Home / Romansa / Mencintai Seorang Climber / bab 03. Dianggap Tidak Ada

Share

bab 03. Dianggap Tidak Ada

last update Last Updated: 2024-09-30 21:34:00

Setelah itu, Marco kerap beli peyek buatan Maryam, sebelum dikirim ke kantin. Katanya peyek itu buat teman makan nasi kalau di rumah, kadang jadi cemilan saat dia sedang mengerjakan tugas kuliah. Maryam tentu senang punya pelanggan tetap yang selalu membeli peyeknya dalam jumlah cukup banyak.

Kadang-kadang Marco mengajak Maryam ngobrol cukup banyak, tentang kampung halaman Maryam di Cirebon. Marco minta dicarikan baju batik khas Cirebon, yang dibuat oleh wong Cirebon, katanya dia pengin pakai baju batik buat acara keluarga besarnya. Maryam mencari di pengrajin batik, di wilayah Trusmi. Dikirimkannya beberapa foto baju batik beraneka motif, ke nomor WA Marco. Sekalian dengan informasi harga. Maryam mengirim gambar baju batik dari yang cukup murah, menengah, dan mahal.

Motif batik yang dipilih Maryam adalah yang khas Cirebon, seperti motif mega mendung, singa barong, dan paksi naga liman. Ternyata Marco menyukai motif batik tersebut, lantas mentransfer sejumlah uang ke rekening Maryam, untuk membeli tiga kemeja batik, yang harganya menengah. Maryam memberikan barang pesanan itu di kampus, sekalian dengan sisa uang. Marco tidak mau mengambil sisa uangnya, walau sisa uang itu masih sekitar 135 ribu, katanya itu buat ganti ongkos Maryam ke Kawasan Trusmi.

Maryam jadi punya ide untuk menawarkan jasa titip batik ke rekan-rekannya. Lumayanlah, sebulan sekali Maryam pulang ke Cirebon, selalu ada saja yang titip batik. Maryam tidak menaikkan harga terlalu tinggi, cukuplah ada ganti ongkos dan sedikit laba. Hasilnya sebagian ditabung. Hingga saat Maryam menapaki semester VI, dia sudah bisa membeli laptop, walau second. Maryam tidak perlu lagi menahan rasa malu ketika pinjam laptop milik markas dakwah kampus. Dia sudah bisa tenang saat mengerjakan tugas, dan kelak bikin skripsi, dengan laptop miliknya sendiri.

Sekarang Maryam sudah di tingkat akhir, urusannya dengan Marco masih sebatas peyek kacang dan teri. Namun hati Maryam sulit menolak pandangannya yang terpesona juga dengan pemanjat tebing andalan kampusnya itu.

“Salahkah aku jika menyimpan rasa suka pada dirinya? Karena di mataku Marco itu orang yang baik. Tidak pernah ada sikapnya yang membuatku kesal. Tapi mau sampai kapan aku melamunkan dirinya? Ujung-ujungnya hanya halu. Ya Allah, aku nggak sanggup kalau terus saja mencintai seseorang … tapi orang itu nggak mungkin aku raih karena aku dan dia terlalu jauh berbeda dari segi ekonomi keluarga. Jangan biarkan aku patah hati, ya Allah, karena aku takut tidak sanggup menanggung rasa sakitnya. Singkirkan Marco dari pikiranku, dari hatiku. Biarkan saja hatiku hampa, daripada penuh dengan harapan semu.”

***

“Aku mau mati sebagai climber!”

“Lekas turun dari situ! Lo sudah gila ya?!”

“Jangan halangi aku! Mending aku mati sebagai climber!”

“Tidak! Jangaaan ....!”

Suara alarm berbunyi nyaring. Seorang pria muda terbangun dari mimpi buruk. Sepi dan gelap. Alarm pada ponselnya sudah biasa distel untuk berbunyi pada jam 05:00, maksudnya supaya dia ingat menunaikan shalat shubuh.

“Marco, matikan atuh alarmnya … berisik.” ujar rekannya yang tidur bersama dalam tenda.

Pria muda bernama Marco itu merangkak ke luar dari tenda sembari membawa ponselnya. Marco dan rekan-rekannya baru saja beristirahat pada jam dua dini hari, setelah semalam bikin acara jurit malam dan api unggun untuk para anggota yunior dari organisasi pencinta alam kampusnya. Saat ini mereka berada di kawasan karst Citatah, Kabupaten Bandung. Marco bersama rombongan datang ke situ sejak kemarin siang untuk pelatihan panjat tebing bagi anggota yunior. Latihan usai saat hari mulai gelap, dan mereka bermalam di situ.

Hari masih gelap. Marco masih mengantuk, namun dia enggan masuk tenda lagi karena berdesakan. Di dalam tenda itu ada empat orang laki-laki yang sedang menggeletak, anggota senior dan yuniornya. Setelah mencuci muka dan menggosok gigi, Marco duduk di luar tenda. Dikenakannya jaket parka untuk menahan hawa dingin udara subuh.

Marco mengeluarkan ponsel untuk melihat notifikasi, siapa tahu ada pesan penting dari keluarganya. Ternyata tidak ada. Lantas dia melihat media sosial. Dia melihat postingan dari akun seorang mahasiswi yang saling follow dengannya. Marco tersenyum tipis saat melihat unggahan mahasiswi itu, sedang praktik mengajar di sebuah sekolah yang cukup jauh dari kampus.

“Ibu guru Maryam.” Hanya itu komentar yang diketik Marco, lantas diberi emoticon love.

Saat hari sudah terang, Marco dan rekan-rekannya membereskan bekas camping. Selain membongkar tenda, mereka juga mengemasi sampah bekas makanan dan minuman. Yang paling penting untuk dikerjakan adalah memastikan tidak ada bara sisa pembakaran dan puntung rokok yang masih menyala.

Komandan organisasi pencinta alam yang memimpin rombongan itu bernama Raymond, dia mengabsen para peserta pelatihan, yaitu 17 orang anggota yunior. Walaupun tidak semua anggota yunior itu punya cukup nyali untuk memanjat tebing sungguhan, tapi para senior yang jadi instruktur tidak memaksa. Yang berani saja yang berlatih climbing, yang kurang nyali dilatih tali temali. Latihan akan diulang dua minggu mendatang di tempat yang sama, yaitu tebing 48 meter.

Setelah acara mengabsen, Raymond membubarkan barisan. Dia tidak mengabsen nama Marco. Padahal Marco adalah salah seorang instruktur pelatihan panjat tebing itu.

Cepi, salah seorang pemanjat senior, berbisik pada Marco. “Lo kagak diabsen, mungkin lo cuma dianggap laler yang ngikutin acara ini.”

Marco tentu saja geram dengan sikap Raymond, tapi dia tidak protes. Dia sudah tahu kenapa Raymond bersikap begitu terhadap dirinya. Marco tahu jika Raymond tidak suka padanya, dan tidak pernah berusaha menutupi ketidaksukaan itu.

Marco menggendong ransel di punggung, berjalan beriringan dengan rombongan untuk meninggalkan Citatah. Mereka melewati dinding-dinding batu kapur, berpapasan dengan para pekerja yang hendak menambang batu kapur itu. Para penambang batu tradisional, yang harus bersaing dengan mesin-mesin besar milik pabrik, untuk berlomba mengeruk dinding karst Citatah setiap harinya. Marco berpikir, suatu saat karst Citatah akan habis digerus, dan hilanglah tebing-tebing panjatan yang jadi kebanggaan para climber Bandung.

Akhirnya mereka tiba di jalan raya. Raymond mengambil mobil jeep miliknya yang sejak kemarin pagi dititipkan di sebuah bengkel. Beberapa orang anggota Adventure yang perempuan turut dengan Raymond. Sisanya naik mobil yang dibawa rekannya, ada juga yang boncengan motor. Semua pulang bersama, kecuali Marco dan Cepi yang masih duduk di sebuah warung, sedang makan ketan bakar yang dicocol ke sambal oncom dan serundeng.

“Bang Marco, Bang Cepi, kita duluan ya.” Pamit beberapa anggota yunior. Mereka masih menghargai Marco sebagai mantan komandan UKM pencinta alam.

“Hati-hati di jalan.” Marco dan Cepi mengangkat tangan, membalas ucapan pamit mereka.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mencintai Seorang Climber   bab 265. Dia Tidak Selevel

    Marianne menatap adik iparnya dengan raut wajah disarati emosi.Erna, sang ipar, lanjut bicara, “Keluarga kami adalah ningrat Sunda. Leluhur kami banyak yang menjadi pejuang kemerdekaan, mengangkat senjata melawan penjajah Belanda. Leluhur kami banyak yang ditangkap oleh Belanda, dan dibuang ke tempat yang sangat jauh dari tanah Sunda, mereka meninggal di sana dalam kondisi sengsara. Lantas tiba-tiba saja Kang Ardi membawa seorang wanita Belanda sebagai istri. Atas dasar apa kami harus menerima dirimu, masuk ke dalam keluarga Wiratama?”“Tapi kalian menerima aku?” Bu Marianne tergagap.“Mulanya tidak, tapi Kang Ardi selalu meyakinkan seluruh keluarga, terutama ayahku, bahwa kamu adalah jodoh sejatinya. Kang Ardi memperjuangkan dirimu untuk bisa diterima sepenuhnya menjadi anggota keluarga Wiratama. Terus, sekarang kamu dengan semena-mena menganggap wanita pilihan Marco tidak selevel dengan dirimu? Ingat lho, pada mulanya kamu juga tidak selevel dengan kami! Kamu berasal dari bangsa pe

  • Mencintai Seorang Climber   bab 264. Tidak Direstui

    “Aku sudah bicara pada Papa soal pernikahan kita.” ujar Marco pelan saat bersama Maryam makan siang di sebuah rumah makan.“Beliau marah?”“Mau marah gimana?” Marco malah tersenyum, lantas menyuap makanannya dengan lahap.Marco berujar dalam hati, kalau Papa sampai marah-marah, dan mengancamku, Papa tidak akan lagi punya sekutu di rumah, yang selalu siap berada di sampingnya, atau di belakangnya. Bahkan aku pernah pasang badan untuk menutupi perbuatannya nikah lagi, dengan segala resiko buruk yang mesti kutanggung sendiri. Kurang baik apa aku ini sebagai anak? “Papaku lagi sakit, harus istirahat total beberapa bulan. Nggak boleh marah-marah, nggak boleh melakukan aktivitas yang bisa memacu jantungnya bekerja terlalu keras. Misalnya, aktivitas ....” Marco berbisik ke telinga Maryam.“Dih!” Marco teringat ucapan dokter pada mamanya, yang juga sempat didengarnya. Kata dokter, Pak Ardi mengonsumsi obat kuat melampaui dosis sebelum melakukan aktivitas suami istri, sehingga memacu deta

  • Mencintai Seorang Climber   bab 263. Ke Makam Bunda

    Setelah pamit pada papanya, Marco bergegas pergi dengan mengendarai mobil. Tadi pagi dia mengantar Maryam ke RS, untuk cek kesehatan. Dokter bilang luka di kaki Maryam sudah berangsur sembuh. Setelah itu Maryam minta diantar ke sebuah TK, katanya dia dapat DM dari Bu Fatimah.Bu Fatimah adalah mantan kepala sekolah di TKIT Bungan Bangsa yang sudah tutup. Kemudian ada yang memintanya untuk menjadi kepala sekolah sebuah TK. Bu Fatimah menghubungi beberapa mantan guru di TK yang dulu, menawarkan pekerjaan sebagai guru pendamping. Karena Bu Fatimah tidak tahu nomor ponsel Maryam, maka dia mengirim DM ke akun sosmed milik Maryam, menawarkan pekerjaan itu. Maryam antusias untuk mendatangi TK tersebut, dan meminta Marco mengantarnya setelah dari RS.Itulah sebabnya, sang pengintai yang memantau dari kafe di seberang rumah, tak melihat Maryam ataupun Marco datang dan pergi dari rumah itu, karena Maryam dan Marco pergi pada saat matahari baru terbit. Mereka berangkat ke RS pagi-pagi sekali unt

  • Mencintai Seorang Climber   bab 262. Rumah Horor

    Pak Ardi mengisahkan sebuah peristiwa di masa lalu, ketika Pak Waluya menikah untuk keempat kalinya. Istri muda itu tinggal di rumah yang baru dibeli oleh Pak Waluya. Wanita itu mengajak anak dan ibunya tinggal bersamanya. Kemudian rumah di sebelahnya direnovasi untuk dibuat toko. Pemilik rumah tidak tinggal di rumah yang lagi direnovasi itu, maka para pekerja bangunan tinggal di sana. Suatu hari Pak Waluya datang menjenguk istri mudanya itu. Dia menemukan ketiga orang itu sudah tiada. Mereka berd@rah. Polisi menyelidiki, dan akhirnya ketahuan bahwa pelakunya adalah dua orang kuli bangunan yang mondok di rumah sebelahnya. Oknum kuli bangunan itu masuk ke rumah yang dihuni istri muda Pak Waluya. Kata polisi, niat awal orang itu mencuri, tapi kepergok sama penghuni rumah. Karena panik oleh jeritan penghuni rumah, membuat mereka gelap mata lantas melukai hingga tew@s.Ardi bertutur, “Pelaku kejahatan itu sudah dihukum. Setahun setelah kejadian itu, ayah meminta aku untuk mencari orang

  • Mencintai Seorang Climber   bab 261. Rumah Warisan

    Pak Waluya Wiratama, kakeknya Marco, akhirnya berpulang. Seluruh keluarga melepas dengan ikhlas di pemakaman keluarga yang terletak di Kabupaten Bandung. Usai pemakaman, akan ada tahlilan selama tujuh hari berturut-turut di kediaman almarhum.Pak Waluya memiliki delapan anak, dari tiga istri. Papanya Marco adalah anak sulung, tapi ibu kandungnya meninggal saat dia masih bayi. Kemudian ayahnya menikah lagi, dan memiliki empat anak. Di usia 40 tahun, istri Pak Waluya sakit kanker, kemudian dia fokus berobat dan tidak lagi melayani suami. Dia mengizinkan suaminya menikah lagi. Maka Pak Waluya menikah untuk ketiga kalinya. Dari istri ketiga, Pak Waluya memiliki tiga orang anak.Semua anak Pak Waluya mengecap bangku kuliah, kemudian menjadi PNS, ataupun pegawai BUMN. Pak Waluya yang pernah menjabat Kepala Dinas level propinsi, tentu bisa mengupayakan anak-anaknya mendapat pekerjaan yang layak. Hanya Ardian Wiratama yang tidak mau menjadi PNS, karena dia melihat peluang lebih besar jika dir

  • Mencintai Seorang Climber   bab 260. Tinggal Serumah

    Ibunya Sabrina bicara, “Kalau kamu dan Marco bekerja di kantor yang sama, besar peluangnya untuk bertemu setiap hari. Mungkin saja Marco itu memang jodoh kamu. Hanya saja saat ini Marco belum memikirkan pernikahan, karena sedang banyak masalah. Papanya sakit, kakeknya juga sakit. Dia mengurus orang tuanya, karena kakaknya mesti mengurus bengkel besarnya itu. Sedangkan dua saudaranya ada di luar negeri. Ibu menilai, Marco itu laki-laki yang sanggup memikul banyak tanggung jawab, tanpa mengeluh. Dia cocok banget untuk jadi menantu. Tapi kamu harus lebih banyak sabar menghadapinya, karena watak Marco memang keras, nggak suka diatur, apalagi diultimatum. Begitu kata mamanya.”“Kalau dia sudah punya cewek, percuma saja bekerja sekantor dengan dia.”“Kayaknya belum. Bu Marianne lebih ingin kamu yang menjadi istrinya Marco. Keluarga kita selevel dengan mereka.”Keesokan harinya, menjelang siang, Sabrina pamit mau ke kampus. Dia memang ke kampus sebentar untuk bertemu temannya. Di kampus dia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status