Share

BAB 03

Punya banyak uang serta memiliki wajah yang menawan merupakan impian seluruh umat di muka bumi. Seakan jika kamu punya ke duanya maka dunia ada dalam genggaman. Dan ke duanya itu merupakan senjata yang saat ini dimiliki oleh seorang Leonatta Argantara.

Leo, si tampan yang namanya tengah dielu-elukan dikhalayak. Aktor muda yang mampu memikat banyak perempuan karena pesonanya yang sulit terelakan. Tentu saja, wajah serta kemampuan aktingnya sangat berbanding lurus.

Selain tampan, Leo juga punya karakter yang ceria, ramah dan menyenangkan. Bak laki-laki dalam dongeng. Sempurna....

Leo menuruni undakan tangga, hidungnya bisa mencium bau masakan yang berhasil membuat bibirnya tersenyum kecil.

"Pagi wanita tercantik-nya Leo." Sapaan lembut itu keluar dari bibir yang bervolume sewarna buah tomat. Lengan jenjangnya merengkuh wanita itu penuh kasih sayang. Satu kecupan dia daratkan di pipi bersih wanita itu.

Wanita dengan apron yang masih tersemat itu terlihat tersenyum tulus. Dia, Bunda Lia, ibu dari seorang anak laki-laki yang kini terlihat sudah duduk bersiap menyantap hidangan.

"Bunda, kok, manis banget, sih, padahal Leo bilang gak papa beli aja sate-nya." Mata sipitnya memandang Bunda Lia dengan binar haru.

Bunda Lia terlihat menggerakan jarinya, menyahuti sang putra dengan bahasa isyarat. "Tak apa, Bunda senang bisa masak buat kamu."

"Bunda terbaik! Leo sayang Bunda, cinta Bunda semilyar titik!"

Hanya sebuah usapan lembut yang mendarat dipucuk kepala Leo. Leo mendongakan kepalanya, mempersembahkan senyuman manis yang membuat matanya semakin mengecil lucu.

Mereka pun mulai menyantap hidangannya dalam diam, dengan sate padang sebagai menu utama. Mungkin terdengar tidak cocok untuk dijadikan menu sarapan, tapi bagi Leo apapun yang dimasak ibunya akan selalu layak di makan kapanpun dan di manapun. Apalagi menu utama yang dibuat sang Ibu merupakan makanan yang ingin dirinya santap semalam. Namun, berhubung sudah tidak ada rumah makan padang yang buka dia pun tak bisa mendapatkannya waktu itu juga.

Dan pagi ini, Bunda Lia mewujudkannya. Lihat, bagaimana Leo tidak menyayangi sang Ibu jika beliau tak pernah membiarkan Leo kekurangan apapun.

❄☀️❄

Leo mendesah kesal saat melihat jarum jam sudah menunjukan pukul 06:35. Detik terus berlalu tapi orang dari bengkel tak kunjung datang, padahal dirinya harus segera berangkat ke sekolah.

"Pak orang bengkel-nya nyasar, ya?" tanya Leo asal.

Pria tua bertubuh gempal yang merupakan sopir pribadi yang ditunjuk oleh pihak Agensi-nya itu pun terlihat panik.

"Gak tahu, Den, saya hubungi juga dia tidak menjawabnya," jelas Pak Toha seadanya.

Leo mengembuskan napas kasar, matanya berpencar melihat sekitar ... matanya kian menyipit untuk meyakinkan sesuatu. Dan seperti sebuah pertolongan dari surga, Leo menemukan seseorang dengan seragam yang sama dengan yang dikenakannya. Leo begitu yakin, bahwa orang itu memang lah satu sekolah dengannya, karena sekolah yang akan jadi tempat belajarnya kali ini bukan lah sekolah biasa. Bajunya tampak berbeda dan tidak mungkin ada yang menyamai.

"Pak Toha tunggu di sini aja sampai tukang datang, saya duluan."

"Tapi, Den—"

"Saya berangkat bareng teman." Leo berucap seraya memasang topi serta masker hitam yang selalu tersedia di dalam tasnya.

"Teman?" beo Pak Toha.

"Hm." Tanpa menoleh Leo melangkah menyusuri sisi jalan.

"Teman?" bisik Pak Toha masih tak yakin dengan pendengarannya. Pak Toha yang sudah jadi sopir pribadi Leo selama satu tahun terakhir tak pernah sekali pun melihat Leo bertemu teman-temannya. Bahkan Leo pernah bilang padanya, bahwa dia tidak memiliki teman.

"Dalam dunia entartaiment itu tidak ada yang benar-benar teman, Pak. Kalau bukan musuh yang hanya sekadar relasi. Itu pun kebanyakan palsu. Saya lebih baik tidak punya teman."

Masih begitu jelas dalam ingatan saat Leo mengatakan kalimat itu waktu dia mendapatkan penghargaan dalam A Awards dengan tiga katagori. Salah satunya; Aktor Pendatang Batu Populer di pertengahan tahun kemarin.

❄☀️❄

Kaki jenjangnya melangkah menyusuri koridor yang ternyata sudah padat dipenuhi kaum hawa. Terdengar sahutan namanya yang diserukan, meskipun terlihat antusias mereka tak terlihat berani mendekat, hanya sekadar merekam dan beberapa ada yang memberinya hadiah.

Leo tersenyum sebagai bentuk sapaan. Senyuman yang sukses membuat mereka yang menyaksikan menjerit heboh.

Sebenarnya disekolahnya saat ini bukan hanya dirinya saja yang berpropesi sebagai Aktor, bahkan banyak rekan-rekannya yang juga bersekolah di Bluemoon. Hanya saja memang namanya lah yang kini tengah naik daun.

"Selamat datang di Bluemoon, Leo." Seorang gadis dengan rambut sebahu menghampirinya. Berdiri tepat lima langkah dari tempat Leo. Sorakan heboh kian memggema.

Leo maju tiga langkah, bibirnya tersungging lebar.

"Terima kasih atas sambutannya," ujar Leo. Matanya masih melekat pada sosok gadis cantik yang bukan lain adalah Arynda, lawan mainnya dalam film yang dibintanginya kemarin.

"Mereka emang cocok banget."

"Aryn beruntung banget dapat cowok kayak Leo, lembut, perhatian, bucin lagi."

Celetukan yang terdengar begitu jelas ditelinga ke duanya membuat dua insan itu merekahkan senyuman.

Tampan dan cantik. Sama-sama dari bidang yang sama. Tentu saja mereka cocok.

"Anterin aku ke kantor, mau?" tanya Leo yang dapat didengar jelas oleh mereka yang ada di sana. Suasana yang sempat hening kini kembali riuh oleh godaan-godaan.

Arynda mengangguk malu-malu.

"Manis, ih!" Leo mengulurkan lengannya mencubit pipi putih mulus milik Arynda gemas. Adegan yang pastinya sulit hanya mendapat respons biasa saja.

❄☀️❄

Bel jam istirahat berbunyi begitu nyaring. Yang membuat Lova langsung berdiri dari tempatnya. Lova termasuk dalam jajaran siswa jenius, terbukti dengan pringkat satu yang disandangnya di kelas maupun di pringkat parallel, tapi belajar gila-gilaan hingga melupakan jam istirahat bukan lah prinsipinya.

Lova sangat menyayangi dirinya. Dia akan selalu mengutamakan kepentingan tubuhnya. Otaknya butuh rehat dan perutnya pun butuh asupan makanan.

"Yuk!" Seperti biasa, Zara selalu menggandeng tangan Lova mesra.

"Kamu tahu, gak, katanya hari ini ada menu baru? Menurut kamu apa?"

"Gue gak mau ke kantin. Ke tempat Bude aja." Tempat yang dimaksud Lova ialah warung kecil yang terletak di belakang sekolah. Dan kebetulan Lova sudah cukup akrab dengan pemilik warung yang dipanggil Bude olehnya.

"Okay, deh. Kamu lagi pengin makan apa emang?"

"Nasi uduk."

"Aku ngikut!"

"Hm."

"Nanti pulang sekolah anterin aku, yuk!" Seakan sudah didesain seperti itu, mulut Zara memang susah untuk diam. Selalu saja ada yang Zara bicarakan.

"Gak!" Dan Lova selalu punya jawaban yang mematikan sebuah percakapan.

"Please! Kali ini gak aneh-aneh, kok!" Zara merengut, bibirnya dimajukan ke depan, kepalanya ditelengkan ke arah Lova.

"Enggak! Tempat yang lo kunjungin gak normal semua."

Zara menyengir. "Itu, kan, kemarin-kemarin, sekarang enggak."

"Lo bohong, gak gue kasih contek seminggu," ancam Lova yang membuat Zara menyengir lebar.

"Siap!" Zara berseru lantang.

Sebenarnya tempat yang tidak normal menurut Lova merupakan taman bermain, dengan jahilnya waktu itu Zara memaksa Lova untuk menaiki wahana yang memacu adrenalin, yang mana Lova sangat anti.

❄☀️❄

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status