Salma terbang ke negara Durna keesokan harinya . Begitu ia tiba, Aritama menyambutnya dengan dingin, "Gimana kabarmu?"
Salma menatapnya, "Dimana Ayah?" Ia benar-benar tak ingin membuang waktu. Aritama tak berkata-kata lagi, hanya melangkah didepannya. Dia membawa Salma ke kamar utama, Ayah mereka, Timothy, Raja Negara Durna terbaring lemah. Pemimpin negara monarki itu masih sempat tersenyum ketika melihat Salma, enggan kehilangan wibawanya. Salma berdiri disisinya, menatapnya dalam diam. "Kamu sudah menghilang tiga tahun, kenapa tidak memelukku dulu?" Timothy berkata sambil mengulurkan tangannya. "Aku rasa nggak perlu." Tukas Salma, ia melihat wajah pucat ayahnya yang menua dan berkata, "Sepertinya penyakitmu juga nggak terlalu parah." "Kak, kamu.... " Aritama nampak tidak senang, namun Timothy mengangkat tanganmenyuruhnya diam, "Kamu sudah di sini, Ayah sangat senang. Tinggallah beberapa hari." Lelaki itu lalu mulai memejamkan mata begitu obat penenangnya bereaksi. Salma melihat ke arah Timothy, ia terdiam sejenak. Rajasa tidak akan kembali dalam tujuh hari, ia tidak memiliki urgensi untuk pulang. Wanita ini mengangguk. "Aku akan tinggal di sini untuk beberapa hari. Saat hendak meninggalkan ruangan, Aritama mencoba berbicara lagi, " Kamu nggak bisa bawa kebencian sampai ke liang kubur, Kak Salma." Aritama lebih muda tiga tahun dari Salma, namun ia memiliki sifat suka mengajari yang lebih tua. Salma diam saja. Dia bahkan tidak menoleh ke arah Aritama. "Kematian Ratu adalah takdir, mengapa kamu terus bersikap seolah-olah ini adalah salah ayah dan ibu kedua?" Aritama melanjutkan dengan tidak habis pikir. Salma mengangkat dagunya, lalu melihat adiknya itu dengan tatapan mengejek. "Jangan terlalu naif, kamu seorang pangeran. Jika kamu senaif ini, negara ini bisa hancur ditanganmu." Aritama kehabisan kata-kata. Saat itu, seorang wanita tiba tiba masuk dalam ruangan. Itu adalah sang ibu negara kedua yang berpakaian anggun dan mewah, Miranti Cartwell. Wanita itu melihat ke arah Salma . "Ternyata putri sulung sudah kembali." "Kamu mau apa?" Salma bertanya dingin. Miranti menatap Salma dengan penuh penghakiman, "Kamu terlalu lama diluar, ketika kembali menjadi liar dan tak tahu etika kerajaan. Apakah ini yang mendiang ibumu ajarkan?" Kata-kata itu sangat sensitif, Salma menatap tajam perempuan itu, "Jangan bawa-bawa ibuku!" Miranti mengangkat alisnya, "Memangnya kenapa? Orang mati ya orang mati, kamu mau apa?" Salma mengangkat tangannya tanpa berpikir dua kali. Ia menampar Miranti. Tamparan itu keras sehingga wajah ibu negara kedua ini memerah dan berpeta lima jari. Miranti menjadi sangat murka. Selama ini meskipun hidup di luar dengan liar, Salma nggak pernah berani menyentuhnya. Miranti mengecam marah, "Kamu benar -benar sudah sangat liar dan nggak tahu aturan!" "Kamu mengira aku hanyalah anak kecil yang meninggalkan istana ini 7 tahun yang lalu? Kamu salah besar. Aku tahu apa yang kamu lakukan. Bicara sekali lagi dan kamu lihat apa yang bisa kulakukan." Miranti menggertakkan giginya. "Apa kamu pikir ayahmu akan diam saja mengetahui ini?" Salma melirik Timothy yang sudah tertidur karena efek obat penenang. Dia tersenyum miring kemudian menatap ibu sambungnya itu dengan dingin, "Silakan beritahu. Setelah tiga tahun ia baru bisa membuatku berkunjung kesini, apa kamu kira dia akan berani mengusirku? Raja dan negara ini memerlukanku, untuk saat ini, diantara aku dan kamu, dia pasti akan mengesampingkan kamu." Miranti geram sampai ingin muntah darah. Namun Salma benar. Timothy tidak akan sampai sehati-hati itu membujuk Salma kalau bukan karna mereka memerlukannya. Dia adalah aset negara Durna yang berharga. Dia diperebutkan oleh lima negara sebagai ilmuwan enam ilmu. Jika bukan karna kecerdasan dan prestasinya, mana mungkin Timothy yang keras hati itu peduli pada Salma? Melihat ekspresi ibu sambungnya yang seperti menahan sesuatu dengan menderita, Salma tersenyum menang dan berbalik pergi. Keesokan harinya, Salma menuju pusat perbelanjaan pakaian dengan mengendarai mobilnya sendiri. Meskipun ia adalah putri dari Raja Durna, hanya sebagian kecil orang yang mengetahui wajahnya karna identitasnya telah dirahasiakan sejak kecil. Ketika sedang melihat-lihat pakaian, dia tertarik dengan sebuah mantel tebal dari bulu domba yang simpel, Salma baru saja hendak memanggil petugas toko, ketika sebuah suara lembut terdengar. "Kak Salma, kamu disini juga?" Salma menoleh. Itu adalah Valeri. Wanita itu berdiri sambil menggandeng Rajasa yang juga sedang menatapnya. Dunia demikian sempit, sejenak Salma lupa kalau keduanya memang berlibur di negara ini. Hari itu Rajasa mengenakan pakaian tebal yang membuatnya sosoknya semakin menjulang dan tegap. Matanya yang tajam dan indah mengamati Salma, dia menunggu Salma menjawab sapaan Valeri. Sayangnya Salma tak berniat untuk menjawab. Dia membalikkan badan dan bermaksud memanggil petugas untuk menyuruh mereka membungkus mantel yang disukainya. "Atau Kak Salma menguntit kami ya?" Valeri tertawa dengan lembut. Dengan tawa seperti itu, orang akan mudah prihatin dan mengira dia adalah malaikat. Salma meliriknya dengan dingin, "Jangan terlalu percaya diri. Durna ini luas, apa hanya kamu yang bisa ke sini?" Valeri, "..... " Merasa Salma mengembalikan kata-katanya, Valeri segera mencari celah yang lain. Ia tahu bahwa Salma memandangi mantel dalam kaca itu penuh minat. Dia segera merengek manja pada Rajasa, "Kak Rajasa, aku sangat suka mantel itu, bisakah kamu membelikannya untukku?" Rajasa tahu bahwa Salma menyukai mantel itu juga, namun ketika melihat ekspresi Valeri yang memelas, ia menjadi tidak tega. Dia menatap Salma, "Berikan mantel itu pada Valeri. Aku akan membelikanmu yang lain." ----Rajasa masih berdiri di sana ruangan, memandangi wajah cantik Salma yang tanpa riasan namun tak bosan dipandang. Wajah pria itu datar, tapi sorot matanya tampak menahan sesuatu. Mungkin amarah. Mungkin kecewa. Atau mungkin hanya hampa.“Aku minta maaf,” ucapnya akhirnya.Salma menoleh. “Untuk yang mana?”“Untuk… semua yang membuatmu menjauh. Untuk membuatmu takut bersamaku. Untuk merasa kau harus menyiapkan aroma penetral demi menyelamatkan dirimu sendiri dari aku.”Ucapan itu mengejutkan Salma. Dia tak mengira Rajasa akan mengucapkan kalimat seperti itu. Ia menarik napas, lalu bersandar ke pintu, menyilangkan tangan di depan dada.“Aku nggak takut padamu, Rajasa,” katanya pelan. “Tapi aku takut kehilangan kendali. Aku takut membiarkan diriku larut dalam sesuatu yang seharusnya sudah selesai.”Rajasa mengangguk. Ia mengerti.Ada banyak hal yang sebenarnya ingin ia katakan, namun lidahnya terasa berat. “Kau masih mencintaiku?” tanya Rajasa, pelan sekali.Salma mendongak, tatapannya
Di ruang prediential room nomor 105, pencahayaan tampak lembut. Dua sosok terbaring di atas tempat tidur. Rajasa mencium puncak kepala Salma. "Orang yang kamu bilang itu, berapa lama lagi akan datang?"Salma berkata, "Sedikit lagi, asisten ku sudah kemarin untuk mengantarkan penetral." Selebihnya, ia tak berkata apa-apa. Hanya merasakan tangan Rajasa yang memeluknya erat dan sesekali mencium rambutnya. Ketika Rajasa berkata dia menginginkannya, Salma diterpa kembimbangan. Nalarnya nyaris tidak bekerja ketika Rajasa membawanya ke tempat tidur dan mengungkungnya di sana.Ketika tangan pria itu menyusup di balik kemejanya, seluruh akal sehat Salma kembali. Bagaimana bisa dia bersama dengan Rajasa sedangkan pria itu sendiri memiliki Valeri? Dia bahkan sudah melayangkan gugatan cerai, apa yang terjadi sekarang terasa sangat salah. Salma memiliki kenalan ilmuan kimia yang terkenal. Dia tahu ini bisa di atasi. Rajasa sudah terlihat lebih tenang. Meskipun ada sekelumit sorot kecewa, namun
Tangan besar Rajasa merengkuh pinggang Valeri, kemudian dia mendorong dengan tegas. Wanita itu termundur keluar. Saat itu, Rajasa memerintah dengan lugas, "Keluar sekarang juga."Pandangan matanya tajam dan menusuk, "Aku berhutang janji untuk menjagamu. Bukan merusak."Ucapan Rajasa yang tegas membuat Valeri merasa kesal namun juga tak berdaya. Pria itu terang-terangan menolak. Rajasa maju dan langsung menutup pintu kaca geser tersebut, sepenuhnya menciptakan batas antara dirinya dengan Valeri. Valeri kehabisan cara. Dia tidak berani memaksa lebih jauh. Meskipun Rajasa sangat memanjakannya, pria itu tetap menetapkan batas-batas yang tidak bisa dilanggar. Dia terlihat dekat, namun Valeri merasa pada saat yang bersamaan dia juga berjarak. Valeri keluar dari kamar mandi sambil menghentakkan kakinya. Tiga puluh menit kemudian, Rajasa telah keluar dari sana dengan pakaian kasual. Rambutnya yang basah dan acak-acakan membuatnya terlihat dipenuhi pesona muda yang penuh energi dan vitalita
Setelah berada dalam kamar, Valeri segera berkata, "Kak Rajasa, kamu mandi dulu. Tadi salah satu asistenmu sudah mengantarkan pakaian ganti." Rajasa tidak berbicara dan langsung masuk ke dalam kamar mandi. Dia juga sudah merasa sedikit gerah. Rajasa mulai membersihkan diri di bawah shower air hangat. Pria itu terus memikirkan Salma. Apa yang wanita itu lakukan bersama Jonathan di dalam kamar? Meski sebuah kamar presidential suite itu luas dan tak ubahnya seperti apartemen sendiri, namun Rajasa tetap merasa terganggu membayangkannya. Rajasa tidak menyukai perasaan itu. Tangan kanannya menumpu pada dinding. Aliran air menelusuri garis rahangnya yang tegas. Saat itulah Rajasa mulai menyadari kalau ada bau aneh yang samar di sekeliling kamar mandi, berasal dari diffusser yang menyala. Bersamaan dengan itu, Rajasa mulai merasakan kejanggalan dalam suasana hati dan tubuhnya. Dia merasa panas. Aliran darahnya menjadi cepat dan otot-ototnya menegang. Pria itu tersentak. Otaknya yang
"Pak Investor, apakah ada pertanyaan?"Rajasa menggeleng, "Kamu menjelaskannya dengan baik."Salma menganggukkan kepala, "Kalau begitu aku pamit dulu." Rajasa buru-buru mencegah, "Salma."Salma menoleh ke arahnya. Dia tidak bertanya, hanya menunggu Rajasa berbicara. Pria itu berkata dengan serius, "Kalau kamu mau, aku bisa memberikan beberapa proyek Fontier Group padamu."Salma tidak langsung menanggapi, dia perlahan-lahan tersenyum. Rajasa mengira Salma setuju. Dia merasa bakat Salma sangat menjanjikan, wanita ini bisa bersinar jika dibukakan jalan. "Pak Rajasa sangat baik. Tapi maaf, aku terlalu sibuk. Kontrakku lumayan padat, aku nggak bisa menerima tawaran Pak Rajasa."Rajasa tertegun. Bahkan Pak Juga yang sedari tadi hanya menjadi pendengar turut terkejut. Dia memang tahu Salma seorang arsitek profesional, namun tidak sampai pada level kepercayaan diri menolak kontrak dengan Fontier Grup! Fontier Grup adalah pengendali ekonomi di Yugos! Bisa bekerja sama dengan grup mega bint
Saat telah berada di bawah, Pak Jugo dan Rajasa langsung berjalan ke arah Salma. Wanita itu menghela napas berat, lalu memakai bathrobenya yang tersampir di kursi lipat. Rajasa dan Pak Jugo telah sampai. Pak Jugo segera berinisiatif menyapa lebih dulu, "Nona, kebetulan sekali. Investor kami ingin berbincang dengan Anda tentang desain kolam -kolam yang ada di resort ini. Saya harap Anda nggak keberatan." "Saya merasa telah mengganggu waktu senggang Anda, barangkali Anda bersedia saya traktir?" Suara Rajasa menyela. Pria itu berdiri dengan auranya yang mulia, sepasang tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Dia menatap Salma dengan santai seperti biasa. Salma melihat pada Rajasa dan berkata, "Apa yang ingin Anda bicarakan? Saya rasa nggak masalah kalau langsung saja." Salma benar-benar sedang bersantai, dia tidak menyangka akan bertemu Rajasa di tempat ini. Dia juga tidak mengira Rajasa adalah pemilik resort Asmara. Meski itu tidak terlalu mengherankan, namun Salma tetap