Share

BAB 05 - Terlahir Kembali

Warung Bude yang ternyata tutup membuat Lova dan Zara mau tidak mau melangkah ke arah kantin. Tempat yang tak kalah strategis dengan fasilitas sekolah lainnya. Sebenarnya, menu yang dihidangkan di kantin tak kalah nikmat dengan seporsi nasi uduk, tapi suasana yang sering kali bising membuat Lova tak nyaman.

Lova terlalu fokus pada ponsel ditangannya, yang membuat dia tak sempat menyahuti ocehan Zara yang sudah ke mana-mana. Lova memilih membirakan, selama Zara tak mengganggu aktifitasnya Lova tak masalah. Namun, Zara yang ceroboh selalu saja memberikan masalah padanya, seperti sekarang. Akibat Zara yang menginjak ikat tali sepatunya membuat Lova harus limbung dan mengorbankan tubuh yang dijaganya mati-matian untuk menghantam lantai.

"Ah sial! Tubuh berharga gue!" desis Lova sama sekali tidak peduli dengan ponsel mahalnya yang sudah terpental.

Zara yang berniat menolong sahabatnya itu mendadak membeku kala sadar bahwa bukan hanya dia dan Lova yang berada di sana, sosok yang sempat jadi topik pembicaraannya tadi pagi bersama Lova terlihat menjulang tinggi tepat di hadapan sahabatnya itu.

"Lo gak papa?" Suara dalam nan tegas itu mengalun menyumpal telinga Zara yang seketika membuat gadis itu memandang sosok itu kagum. Dia, Leo. Si tampan kesayangan sejuta umat Indonesia. Bahkan Zara tak bisa menafikan ketampanan yang dimiliki pemuda itu.

Lova sibuk sendiri, sesekali mendumel atas kecerobohan Zara yang tiada obat. Leo tentu heran dengan Lova yang terbilang tak memedulikannya. Padahal Leo yakin, Lova dengan jelas sempat melihatnya.

"Hei, lo baik-baik aja?" tanya Leo sekali lagi, kali ini dia membungkuk, menekuk lututnya. Mensejajarkan posisinya dengan Lova.

Lova mendongak. Mata gelapnya langsung bersitatap dengan manik cokelat Leo. Yang menghantarkan gelenyar aneh pada syaraf Leo.

Tubuh Leo mendadak menegang, jantungnya pun berdebar kencang, ritmenya sungguh cepat hingga membuat tarikan napas Leo tak berarturan.

Lova yang merasa khawatir dengan tubuhnya tidak punya waktu hanya sekadar untuk terpaku dengan manik cokelat Leo yang diakuinya memang cukup memesona. Matanya bergulir mencari ponselnya. Sial, ponselnya teramat jauh dari tempat berada.

Dengan lancang Lova memindai tubuh Leo, saat dia mendapati apa yang dia butuhkan, langsung saja tangannya bergerak tangkas mengambil ponsel milik Leo dari saku celana depannya tanpa canggung.

Zara memekik, dia membeliak tak percaya akan aksi esktrem Lova. Sedangkan Leo hanya bergeming, sebelah tangan berjemari panjangnya terlihat menangkup dada, sepertinya Leo tengah berusaha menenangkan debaran jantungnya yang masih menggila.

Lova berdecak sebal kala ponselnya memakai kata sandi. "Lo! Apa kata sandinya?" todong Lova seperti Pak Polisi yang tengah mengintrogasi pengendara jalan yang nakal.

"Tanggal lahir lo, berapa?" jawab Leo di luar kinerja otaknya, "gue bakal jadiin kata sandi," sambungnya yang membuat Lova berdecak sebal.

"Serius!"

"Tanggal lahir Bunda gue," jawab Leo.

"0812," lanjut Leo, matanya kembali mengamati Lova. Semua ornamen wajah Lova tak luput dari pandangannya.

Lova pun dengan cepat mengetikan angka yang disebutkan. Setelah berhasil terbuka, langsung saja jemarinya bergerak lincah mengetikan rentetan angka yang dihapalnya di luar kepala.

Dalam sekali sambungan panggilan Lova langsung diangkat.

"Halo, Dokter," ucap Lova datar.

"Barusan saya jatuh, bokong saya menghantam lantai dengan kecepatan yang mungkin saja mengalahkan kecepatan cahaya yang mencapai 300.000 kilometer per detiknya. Apakah itu akan berdampak buruk pada organ dalam saya? Apakah ginjal saya tidak akan pindah posisi? Apakah lambung saya masih bisa mencerna makanan dengan baik? Jawab Dokter!" cerocos Lova begitu panik. Lain dengan Leo yang melongo, sedangkan Zara menepuk jidatnya. Ah, Lova memang sangat mencintai dirinya sendiri. Entah fisik maupun mental, Lova sangat menjaganya dengan baik. Zara memang sudah terbiasa dengan sikap Lova yang berlebihan, tapi tidak dengan orang lain. Seperti Leo contohnya, yang kini memandang Lova tanpa kedip dengan bibir yang sedikit terbuka.

Lova terlihat menghela napas lega. Penjelasan yang cukup cepat mampu dicernanya dengan baik. Intinya, dia baik-baik saja, dan organ tubuhnya pun bisa dipastikan tidak ada masalah.

"Nih! Terima kasih, dan itu biayanya." Lova menyerahkan ponsel Leo lengkap dengan satu lembar uang seratusribu ke tangannya langsung.

"Zara kali ini gue masih sabar, kalau sekali lagi kecerobohan lo nyakitin diri gue yang berharga ini, gue bakal bikin perhitungan!" Manik hitam pekatnya memandang Zara tajam. Zara tak memberikan responds apapun selain tersenyum canggung.

Lova bangun, hendak berlalu, tapi lengannya sudah lebih dulu dicekal oleh Leo.

"Tunggu! Gue gak terima bayaran ini."

Lova menepis tangan berurat Leo kasar. "Ambil aja, gue gak suka berutang budi."

Leo semakin kebingungan. Berbagai pertanyaan seperti; kenapa gadis itu terkesan tak menghiraukannya? Kenapa gadis itu terlihat biasa saja, di mana kalau itu gadis lain pasti sudah heboh karena di depannya adalah seorang Leonatta Argantara. Pemuda yang akan sulit ditolak oleh perempuan manapun.

"Lo gak tau gue?" Leo memilih menyuarakan pertanyaan yang sudah bercokol di kepalanya.

Tanpa membalikan tubuhnya, Lova menjawab, "Tau, lo manusia," tandas Lova dan setelahnya melenggang pergi.

Zara yang sampai akhir masih menjadi saksi interaksi antara sahabatnya dan Leo pun memilih melangkah mengikuti Lova, tapi sebelumnya dia terlihat menoleh ke arah Leo.

"Leo maaf, ya, sahabat aku emang agak unik. Dia gak kenal kamu bukan karena kamu kurang terkenal, tapi sahabatku yang kurang update," terang Zara disertai senyuman kecut.

Leo terkekeh, merasa geli dengan Lova yang berjalan penuh kehati-hatian, gadis itu melangkah lurus melewati ponsel-nya tak acuh. Bahkan untuk melirik pun tidak.

"Eh, lo ngomong apa? Sorry, gue gak fokus barusan."

Dengan senang hati Zara mengulangnya, hitung-hitung cari perhatian jalur aman. Kapan lagi bisa berinteraksi dengan Leo si aktor tampan yang namanya marak dibicarakan di kalangan kaum hawa.

"Dia lucu, siapa namanya?" Sungguh di luar dugaan. Zara mengerjapkan matanya. Jadi Leo tidak marah? Atua lebih tepatnya, tidak ilfeel?

"Lovatta. Dia sahabat aku satu-satunya, agak kaku tapi baik hati, kok," jawab Zara lugas.

"Dari kelas mana?"

Satu pemikiran tercetus dikepala cantik Zara. "Loeisuka Lova, ya?!" tebaknya heboh.

"Hm. Tertarik, sahabat lo menarik," imbuh Leo sama sekali tidak berniat menutupi rasa ketertarikannya. Bahkan, kini nama Arynda yang menjadi alasan utama kepindahannya pun tak lagi berbekas.

"Jadi, kalian dari kelas mana?" ulang Leo.

Zara tersenyum lebar. "Kelas XII Akuntansi 4."

"Okay, boleh gue minta nomor teleponnya?"

"Boleh, dong. Dan asal kamu tau, aku setuju kalau kamu jadi pacarnya Lova," tutur Zara sengaja dibuat sepelan mungkin. Tak apa, jika Zara tak bisa mendapatkan Leo sebagai kekasihnya maka Zara masih bisa berteman dengan Leo yang mungkin sebentar lagi akan menjadi kekasih dari sahabatnya.

"Siap! Nanti kalau gue jadian, lo yang pertama kali dapat pembayaran pajak." Leo membalas celotehan Zara santai. Seakan memiliki Lova itu semudah menaklukan hati para perempuan yang pernah dekat dengannya.

"Tapi, Aryn gimana?" Zara ingat akan gosip yang masih hangat tentang alasan kepindahan Leo ke sekolahnya.

"Gampang, gue lebih suka Lova."

Kali ini, Leo terlalu percaya diri.

❄☀️❄

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status