Beranda / Romansa / Mencintai Seorang Climber / bab 04. Mimpi Buruk Sang Climber

Share

bab 04. Mimpi Buruk Sang Climber

Penulis: Yanti Soeparmo
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-01 03:57:21

Setelah rombongan itu pergi, Marco bicara. “Gue mimpi lagi .... ketemu Tonny ... dia terus saja bilang ... aku mau mati sebagai climber.”

Cepi menjawab lirih, “Jangan dipikirin terus. Semua sudah berakhir, Bro. Nggak ada lagi yang bisa lo perbuat untuk Tonny.”

Marco bertanya dalam hati, Kapan ya, pertama kali datangnya mimpi itu? Mimpi buruk tentang sebuah pemanjatan di tebing, bersama seorang rekan bernama Tonny. Dalam mimpinya, Tonny sesumbar, “Aku mau mati sebagai climber!”

Dulu ... sekitar tiga tahun lalu mimpi buruk itu berawal, tapi kemudian Marco merasa semua bakal pulih seperti sedia kala, termasuk hatinya. Namun sekarang, setelah bertahun lewat, mimpi buruk itu datang lagi. Marco merasa, mimpi itu datang karena ada kaitannya dengan seseorang yang masuk dalam organisasi pencinta alam kampus. Tepatnya, seorang mahasiswi, adik kelasnya, yang masuk menjadi anggota Adventure setahun lalu. Gadis itu bernama Silvi.

Sejak Silvi masuk ke organisasi Adventure, Marco kembali mengalami mimpi buruk. Padahal Silvi tidak melakukan apapun terhadap dirinya, bahkan gadis itu juga tidak berminat ikut latihan panjat tebing. Silvi memilih masuk ke UKM Adventure, namun jarang ikut kegiatan di alam bebas. Hanya saja sosok Silvi telah membuat Marco teringat pada masa lalu ... yang menyedihkan.

Cepi menyeruput kopinya. “Lo merasa terancam sama mimpi buruk itu?”

“Nggak. Tapi kayaknya lo yang kudu merasa terancam ….”

“Gue terancam sama apa?” Cepi menatap Marco dengan heran.

“Ternyata anak-anak FKIP sudah praktik mengajar. Kok, lo belum?”

“Ya begitulah … gue sama dengan lo, keteteran kuliah karena selama ini memprioritaskan naik gunung dan manjat tebing.”

“Sekarang teman-teman sekelas lo lagi praktik mengajar, sebentar lagi mereka bakal bikin skripsi, lanjut sidang. Kalau mereka sudah lulus duluan, lo nggak ada lagi kawan seangkatan di FKIP, gimana entar? Masih semangat buat menuntaskan kuliah?”

“Gue mah bakal menuntaskan kuliah walau mungkin telat. Lo mungkin yang kehilangan semangat kuliah, kalau nanti … tiba-tiba saja melihat Maryam sudah pake toga, sedangkan lo masih belum kelar.” Cepi tergelak.

Marco tak menjawab, dia menyeruput kopinya.

Kedua pria muda itu membayar kopi dan makanan, lantas menggendong ransel masing-masing. Marco dan Cepi berboncengan naik motor, pulang ke Kota Bandung.

Marco tiba di rumahnya yang besar, tapi senyap. Cuma ada satpam, tukang kebun, dan pembantu rumah tangga. Papanya sibuk bekerja. Apalagi setahun belakangan ini papanya masuk partai, makin banyak saja kegiatannya. Mamanya juga sibuk mengurus bisnis, dan aktif di organisasi sosial.

Marco adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Kedua kakaknya sudah menikah dan tinggal di rumah mereka masing-masing. Adiknya kuliah di luar negeri. Marco lebih sering sendirian di rumah, dan rasanya tak ada yang bisa menahannya untuk berlama-lama di rumah sepi itu. Marco hanya mampir sebentar buat menyimpan ransel, membongkar pakaian kotor, mandi, ganti pakaian. Lantas dia makan masakan pembantunya. Lalu memasukkan beberapa buku ke ransel yang khusus buat kuliah. Marco bersiap pergi lagi.

“Den, sudah mau pergi lagi?” tanya satpam di depan rumahnya.

“Males di rumah, nggak ada siapa-siapa yang bikin betah.” jawab Marco.

“Cepetan nikah aja, Den, nanti juga betah di rumah.”

“Ide bagus, Kang.” Marco tersenyum lebar.

“Den, katanya nanti sore ibu sama bapak mau pulang. Kalau nanti Den Marco belum pulang, saya jawab apa?”

“Bilangin aja, saya lagi cari jodoh.” Lantas Marco memasang helm, menstarter motor, dan melaju meninggalkan rumahnya.

Marco menuju kampusnya. Di hari Senin itu tentu saja kampus ramai oleh mahasiswa dan dosen. Setelah parkir motor, Marco menuju homebase pencinta alam untuk menyimpan helm, dan duduk menunggu. Marco ada kuliah siang.

Marco memandangi beberapa piala yang tersimpan dalam lemari. Semua piala berasal dari kompetisi panjat tebing. Beberapa di antara piala itu diraih oleh Marco. Teringat tahun-tahun yang telah lewat, bagaimana dirinya berjuang supaya organisasi pencinta alam bisa tetap eksis di kampusnya. Aktivitasnya sebagai komandan organisasi pencinta alam kampus sangat menyita waktu, hingga dia keteteran dalam kuliah. Sekarang Marco menuai hasilnya, saat mahasiswa seangkatannya di FE mulai mengerjakan tugas akhir, berupa magang kerja di perusahaan ataupun instansi pemerintah, dirinya masih harus ikut kuliah bareng adik kelasnya.

Hubungan organisasi Adventure dengan UKM lain di kampus itu cukup baik. Mereka tidak pelit saat para aktivis dakwah kampus pinjam homebase untuk memasak, dengan suka rela para anggota Adventure tidak memasuki markasnya selama hari peminjaman itu. Dari urusan peminjaman homebase itulah, Marco mengenal Maryam.

Mulanya Marco biasa saja jika melihat “rombongan tagoni” yang beredar di kampusnya. Rombongan tagoni itu istilah beberapa orang untuk menyebut sekelompok mahasiswi aktivis masjid kampus, yang biasa disebut akhwat, mereka bergamis panjang dan longgar, berhijab lebar, dan warna busananya selalu gelap.

Suatu kali Marco datang pagi-pagi ke kampus, memasuki homebase yang masih sepi. Seperti biasa dia menaruh helmnya di atas lemari. Kemudian dia masuk ke ruang kuliah. Kelar kuliah, dia baru teringat bahwa hari itu homebase akan dipinjam oleh aktivis masjid kampus, buat tempat memasak. Karena butuh helm itu, Marco masuk ke dalam homebase. Dia terhenyak melihat homebase telah dipenuhi oleh “rombongan tagoni”, ada sekitar 20 orang akhwat yang semuanya sibuk memasak dan menyiapkan hidangan.

“Permisi Ukhti, mau ambil helm dulu.”

“Silakan Bang.” Beberapa orang akhwat menepi, memberi jalan pada Marco.

Di dekat lemari, ada meja, dan tampah berisi tumpeng besar terletak di atas meja. Seorang akhwat sedang menghias tumpeng itu. Saking asyiknya, dia tidak melihat ataupun mendengar suara Marco.

“Hiasan tumpengnya kayak gini sudah cukup kan, Say?” Akhwat itu bicara tanpa menoleh, mengira orang yang berdiri di belakangnya adalah rekannya sesama akhwat.

“Sudah cukup bagus, Say.” jawab Marco.

Akhwat itu terlonjak kaget mendengar suara lelaki, dia menoleh ke asal suara. Marco sudah berada dekat lemari, jaraknya dengan akhwat itu tidak sampai satu meter. Dari jarak sedekat itu, Marco bisa memperkirakan tinggi badan akhwat itu, sekitar 165 cm, cukup jangkung untuk ukuran wanita Indonesia. Wajahnya yang terkejut dan canggung, terlihat lucu, dan sweet. Gadis itu memepetkan tubuhnya ke dinding saat Marco berdiri di dekatnya untuk meraih helm di atas lemari.

“Sudah, silakan dilanjutkan.” Marco tersenyum ke arah gadis itu.

Gadis itu menundukkan wajah. Marco berjalan beberapa langkah sembari menenteng helm, kemudian dia menoleh lagi, dan mendapati gadis itu sedang memandang ke arahnya.

Marco bicara, “Ukhti, kalau sudah selesai masak, tolong bersihkan lagi homebase ini. Jangan berantakan dan kotor!”

Itulah awal perkenalan Marco dengan Maryam.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mencintai Seorang Climber   bab 311. Memantau Tersangka

    Seorang perawat masuk. “Dokter ingin bicara dengan keluarga Tuan Ardianto.”“Saya istrinya.” jawab Bu Marianne.“Silakan ikut saya.”Bu Marianne berjalan ke luar dari kamar, dia berhenti di depan pintu kamar karena di situ ada seorang dokter yang ingin bicara dengannya.“Apakah suami Anda punya penyakit diabetes?”“Iya Dok.” jawab Bu Marianne.“Perawat sudah mengambil sampel darah, dan melakukan cek gula darah. Kadar gula darah Pak Ardi di bawah normal, itulah sebabnya Pak Ardi merasa sakit, tidak enak badan. Saya menemukan ada kandungan obat diabetes jenis metformin, dalam sampel milik Pak Ardi. Apakah dokter di Bandung yang memberikan resep metformin pada Pak Ardi?”Bu Marianne minta izin masuk kamar untuk mengambil tas. Dari dalam tas dia mengeluarkan beberapa lembar kertas, merupakan hasil foto copy dari lembaran resep obat yang pernah diberikan oleh dokter di Bandung yang merawat Pak Ardi. Bu Marianne memberikan lembaran kertas itu pada dokter yang sekarang sedang merawat suaminy

  • Mencintai Seorang Climber   bab 310. Tebusan Terakhir

    Vino mulai kesal karena merasa urusan pencairan cek dipersulit.Dengan menahan emosi, Vino bertanya, “Apakah cek ini bisa dicairkan di bank ini? Kalau misalnya tidak ada uang tunai sebesar 500 juta di bank ini, ya bilang saja tidak bisa. Jadi saya tidak perlu terus saja duduk di sini, menjawab pertanyaan, padahal ternyata kantor bank ini tidak sedia uang tunai sebesar itu.”“Ada Pak. Jangankan 500 juta, kalau Anda mau mencairkan cek senilai 5 miliar, ada dananya.”“Kalau begitu, kenapa banyak sekali pertanyaan yang mesti saya jawab?”“Mohon maaf Pak, kami hanya melaksanakan tugas untuk verifikasi data dari penyandang dana ....” petugas CS itu melihat ada chat dari manajer kantor.[Done.]Petugas CS menoleh lagi ke arah Vino. “Baiklah Pak, cek akan kami cairkan. Silakan Anda menunggu sebentar, karena dana akan diberikan di kasir, bukan di meja CS.”Vino pindah duduk ke depan meja Teller. Beberapa saat kemudian, dia dipanggil. Vino cukup deg-degan melihat kasir bank menghitung uang dala

  • Mencintai Seorang Climber   bab 309. Urusan Bank

    Vino sudah masuk ke sebuah bank yang merupakan kantor cabang, dengan bangunan cukup besar. Vino mengambil nomor antrean, lantas duduk menunggu dengan perasaan campur aduk, berharap cek 500 juta di tangannya bisa cair tanpa banyak pertanyaan dari pegawai bagian Customer Service. Cek itu terhubung ke rekening pribadi Pak Ardi. Bahkan semua cek di tangan Vino terhubung ke rekening Pak Ardi.Pak Ardi memang lupa PIN-nya saat hendak transfer ke rekening M-Banking mi8lik Vino. Tetapi untuk pencairan cek, tidak perlu PIN. Hanya saja Vino agak khawatir jika cek dengan nilai besar akan jadi bahan pertanyaan dari pihak bank di wilayah ini. makanya Vino berencana mencairkan cek lain, di Pulau Jawa. Setelah semua uang cair, Vino sudah ancang-ancang akan pergi ke luar negeri, supaya tidak ditagih jatah oleh Wandi. Vino sudah memikirkan negara yang bakal ditujunya, negara ASEAN, karena bebas visa.Vino bicara dalam hati, “Mungkin aku akan ke Filipina dulu, untuk sembunyi dari si Wandi. Nanti kalau

  • Mencintai Seorang Climber   bab 308. Lapor Aparat

    Vino tidak pernah mengira, ponselnya yang tertinggal di pujasera Makassar, pada akhirnya sampai ke tangan keluarga Marco. Banyaknya foto Marco pada galeri ponsel tersebut, mengundang kecurigaan, sehingga didatangkanlah seorang penerjemah untuk menafsirkan aksara Rusia yang dipakai dalam chat. Hingga akhirnya terbongkarlah kejahatan Vino dan Wandi, yang merupakan perencana dari penculikan Marco.Keluarga Marco, yang terdiri dari Bu Marianne dan putra sulungnya, Zakki Wiratama, sudah tiba di markas besar POLRI di Jakarta. Mereka diantar oleh pengacara senior Darwis Nasution dan dua orang asistennya. Bu Marianne sudah membawa identitas dirinya sebagai keluarga Pak Ardi dan Marco. Dia juga membawa surat pernyataan dari dokter yang merawat Pak Ardi, bahwa Pak Ardi berada dalam kondisi fisik yang lemah, dan mental yang tidak stabil. Surat dari dokter tersebut untuk melengkapi berkas permintaan pemblokiran empat rekening milik Pak Ardi. Karena untuk memblokir rekening milik orang lain, wala

  • Mencintai Seorang Climber   bab 307. Orang-Orang Rekrutan

    Vino tidak mengira jika Pak Ardi, seorang pengusaha konstruksi, begitu mudah bisa diperdayainya. Tadinya dia pikir bakal sulit meyakinkan Pak Ardi untuk memberikan uang tebusan untuk Marco, ternyata cukup mudah. Memang urusan keselamatan anak membuat orang tua menjadi sulit berpikir jernih.Ide untuk membuat skenario penculikan Marco berawal dari pikiran Wandi, karena sebagai atasan, Wandi tahu latar belakang Marco yang berasal dari keluarga kaya. Wandi mengira Marco sedang berkonflik dengan orang tuanya, sehingga Marco memilih untuk menjauh, bekerja di luar Jawa. Ketika itu Wandi mengatakan bahwa seburuk apapun hubungan orang tua dan anak, tapi jika anaknya berada dalam bahaya, maka orang tua akan berusaha menyelamatkannya.Wandi sebagai Manajer Distribusi, punya wewenang memindahkan pegawai. Maka Wandi memindahkan Vino ke kantor di wilayah timur, di dekat bandara besar. Di sana, Vino bertugas untuk mencari beberapa warga lokal yang bersedia bekerja sama untuk “mengamankan” Marco. Aw

  • Mencintai Seorang Climber   bab 306. Mengingat PIN

    Pak Ardi berniat melakukan transfer sejumlah uang ke rekening Vino, melalui M-Banking. Beberapa saat Pak Ardi terdiam, lantas coba membuka akunnya. Dia terdiam lagi.“Saya lupa PIN-nya.” gumam Pak Ardi.“Bukankah Bapak punya rekening di empat bank? Mestinya ada akun lain lagi.”Pak Ardi memijat-mijat keningnya. “Saya tidak ingat PIN-nya.”“Apakah dari empat rekening itu, PIN-nya sama semua?”“Seingat saya berbeda-beda.”“Apakah PIN itu tanggal tertentu yang dianggap penting? Tanggal pernikahan mungkin?”“Mungkin ... saya lupa ... saya sudah beberapa kali menikah, ada yang resmi, ada yang siri.”“Astaga!” Vino garuk-garuk kepala. “Coba tanggal pernikahan dengan ibunya Marco, mungkin jadi salah satu PIN?”“No, saya rasa PIN saya bukan tanggal pernikahan.”“Oke, mungkin tanggal lahir istri, atau tanggal lahir Bapak sendiri?”“No, tanggal lahir, tanggal pernikahan, itu mudah ditebak. Kalau PIN mudah ditebak, sudah lama M-Banking saya terkuras, karena saya sering menggeletakkan hape saya d

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status