“Alfred?” “Ya, apa kau lupa? Sepupuku.” “Aku ingat. Bukankah kalian satu kantor?” “Ya, dia menghilang sejak membuat kesalahan investasi perusahaan. Hingga kami mengalami krisis.” “Lalu, sekarang ia kembali? Bertanggung jawab atas kesalahannya?” “Yang kutahu, ia bukan tipe orang bertanggung jawab. Kurasa ada hal lain yang diincarnya. Tapi, aku tak tahu apa itu.” “Apa rencanamu selanjutnya?” “Aku ingin mengawasinya. Apa yang dilakukannya agar aku bisa memprediksi tujuannya kembali dengan ekspresi percaya diri seperti itu.” “Apa tadi ia mengancammu?” “Tidak. Tadi aku memberinya peringatan untuk bertanggung jawab karena krisis yang disebabkan olehnya.” “Apa kau membutuhkan orang lain selain Carl untuk menyelidiki Alfred?” “Aku hanya perlu Carl saja untuk mencari tahu. Aku biasa menyetir mobil sendirian jika Carl sedang mengawasi pergerakan Alfred.” “Aku masih punya banyak pengawal lain kalau kau mau,” tawar Drake dengan hangat. “Tak apa, Carl saja sudah cukup.” Keduanya te
Elena menutup mulutnya agar tak bersuara sedikit pun. Satu tangannya yang lain meremas tas kecilnya dengan kuat. Matanya kian memicing begitu wajah Camilla mendekati wajah Drake. Dalam hati, Elena merutuki situasi ini. “Berhenti.” Suara Drake yang dalam dan tegas membuat Elena kembali menatap ke arah mereka. Camilla pasti juga terkejut. Gadis itu terlihat langsung berhenti. “Jangan bersikap kekanakan, Camilla. Aku tahu jika Smith sedang menunggumu. Hotel nomor 1208. Kau tak mau Smith menunggu lama, kan?” “Sial! Kenapa kau bisa tahu?” Camilla dengan kesal menjauhkan dirinya dari Drake. Pria itu tak mengatakan apa pun lagi. “Ternyata benar kata gosip yang beredar. Kau memiliki mata dan telinga di manapun.” Drake mengedikkan bahu singkat. Camilla memilih berjalan keluar dari balik tirai balkon. Elena segera menyembunyikan dirinya tenggelam dalam tirai besar nan mewah itu. Beruntung, Camilla tak lagi menoleh ke arah belakang, sehingga Elena tak ketahuan. Setelah mengembus
“Well, bukankah aku sudah melakukannya di pesta pembukaan cabang kemarin?” “Sebagai mantan istri yang rukun, ya. Prasangka baik dari publik, tentu. Tapi, klausa sebagai kekasih? Belum.” “Wah, aku tak tahu kau sedetail ini mengulitiku, Drake.” “Daripada menguliti aku lebih suka kata undressing you.” Elena tersenyum miring, mencibir penggunaan kata yang Drake ucapkan. “Sungguh kata yang amat sopan,” sindir Elena. “Mungkin kau ada pilihan kata lain yang lebih tepat?” “Kritis lebih tepat, mengingat kau begitu kritis menilaiku.” “Ada benarnya. Aku memang sedang dalam situasi kritis, Nona Cantik.” “Terdengar seperti kaulah yang harus merayuku, bukannya sebaliknya.” “Jika diperlukan, untuk wanita tertentu.” “Wanita yang bagaimana yang ‘tertentu’ itu?” Drake yang sudah menyelesaikan makan malamnya berdiri dari kursi. Satu tangannya diletakkan di saku celananya. Dengan santai berjalan menuju tempat Elena duduk. “Tebaklah!” “Aku yang bertanya aku juga yang kau minta menebak.” Ek
“Oopps, apa aku salah masuk ruangan?” Mata Elena melebar melihat pria berjambang tipis dengan garis rahang tegas itu tersenyum saat masuk ke rumah utama pamannya. “Drake,” panggil Elena lirih. Senyum Drake sirna ketika melihat kedua lengan Elena telah dicengkeram oleh dua pengawal. Bersamaan dengan itu, Will dan tiga pengawal lain, merangsek masuk ke dalam. “Apa – apaan ini?” Suara keras Paman Smith terdengar. Drake melangkah hingga di depan Elena. “Lepaskan tanganmu darinya.” Suara berat Drake yang setengah menggeram ditujukan pada pengawal yang masih memegangi lengan Elena. “Lepaskan tanganmu!” Drake melayangkan satu tinju ke pengawal di sebelah kiri Elena. Orang tersebut jatuh terkapar di lantai. Sementara seorang lainnya hendak menyerang Drake, pengawal Drake lainnya bergerak lebih cepat menghalangi pukulan. Mendadak, beberapa pengawal keluarga Paman Smith lainnya turut bergabung. Dengan sigap, Drake segera menarik Elena menjauh dari pengawal yang tadi menahannya. M
“Kau akan pulang sekarang?” Kate bertanya saat Elena membereskan barang – barangnya di meja. “Ya, kau juga jangan pulang larut malam.” “Siap, Bos.” Kate menanti Elena yang bersiap – siap. Ia ingin tahu sesuatu yang sejak lama ia tahan. “Ada yang ingin kau katakan?” Elena melirik ke arah Kate yang ia tahu pasti ada hal yang mengganjal. “Bagaimana hubunganmu dengan Drake? Kalian terlihat ... akrab waktu kita makan malam dengan staf.” “Baik, hubungan kami baik – baik saja. Kami memutuskan hidup rukun dan berteman seperti dulu.” “Eheemm. Kupikir kau tak pernah pulang ke rumahmu juga.” Elena menghentikan gerakan tangannya. Detik berikutnya, ia menutup tas kantornya lalu menatap Kate. “Aku tinggal di rumah lain.” “Oh, baiklah.” Meski mengulas senyum santai, dalam hati Elena merasa bersalah karena telah membohongi sahabatnya itu. “Bagus, berteman dan hidup rukun itu jauh lebih baik.” “Ya, Kate. Aku pulang dulu.” “Ya, hati – hati.” Setelah percakapan singkat dengan Kate, E
Elena tak mendengar panggilannya. Drake menarik napas panjang, ia senang melihat Elena tertawa lepas. Tapi, ia benci dengan pemandangan di depannya ini. Pria itu menyingkap kerumunan untuk menjangkau Elena. “Elena, ikut aku.” “Hei, kau siapa?” Pria yang menari bersama Elena memprotes. Drake langsung mencengkeram krah baju pria itu dan memberi tatapan tajam. “Jangan ikut campur.” “Hai, Drake. Oh, tenanglah teman – teman baruku, dia mantan suamiku. Tampan, kan?” Elena memperkenalkan Drake dengan nada setengah mabuk. Saat itulah Drake sadar jika wanita itu hilang akal karena minuman. “Ayo, Elena.” Pria itu meraih tangan Elena. Menyisir lautan manusia yang sedang menari. Drake tak ingin berada di dalam klub lagi. Hanya melihat Elena seperti itu sudah membuat kepalanya pening. Tangannya baru melepaskan Elena saat tiba di lorong yang sepi. Ia mengungkung Elena di antara dinding dan dirinya. “Apa yang kau lakukan? Minum hingga mabuk dan menari dengan para serigala?” “Hanya mencob
Sang pewawancara menatap Drake dengan antusias. Pria itu tersenyum sekilas sebelum memberi jawaban. Ia tahu Elena juga sedang menatapnya. “Mungkin. Bisa saja terjadi jika suasananya mendukung.” Pewawancara langsung tersenyum, diiringi suara – suara dari tim belakang layar. Sementara Elena menatap canggung orang – orang di sekitarnya. “Baru kali ini saya merasa senang dengan jawaban mungkin. Jadi, Anda mengiyakan adanya peluang untuk rujuk?” Sekilas, Drake melirik Elena yang mulai tegang. Belum sempat ia memberi jawaban, suara lembut mantan istrinya itu terdengar lagi. “Maksud Drake adalah mungkin bisa mungkin juga tidak, kita tak tahu apa yang terjadi. Tapi, yang jelas, menjaga hubungan baik dan tetap pada batasannya dengan mantan suami atau istri itu juga penting. Hanya itu yang bisa kami katakan saat ini.” “Bagaimana menurut Anda, Drake?” tanya wanita paruh baya itu kepada Drake. “Seperti yang Elena katakan. Hanya itu yang bisa kami katakan.” Bukannya menatap pewawancara
Elena selesai berkeliling ke beberapa tempat, ditemani Will. Ia pergi ke museum seni Bristol dan Bristol Old City. Seolah menjelajah ke masa lalu. Banyak hal kuno bersejarah yang temui. Ternyata, ada gunanya berjalan – jalan sejenak, keluar dari rutinitas kantor. “Will, Drake akan baik – baik saja tanpamu, kan?” “Tentu saja, Nona. Tuan Drake bersama sekretarisnya, Tuan Mark.” “Baiklah, aku hanya sedikit merasa bersalah karena meminjammu darinya.” Elena tersenyum membayangkan Drake yang lebih repot ketika ditinggal oleh Will. “Tak masalah, Nona. Tuan Drake biasa menyetir sendiri.” “Benarkah? Saat masih denganku dia ....” Kalimat Elena terhenti. Ia tak ingin terdengar mengungkit masa lalu. “Beberapa waktu terakhir, Tuan Drake sering menyendiri.” “Kenapa?” “Saya tidak tahu, Nona.” Seraya mengerutkan kening, wanita bertubuh ramping itu memasuki kamar. Ia segera bersiap untuk mandi. Tepat saat ia akan memasuki kamar mandi, ponselnya berdering. “Halo, ada apa, Kate?” “Kemarin