Tangan Elena yang memegang ponsel terkulai di samping tubuh rampingnya. Berita dari Kate membuatnya membeku seketika. Satu alternatif terakhir dari upaya meminta bantuan telah gagal.
“Ada apa, Elena?” Wajah yang memucat itu menatap ke arah Drake. Pikirannya berkecamuk, jantungnya terasa enggan berdetak. Satu – satunya harapan yang dimilikinya hanya pria di depannya ini.“Antarkan aku pulang, sekarang.” Suara lirih Elena memecah kesunyian di antara keduanya. Bahunya merosot ke kursi mobil. Elena meremas – remas jarinya. Drake melajukan mobilnya perlahan, menembus gerimis yang mulai turun. Begitu tiba, Elena segera turun diikuti Drake.“Aku tak suka melihatmu berlarian ke sana kemari mencari bantuan. Aku ingin merobek mulut pria gendut tadi karena perkataan busuknya.”“Bukan urusanmu, Drake. Aku yang meminta bertemu dengannya dan meminta bantuan awalnya.”“Karena itu jangan lakukan lagi! Jangan meminta bantuan orang lain.”“Jangan memerintahku, Drake! Aku mencari pilihan terbaik untuk solusi atas masalahku.”“Aku benci mendengar mereka merendahkanmu, Elena. Ayolah, terima saja bantuanku.”“Bagaimana mungkin aku menerima bantuanmu? Kau sama saja dengan yang lain.” Elena menatap tajam mata Drake. Dulu, saat mereka masih kecil, di mata Elena, Drake selalu terlihat keren dan ramah. Tapi, seiring berjalannya waktu, Drake tumbuh menjadi pria berbahaya. Bukan sekali atau dua kali Elena merasa terintimidasi oleh Drake. Seolah Drake memang terlahir untuk mengendalikan kekuasaan.“Apa mereka yang kau mintai bantuan meminta hal buruk padamu? Meminta tubuhmu?” Elena seketika terdiam. Ia tak ingin memberitahu Drake tawaran tak pantas seperti apa dan dari siapa saja. Itu hanya akan membuatnya semakin dipandang rendah oleh Drake. Elena menggelengkan kepala tanpa sadar.“Katakan siapa saja yang berkata seperti itu?” Drake menggenggam tangan Elena. Drake tahu, Elena perlahan mengambil langkah mundur untuk kabur dari pertanyaan ini. Tentu saja, ia tak ingin Drake tahu hinaan yang diarahkan padanya.“Jangan tanyakan itu.”Elena menjawab lirih. Ia merasa malu kepada Drake tentang penawaran tak pantas yang hampir selalu didengar saat ia meminta bantuan kepada orang – orang di sekitarnya.“Aku hanya ingin kau menjadi kekasihku, Elena. Aku tak memaksamu memberikan tubuhmu atau apa pun itu. Kau jangan salah paham.”“Apa bedanya dengan ... merayu?”Elene masih tak mengerti. Apa yang dimaksud merayu dalam konteks permintaan Drake?“Merayu ... apa pun caranya. Berbeda dengan tidur bersama. Tapi, kalau kau memang bersedia memilih jalan untuk tidur bersama, aku ... ““Tidak, tidak akan terjadi. Aku mengerti jika itu berbeda.”Elena melepaskan genggaman tangan Drake. Perlahan, ia mengerti arah pembicaraan yang dimaksud Drake.“Biar kuperjelas, Drake. Kau hanya memintaku merayumu, bukannya tidur bersama. Itu yang membedakanmu dari tawaran lain, kan?”“Ya, kurang lebih seperti itu permintaanku. Tapi, lain cerita jika kau sendiri yang menginginkan tidur denganku, aku akan ...”“Tidak, itu tak akan terjadi.” Elena memotong lagi kalimat Drake dengan cepat. Mendadak, suara petir menggelegar, membuat Elena berteriak dan terkejut. Ia segera kembali memikirkan nasibnya.“Satu lagi, sahamku tetap lebih tinggi 10% darimu agar aku tetap menjadi pemilik sah perusahaan.”“Tentu saja.” Elena membuka knop pintu rumahnya. Ia menghela napas panjang sebelum membalikkan tubuh.“Beri aku waktu dua hari untuk berpikir.” Drake menganggukkan kepalanya, ia menggunakan ponselnya, tak lama setelah itu, ponsel Elena berdering.“Itu nomorku. Hubungi aku kapan pun kau ingin.” Ulasan senyum Drake tak membuat suasana hati Elena membaik. Ia segera masuk ke dalam rumahnya. Mengakhiri hari yang buruk bersama iblis berwajah malaikat itu.*** Kate turun dari mobil dengan tergesa – gesa. Dengan langkah lebar ia segera memasuki rumah tersebut. Bahkan, Kate memasukkan password pintu dengan tangan gemetar. Begitu pintu terbuka, wanita berkaca mata itu setelah berlari menuju sebuah kamar.“Elena!” teriak Kate dengan napas terengah – engah begitu membuka pintu kamar. Elena menoleh ke arah Kate sekilas, sebelum kembali menatap luar jendela. Kate menarik napas panjang, seolah telah kehabisan oksigen.“Ada apa, Kate?” tanya Elena dengan nada tenang.“Aku datang karena sejak dua hari lalu kau tak bisa dihubungi sama sekali.”“Aku hanya ingin menenangkan diri sejenak, Kate. Memangnya kau berpikir aku melakukan apa?”“Aku pikir kau ... kau terlihat begitu putus asa kemarin lusa usai Simon membatalkan bantuannya. Aku takut kau ... sudahlah. Apa kau sudah makan?” Elena mengernyitkan kening saat menatap Kate lagi. Wajah cantik sahabatnya itu tampak sendu dan tegang.“Sepertinya kau perlu minum dan sarapan, Kate.”“Kau juga, Elena. Ayo, bangun. Kita sarapan seadanya saja.” Kate menarik tangan Elena setengah memaksa. Elena mendengus kesal saat Kate menariknya turun dari ranjang. Dengan langkah malas, Elena mengikuti Kate menuju ruang makan yang tak jauh dari dapur. Sementara Kate sibuk membuat sandwich ala kadarnya, Elena justru sibuk bergulat antara hati dan pikirannya.“Akhirnya, sandwichnya sudah jadi.” Kate menyodorkan satu sandwich di atas piring ke arah Elena. Elena beranjak mendekati lemari pendingin, lalu mengeluarkan jus jeruk. Kate mendorong gelasnya mendekat ke Elena, isyarat meminta gelasnya juga diisi dengan jus tersebut. Sesaat, kedua wanita itu menikmati sarapan dalam diam. Kate memperhatikan gurat wajah Elena, sahabatnya itu terlihat buruk karena masalah perusahaan beberapa bulan terakhir.“Elena, aku tahu kau sedang sedih dan merasa buruk. Tapi, separah apa pun situasinya, jangan pernah menyerah. Kita cari jalan keluar lainnya.”“Ya, aku tahu, Kate.”“Hal yang paling kubenci adalah melihatmu seperti ini. Aku suka melihat Elena yang penuh semangat dan mata berbinar saat bekerja.” Elena tak menjawab, pandangannya terpaku pada gelas di tangan kanannya. Ia berusaha keras mencari solusi lain beberapa hari terakhir, tapi, nihil. Ia tak bisa memikirkan apa pun, selain satu hal.“Kate, aku akan meminta bantuan Drake.”“Lagi?”“Ya, kali ini aku yakin. Akan ada berita baik untuk kita.”“Katamu kemarin juga gagal saat bernegosiasi dengannya.”“Sekali lagi, aku akan mencobanya. Percayalah padaku, Kate. Apa pun yang kulakukan hanya untuk menyelamatkan perusahaan kita.” Kate mengernyitkan keningnya. Elena terdengar penuh keyakinan, tapi, ekspresi bosnya ini terlihat suram. Apa yang sebenarnya Elena rencanakan?“Apa yang kau rencanakan? Strategi atau tawaran apa yang akan kau siapkan saat bertemu dengan Drake?”“Tak ada yang spesifik. Tenanglah, aku bisa mengatasinya.” Senyum tampak di wajah Elena. Kate mengalihkan pandangan. Ia senang, Elena telah kembali sedikit bersemangat. Tapi, ada hal lain yang terlewat. Entah apa itu.“Kapan kau akan menemui Drake?”“Nanti malam.”“Kenapa tidak besok?”“Aku mencari tahu dari sekretarisnya, hari ini ia sangat sibuk. Drake punya waktu usai pulang bekerja.” Dalih Elena, sebenarnya, ia tak perlu mengecek kegiatan Drake. Hanya perlu sekali panggilan darinya, Drake berjanji akan datang segera. Elena ingin membuktikan hal itu.“Baiklah, kita coba lagi meminta bantuan Drake. Semoga ia bisa membantu kita.” Elena mengangguk setuju, Kate tak boleh tahu sekarang. Yang terpenting saat ini adalah menyelamatkan perusahaannya lebih dulu.“Aku senang karena kau tampak lebih bersemangat, Elena.”“Ya, Kate. Aku tak ingin membuatmu khawatir.”“Baiklah, aku akan kembali ke kantor kalau begitu. Kabari aku jika ada berita penting.” Elena mengedipkan matanya seraya tersenyum. Ia turun dari kursinya, lalu, memeluk Kate. Bagai sahabat yang lama tak bertemu.“Terima kasih telah menemaniku, Kate. Aku berjanji akan memulihkan keadaan perusahaan. Jangan khawatir.”“Ya, aku yakin itu. Jadi, bersemangatlah!” Kate mengulas senyum lebar sebelum pergi. Elena tak tahu seberapa besar Kate merasa lega setelah melihatnya kembali bersemangat. Elena mengantar Kate sampai masuk ke mobil. Hingga mobil Kate lenyap dari pandangannya.“Maafkan aku karena tak memberitahumu, Kate,” gumam Elena.Drake menatap layar datar di seberang meja kerjanya. Sore itu sidang putusan yang akan membacakan vonis untuk Alfred dan Paman Smith, serta Alexa akan dibacakan. Momen yang paling ditunggu oleh Drake dan Elena. Will duduk di sofa tamu, tak jauh dari meja Drake, juga turun memperhatikan jalannya sidang di layar kaca. Menit demi menit hingga jam berlalu. Alexa dan Paman Smith telah menyelesaikan sidang lebih dulu dibandingkan Alfred. Karena Alexa yang membuka semua pintu di kasus ini, layaknya whistle blower, ia divonis 5 tahun penjara atas tuduhan intimidasi, ancaman dan membantu Alfred dalam menjual nark*ba. Sedangkan Paman Smith dijatuhi hukuman seumur hidup atas percobaan pembunuhan. Sampai pada saat sebelum putusan dibacakan. Hakim memberikan kesempatan pada Alfred untuk bersuara. Dalam pembelaannya, Alfred menyangkal semua bukti dan tuduhan yang selama ini diajukan pihak lawan. Usai menyampaikan suaranya, hakim membacakan vonis. Dalam sidang putusan hari in
Usai melaksanakan tugas dari Drake hari itu, Carl bergegas memasuki mobilnya. Dalam perjalanan, ia menelepon Kate. “Halo, kau ke mana saja?” “Kate, aku sedang dalam perjalanan pulang. Apa Steven dan Dean masih di sana?” “Tentu saja. Kami sedang bermain kartu.” “Apa kalian minum?” “Sedikit wine. Dean, jangan coba-coba curang ya.” Suara Kate terlihat memarahi Dean, rekan setim Carl yang bertugas menjaga keluarga Drake Graysen. Hari ini mereka bertugas menjaga Kate karena Carl sibuk di luar seharian. “Sial! Jangan minum dengan mereka.” “Carl, kau mengumpat padaku?” “Tidak, Kate. Aku mengumpat pada Steven dan Dean. Aku akan segera sampai.” Carl buru-buru menutup panggilannya, ia menambah kecepatan mobilnya. *** “Kami hanya bosan dan bermain kartu terlihat seru.” Kate memberi penjelasan seraya menuangkan jus apel ke sebuah gelas. Pria di depannya itu diam tak bergeming. Hanya menatapnya dengan tajam. “Ini, minumlah.” Carl dan Kate duduk di ruang makan. Pria itu meneguk seg
“Aku tak mengerti mengapa kau menanggapi pendekatan Alfred padahal kau tahu jelas motif di baliknya.”“Karena dia yakin bisa memanfaatkanku untuk menjatuhkan Elena, aku ingin melakukan hal yang sama dan membalikkan situasinya. Aku yakin bila dekat dengan Alfred, aku bisa membantu Elena dengan caraku.”“Apa Nyonya Elena saat itu tahu rencanamu?”“Elena tahu, tentu saja ia tak setuju. Katanya seolah menjadikanku umpan atau martir.”“Perkataannya benar.”“Carl, waktu itu aku hanya ingin membantu.”“Kau pasti bersikeras menjalankan rencanamu, kan? Meski Nyonya Elena tak setuju?”“Ya. Jadi, aku mencoba bersabar di dekat. Semuanya tampak berjalan sesuai rencana dan aku bisa tahu lebih awal rencana Alfred terhadap Elena. Sampai pria kasar itu .... Ya, akhirnya aku memilih pergi dan tak melanjutkan rencana konyol itu.”“Kenapa berhenti?”“Apa?”“Kate, kau mendadak memutuskan menghentikan rencanamu. Kalimatmu berhenti usai mengatakan ‘sampai pria kasar itu .... Apa yang dilakukannya
“Katakan padaku detailnya, Will. Apa yang terjadi?”“Nona Alexa mengaku mendapatkan intimidasi di lingkungan penjara.”“Dari siapa? Sipir?”“Tidak hanya dari sipir, sesama narapidana juga.” Drake mengerutkan keningnya, ia tak menduga kehidupan Alexa yang ingin mengutarakan kebenaran di depan pengadilan, harus dibayar sepahit itu. Kehidupan di penjara bukanlah hal yang mudah, bagai hukum rimba. Jika tidak dibantu, Alexa, yang merupakan satu-satunya kunci mengungkap keburukan Alfred dan ayahnya, bisa celaka. Tentu ini buruk untuknya dan Elena. “Tempatkan orang-orang kita untuk membantu Alexa bertahan. Bagaimana pun caranya, kita harus menjaganya tetap hidup, karena Alexa adalah saksi kunci.”“Ya, kami akan menempatkan orang-orang kita di antara sipir, narapidana dan ada seorang dokter yang cukup bisa dipercaya.”“Dokter? Siapa?”“Kakaknya Carl. Sudah empat tahun ini bekerja di penjara tempat Alexa ditahan.”“Oh, ya? Apa Carl yakin kalau kakaknya bisa dipercaya untuk tuga
Kate langsung menekan tombol panggil pada kontak dengan nama Carl. Tangannya gemetaran saat mengangkat ponsel ke telinganya.“Halo, Kate, aku sedang di depan rumahmu.”“Jadi, itu kau? Yang berdiri di depan pintuku sekarang?”“Iya, buka pintunya.”Kate langsung bernapas lega sebelum membuka pintunya. Begitu melihat wajah Carl di depannya, tubuhnya langsung lemas seketika. Ia bersandar di ambang pintu.“Hey, ada apa?”Carl menahan tubuh Kate dengan memegangi pundak wanita di depannya itu.“Aku melihat ada mobil mencurigakan di bawah. Dari tadi orangnya mondar mandir di depan gedung.”“Tak apa, aku di sini.”Keduanya segera memasuki flat Kate, lalu duduk di ruang tamu. Carl mengamati ekspresi Kate yang perlahan melembut, seraya melihat ke depan gedung melalui jendela. “Aku ingin keluar, membeli bahan makanan, lalu mengecek ke jendela. Mobil itu tak pergi sama sekali sejak tadi.”“Orang itu juga mondar mandir saat aku datang.”“Tadi kukira orang itu yang ada di depan pintu.
Terlahir menjadi seorang pewaris dari keluarga kaya menjadi impian hampir setiap orang. Tapi, itu tak lagi berlaku bagi Drake yang menginjak usia 7 tahun dan menyadari situasinya berbeda dengan harapan. Ia pernah melihat sorot mata penuh cinta dari kedua orang tuanya, hingga menyadari, perasaan itu lenyap sempurna dari sorot mata sang ibu. Usia di mama seharusnya Drake bisa membaca layaknya seperti anak-anak lain, membuat tekanan dari sang ayah semakin keras. Drake merasa ia berusaha sebaik mungkin untuk bisa membaca. Tapi, apa daya, matanya seolah melihat huruf-huruf itu lepas dari posisinya dan menari-nari tak beraturan. “Sampai kapan kau menjadi anak bodoh? Membaca saja kau tidak bisa bagaimana mau mewarisi perusahaan?” Dari situlah, Drake kecil mendapat beberapa cambukan sebagai hukuman. Malamnya, ia langsung demam. Mama Lily menangis pilu saat menemaninya semalaman. “Maaf, Ma. Maafkan putramu yang bodoh ini.” “Tidak, Drake. Ini bukan salahmu. Mama akan cari cara untuk mem