Share

Chapter 4 Mengambil Keputusan

“Aku akan menjemputmu. Kita pergi makan malam.”

“Tidak perlu, kita bertemu langsung saja di sana.”

“Elena, biarkan aku menjemputmu kali ini. Bisa, kan?”

“Kenapa kau bersikeras menjemputku?”

“Tak apa, hanya ingin memudahkanmu saja. Kau pasti lelah menyetir sendiri.”

Dengan nada tak acuh, Drake menjawab.

“Baiklah. Aku akan mengirim alamatku yang sekarang padamu nanti.”

“Ya, aku tunggu. Sampai jumpa nanti malam.”

     Elena yang menutup panggilan lebih dulu. Drake tersenyum lebar seraya bersandar di kursi kerjanya. Menarik, mengingat Elena akhirnya menghubunginya, untuk membahas tawarannya.

Menatap ponselnya dalam kebisuan, Elena mengembuskan napas dengan berat. Pandangannya beralih pada cermin di depannya. Satu tetes air mata jatuh. Jatuh sedalam hidupnya saat ini.

     Dalam dunia di penuhi serigala ini, Elena berdiri sendirian. Berbagai macam serigala buas mengelilinginya. Jika tak ada cara melarikan diri di antara para serigala yang kejam ini, setidaknya Elena tahu, serigala mana yang ia temui dan kenal sebelumnya. Bukankah itu lebih baik? Yang sedikit lebih baik dari sekumpulan yang terburuk.

“Aku dalam perjalanan ke rumahmu, Elena.”

     Itu isi pesan teks dari Drake. Elena masih mematut dirinya di depan cermin. Gaun berwarna biru navy polos yang memiliki panjang sedikit di bawah lutut dengan lengan panjang, krah berbentuk V, Elena mengambil satu buah kalung sebagai pelengkap. Menambah kesan keanggunan dalam dirinya.

Tak lama kemudian, terdengar suara mobil memasuki jalanan depan rumah Elena. Bunyi bel rumah pun menyusul selanjutnya. Elena segera meraih tas kecil di meja kerjanya. Ia membuka pintu usai bel berbunyi sekali lagi.

“Hai, Elena.”

     Drake dengan sopan menyapa. Memakai pakaian formalnya yang berwarna biru tua, Drake tampak cocok. Tunggu, biru? Kenapa tema baju mereka kebetulan sama?

“Kebetulan sekali, warna tema kita sama,” ujar Drake dengan santai.

“Hai, Drake. Ya, kebetulan yang menarik.”

     Elena dan Drake lalu berjalan menuju mobil. Sang sopir sudah bersiap. Elena menikmati pemandangan jalan. Demikian juga dengan Drake. Hingga sampailah keduanya di tempat makan yang dimaksud.

Beberapa saat setelah memesan menu steak andalan tempat itu, Drake juga memesan sebuah wine. Membuat Elena menaikkan satu alisnya.

“Wine di sini enak. Kau pasti akan menyukainya, Elena.”

“Drake, kau tahu tujuanku menghubungimu, kan?”

“Ya, tapi, sebelum membahas hal itu, kita nikmati makan malam ini dengan santai. Bagaimana?”

“Ya, aku setuju. Mengingat aku sudah lapar.”

“Kenapa saat denganku kau selalu terlihat kelaparan, Elena?”

“Dan mungkin saja itu karena melihatmu menguras energi dan emosi.”

     Elena tersenyum mengejek. Drake menyambut ejekannya dengan senyuman yang sama.

“Bisa jelaskan, kenapa aku menguras energi dan emosimu?”

     Elena memikirkan alasan yang tak membuat Drake salah paham. Ia tak ingin itu terjadi. Tepat saat itu, seorang pelayan menuangkan wine ke masing – masing gelas. Baru setelah pelayan itu pergi, Elena melanjutkan.

“Emosi dalam artian yang menjengkelkan, tentu saja. Lihat, sekarang kau mau berbasa – basi, tak seperti dulu yang selalu langsung ke poin utama pembicaraan.”

“Ya, aku sedikit berubah, kan?”

“Tidak juga. Sifat dominan dan memerintahmu masih kental.”

“Setidaknya sekarang aku tahu jika basa - basi itu penting.”

“Benarkah kau berpikir demikian, Drake?”

“Ya, kurang lebih. Basa basi saat ini penting karena membuatku lebih lama menatap wanita cantik di depanku ini.”

     Elena tergelak, ia lalu menahan tawanya. Versi Drake yang ini tak pernah gagal membuatnya muak sekaligus geli.

“Cantik itu relatif.”

“Ya, tapi, kau tampak lebih cantik malam ini.”

“Kau juga tampan, warna itu cocok denganmu.”

“Kalau saja kau membiarkan satu dua ikal rambut jatuh, itu akan membuatmu semakin sempurna, Elena.”

“Kurasa itu artinya berantakan bagiku, Drake.”

“Dari sudut pandangmu mungkin, ya. Tapi, tidak denganku.”

“Apa kita sedang memulai hidangan utamanya? Langsung ke hal yang kau sebut ... merayu?”

     Giliran Drake yang terkekeh. Menyenangkan sekali berbasa - basi dengan Elena, saling mengejek satu sama lain seperti saat mereka kecil dulu. Wajah wanita di depannya itu tetap bersinar, masih sama seperti 19 tahun lalu, saat mereka pertama bertemu.

“Aku bahkan sudah lupa, kapan terakhir kita makan malam dan berbicara santai seperti ini.”

     Ucapan Elena membuat Drake menghentikan senyumnya. Benar, apa yang dikatakan Elena, ia juga lupa kapan terakhir bisa bersantai dengan Elena seperti sekarang, seperti masa kecil mereka.

“Menjadi sepasang suami istri ternyata justru membuat kita lebih canggung, kan? Seperti sebelum hari ini, kita sudah menjadi orang asing sejak perceraian tahun lalu, Drake.”

     Pria berambut hitam legam itu tersenyum miring usai mendengar kata ‘orang asing’ keluar dari bibir Elena. Faktanya memang usai perceraian, mereka berdua sama sekali tak bertemu tujuh bulan terakhir. Sekilas, Drake menatap Elena yang kembali menyesap winenya.

     Tak lama kemudian, seorang pelayan datang membawa steak pesanan mereka. Elena mengucapkan terima kasih kepada pelayan tersebut sebelum beranjak pergi. Drake sudah mengiris steaknya menjadi beberapa potongan, sebelum menukarnya dengan steak milik Elena.

“Kenapa kau menukarnya, Drake?”

“Sopan santun seorang pria, Nona Elena.”

     Elena lalu mencibir sesaat, sebelum mengambil alat makannya.

“Sopan santun boleh, tapi, tak ada kata bersahabat untuk sesama orang asing, Drake.”

     Elena sengaja mengejek Drake. Ya, sedekat apa pun persahabatan mereka, setelah bercerai, tak ada ikatan dan komunikasi sama sekali di antara keduanya.

“Dan tak ada pula kata kakak untuk mantan suami, kan?”

     Serangan balasan dari Drake berhasil membuat Elena tertegun, sebelum kembali bersikap tak peduli dan menikmati steaknya. Drake ikut diam hingga makanannya habis.

“Bisakah kita membahas hal terpenting sekarang?”

Elena memulai pembahasan. Drake dengan santai mengangguk. Elena meneguk kembali winenya agar lebih tenang.

“Aku menerima tawaranmu, bantu aku memulihkan perusahaanku, Drake.”

     Mata Elena menatap lurus pria dengan iris berwarna abu itu, ketika dengan santai pria itu membalas tatapannya. Drake tersenyum, senyum yang Elena tahu adalah senyum dominasi dari Drake.

“Itu bagus, Elena. Keputusan yang terbaik.”

     Mengabaikan pikiran yang sempat teralihkan oleh senyum pria di hadapannya, Elena berfokus pada pertanyaan – pertanyaan di kepalanya saat ini.

“Kita harus membahas banyak hal terkait poin – poin pentingnya, Drake.”

“Tentu, sama seperti saat kita menyusun kontrak untuk pernikahan bisnis kita.”

“Biar kuperjelas, kau hanya memintaku merayumu, kan? Aku akan menang jika selama enam bulan itu aku membantumu meningkatkan nilai saham dan mengelabuhi media, serta menyingkirkan gerombolan wanita penganggumu sebagai kekasih, dan kau yang menang jika ....”

     Elena menghentikan kalimatnya seraya memberi tatapan bertanya kepada Drake untuk melengkapi kalimat.

“Jika kau yang jatuh cinta padaku, Elena.”

“Lalu, jika aku menang, saham akan dibagi dengan selisih milikku 10% lebih banyak daripada milikmu. Jika kau yang menang, saham terbesarnya menjadi milikmu, begitu, kan?”

“Jika aku yang menang, apa kau akan mengakuinya?”

“Apa pun itu, aku setuju karena yakin jika akulah pemenangnya, tapi, dalam hal merayu, aku ingin agar klausa tidur bersama ditiadakan. Aku hanya perlu merayumu saja, kan?”

     Drake terkekeh, seolah sedang menatap anak sekolah di depannya. Wanita di masa kecilnya ini memang lain dibandingkan wanita – wanita di sekitarnya.

“Separah itukah kau tak ingin tidur denganku?”

“Bahkan saat kita masih menjadi suami istri pun, kita tak pernah tidur bersama. Hanya tetap menghormati kehidupan pribadi masing – masing. Lalu, tidak mungkin juga kalau di kontrak kali ini kita melakukannya, kan?”

“Apa kau belum pernah tidur dengan pria sekalipun?”

Perubahan topik tiba – tiba ini membuat Elena tertegun. Ia lalu mengalihkan pandangan ke arah winenya.

“Aku tak ingin menjawabnya.”

“Dari ekspresimu aku sudah tahu jawabannya.”

“Jangan membahas tentang ini, Drake. Katakan saja persetujuanmu, tambahkan poin dalam kontraknya, aku tak akan tidur denganmu.”

“Baiklah, baiklah, aku akan menambahkan hal ini. Tapi, bagaimana jika yang terjadi kebalikannya?”

“Maksudmu?”

“Bagaimana jika kau yang ingin tidur denganku?”

     Elena tergelak, pertanyaan Drake sangat lucu. Layaknya mendengar jika bumi itu datar. Elena menggelengkan kepalanya.

“Itu tak akan terjadi, Drake. Tak akan pernah. Aku tak akan kalah dari taruhan ini.”

“Kau yakin?”

“Sangat yakin, lagi pula aku sudah mengenalmu dengan sangat baik.”

“Kalau begitu yakin, kita tak perlu menuliskan kemungkinan situasi kedua ini, bukan?”

“Ya, tidak perlu, karena itu tak akan terjadi,” jawab Elena dengan tegas.

     Drake memberi isyarat kepada sekretarisnya untuk mendekat. Pria itu lalu menyodorkan beberapa lembar dokumen, satu untuk Drake dan satu lagi untuk Elena. Elena meraih dokumen tersebut dan mulai membacanya. Demikian pula dengan Drake, keduanya terdiam sejenak saat meninjau isi dokumen di tangan masing – masing.

     Drake yang lebih dulu selesai meninjau dokumen. Pria yang memiliki warna rambut hitam legam itu mendongak, kembali menatap Elena yang mengerutkan kening seraya membaca. Usai membaca poin – poin penting dalam dokumen tersebut, Elena membalas tatapan Drake. “Aku sudah selesai membacanya, Drake.”

     Tak ada respons dari Drake. Tak ada senyum atau pun tatapan tajam, seolah Drake sedang melamun. Hanya menatap wanita berambut pirang di hadapannya itu selama mungkin. Jari – jari Elena mengetuk meja cukup keras.

“Drake,” panggil Elena sekali lagi.

“Ya?”

    Seolah Drake baru sadar masih berpijak di bumi, pria itu justru menatap Elena dengan satu alis naik lebih tinggi.

“Aku bilang sudah selesai membacanya.”

“Baiklah, silakan berikan tanda tanganmu.”

     Drake segera membubuhkan tanda tangan di dokumen tersebut, begitu juga Elena. Keduanya saling menukar dokumen lalu memberikan tanda tangan lagi. Sekretarisnya, pria yang memakai kaca mata itu mendekat dan mengambil satu dokumen dari tangan Drake lalu undur diri.

“Mulai detik ini, kontrak kita berjalan.”

     Drake mengingatkan. Elena mengangguk setuju, saat pria di depannya itu meraih ponsel, menelepon seseorang.

“Ya, lakukan sekarang, sesuai permintaanku.”

Usai menutup panggilannya, Drake menempatkan kedua tangannya yang membingkai segitiga di atas meja.

“Semua akan beres besok. Dana telah ditransfer. Perusahaanmu akan segera pulih.”

     Elena tak bisa menyembunyikan napas kelegaannya, sebelum kembali menguasai diri. Senyum tipis sempat ia lihat di wajah mantan suaminya. Wanita berambut pirang itu mengambil tas kecilnya. Pertemuan ini sudah berakhir.

“Setelah ini, aku ingin mengajakmu ke suatu tempat yang tenang.”

“Ke mana, Drake?”

“Tempat yang tenang untuk mengobrol. Bukan tentang bisnis kita.”

     Entah mengapa, Elena merasa ada nada getir dan kesepian dalam kalimat Drake. Ia ingin pulang, tapi, ia juga ingin tahu ke mana Drake akan membawanya pergi.

“Kau mau, kan?”

“Baiklah, aku ikut.”

“Aku tak akan membawa pengawal dan sekretaris. Hanya kita.”

     Wanita berhidung mancung itu mengerutkan kening. Selama setahun pernikahan bisnis mereka dulu, tak sekali pun Drake mengajaknya pergi berdua saja seperti ini. Ada rasa merinding yang perlahan menyergap saat teringat malam sebelum perceraian resmi keduanya. Ke mana Drake akan membawanya? Apa yang akan dilakukan pria itu?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status