Share

Chapter 5 Senyuman Di Tengah Badai

“Kita pergi ke mana, Drake?”

Elena yang duduk di kursi sebelah Drake semakin ingin tahu. Tapi, mantan suaminya itu hanya membalas dengan senyum singkat sebelum kembali fokus mengemudi. Ia memilih menatap jalanan yang semakin sepi di depannya. Semakin ke arah pinggiran kota.

Elena mulai tahu ke arah mana mereka akan pergi saat perlahan melihat pantai dari kejauhan. Senyum lebar terlihat dari wajah cantiknya.

“Kenapa tidak bilang dari tadi kalau kita ke sini?”

“Agar kau menebak dalam perjalanan.”

Keduanya berjalan – jalan santai di pinggir pantai. Elena tertawa saat mengingat ia sendiri sempat ketakutan akan pergi ke mana dengan Drake malam itu. Ia mengernyit sejenak saat pria yang sejak tadi diam itu menyampirkan jas ke pundaknya.

“Aku ingin bertanya sesuatu padamu, tentang Alexa.”

Keduanya menghentikan langkah serempak. Ekspresi dingin Drake muncul. Elena mengabaikan perubahan ekspresi pria itu dengan sengaja.

“Kalian sudah lama menjalin hubungan, jauh sebelum pernikahan bisnis kita terjadi. Aku tahu semuanya karena kita sahabat sejak kecil, keluarga kita juga memiliki hubungan yang dekat. Setelah hampir lima tahun kalian bersama, mengapa tiba – tiba berpisah? Alexa sangat mencintaimu.”

Drake menatap Elena cukup lama. Pria itu mengambil satu langkah lebih dekat ke Elena, lalu, merapatkan jas yang menyelimuti tubuh Elena agar tak kedinginan.

“Aku tak ingin bersamanya.”

Elena melongo, mendengar jawaban dari Drake yang singkat, membuatnya tak percaya.

“Mengapa kau tak ingin bersamanya?”

“Aku tak ingin membahasnya, Elena. hubunganku dan Alexa sudah berakhir. Semua hanya masa lalu.”

“Drake. Jangan katakan padaku kau bosan padanya.”

“Bagaimana jika itu yang terjadi?”

“Dasar pria bajingan!”

Elena memukul dada Drake beberapa kali. Drake tampak tak terusik sedikit pun.

“Mengapa kau marah, Elena?”

“Karena itu menunjukkan betapa brengseknya dirimu. Kalian tampak saling mencintai. Di luar konteks jika pernikahan kita memang hanya pernikahan bisnis. Lalu, sekarang mengapa kau menawariku menjadi kekasihmu sebagai syarat? Pria bajingan sepertimu bisa kesepian juga ternyata.”

Elena menatap tajam mata Drake. Dulu, saat mereka masih kecil, di mata Elena, Drake selalu terlihat keren dan ramah. Tapi, seiring berjalannya waktu, Drake tumbuh menjadi pria berbahaya. Bukan sekali atau dua kali Elena merasa terintimidasi oleh Drake. Seolah Drake memang terlahir untuk mengendalikan kekuasaan.

Ekspresi pria itu semakin dingin. Elena tak mengerti apakah itu karena pertanyaannya yang terlalu sensitif atau memang Drake membencinya karena insiden malam sebelum perceraian mereka itu.

“Kami tak cocok lagi. Itu saja.”

Drake meneruskan langkah dengan santai. Elena masih tak bisa menerima jawaban singkat itu. Ia berusaha menyamakan langkah pria yang terpaut dua tahun lebih tua darinya itu.

“Tidak mungkin, kalian sudah kenal lama.”

“Aku hanya ... tak mencintainya lagi, Elena. Cukup pembahasan tantang wanita itu.”

“Kalau kau masih merasa terluka, itu artinya perasaanmu padanya masih ada, Drake.”

“Aku tak ingin membahas wanita itu karena tak ada yang perlu dibicarakan lagi. Kami sudah selesai dan menjalani kehidupan masing – masing.”

Tatapan tajam Drake menjadi peringatan tanpa kata dari pria itu. Elena memilih diam seraya melihat apa yang terjadi seiring berjalannya waktu.

“Bagaimana kalau kita kembali ke mobil? Kau semakin kedinginan.”

Elena akhirnya mengangguk setuju. Ia dan Drake berjalan kembali menuju mobil dalam diam. Dalam hati, Elena akan mencari tahu alasan perpisahan sahabat masa kecil sekaligus mantan suaminya itu dengan Alexa. Drake menyalakan radio lokal, kebetulan membahas tentang cuaca malam itu.

“Malam ini hujan badai akan datang. Jarak pandang berkendara akan terganggu. Kami sarankan, jangan berkendara dalam jarak jauh malam ini...”

Itu penggalan informasi cuaca terkini di daerah pantai tempat mereka berdua berada sekarang. Jauh dari kota tentu saja.

“Kita tak bisa kembali malam ini. Lebih aman jika menginap di sini semalam dan menunggu badainya reda.”

Drake mengatakannya seraya menatap wajah Elena yang memucat. Bahu wanita dengan iris mata biru itu merosot ke kursi mobil. Elena meremas – remas jarinya. Drake melajukan mobilnya perlahan menembus gerimis yang mulai turun.

“Kita cari penginapan terdekat. Jangan takut, Elena.”

Elena hanya menatap tegang jalanan di depannya yang mulai basah oleh air hujan. Sesekali petir terdengar, ia hanya bisa menutup telinga dan menggigit bibir bawahnya menahan teriakan ketakutan. Drake melirik ke arah Elena beberapa kali. Mereka sampai di sebuah penginapan yang tampak luas dan cukup bagus.

“Elena, tunggu di sini. Aku akan bertanya apa masih ada kamar kosong.”

Elena mengangguk setuju. Beberapa saat kemudian, pria itu kembali dengan wajah kecewa. Bajunya tampak basah karena kehujanan.

“Mereka kehabisan kamar kosong. Kita cari tempat lain.”

Hal yang sama terjadi di penginapan selanjutnya. Kamar mereka penuh karena cuaca yang buruk. Drake mengemudikan mobilnya lagi menuju penginapan ketiga, yang tampak cukup baik seperti penginapan pertama yang mereka kunjungi. Elena menghela napas kecewa saat Drake kembali ke mobil.

“Apa mereka kehabisan kamar juga?”

Elena mengambil beberapa lembar tisu, lalu, memberikannya kepada Drake. Wajahnya sama seperti kemejanya, basah kuyup terkena guyuran air hujan.

“Tidak, mereka masih punya 1 kamar kosong.”

“Apa? Hanya satu kamar kosong?”

“Ya, kalau kau tak mau, kita coba lagi penginapan lainnya.”

Elena terdiam, ia saja sudah lelah, apa lagi Drake. Lagi pula ini sudah larut malam. Pagi akan tiba dengan cepat. Drake hendak menyalakan mesin mobilnya lagi.

“Hentikan, Drake. Kita bermalam di tempat ini saja.”

“Mereka hanya punya 1 kamar kosong. Apa kau tak masalah?”

Elena menatap wajah lelah Drake. Ia tak sampai hati membiarkan pria itu mencari penginapan lain dan harus kehujanan lebih lama.

“Tak apa, Drake. Aku juga sudah mengantuk.”

Drake menatap mata Elena, seolah memastikan Elena tak berubah pikiran.

“Baiklah, kalau begitu, ayo turun.”

Dengan menggunakan jas Drake sebagai payung, keduanya berjalan cepat masuk ke penginapan. Sementara Drake sedang berbicara dengan resepsionis, Elena memandang sekelilingnya. Penginapan itu cukup unik, tampak seperti rumah biasa yang nyaman, bersih dan terawat. Drake mendekati Elena yang terlihat kedinginan.

“Ayo, Elena,” ucap Drake mengajak Elena ke tempat yang mereka pesan. Setelah melewati lorong kecil, mereka masuk ke sebuah kamar yang tampak seperti rumah mungil. Tempatnya bagus dan klasik, Elena menyukainya.

“Lebih bagus dari dugaanku.”

Elena berkomentar seraya berjalan mengelilingi kamar yang cukup besar itu. Bahkan terdapat satu set meja kursi dan kamar mandi yang cukup luas.

“Elena, aku keluar sebentar.”

“Kau akan pergi ke mana?”

“Ada minimarket di sebelah bangunan ini. Aku tak akan lama.”

Drake sudah berdiri di ambang pintu, Elena mengikutinya.

“Jangan lama, Drake. Kau tahu petirnya tak mereda, kan?”

“Ya, aku tahu. Aku tak akan lama.”

Drake mengusap kepala Elena sekilas sebelum keluar dari kamar. Terakhir kali Drake mengusap kepala Elena saat mereka bermain bersama, lebih dari sembilan belas tahun lalu. Elena mengingat kembali masa – masa itu seraya menunggu kedatangan Drake. Tak lama kemudian, Drake kembali. Ia membawa dua pasang baju. Satu untuknya dan satu lagi untuk Elena.

“Aku membeli ini. Kita bisa sakit jika tetap memakai pakaian basah.”

Drake menyodorkan satu pasang pakaian, kaus polos berwarna putih dan celana olahraga. Elena menerimanya seraya menahan tawa. Ia sudah lupa kapan terakhir kali berolahraga, celana olahraga itu seolah mengingatkannya. Usai keduanya mengganti pakaian, Drake membuat mi instan cup yang dibelinya bersamaan dengan pakaian ganti mereka. Makan malam seadanya di depan perapian, tak menghalangi Elena dari rasa kantuk yang luar biasa. Ia bahkan beberapa kali tertidur singkat, lalu, bangun kembali.

“Sebaiknya kau tidur, Elle.”

Elena tertegun, ia tak salah dengar. Elle adalah panggilan akrab yang diucapkan mantan suaminya itu saat mereka masih kecil. Hanya Drake kecil yang memanggilnya dengan nama Elle. Elena menyembunyikan mencoba bersikap biasa. Ia melirik ke arah ranjang yang berukuran sedang itu.

“Ranjangnya cukup sempit.”

“Tenang, Elle. Tidurlah, aku tak akan menerkammu.”

Drake terkekeh saat melihat ekspresi Elena. Jelas sekali Elena mengantuk. Selain hujan badai disertai petir membuat Elena ketakutan, Elena perlu segera tidur.

“Baiklah, kau harus berjanji padaku tak akan berbuat macam – macam. Aku akan pergi tidur sekarang.”

Elena berjalan menuju ranjang. Ia merebahkan dirinya dan menarik selimut.

“Mengapa petirnya tak berhenti?” gumam Elena yang cukup keras di dengar oleh Drake.

Detik berikutnya, Elena telah terlelap dalam mimpi. Drake mendekati ranjang, lalu merebahkan dirinya di samping Elena. Ia menarik tubuh Elena ke dalam pelukannya. Tak lama, suara petir menggelegar semakin keras.

“Petirnya,” pekik Elena setengah tertidur.

“Ssttt, tak apa. Tak perlu takut. Aku akan menemanimu. Sama seperti dulu.”

Drake menenangkan Elena dan memeluknya lebih erat. Elena yang setengah sadar kembali tertidur. Drake tersenyum lebar dalam kamar dengan penerangan yang minim tersebut. Besok, ia harus membuat Elena menerima penawarannya, bagaimana pun caranya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status