Maryam menatap foto-foto dan video prewedding yang diposting di sebuah akun.“Apa-apaan ini? Kalau benar Marco dan Sabrina bikin prewedding, ngapain juga diposting di akunnya Siska?” gumam Maryam. Siska adalah rekan kerjanya saat di butik. Dalam postingan itu, Siska nge-tag beberapa akun milik rekan-rekannya yang sudah resign, termasuk akun Maryam. Itulah sebabnya muncul notif, dan Maryam melihatnya.Maryam memang merasa cemburu dengan foto-foto dan video itu, tapi saat ini dia sudah bisa berpikir lebih bijak. Berkaca dari pengalaman pahit yang telah lalu, saat dirinya begitu tergesa-gesa menyimpulkan hal yang negatif tentang Marco, tanpa mau mendengar penjelasan dari Marco, hanya menuruti kata hati yang dibakar rasa cemburu. Akibatnya rencana pernikahan batal.Saat ini Maryam dan Marco memang belum lagi merencanakan kapan mereka akan menikah, tapi Marco bilang ingin membina rumah tangga dengan Maryam. Jika Marco hanya sekadar main-main, mestinya dia tidak akan buang-buang waktu dan b
Setelah merasa cukup memberi nasihat pada anak-anaknya, Wardoyo pamit hendak pulang. Wartini mengantar mantan suaminya itu hingga ke teras rumahnya.“Kang, terima kasih ya, sudah ikut mengurus Irma.”“Itu kan, kewajiban saya sebagai bapaknya kedua anakmu. Oh iya, Maryam mau pulang bareng bapak?”Wartini yang menjawab, “Biarlah Maryam di sini dulu, menemani Irma. Selama ini Irma kan, tidak punya saudara perempuan. Sekarang dia pasti butuh saudara perempaun. Dia baru saja terluka wajahnya, lalu hari ini ditalak sama suaminya. Saya bisa merasakan hatinya yang perih. Tapi Irma selalu pura-pura tegar kalau di depan saya. Saya tahu dia pengin nangis, tapi tidak mau di hadapan saya karena dia takut saya ikut sedih dan kepikiran. Biarlah Irma nangis dan curhat sama Maryam. Perempuan butuh menangis untuk melepaskan sebagian penderitaan.”“Kalau begitu saya titip Maryam di sini.”Wardoyo pulang dengan hati masih diliputi kekhawatiran akan nasib Irma. Seno juga pulang ke rumah kontrakannya.Di k
Maryam kembali menjenguk Irma di hari Minggu, karena Irma meneleponnya, meminta Maryam datang menemaninya. Di hari Minggu warung emaknya Maryam tutup, karena pembeli biasanya tidak banyak, berhubung kantor-kantor yang ada di dekat warung itu libur di hari Minggu dan tanggal merah. Maryam tidak punya banyak pekerjaan, maka dia bisa ke rumah sakit untuk menemani Irma.Biasanya Wartini, emaknya Irma, selalu mendelik jika melihat Maryam, bicara ketus, atau menyindir dan menghina. Namun, semenjak Irma mengalami penyerangan yang fatal, Wartini lebih banyak diam. Dia baru banyak bicara saat bertanya kepada dokter, apakah wajah anaknya akan pulih.“Pokoknya yang penting lukanya menutup dulu, dan sembuh, tanpa infeksi.” Itu jawaban dokter.“Tapi apakah nanti bakal ada bekasnya, Dok?”“Mbak Irma masih muda, secara fisik juga sehat, jadi lukanya bisa pulih lebih cepat. In Syaa Allah. Hari ini sudah boleh pulang. Tiga hari lagi kontrol ke sini.”“Ganti perbannya bagaimana, Dok?”“Ganti perban set
Karena merasa sayang jika bunga-bunga bekas dekorasi dibuang begitu saja, padahal masih segar, Marco minta bunga itu dibiarkan saja jadi penghias kafe. Pada hari Sabtu itu pengunjung kafe merasa sedang menghadiri acara pernikahan, atau pertunangan, karena beberapa dekorasi mengesankan suasana resepsi. Ibaratnya pengunjung kafe menemukan spot foto baru di kafe itu.Mamanya sudah semenjak tadi pergi, katanya ada acara lagi di sebuah pameran fashion. Demikian juga Sabrina, dia pergi bersama rombongan Bu Marianne, tapi Sabrina menyetir sendiri mobilnya. Marco berjalan kaki meninggalkan kafe, menuju Adventure Kids Camp yang letaknya tak jauh dari kafe itu.Ada rombongan siswa SD beserta gurunya yang baru saja tiba di camp itu. Segera saja Marco sibuk membantu anak-anak kelas 2 SD itu menggunakan beberapa permainan di camp. Setelah rombongan tersebut selesai, dan meninggalkan camp, muncul rombongan dari SD lain. Anak-anak berseragam pramuka penggalang, usia SD kelas V dan VI, datang bersama
Marco sudah tiba di rumah orang tuanya, di Bandung. Tumben mamanya sudah ada di rumah, ketika Marco datang. Ketika makan malam, papanya juga sudah pulang dan makan bersama. Benar-benar moment langka buat Marco.“Jangan kabur-kaburan terus!” ucap Pak Ardi pada putranya, saat usai makan malam.“Aku kan, pergi ke Jakarta buat wawancara kerja, Pa.”“Pekerjaan itu selalu tersedia buat kamu, di perusahaan yang sudah papa bangun selama puluhan tahun. Tapi kenapa kamu malah mencari-cari pekerjaan di perusahaan milik orang lain?”“Beri aku waktu tiga bulan, untuk menunggu panggilan kerja. Kalau dalam waktu tiga bulan, nggak ada panggilan kerja, nanti aku ikut Papa.”“Tiga bulan terlalu lama.” tukas Ibu Marianne. “kalau bulan depan kamu belum dapat panggilan kerja, kamu kerja ikut Papa! Kalau kamu kelamaan nganggur, nanti malah keluyuran terus!”“Aku nggak nganggur Ma, aku punya usaha yang menghasilkan uang.”“Kalau kamu bekerja di perusahaan Papa, kamu bakal lebih disiplin.” ucap mamanya, “ngg
Ponsel Marco berbunyi, ternyata panggilan dari mamanya.“Iya Ma ....”“Kamu ada di mana, Marco? Sepupumu bilang kamu sudah pulang kemarin siang, tapi sampai sekarang kamu belum balik ke rumah.”“Aku ada perlu sebentar ke rumah teman .... nanti aku pulang.”“Rumah teman di mana? Di Cirebon? Kamu bolak-balik mendatangi Maryam? Benar kan?”“Iya Ma ....”“Jangan bilang kalau kamu sudah nekad nikah siri dengan Maryam!”“Nggak Ma, belum ....”“Kamu menjalin hubungan lagi dengan Maryam?”“Iya Ma, karena aku sudah merasa cocok dengan Maryam.”“Cocok apa maksud kamu?”“Maryam yang paling cocok jadi istriku.”“Tapi mama nggak cocok sama Maryam.”Marco terdiam sejenak, dia tidak mau berdebat dengan mamanya, apalagi melalui ponsel,“Nanti aku pulang, Ma.”“Hari Sabtu pagi kamu harus sudah ada di Bandung. Bisa, kan?”“Ada acara keluarga ya, Ma?”“Ya, kamu harus hadir. Bisa kan? Harus bisa!”“Iya Ma.”Pembicaraan selesai. Hari itu hari Jumat. Marco ada di penginapan milik Sunedi. Belum ada kelanjut