Share

episode 10

“Morning too, Gilang!” senyumku.

Aku terpaku menatap senyuman Gilang yang sangat menawan dengan dua lesung pipi di pipinya.

“Jangan terlalu lama menatapku, Kia! Ntar kamu jatuh hati. Aku tahu kok kalau aku keren!” canda Gilang yang disusul dengan suara tawanya.

“Hahahah. Nggak segitunya kali Lang!” kekehku.

“Kia, kita kesana yuk!” ajak Gilang sambil menunjuk sebuah tempat yang ada diseberang lautan.

Tempat tersebut merupakan sebuah pulau kecil. Kesana bisa ditempuh dengan perahu yang disewakan disekitaran pantai.

Kami pun berjalan menyusuri pantai, dengan menggunakan perahu yang disewakan nelayan, yang berkapasitas 20 orang sekali jalan.

Perjalanan sangat menyenangkan, karena aku penyuka tantangan.

Akan tetapi, perjalanan cukup menegangkan bagi yang belum biasa naik perahu.

Diiringi deburan ombak, sekitar 30 menit sampailah kami di tempat tujuan karena lokasi yang menyeberang pantai, maka fasilitas disini juga masih minim.

Yang ada hanya musholla kecil untuk beribadah. Selanjutnya, tidak fasilitas dermaga tambat bagi perahu.

Sehingga kapal hanya bisa merapat mendekat dan pengunjung mau tidak mau harus turun menceburkan diri, dengan ketinggian air selutut.

Perjuangan tentunya. Tapi apabila sudah menginjakkan kaki di pasirnya, maka perjalanan akan semakin menarik. Aku sangat menikmati suasana yang tercipta.

“Sudah sering kesini, Lang?” tanyaku.

“Nggak juga, baru dua kali dengan sekarang!” jawab Gilang.

“Tinggal dimana, Kia?” Gilang menanyakan tempat tinggalku.

“Aku dari Jakarta, Lang!” jelasku.

“Really?” dia memandangku untuk meyakinkan. Akupun menggukkan kepala sebagai jawaban sambil memandang laut lepas.

“Trus, disini tinggal dimana?” tanyanya lagi.

“Menginap di penginapan yang ada di ujung pantai, Lang!” aku menjawab jujur pertanyaan Gilang.

“Dalam rangka apa kesini?” dia melanjutkan.

“Studi banding, Lang,” ucapku.

“Dimana studi bandingnya?” tanya Gilang untuk memastikan jika Kiara sama dengan rombongan Bianca adiknya.

“Universitas Negeri Padang!” jawabku singkat.

“Sampai kapan disini, Kia?” ucap Gilang.

“Studi bandingnya mungkin lusa selesai Lang. Karena jadwalnya sudah dipadatkan. Jadwal yang seharusnya empat hari, sudah di press menjadi dua hari saja.“ jelasku.

“Habis itu langsung kembali ke Jakarta, Kia?” potong Gilang.

“Nggak Lang, mungkin seminggu ini aku masih disini. Aku ada kegiatan lain diluar kegiatan kampus,” jelas Kiara panjang lebar.

“Kegiatan apalagi?” selidiknya penuh tanya.

“Something!” senyumku.

“May I know?” ucapnya dengan nada memohon.

“Lusa hari terakhir kunjungan studi banding. Paginya ke Universitas Negeri Padang terlebih dahulu. Habis itu, kalau kegiatan selesai dan sekalian langsung berpamitan sama pihak kampus. Selanjutnya, mengantarkan rombongan sampai Bandara,” Aku menjelaskan dengan panjang lebar.

“and then?” Gilang tidak sabar dengan penjelasanku.

“Aku kembali ke penginapan. Sorenya, mau ke pantai menikmati sunset,” jawabku sambil tersenyum membayangkan suasana sunset.

“Baiklah. Besok aku temenin ke pantainya,” tegas Gilang.

“Nggak perlu, Lang. Aku bisa sendiri dan nggak butuh teman,” elak Ara.

“Aku cuma mau menemani, karena aku juga sangat menyukai suasana pantai Kia. Daripada kamu sendirian!” jawab Gilang.

“Siapa bilang aku sendirian? Ada banyak orang dipantai ini, Lang,” protes Ara

“Buktinya dari kemaren aku perhatikan kamu sendirian terus dan nggak ada yang menemani. So, boleh dong aku temenin karena aku juga sendirian disini,” Gilang menambahkan.

“Baiklah. Kalau begitu maunya!” aku menggodanya sambil tesenyum miring.

“Jangan menggodaku, Kiara!” Gilang salah tingkah dibuatnya.

“Hahahah. Kamu mempan juga dengan godaan ternyata. Kirain hanya tukang goda anak orang,” tawaku pecah melihat ekspresi Gilang

“Aku bukan tukang godain anak orang Kiara. Tapi kalau untuk godain kamu, aku mau kok!” Gilang malah balik menggoda Kiara sambil tertawa.

“Are you sure?” ucap Kiara.

“Exactly yes!” yakin Gilang sambil menatap kedua netra biru milik Kiara.

Untuk sepersekian menit, aku terpaku menatap kedua netra zamrud milik Gilang.

“Forget it, Lang,” lirih Kiara hampir tidak terdengar.

“Why?” Gilang memandangku penuh selidik.

Fokusku beralih melihat sang surya yang sudah menampakkan cahaya terangnya yang berwarna kemerahan untuk mengalihkan pembicaraan.

Pagi ini cuaca cukup cerah dan tak ada tanda-tanda mendung, meskipun sang surya masih diselimuti kabut tipis.

Perlahan matahari naik menyinari alam Kota Padang yang sangat indah. Sekarang saatnya mengabadikan pemandangan alam yang maha indah ini.

Mentari pun mulai beranjak naik, udara juga sudah mulai terasa sedikit panas.

Puas menikmati sunrise, berjemur di pulau, dan foto-foto sebagai kenangan maka kami memutuskan untuk kembali ke pantai.

Sekitar 30 menit, kami telah sampai kembali di seberang pantai.

“Habis ini mau kemana lagi, Kia?” tanya Gilang.

“Ke penginapan dulu Lang,” jawabku.

“Nggak sarapan dulu?” tanyanya.

“Sekarang mau pulang dulu untuk mandi. Nggak enak sarapan basah-basah gini,” jelas Ara.

“Barengan ya, sarapannya?” ucap Gilang.

“Oke.” jawabku sambil menyatukan jari telunjuk dan ibu jari. Gilang langsung tertawa melihat ekspresiku.

Kamipun berpisah di pantai, untuk kembali ke penginapan masing-masing. Satu jam lagi baru keluar untuk mencari sarapan.

Gilang POV

Sore kemaren aku menginjakkan kaki di Bandara Internasional Minangkabau yang berlokasi di Padang. Beberapa hari kedepan aku akan memantau perkembangan pembangunan proyek sebuah mall di kota ini.

Badanku terasa pegal semua setelah menempuh perjalanan Jakarta – Padang, yang memakan waktu hampir 5 jam di bandara Sukarno Hatta. Karena pesawat yang akan membawaku ke Padang, delay sekian jam.

Di pintu Bandara, aku sudah ditunggu oleh supir perusahaan yang biasa menemaniku jika berkunjung kesini. Mobil yang membawaku langsung berjalan menuju hotel tempatku menginap.

Perjalanan terasa melelahkan. Rencananya aku mau istirahat terlebih dahulu, nanti sore baru melihat-lihat dan bekeliling di Padang.

Jam sudah menunjukkan pukul lima waktu setempat, aku bergegas mandi dan berkemas untuk ke pantai.

Sekadar menenangkan pikiranku yang akhir-akhir ini sangat disibukkan dengan jadwal kerja yang terlalu padat.

Aku duduk di café yang terletak di tepi pantai. Tempat duduknya menghadap ke laut lepas.

Aku memandang laut lepas sambil menikmati secangkir kopi hangat yang terasa sungguh nikmat.

Dikejauhan, aku melihat seorang gadis yang sedang duduk menikmati pemandangan yang tersaji didepannya.

Aku memperhatikan, dari tadi gadis tersebut tidak beranjak dari duduknya.

Sepertinya, dia tidak terganggu dengan orang yang berlalu lalang di sekitarnya.

Aku memutuskan untuk berjalan menuju kesana.

“Boleh duduk disini?” tanyaku.

“Silahkan!” ucapnya dengan menganggukkan kepalanya sambil menoleh ke arahku.

Aku sedikit terkejut melihat wajahnya, ternyata gadis tersebut adalah gadis yang kulihat di restoran dan yang menabrakku di Gramedia beberapa hari yang lalu.

Gadis yang telah menyita perhatianku seminggu ini. Aku tersenyum penuh kebahagiaan, sepertinya, Tuhan menjawab do’aku untuk dipertemukan kembali dengannya.

“hmmm, pemandangan yang bagus!” ucapku sambil menatap ke tengah laut lepas.

“Ya. Sangat bagus malahan,” timpalnya tanpa menoleh kepadaku.

“Sering kesini?” aku menambahkan.

“Nggak terlalu sering, tapi lumayan seringlah!” jawabnya.

“Maksudnya?” jawaban ambigunya membuatku bertanya lebih lanjut.

“Forget it!” jawabnya sambil tertawa dengan lesung pipinya yang terlihat sangat jelas.

Untuk sepersekian detik lamanya, aku cukup terpesona dengannya.

”Oh, Tuhan, sepertinya gadis ini akan mengalihkan duniaku!” hatiku menjerit.

Akhirnya, akupun bisa berkenalan dengan gadis yang telah menyita waktu akhir-akhir ini.

Yang kuketahui bernama Sakia Rahayu. Katanya dia biasa dipanggil Ara.

Akan tetapi, aku lebih suka dengan panggilan Kiara. Menurutku, Ara terlalu feminim untuk penampilannya yang agak tomboy.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status