Beranda / Romansa / Mencintai Seorang Climber / bab 03. Dianggap Tidak Ada

Share

bab 03. Dianggap Tidak Ada

Penulis: Yanti Soeparmo
last update Terakhir Diperbarui: 2024-09-30 21:34:00

Setelah itu, Marco kerap beli peyek buatan Maryam, sebelum dikirim ke kantin. Katanya peyek itu buat teman makan nasi kalau di rumah, kadang jadi cemilan saat dia sedang mengerjakan tugas kuliah. Maryam tentu senang punya pelanggan tetap yang selalu membeli peyeknya dalam jumlah cukup banyak.

Kadang-kadang Marco mengajak Maryam ngobrol cukup banyak, tentang kampung halaman Maryam di Cirebon. Marco minta dicarikan baju batik khas Cirebon, yang dibuat oleh wong Cirebon, katanya dia pengin pakai baju batik buat acara keluarga besarnya. Maryam mencari di pengrajin batik, di wilayah Trusmi. Dikirimkannya beberapa foto baju batik beraneka motif, ke nomor WA Marco. Sekalian dengan informasi harga. Maryam mengirim gambar baju batik dari yang cukup murah, menengah, dan mahal.

Motif batik yang dipilih Maryam adalah yang khas Cirebon, seperti motif mega mendung, singa barong, dan paksi naga liman. Ternyata Marco menyukai motif batik tersebut, lantas mentransfer sejumlah uang ke rekening Maryam, untuk membeli tiga kemeja batik, yang harganya menengah. Maryam memberikan barang pesanan itu di kampus, sekalian dengan sisa uang. Marco tidak mau mengambil sisa uangnya, walau sisa uang itu masih sekitar 135 ribu, katanya itu buat ganti ongkos Maryam ke Kawasan Trusmi.

Maryam jadi punya ide untuk menawarkan jasa titip batik ke rekan-rekannya. Lumayanlah, sebulan sekali Maryam pulang ke Cirebon, selalu ada saja yang titip batik. Maryam tidak menaikkan harga terlalu tinggi, cukuplah ada ganti ongkos dan sedikit laba. Hasilnya sebagian ditabung. Hingga saat Maryam menapaki semester VI, dia sudah bisa membeli laptop, walau second. Maryam tidak perlu lagi menahan rasa malu ketika pinjam laptop milik markas dakwah kampus. Dia sudah bisa tenang saat mengerjakan tugas, dan kelak bikin skripsi, dengan laptop miliknya sendiri.

Sekarang Maryam sudah di tingkat akhir, urusannya dengan Marco masih sebatas peyek kacang dan teri. Namun hati Maryam sulit menolak pandangannya yang terpesona juga dengan pemanjat tebing andalan kampusnya itu.

“Salahkah aku jika menyimpan rasa suka pada dirinya? Karena di mataku Marco itu orang yang baik. Tidak pernah ada sikapnya yang membuatku kesal. Tapi mau sampai kapan aku melamunkan dirinya? Ujung-ujungnya hanya halu. Ya Allah, aku nggak sanggup kalau terus saja mencintai seseorang … tapi orang itu nggak mungkin aku raih karena aku dan dia terlalu jauh berbeda dari segi ekonomi keluarga. Jangan biarkan aku patah hati, ya Allah, karena aku takut tidak sanggup menanggung rasa sakitnya. Singkirkan Marco dari pikiranku, dari hatiku. Biarkan saja hatiku hampa, daripada penuh dengan harapan semu.”

***

“Aku mau mati sebagai climber!”

“Lekas turun dari situ! Lo sudah gila ya?!”

“Jangan halangi aku! Mending aku mati sebagai climber!”

“Tidak! Jangaaan ....!”

Suara alarm berbunyi nyaring. Seorang pria muda terbangun dari mimpi buruk. Sepi dan gelap. Alarm pada ponselnya sudah biasa distel untuk berbunyi pada jam 05:00, maksudnya supaya dia ingat menunaikan shalat shubuh.

“Marco, matikan atuh alarmnya … berisik.” ujar rekannya yang tidur bersama dalam tenda.

Pria muda bernama Marco itu merangkak ke luar dari tenda sembari membawa ponselnya. Marco dan rekan-rekannya baru saja beristirahat pada jam dua dini hari, setelah semalam bikin acara jurit malam dan api unggun untuk para anggota yunior dari organisasi pencinta alam kampusnya. Saat ini mereka berada di kawasan karst Citatah, Kabupaten Bandung. Marco bersama rombongan datang ke situ sejak kemarin siang untuk pelatihan panjat tebing bagi anggota yunior. Latihan usai saat hari mulai gelap, dan mereka bermalam di situ.

Hari masih gelap. Marco masih mengantuk, namun dia enggan masuk tenda lagi karena berdesakan. Di dalam tenda itu ada empat orang laki-laki yang sedang menggeletak, anggota senior dan yuniornya. Setelah mencuci muka dan menggosok gigi, Marco duduk di luar tenda. Dikenakannya jaket parka untuk menahan hawa dingin udara subuh.

Marco mengeluarkan ponsel untuk melihat notifikasi, siapa tahu ada pesan penting dari keluarganya. Ternyata tidak ada. Lantas dia melihat media sosial. Dia melihat postingan dari akun seorang mahasiswi yang saling follow dengannya. Marco tersenyum tipis saat melihat unggahan mahasiswi itu, sedang praktik mengajar di sebuah sekolah yang cukup jauh dari kampus.

“Ibu guru Maryam.” Hanya itu komentar yang diketik Marco, lantas diberi emoticon love.

Saat hari sudah terang, Marco dan rekan-rekannya membereskan bekas camping. Selain membongkar tenda, mereka juga mengemasi sampah bekas makanan dan minuman. Yang paling penting untuk dikerjakan adalah memastikan tidak ada bara sisa pembakaran dan puntung rokok yang masih menyala.

Komandan organisasi pencinta alam yang memimpin rombongan itu bernama Raymond, dia mengabsen para peserta pelatihan, yaitu 17 orang anggota yunior. Walaupun tidak semua anggota yunior itu punya cukup nyali untuk memanjat tebing sungguhan, tapi para senior yang jadi instruktur tidak memaksa. Yang berani saja yang berlatih climbing, yang kurang nyali dilatih tali temali. Latihan akan diulang dua minggu mendatang di tempat yang sama, yaitu tebing 48 meter.

Setelah acara mengabsen, Raymond membubarkan barisan. Dia tidak mengabsen nama Marco. Padahal Marco adalah salah seorang instruktur pelatihan panjat tebing itu.

Cepi, salah seorang pemanjat senior, berbisik pada Marco. “Lo kagak diabsen, mungkin lo cuma dianggap laler yang ngikutin acara ini.”

Marco tentu saja geram dengan sikap Raymond, tapi dia tidak protes. Dia sudah tahu kenapa Raymond bersikap begitu terhadap dirinya. Marco tahu jika Raymond tidak suka padanya, dan tidak pernah berusaha menutupi ketidaksukaan itu.

Marco menggendong ransel di punggung, berjalan beriringan dengan rombongan untuk meninggalkan Citatah. Mereka melewati dinding-dinding batu kapur, berpapasan dengan para pekerja yang hendak menambang batu kapur itu. Para penambang batu tradisional, yang harus bersaing dengan mesin-mesin besar milik pabrik, untuk berlomba mengeruk dinding karst Citatah setiap harinya. Marco berpikir, suatu saat karst Citatah akan habis digerus, dan hilanglah tebing-tebing panjatan yang jadi kebanggaan para climber Bandung.

Akhirnya mereka tiba di jalan raya. Raymond mengambil mobil jeep miliknya yang sejak kemarin pagi dititipkan di sebuah bengkel. Beberapa orang anggota Adventure yang perempuan turut dengan Raymond. Sisanya naik mobil yang dibawa rekannya, ada juga yang boncengan motor. Semua pulang bersama, kecuali Marco dan Cepi yang masih duduk di sebuah warung, sedang makan ketan bakar yang dicocol ke sambal oncom dan serundeng.

“Bang Marco, Bang Cepi, kita duluan ya.” Pamit beberapa anggota yunior. Mereka masih menghargai Marco sebagai mantan komandan UKM pencinta alam.

“Hati-hati di jalan.” Marco dan Cepi mengangkat tangan, membalas ucapan pamit mereka.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Mencintai Seorang Climber   bab 04. Mimpi Buruk Sang Climber

    Setelah rombongan itu pergi, Marco bicara. “Gue mimpi lagi .... ketemu Tonny ... dia terus saja bilang ... aku mau mati sebagai climber.”Cepi menjawab lirih, “Jangan dipikirin terus. Semua sudah berakhir, Bro. Nggak ada lagi yang bisa lo perbuat untuk Tonny.”Marco bertanya dalam hati, Kapan ya, pertama kali datangnya mimpi itu? Mimpi buruk tentang sebuah pemanjatan di tebing, bersama seorang rekan bernama Tonny. Dalam mimpinya, Tonny sesumbar, “Aku mau mati sebagai climber!”Dulu ... sekitar tiga tahun lalu mimpi buruk itu berawal, tapi kemudian Marco merasa semua bakal pulih seperti sedia kala, termasuk hatinya. Namun sekarang, setelah bertahun lewat, mimpi buruk itu datang lagi. Marco merasa, mimpi itu datang karena ada kaitannya dengan seseorang yang masuk dalam organisasi pencinta alam kampus. Tepatnya, seorang mahasiswi, adik kelasnya, yang masuk menjadi anggota Adventure setahun lalu. Gadis itu bernama Silvi. Sejak Silvi masuk ke organisasi Adventure, Marco kembali mengalami

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-01
  • Mencintai Seorang Climber   bab 05. Komandan Baru yang Arogan

    Gadis itu punya nama lengkap Maryam Nur Asyifa, penampilannya sederhana, pakaian dan jilbabnya dari bahan yang murah, dan berwarna gelap. Wajahnya selalu polos tanpa make up. Namun di balik kesederhanaan itu, sebenarnya Maryam berparas cantik, dengan kulit kuning langsat. Saat dia tersenyum ada lekuk mungil di pipinya, giginya rapi dan bersih, matanya bulat bening. Tubuhnya tinggi semampai. Saat ini Maryam sudah memasuki tahun ke empat masa kuliah. Maryam tidak sempat jualan peyek, karena sibuk praktik mengajar di sebuah SMP, di Cicalengka. Itu yang dilihat Marco di akun media sosial milik Maryam. Marco dan Maryam saling follow akun medsos, walau Maryam jarang membuat postingan, Marco juga begitu. Postingan yang dibuat Maryam kadang-kadang diberi tanda like oleh Marco. Sedangkan postingan terakhir Marco di akun pribadinya, adalah saat dirinya melakukan serah terima jabatan komandan Adventure kepada yuniornya yang bernama Raymond Sanjaya. Postingan itu lewat di beranda akun medsos

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-01
  • Mencintai Seorang Climber   bab 06. Kembali ke Rumah Kos

    “Hei, ibu guru sudah pulang!”Maryam tiba di teras rumah kos, disambut teriakan rekan satu kos. Tempat kos itu untuk perempuan. Di sore hari yang basah oleh gerimis, Maryam kembali ke rumah kos, setelah menyelesaikan satu bulan praktik mengajar di kawasan yang cukup jauh dari kampusnya. Sebenarnya Maryam pengin pulang ke kampungnya di Cirebon, tapi dekan FKIP meminta para mahasiswa yang sudah menyelesaikan praktik mengajar, untuk berkumpul di kampus besok siang. Maka Maryam menunda pulang ke Cirebon.“Maaf ya, nggak sempat bawa oleh-oleh.” ujar Maryam. “Tadi setelah terakhir kali mengajar, aku pamit sama orang-orang di sana, terus langsung balik ke sini.”“Nggak apa-apa.”Sebuah gerobak bakso berhenti di depan rumah kos itu. Maryam yang hendak masuk ke kamarnya, menoleh pada Mang Ujo, tukang bakso langganan anak kos. Maryam merasa lapar karena belum makan siang.“Ke mana aja, Mang? Kayaknya sudah seminggu nggak muncul. Pindah rute jualan ya?” tanya salah seorang penghuni kos.“Istri s

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-10
  • Mencintai Seorang Climber   bab 07. Menemukan Pistol

    “Eh, siapa kamu?”“Ini aku, Maryam. Kamu mau ngapain ke kampus malam-malam begini, Silvi?”“Aku mau ke homebase, ada barangku yang ketinggalan.”"Kenapa harus loncat pagar?”“Aku nggak masuk lewat gerbang, karena malas ngomong minta dibukain gerbang sama satpam..”“Bisa besok lagi kamu ambil barang yang ketinggalan itu.”“Ya sudahlah, besok aja!” Silvi terlihat marah, lalu kembali memanjat pagar besi. Maryam juga terpaksa manjat lagi sambil menahan rasa sakit pada kakinya. Tak lama mereka sudah ada di trotoar jalan.“Ngapain sih, Mbak ngikutin aku?!” gerutu Silvi sambil duluan jalan, kembali ke gang tempat rumah kos mereka berada. Maryam membuntuti dengan langkah terpincang-pincang.“Heran aja ngelihat kamu ke kampus malam-malam begini. Aku juga terkadang ada barang tertinggal di markas dakwah kampus, aku cari besoknya lagi, nggak malam-malam datang ke kampus.”Silvi merengut sembari terus melangkah masuk gang. Tiba di rumah kos, Silvi mengeluarkan kunci dari saku celana panjangnya, l

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-10
  • Mencintai Seorang Climber   bab 08. Dendam

    “Marco itu pembunuh keji!” ucap Silvi.Maryam terdiam sejenak, hatinya tersentak dengan ucapan Silvi tentang Marco. Tentu saja Maryam tak percaya. Maryam bertanya, “Bagaimana cara dia membunuh kakakmu?”“Dijatuhkan dari tebing.”“Hah?!” Maryam makin tercengang. “Apakah kakakmu kuliah di sini?”“Bang Tonny kuliah di PTS lain. Dia atlet panjat tebing dan panjat dinding tingkat nasional. Suatu saat ada latihan gabungan antara seluruh atlet panjat tebing se Jawa Barat, latihannya di Tebing Lawe, di Jawa Tengah. Kemudian … Bang Tonny pulang dalam keranda, diantar rekan-rekannya sesama pemanjat tebing. Menurut mereka, kakakku terjatuh dari tebing, dan kematiannya adalah akibat kecelakaan.""Orang tuaku terpaksa menerima keadaan itu. Tapi setelah kematian Bang Tonny, ayahku jadi murung, merasa nggak punya lagi anak laki-laki yang bisa meneruskan nama keluarga. Setelah itu… ayahku menikah lagi, dengan alasan ingin punya anak laki-laki, karena ibuku sudah terlalu tua untuk melahirkan lagi. Ib

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-13
  • Mencintai Seorang Climber   bab 09. Gadis Pantura

    Maryam bergidig melihat cara Silvi bicara. Tampaknya Silvi sudah dibutakan oleh dendam yang berkarat dalam hatinya.Maryam berujar, “Aku akan bicara pada Marco, supaya dia berhati-hati terhadap orang yang dia anggap teman, padahal musuh yang mengejarnya.”“Silakan kamu bilang sama Marco, kalau aku mau bunuh dia!” Silvi malah menantang. “Aku berharap Marco akan percaya ucapanmu, lalu dia terprovokasi, dan suatu saat dia mengintimidasi aku terlebih dahulu! Mungkin dia akan terpancing untuk melakukan penganiayaan terhadap diriku, di hadapan banyak orang! Dengan senang hati, aku akan melaporkan Marco ke polisi, atas berbagai tuduhan, misalnya penganiayaan, atau mengancam keselamatanku. Oh ya, ada tuduhan yang lebih kejam lagi, pelecehan seksual, supaya dia dipermalukan sekalian di hadapan seisi kampus!”Silvi tersenyum penuh kemenangan. Dia betul-betul tak punya lagi rasa takut, biarpun dia melihat Maryam melangkah menuju homebase. Buat Maryam, tingkah Silvi sudah tergolong nekad, mending

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-15
  • Mencintai Seorang Climber   bab 10. Mencari Pria Gondrong

    Silvi malah teriak lagi, “Ayo Mbak Maryam, bilang aja terus terang sama dia!” Lantas Silvi duduk santai di bangku kayu, yang ada di teras homebase.“Ada apa?” tanya Marco.Maryam tak tahu harus bicara apa. Ketika sedang berpikir, pandangan Maryam menangkap sosok seorang pedagang yang berjalan masuk ke dalam areal kampus sembari membawa baki. Pedagang itu tiba di depan pintu homebase.Maryam mengenali sosok pedagang itu sebagai Mang Ujo, pedagang bakso yang kerap mampir di tempa kosnya.Maryam berpikir, “Tumben Mang Ujo dagang di kampus, karena biasanya dia jualan keliling. Atau mungkin dia sudah lelah berkeliling, jadi sekarang memilih mangkal di kampus?”“Ini baksonya, A.” Mang Ujo menghampiri Marco dengan membawa baki berisi semangkuk bakso dan segelas jus buah.Marco menoleh pada Mang Ujo. “Oh iya, makasih Mang. Kebetulan saya sudah haus banget.” Marco mengambil gelas berisi jus alpukat pesanannya. Dia menoleh pada Maryam. “Kamu mau bakso? Atau jus buah? Atau dua-duanya? Aku pesa

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-15
  • Mencintai Seorang Climber   bab 11. Jus Alpukat

    Marco masuk ke dalam homebase, meletakkan ranselnya. Sedangkan para penghuni homebase pura-pura kembali pada aktivitasnya semula, sambil menunggu reaksi Marco. Akan tetapi Marco malah membuka lemari, mengorek-ngorek isinya. “Cari apa lo?” tanya Raymond. “Tambang yang merah ada di mana?” Marco menyahut dengan tanya juga. “Itu tambang bukan punya kita, gue pinjam dari Skyger, mau gue balikin. Ada di mana?” “Di dalam peti.” jawab Raymond, lalu dia memberi isyarat pada temannya. Temannya Raymond bicara, “Bang, tuh bakso sama jus alpukat, barusan diantarin pedagangnya. Katanya buat Abang ya?” Marco berjalan mendekati meja, lalu membuka kertas penutup gelas, mengangkat gelas itu, dan meminumnya…. Matanya melotot. Secepat kilat dia berlari ke luar, lalu muntah-muntah di selokan kecil samping homebase. Seisi homebase terbahak-bahak. Dari luar terdengar beraneka ragam sumpah serapah dari mulut Marco. Lantas Marco masuk lagi ke homebase dengan gelas kosong di tangan. Jus mengkudu itu sud

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-16

Bab terbaru

  • Mencintai Seorang Climber   bab 189. Seperti Wajah Psikopat

    Bapaknya Maryam yang bernama Wardoyo akhirnya berangkat menuju Markas Polres Cirebon. Dia bertemu lagi dengan Sunedi yang baru tiba di situ. Karena Sunedi harus meminta bantuan dulu ke pengacara kenalannya, makanya dia baru tiba di kantor polisi itu. Namun, mereka tidak serta merta boleh masuk ke dalam kantor polisi itu. Mereka menunggu dulu di luar, hingga akhirnya seorang polisi mendatangi Sunedi. Polisi itu adalah teman Sunedi, keduanya berbincang serius. Lantas pengacara yang datang bersama Sunedi dipersilakan masuk ke dalam kantor. Sunedi juga boleh masuk. Sebelum beranjak, Sunedi bicara pada Pak Wardoyo.“Waktu Marco dijemput oleh polisi dari penginapannya, ternyata Marco sempat saling kontak telepon dengan Maryam. Makanya Maryam tahu kalau Marco dibawa ke polres atas laporan seseorang. Sepertinya Maryam menyusul ke polres, untuk jadi saksi, karena memang anak sampeyan itu yang tahu persis masalah sebenarnya.”Sore itu, akhirnya Daffa mencabut laporannya terhadap Marco, dengan p

  • Mencintai Seorang Climber   bab 188. Mencari Maryam

    Bapaknya tampak tidak suka saat Maryam mengatakan bahwa dirinya mau bicara dulu dengan Marco, untuk urusan mencabut laporan di kantor polisi.“Maryam, kamu itu belum menikah! Marco itu bukan siapa-siapa kamu! Tanggung jawab terhadap dirimu itu masih ada di tangan bapak! Jadi yang mestinya kamu patuhi itu adalah bapakmu ini, bukan Marco! Ngerti kamu?”“Bapak pilih kasih, Bapak lebih mikirin kepentingan Irma daripada harga diriku yang sudah direndahkan oleh istri dan anak-anaknya Ruhiyat, menantu Bapak!” Setelah bicara begitu, Maryam berjalan ke luar dari rumah.Mulanya kedua orang tua Maryam mengira jika anak gadisnya itu hanya pergi ke rumah tetangga, curhat ke teman-temannya. Namun, ketika ponsel Maryam dihubungi, tidak aktif. Kemudian beberapa tetangga ditelepon, bahkan rumahnya didatangi untuk mencari Maryam, ternyata Maryam tidak datang ke situ.“Jangan-jangan anak itu malah nyamperin Marco! Gawat!” Bapaknya Maryam menelepon Marco, namun ponselnya tidak aktif juga.Karena khawatir

  • Mencintai Seorang Climber   bab 187. Terancam Jadi Janda

    Muslikah menceritakan kepada pengacara itu, bahwa suaminya menikah lagi tanpa izinnya sebagai istri pertama. Suaminya beli rumah, tapi merahasiakannya dari istri. Namun, Muslikah sudah menemukan bukti pembelian rumah itu. Kemudian Muslikah dan kedua anaknya ingin melihat rumah itu, namun ternyata rumah itu ada penghuninya. Kemungkinan besar rumah itu diisi oleh istri muda suaminya.Muslikah masih ingin menjaga nama baik suaminya, jadi dia enggan membuka pernikahan siri suaminya kepada polisi. Maka dari itu, pengacara memberi saran agar Muslikah cukup bicara soal pembelian rumah baru yang dilakukan oleh suaminya, dan tidak usah bicara soal istri muda suaminya.Setelah mengantar klien melapor pada polisi dan melakukan visum, pengacara itu mengajak Muslikah dan kedua anaknya untuk bicara lebih tenang, di sebuah rumah makan. Mereka memilih duduk di pojok. Muslikah dan kedua anaknya masih terus kepikiran urusan melabrak istri muda Ruhiyat, yang ternyata salah sasaran, padahal sudah terlanj

  • Mencintai Seorang Climber   bab 186. Saling Lapor

    Saat pagi itu Marco mendatangi Maryam, rencananya mau ngajak sarapan bareng. Pada akhirnya mereka berdua bisa makan bareng, tapi bukan lagi sarapan, melainkan makan siang, itupun sudah telat. Lewat tengah hari, urusan lapor polisi, lalu ke rumah sakit untuk visum, akhirnya selesai. Hasil visum baru bisa dikeluarkan beberapa hari lagi, akan dikirim kepada polisi penyidik yang meminta dilakukan visum terhadap korban. Berarti prosedur hukum tahap awal sudah selesai untuk hari itu. Marco mengajak Maryam makan di sebuah warung yang paling dekat dengan rumah sakit.Warung itu menjual sega lengko, makanan khas Cirebon. Nasi putih diberi potongan tempe goreng, tahu goreng, irisan ketimun, tauge rebus, lalu disiram bumbu kacang, ditaburi remukan kerupuk. Bentuk sega lengko seperti nasi pecel, hanya saja sayurnya tidak banyak macamnya. Teman makan sega lengko ada telur, peyek kacang, peyek udang, tinggal pilih saja. Marco ambil semuanya, karena dia lapar, dan peyek adalah makanan kesukaannya.

  • Mencintai Seorang Climber   bab 185. Salah Orang

    Jeritan keluar dari mulut wanita muda yang menghunus gunting dan hendak menyerang Maryam. Ada seseorang yang baru datang dan mendorong tubuh wanita muda itu hingga jatuh tertelungkup di rumput, lantas merebut gunting dari tangan wanita itu.“Maryam?"Maryam menoleh karena mendengar suara yang dikenalnya. Marco datang tepat waktu, dan melumpuhkan wanita yang penuh amarah itu. Marco membantu Maryam berdiri. Dia heran karena Maryam tidak pakai jilbab, membiarkan rambutnya yang panjang tergerai berantakan. Bahkan awalnya Marco sempat mengira wanita itu bukan Maryam. Marco yang baru tiba di depan rumah itu, spontan bergerak menjatuhkan wanita yang menghunus gunting, karena melihat wanita itu mau menikam wanita lain.“Hei, lo memukul adik gue, hah?” Pria muda yang tadi mengeroyok Maryam. datang ke situ bersama ibunya. “lo laki-laki apa banci, hah? Beraninya cuma menyerang cewek!” teriak pria muda itu pada Marco.Maryam menemukan keberaniannya. “Harusnya tanyakan sama dirimu sendiri! Barusan

  • Mencintai Seorang Climber   bab 184. Pengeroyokan

    Maryam masih berusaha meronta sekuat tenaga, melepaskan diri dari tiga orang yang tiba-tiba saja datang dan mengeroyoknya. Namun tenaganya masih kalah dari pria muda yang menelikung lengannya ke punggung. Wanita yang tua sudah menampar wajah Maryam dua kali. Pria muda itu bilang, jangan melukai secara fisik, nanti kena tuntutan pidana. Mending gundulin saja kepalanya.Maryam tersentak saat tiba-tiba saja wanita muda di sampingnya menarik jilbabnya, lantas menjambak rambutnya sampai kepala Maryam mendongak.“Penginnya sih, nyiram wajah pelakor ini pake air keras!” ucap Wanita yang muda, lantas menyemburkan saliva ke wajah Maryam.“Sayang sekali kita nggak bawa air keras. Tapi Mamah biasanya bawa gunting. Kita gundulin rambutnya! Mana guntingnya, Mah?” ujar si pria sembari tetap memegangi lengan Maryam, sampai Maryam merasa sikunya seperti dipuntir saking sakitnya.“Entar, mamah cari dulu guntingnya, biasanya ada di tas mamah.” Wanita yang tua merogoh tasnya.“Tolong! Tolong!” Maryam be

  • Mencintai Seorang Climber   bab 183. Tindak Kekerasan

    Suara ketukan pada pintu Kembali berulang. Maryam berjalan ke pintu depan, mengintip dulu dari jendela. Ternyata Ruhiyat yang baru kembali ke rumah itu, pada tengah malam. Maryam celingukan, berharap Irma atau emaknya Irma keluar kamar untuk membukakan pintu, karena rasanya risih, saat malam hari dirinya membukakan pintu untuk suami orang. Namun tak ada yang bangun. Akhirnya Maryam memutar kunci, lantas membuka pintu.“Eh, Maryam, kamu belum tidur?” tanya Ruhiyat.“Belum Pak.”Ruhiyat masih di teras, dia menoleh ke arah asistennya yang berdiri di halaman. “Roni, kamu bawa mobil itu ya. Terlalu kentara itu mobil saya, jadi mending mobil itu jangan ada di sini. Tapi besok kamu jemput saya, parkir mobil di pinggir jalan yang rada jauh dari rumah ini.”“Siap Pak.” Lantas pria itu pergi, menaiki mobil yang parkir di tepi jalan depan rumah itu.Ruhiyat masuk ke dalam rumah.Sementara itu, di seberang jalan, seseorang mengarahkan kamera ponselnya ke rumah itu. Orang tersebut berhasil mengamb

  • Mencintai Seorang Climber   bab 182. Tentang Mahar Pernikahan

    Marco memberi Maryam sebuah ponsel baru, yang sudah dipasangi sim card, diisi pulsa dan kuota internet. “Ya ampun, itu mah, hape buat anak SD atuh!” Ucapan itu terlontar dari mulut Wartini, saat dia ke luar rumah, menemukan Marco dan Maryam duduk di teras, dan ada sebuah ponsel yang disodorkan Marco ke tangan Maryam. Ketika itu Wartini berjalan ke luar rumah untuk mengantar anak dan menantunya yang akan meninggalkan rumah itu, tidak jadi menginap. Wartini kembali mengoceh, “Kasihan banget kamu Maryam, dikasi hape murahan. Pacarmu belum kerja, ya? Atau sudah kerja, tapi gajinya sedikit? Kalau Irma, sejak dua tahun lalu sudah beli hape yang harganya belasan juta, dari uang hasil kerjanya sendiri. Saya juga dikasi hape sama Irma, yang harganya lima juta, belinya juga tahun lalu.” Marco sebenarnya sanggup membeli ponsel baru cap apel yang harganya belasan juta, tapi apakah Maryam mau menerimanya? Selama ini Maryam senantiasa bersikap anti diberi, apalagi barang yang berharga mahal. M

  • Mencintai Seorang Climber   bab 181. Klarifikasi dari Marco

    Marco tiba di rumah itu satu jam kemudian, dengan naik ojek online. Bapaknya Maryam menyuruh Marco masuk dan turut duduk bersila di ruang tamu yang tanpa kursi, tapi dihampari karpet tebal. Marco memberikan sebuah bungkusan pada Maryam, lantas dia menyalami para pria di ruangan itu, yaitu bapaknya Maryam, Seno, dan seorang pria muda yang juga putra bapaknya Maryam. Marco tidak menyalami para wanita, khawatir mereka tidak mau bersentuhan dengan lelaki bukan muhrim. Soalnya Maryam kan, berprinsip seperti itu, siapa tahu keluarganya juga begitu.Di dapur, Maryam melihat oleh-oleh Marco, ternyata buah apel dan pir, kesukaan Maryam. Lantas Maryam berjalan ke ruang tamu sembari membawa air dan kue sebagai suguhan. Saat itu Marco sedang mengobrol dengan bapaknya Maryam.“Kata Nanang, hari ini ada pernikahan putri Bapak, pengantinnya yang mana?” Marco menatap ke arah Seno yang pakai jas, dan Shella yang pakai kebaya. Memang mereka itu yang terlihat seperti sepasang pengantin. Sedangkan Irma,

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status