Home / Romansa / Mencintai Seorang Climber / Bab 02. Hanya Sebatas Iwak Peyek

Share

Bab 02. Hanya Sebatas Iwak Peyek

last update Last Updated: 2024-09-30 18:17:50

Maryam merasa Marco sedang menatapnya dengan perasaan kesal karena lantai homebase yang masih kotor.

“Nanti homebase itu saya sapu, setelah beres cuci piring.” ujar Maryam.

“Itu di meja ada nasi kuning dan lauk pauk, kenapa belum dibawa ke lokasi acara?” tanya Marco sembari menuding meja di dalam homebase.

“Itu nasi kuning buat di sini ….”

Para akhwat juga memasak nasi kuning buat anak-anak pencinta alam, walaupun tentu tidak akan cukup jika untuk semua anggota. Namun cukup banyak beras yang dimasak, dua kilo. Lauknya orek tempe dan urap sayuran. Itulah masakan tanda terima kasih karena sudah diizinkan pinjam homebase.

Beberapa anggota pencinta alam masuk ke dalam homebase. Ada yang melongokkan kepala memandangi Maryam. “Teteh, itu nasi dan ce-esnya, buat kita?”

“Iya, silakan dimakan ya.” jawab Maryam.

“Asyik, makasih banyak Teteh cantik. Hei Guys, makan kuy!”

Marco berdiri di pintu, memandangi para anggota pencinta alam yang mau makan. “Hei, kelar makan nanti, lo semua bersihin nih homebase!”

“Siap Bang!”

Maryam merasa tidak enak hati, karena homebase itu kotor akibat aktivitas memasak. “Biar saya dan teman-teman saya yang bersihin nanti.”

Marco tidak menjawab, tidak juga masuk ke dalam homebase untuk gabung makan, dia malah jongkok di teras, mengeluarkan isi ranselnya. Maryam melirik sembari tetap mencuci wadah-wadah kotor bekas masak. Saat melihat isi ransel Marco yang terserak di teras homebase, Maryam menahan ketawa, dia menunduk menatap keran air. Tak urung bibirnya membentuk seulas senyum geli.

“Isi ransel mahasiswa kok, tambang.” pikir Maryam.

Saat itu Marco sedang mencari kartu ATM-nya, karena tidak ada di dompet, maka dia cari di ransel. Supaya gampang, dia mengeluarkan seluruh isi ranselnya. Tidak ada buku catatan dan diktat kuliah, melainkan peralatan memanjat tebing, seperti harnest, karabiner[1], sling[2], piton[3], martil tebing, dan tambang. Akhirnya dia menemukan kartu ATM-nya, lalu dimasukkannya lagi peralatan buat panjat tebing itu.

Maryam sudah selesai mencuci perabot, dia berjalan menghampiri Marco.

“Saya titip dulu perabotan itu di teras, sedang dikeringkan. Nanti teman-teman saya yang ambil.” ujar Maryam, karena takut dikira mau pergi begitu saja sementara perabotan yang habis dicuci bertumpuk di sudut teras homebase itu.

“Kamu mau ke acara itu?” tanya Marco seraya menuding ke aula kampus, di mana acara syukuran khinatan massal sedang berlangsung. Anak-anak kecil yang telah dikhitan beberapa hari lalu, dihadirkan di aula, bersama orang tuanya. Undangan adalah para petinggi kampus, dosen, dan para pengurus dari organisasi kampus. Tentu saja Marco yang komandan organisasi juga diundang, entah kenapa dia masih belum masuk ke aula.

“Saya lihat tadi para akhwat sudah masuk ke aula.”

“Iya, biar saja mereka yang mengurus makanan buat undangan.” Maryam malas ke aula, karena bajunya basah kena air cucian piring. Bisa saja dia pulang dulu ke tempat kos, ganti baju, lantas ke aula. Tapi dia juga sudah capek. Dia ingin istirahat sejenak sebelum nanti ikut beres-beres seusai acara tersebut.

“Permisi.” ucap Maryam, lantas meninggalkan homebase, mau pulang.

***

Maryam telah memperoleh beasiswa sejak semester III. Di waktu luangnya yang sedikit, Maryam membuat peyek, di rumah seorang temannya yang dekat kampus. Maryam dan temannya memasarkan peyek buatan mereka ke kantin kampus, dan beberapa warung. Lumayan laris, tapi karena pendapatan harus dibagi dua, laba yang didapat Maryam tidak banyak. Maryam tetap bersyukur, bisa menabung sedikit demi sedikit, karena dia ingin beli laptop untuk keperluan kuliah. Supaya jika ada tugas kuliah, dia tak perlu lagi pinjam laptop milik organisasi dakwah kampus.

Suatu pagi Maryam sedang berjalan menuju kampus, membawa sekantong besar peyek. Baru masuk gerbang kampus, dia berpapasan dengan Marco yang hendak ke luar gerbang.

“Hei Ukhti, bawa apa itu?” tanya Marco.

Sepagi itu kampus masih sepi. Jika sudah ramai, Maryam tidak akan buru-buru menjawab, karena merasa tidak yakin jika dirinya yang diajak bicara oleh komandan organisasi pencinta alam yang ganteng itu.

“Ini peyek, mau dibawa ke kantin.”

“Kamu yang bikin?”

“Iya.”

Marco tersenyum. “Saya sering beli peyek di kantin kampus, ternyata peyek bikinan kamu. Boleh saya beli?”

“Boleh.” Maryam tersenyum, dan senyumnya makin lebar karena Marco memborong sepuluh bungkus peyek kacang dan teri.

Marco bilang dia dan rekan-rekannya akan berangkat ke Pajajaran Sport Hall, ada turnamen panjat tebing yang akan mereka ikuti. Maksudnya tentu tebing buatan, yaitu climbing wall. Sebelum berangkat ke arena, mereka kumpul di kampus dan akan sarapan bersama. Mereka sudah masak nasi di rice cooker buat sarapan, dan bikin telur dadar. Marco yang belum mau makan kalau tidak ada kerupuk atau apa saja yang kriuk, lantas hendak ke luar kampus untuk mencari warung yang sudah buka. Saat itulah dia berpapasan dengan Maryam.

“Kamu mau mampir dulu di homebase?” tanya Marco setelah memberikan uang 50 ribu untuk harga 10 bungkus peyek. “Kita bareng sarapan.”

Karena merasa sudah familier dengan homebase itu, sudah dua kali Maryam memasak di homebase itu, maka Maryam melangkah ke pintu homebase, dia tidak masuk, hanya melongokkan kepala melihat orang-orang yang sedang makan.

“Hei Teteh, sini makan bareng!” ajak mereka.

“Iya, mangga tuang sing raos[4].” sahut Maryam dalam Bahasa Sunda, saat melihat mereka makan nasi dengan telur dadar dan kecap. Lantas Marco memberikan lima bungkus peyek untuk teman-temannya itu, yang segera disambut dengan gembira. Lima bungkus lagi ada di dalam ransel Marco.

“Jangan kebanyakan makan, nanti kalian jadi lambat saat memanjat.” ujar Marco pada rekan-rekannya.

“Memangnya nggak ada kuliah hari ini?” tanya Maryam.

“Ada yang libur, ada yang bolos.” jawab Marco.

“Saya mau ke kantin dulu, mau kirim peyek.” Maryam pamit, tapi Marco malah berjalan menyertainya ke kantin kampus.

Maryam menyerahkan 12 bungkus peyek pada pengelola kantin.

“Sudah ada masakan yang mateng, Bu?” tanya Marco, dia berharap ada teman makan nasi selain telur.

“Ada gorengan.”

Marco enggan makan gorengan, karena suka kepancing untuk makan cabe rawit, padahal dia mau ikut turnamen climbing. Takut sakit perut pas lagi manjat dinding. Maka dia tidak beli apa-apa. Marco berjalan menyertai Maryam.

“Saya duluan.” ujar Maryam dengan perasaan tidak karuan, karena beberapa pasang mata melihat dia berjalan bersama Marco. Ada yang menyindir.

“Penampilan aja syar’i, gamis dan jilbab lebar, ternyata cegil juga, pengin nempel juga sama si Abang.” Itu suara perempuan, tapi Maryam tidak mau mencari sumber suara.

Maryam kembali ke tempat kos.

[1] karabiner adalah cincin kait dari logam. Karabiner dipakai untuk menautkan tambang yang terikat pada tubuh pemanjat dengan anchor, ataupun sling dengan anchor. (Anchor adalah system pengamanan dalam instalasi tali temali, dalam kegiatan panjat tebing alami atau panjat dinding)

[2] Sling adalah tali pipih seperti pita, dengan kedua ujung disambungkan membentuk lingkaran, fungsinya untuk menautkan tambang yang dibawa pemanjat dengan anchor.

[3] piton adalah paku tebing dengan lubang di salah satu ujungnya, untuk tempat mengaitkan karabiner. Penggunaan piton yaitu diselipkan di antara rekahan batu, sebagai alat pengaman anchor saat pemanjatan tebing alami.

[4] Silakan makan enak.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mencintai Seorang Climber   bab 264. Tidak Direstui

    “Aku sudah bicara pada Papa soal pernikahan kita.” ujar Marco pelan saat bersama Maryam makan siang di sebuah rumah makan.“Beliau marah?”“Mau marah gimana?” Marco malah tersenyum, lantas menyuap makanannya dengan lahap.Marco berujar dalam hati, kalau Papa sampai marah-marah, dan mengancamku, Papa tidak akan lagi punya sekutu di rumah, yang selalu siap berada di sampingnya, atau di belakangnya. Bahkan aku pernah pasang badan untuk menutupi perbuatannya nikah lagi, dengan segala resiko buruk yang mesti kutanggung sendiri. Kurang baik apa aku ini sebagai anak? “Papaku lagi sakit, harus istirahat total beberapa bulan. Nggak boleh marah-marah, nggak boleh melakukan aktivitas yang bisa memacu jantungnya bekerja terlalu keras. Misalnya, aktivitas ....” Marco berbisik ke telinga Maryam.“Dih!” Marco teringat ucapan dokter pada mamanya, yang juga sempat didengarnya. Kata dokter, Pak Ardi mengonsumsi obat kuat melampaui dosis sebelum melakukan aktivitas suami istri, sehingga memacu deta

  • Mencintai Seorang Climber   bab 263. Ke Makam Bunda

    Setelah pamit pada papanya, Marco bergegas pergi dengan mengendarai mobil. Tadi pagi dia mengantar Maryam ke RS, untuk cek kesehatan. Dokter bilang luka di kaki Maryam sudah berangsur sembuh. Setelah itu Maryam minta diantar ke sebuah TK, katanya dia dapat DM dari Bu Fatimah.Bu Fatimah adalah mantan kepala sekolah di TKIT Bungan Bangsa yang sudah tutup. Kemudian ada yang memintanya untuk menjadi kepala sekolah sebuah TK. Bu Fatimah menghubungi beberapa mantan guru di TK yang dulu, menawarkan pekerjaan sebagai guru pendamping. Karena Bu Fatimah tidak tahu nomor ponsel Maryam, maka dia mengirim DM ke akun sosmed milik Maryam, menawarkan pekerjaan itu. Maryam antusias untuk mendatangi TK tersebut, dan meminta Marco mengantarnya setelah dari RS.Itulah sebabnya, sang pengintai yang memantau dari kafe di seberang rumah, tak melihat Maryam ataupun Marco datang dan pergi dari rumah itu, karena Maryam dan Marco pergi pada saat matahari baru terbit. Mereka berangkat ke RS pagi-pagi sekali unt

  • Mencintai Seorang Climber   bab 262. Rumah Horor

    Pak Ardi mengisahkan sebuah peristiwa di masa lalu, ketika Pak Waluya menikah untuk keempat kalinya. Istri muda itu tinggal di rumah yang baru dibeli oleh Pak Waluya. Wanita itu mengajak anak dan ibunya tinggal bersamanya. Kemudian rumah di sebelahnya direnovasi untuk dibuat toko. Pemilik rumah tidak tinggal di rumah yang lagi direnovasi itu, maka para pekerja bangunan tinggal di sana. Suatu hari Pak Waluya datang menjenguk istri mudanya itu. Dia menemukan ketiga orang itu sudah tiada. Mereka berd@rah. Polisi menyelidiki, dan akhirnya ketahuan bahwa pelakunya adalah dua orang kuli bangunan yang mondok di rumah sebelahnya. Oknum kuli bangunan itu masuk ke rumah yang dihuni istri muda Pak Waluya. Kata polisi, niat awal orang itu mencuri, tapi kepergok sama penghuni rumah. Karena panik oleh jeritan penghuni rumah, membuat mereka gelap mata lantas melukai hingga tew@s.Ardi bertutur, “Pelaku kejahatan itu sudah dihukum. Setahun setelah kejadian itu, ayah meminta aku untuk mencari orang

  • Mencintai Seorang Climber   bab 261. Rumah Warisan

    Pak Waluya Wiratama, kakeknya Marco, akhirnya berpulang. Seluruh keluarga melepas dengan ikhlas di pemakaman keluarga yang terletak di Kabupaten Bandung. Usai pemakaman, akan ada tahlilan selama tujuh hari berturut-turut di kediaman almarhum.Pak Waluya memiliki delapan anak, dari tiga istri. Papanya Marco adalah anak sulung, tapi ibu kandungnya meninggal saat dia masih bayi. Kemudian ayahnya menikah lagi, dan memiliki empat anak. Di usia 40 tahun, istri Pak Waluya sakit kanker, kemudian dia fokus berobat dan tidak lagi melayani suami. Dia mengizinkan suaminya menikah lagi. Maka Pak Waluya menikah untuk ketiga kalinya. Dari istri ketiga, Pak Waluya memiliki tiga orang anak.Semua anak Pak Waluya mengecap bangku kuliah, kemudian menjadi PNS, ataupun pegawai BUMN. Pak Waluya yang pernah menjabat Kepala Dinas level propinsi, tentu bisa mengupayakan anak-anaknya mendapat pekerjaan yang layak. Hanya Ardian Wiratama yang tidak mau menjadi PNS, karena dia melihat peluang lebih besar jika dir

  • Mencintai Seorang Climber   bab 260. Tinggal Serumah

    Ibunya Sabrina bicara, “Kalau kamu dan Marco bekerja di kantor yang sama, besar peluangnya untuk bertemu setiap hari. Mungkin saja Marco itu memang jodoh kamu. Hanya saja saat ini Marco belum memikirkan pernikahan, karena sedang banyak masalah. Papanya sakit, kakeknya juga sakit. Dia mengurus orang tuanya, karena kakaknya mesti mengurus bengkel besarnya itu. Sedangkan dua saudaranya ada di luar negeri. Ibu menilai, Marco itu laki-laki yang sanggup memikul banyak tanggung jawab, tanpa mengeluh. Dia cocok banget untuk jadi menantu. Tapi kamu harus lebih banyak sabar menghadapinya, karena watak Marco memang keras, nggak suka diatur, apalagi diultimatum. Begitu kata mamanya.”“Kalau dia sudah punya cewek, percuma saja bekerja sekantor dengan dia.”“Kayaknya belum. Bu Marianne lebih ingin kamu yang menjadi istrinya Marco. Keluarga kita selevel dengan mereka.”Keesokan harinya, menjelang siang, Sabrina pamit mau ke kampus. Dia memang ke kampus sebentar untuk bertemu temannya. Di kampus dia

  • Mencintai Seorang Climber   bab 259. Rumah di Seberang Kafe

    Marco memberikan ponsel baru untuk Maryam. Setelah makan malam, Marco menerima chat di grup keluarga, berkaitan dengan kondisi kakeknya. Dokter akan melakukan intubasi, yaitu memasukkan selang oksigen ke dalam mulut dan tenggorokan pasien. Kakek sudah sulit bernapas sendiri, dan pernapasannya akan dibantu oleh mesin ventilator. Metode intubasi akan menyakitkan pasien, sehingga pasien mesti ditidurkan dengan anestesi. Keluarga sudah menandatangani persetujuan intubasi. Semua ini adalah ikhtiar terakhir, walau berat, karena ada resiko besar efek samping anestesi pada orang yang sudah uzur.Marco sebenarnya berat meninggalkan Maryam seorang diri di rumah itu, karena Nanang sudah kembali ke tempat kosnya. Nanang harus mulai fokus kuliah, setelah beberapa hari ini pikirannya bercabang. Perkara biaya kuliah, Nanang tidak perlu lagi bekerja untuk mencari uang. Bu Diah yang merupakan istri bapaknya, bersedia membiayai kuliah Nanang hingga selesai.“Nggak apa-apa aku sendirian, di sini aman.”

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status