian atas pria itu benar-benar menggoda, ototnya-ototnya terbentuk dengan baik, mengalir sempurna dan membentuk V line yang menggoda di ujung pinggangnya. "Nggak!" Salma menatap horror, wajahnya yang pucat menjadi merah seketika. Dia memang sangat mencintai Rajasa, namun pria itu telah berselingkuh secara terang-terangan di hadapannya. Dia tidak mau pria itu menyentuhnya dengan tangannya yang telah memegang wanita lain! Rajasa tersenyum miring, "Kenapa nggak? Bukankah kita suami -istri? Seharusnya nggak jadi masalah." ----Rajasa masih berdiri di sana ruangan, memandangi wajah cantik Salma yang tanpa riasan namun tak bosan dipandang. Wajah pria itu datar, tapi sorot matanya tampak menahan sesuatu. Mungkin amarah. Mungkin kecewa. Atau mungkin hanya hampa.“Aku minta maaf,” ucapnya akhirnya.Salma menoleh. “Untuk yang mana?”“Untuk… semua yang membuatmu menjauh. Untuk membuatmu takut bersamaku. Untuk merasa kau harus menyiapkan aroma penetral demi menyelamatkan dirimu sendiri dari aku.”Ucapan itu mengejutkan Salma. Dia tak mengira Rajasa akan mengucapkan kalimat seperti itu. Ia menarik napas, lalu bersandar ke pintu, menyilangkan tangan di depan dada.“Aku nggak takut padamu, Rajasa,” katanya pelan. “Tapi aku takut kehilangan kendali. Aku takut membiarkan diriku larut dalam sesuatu yang seharusnya sudah selesai.”Rajasa mengangguk. Ia mengerti.Ada banyak hal yang sebenarnya ingin ia katakan, namun lidahnya terasa berat. “Kau masih mencintaiku?” tanya Rajasa, pelan sekali.Salma mendongak, tatapannya
Di ruang prediential room nomor 105, pencahayaan tampak lembut. Dua sosok terbaring di atas tempat tidur. Rajasa mencium puncak kepala Salma. "Orang yang kamu bilang itu, berapa lama lagi akan datang?"Salma berkata, "Sedikit lagi, asisten ku sudah kemarin untuk mengantarkan penetral." Selebihnya, ia tak berkata apa-apa. Hanya merasakan tangan Rajasa yang memeluknya erat dan sesekali mencium rambutnya. Ketika Rajasa berkata dia menginginkannya, Salma diterpa kembimbangan. Nalarnya nyaris tidak bekerja ketika Rajasa membawanya ke tempat tidur dan mengungkungnya di sana.Ketika tangan pria itu menyusup di balik kemejanya, seluruh akal sehat Salma kembali. Bagaimana bisa dia bersama dengan Rajasa sedangkan pria itu sendiri memiliki Valeri? Dia bahkan sudah melayangkan gugatan cerai, apa yang terjadi sekarang terasa sangat salah. Salma memiliki kenalan ilmuan kimia yang terkenal. Dia tahu ini bisa di atasi. Rajasa sudah terlihat lebih tenang. Meskipun ada sekelumit sorot kecewa, namun
Tangan besar Rajasa merengkuh pinggang Valeri, kemudian dia mendorong dengan tegas. Wanita itu termundur keluar. Saat itu, Rajasa memerintah dengan lugas, "Keluar sekarang juga."Pandangan matanya tajam dan menusuk, "Aku berhutang janji untuk menjagamu. Bukan merusak."Ucapan Rajasa yang tegas membuat Valeri merasa kesal namun juga tak berdaya. Pria itu terang-terangan menolak. Rajasa maju dan langsung menutup pintu kaca geser tersebut, sepenuhnya menciptakan batas antara dirinya dengan Valeri. Valeri kehabisan cara. Dia tidak berani memaksa lebih jauh. Meskipun Rajasa sangat memanjakannya, pria itu tetap menetapkan batas-batas yang tidak bisa dilanggar. Dia terlihat dekat, namun Valeri merasa pada saat yang bersamaan dia juga berjarak. Valeri keluar dari kamar mandi sambil menghentakkan kakinya. Tiga puluh menit kemudian, Rajasa telah keluar dari sana dengan pakaian kasual. Rambutnya yang basah dan acak-acakan membuatnya terlihat dipenuhi pesona muda yang penuh energi dan vitalita
Setelah berada dalam kamar, Valeri segera berkata, "Kak Rajasa, kamu mandi dulu. Tadi salah satu asistenmu sudah mengantarkan pakaian ganti." Rajasa tidak berbicara dan langsung masuk ke dalam kamar mandi. Dia juga sudah merasa sedikit gerah. Rajasa mulai membersihkan diri di bawah shower air hangat. Pria itu terus memikirkan Salma. Apa yang wanita itu lakukan bersama Jonathan di dalam kamar? Meski sebuah kamar presidential suite itu luas dan tak ubahnya seperti apartemen sendiri, namun Rajasa tetap merasa terganggu membayangkannya. Rajasa tidak menyukai perasaan itu. Tangan kanannya menumpu pada dinding. Aliran air menelusuri garis rahangnya yang tegas. Saat itulah Rajasa mulai menyadari kalau ada bau aneh yang samar di sekeliling kamar mandi, berasal dari diffusser yang menyala. Bersamaan dengan itu, Rajasa mulai merasakan kejanggalan dalam suasana hati dan tubuhnya. Dia merasa panas. Aliran darahnya menjadi cepat dan otot-ototnya menegang. Pria itu tersentak. Otaknya yang
"Pak Investor, apakah ada pertanyaan?"Rajasa menggeleng, "Kamu menjelaskannya dengan baik."Salma menganggukkan kepala, "Kalau begitu aku pamit dulu." Rajasa buru-buru mencegah, "Salma."Salma menoleh ke arahnya. Dia tidak bertanya, hanya menunggu Rajasa berbicara. Pria itu berkata dengan serius, "Kalau kamu mau, aku bisa memberikan beberapa proyek Fontier Group padamu."Salma tidak langsung menanggapi, dia perlahan-lahan tersenyum. Rajasa mengira Salma setuju. Dia merasa bakat Salma sangat menjanjikan, wanita ini bisa bersinar jika dibukakan jalan. "Pak Rajasa sangat baik. Tapi maaf, aku terlalu sibuk. Kontrakku lumayan padat, aku nggak bisa menerima tawaran Pak Rajasa."Rajasa tertegun. Bahkan Pak Juga yang sedari tadi hanya menjadi pendengar turut terkejut. Dia memang tahu Salma seorang arsitek profesional, namun tidak sampai pada level kepercayaan diri menolak kontrak dengan Fontier Grup! Fontier Grup adalah pengendali ekonomi di Yugos! Bisa bekerja sama dengan grup mega bint
Saat telah berada di bawah, Pak Jugo dan Rajasa langsung berjalan ke arah Salma. Wanita itu menghela napas berat, lalu memakai bathrobenya yang tersampir di kursi lipat. Rajasa dan Pak Jugo telah sampai. Pak Jugo segera berinisiatif menyapa lebih dulu, "Nona, kebetulan sekali. Investor kami ingin berbincang dengan Anda tentang desain kolam -kolam yang ada di resort ini. Saya harap Anda nggak keberatan." "Saya merasa telah mengganggu waktu senggang Anda, barangkali Anda bersedia saya traktir?" Suara Rajasa menyela. Pria itu berdiri dengan auranya yang mulia, sepasang tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Dia menatap Salma dengan santai seperti biasa. Salma melihat pada Rajasa dan berkata, "Apa yang ingin Anda bicarakan? Saya rasa nggak masalah kalau langsung saja." Salma benar-benar sedang bersantai, dia tidak menyangka akan bertemu Rajasa di tempat ini. Dia juga tidak mengira Rajasa adalah pemilik resort Asmara. Meski itu tidak terlalu mengherankan, namun Salma tetap