Share

Chapter 7 Rumahku atau Rumahmu?

Drake menuntun Elena keluar dari mobil menuju mansionnya. Meski mabuk, Elena masih sanggup berjalan dengan cukup baik.

“Wah, akhirnya aku sampai di rumah. Terima kasih sudah mengantarkanku pulang. Hati – hati di jalan, mantan suami.”

Wanita dengan rambut sebahu itu masuk ke dalam kamar yang luas. Karena terlalu mengantuk dan merasa pusing, ia langsung merebahkan diri di ranjang besar itu. Drake menyusulnya. Pria tinggi itu hanya berdiri di samping ranjang tempat Elena telah tertidur. Seraya menggelengkan kepalanya saat menatap wanita di hadapannya itu.

“Sudah kuperingatkan berkali – kali sebelumnya, jangan terlalu banyak minum, Elena.”

Drake membantu Elena melepaskan mantel dan sepatunya. Ia juga membenarkan posisi tidur wanita itu sebaik mungkin. Pria itu menatap lama wajah polos wanita yang kini tengah larut dalam mimpinya itu. Sesaat kemudian, Drake segera menuju kamar mandi. Ia berakhir tidur di sofa tang tak jauh dari ranjangnya. Persis seperti kebiasaannya beberapa waktu terakhir ini.

***

“Itu tidak benar. Kemarilah, bahaya jika kau semakin mundur.”

Elena merentangkan tangannya ke depan sejauh yang ia bisa untuk menjangkau wanita di depannya. Ekspresinya memelas, berbeda dengan wanita itu yang tampak dengan muak menatapnya. Sekilas, wanita di hadapan Elena menyeringai sebelum semua itu terjadi.

“Tidaaak!”

Begitu berteriak hingga tenggorokannya sakit, Elena terbangun dalam posisi terduduk. Tangannya masih terulur ke depan, menjangkau angin kosong.

“Elena,” suara berat Drake membuyarkan lamunan Elena.

“Kau ... kenapa bisa ada di rumahku?”

Mata wanita itu beredar ke sekeliling ruangan. Perlahan, ia mengernyitkan kening. Kamar siapa ini?

“Kau yang ada di rumahku, Elena.”

Drake mendekati ranjang. Pria itu tampak sudah rapi dengan kemeja berwarna biru muda dan sedang menenteng jas biru navynya.

“Bagaimana aku bisa ke sini?”

“Itulah yang terjadi saat kau mabuk. Kau bahkan tak ingat apa pun saat aku membawamu ke sini?”

Elena menggeleng pelan, seolah tak yakin dengan pikirannya sendiri. Ia merasa benar – benar telah pulang ke rumah tadi malam. Bukannya ke rumah pria di depannya ini.

“Kau bermimpi apa hingga berteriak sekencang itu?”

Wanita bermata amber itu menatap Drake sesaat. Mimpi? Itu bukan mimpi! Batin Elena yakin.

“Seolah aku terjatuh dari ranjang, itu saja.”

Drake tak mengalihkan pandangan ketika Elena turun dari ranjang. Tentu saja, siapa lagi kalau bukan dia yang mengenal Elena dengan baik? Begitu mudah membaca Elena. Wanita itu berbohong padanya.

“Maaf jika teriakanku mengganggu pagimu yang tenang. Aku izin menggunakan kamar mandimu, sudah hampir terlambat pergi ke kantor.”

“Pakailah dengan nyaman.”

Elena tak membuang waktu lagi dan segera menuju kamar mandi. Ia baru bisa bernapas dengan lega dan menenangkan dirinya di dalam kamar mandi. Seolah ia baru saja lari maraton karena mimpi yang baru saja ia lihat.

Kebiasaan sama dari Drake dan Elena adalah bersiap lebih pagi untuk berangkat ke kantor. Disiplin adalah satu kesamaan dari keduanya sejak masih kecil. Setelah memakai pakaian kerja yang telah Drake siapkan, Elena meluangkan waktu sebentar melihat – lihat ke dalam rumah besar itu. Mirip dengan rumahnya sendiri, hanya saja ini versi lebih besar dan mewahnya.

“Pantas saja tadi malam aku mengira pulang ke rumahku sendiri. Rumahmu sangat mirip dengan rumahku.”

“Benarkah? Kuharap kau bisa lebih nyaman tinggal di sini kalau begitu.”

“Aku perlu waktu mengemas beberapa barang penting dari rumahku.”

“Tentu saja. Mulai sekarang, ke mana pun kau pergi, Carl yang bertugas mengantarmu.”

Elena menatap Drake dengan tatapan jengah. Tapi, apa boleh buat? Ia harus bersikap profesional sesuai perjanjian untuk membentuk kesan pasangan mantan suami istri yang rukun dan kompak sehingga saham kedua perusahaan mereka membaik dan menguat. Menepis gosip yang beredar jika keduanya bersitegang dan berpisah dengan buruk.

“Baiklah.”

Ketika Elena bersiap masuk ke mobil, ia menyempatkan diri menatap kembali rumah mewah itu dari depan. Ia menggeleng pelan, menyadari betapa miripnya rumah ini dengan versi mini miliknya.

***

Drake baru saja kembali dari rapat penting. Ia segera melepas jasnya, lalu duduk di kursinya ketika sebuah panggilan masuk. Alfred, itulah nama yang tertera di layar.

“Drake, aku hanya menelepon untuk mengingatkanmu akan kesepakatan kita.”

“Aku bukan anak kecil yang perlu diingatkan.”

“Oh, jangan marah, tenang saja. Aku yakin kau pasti akan menepati janjimu.”

“Lebih baik kau urus saja dirimu sendiri. Kita sudah sepakat tak akan saling mengganggu.”

“Jadi, menurutmu aku mengganggu?”

“Ya, jika bersikap tak penting seperti ini. Membuang waktu saja.”

“Baiklah, baiklah, Tuan Muda Drake. Maafkan aku yang mengganggumu. Terima kasih sudah menyarankan rencana besar ini. Aku akan terus mengamati perkembangannya.”

Drake masih sempat mendengar suara tawa yang keras dari ujung telepon sebelum menutup panggilan. Tangannya meremas ponsel cukup kuat. Ekspresinya sedingin salju.

“Kita lihat, sejauh mana semua akan berjalan.”

Drake tersenyum miring begitu menatap ke arah pigura kecil di meja kerjanya. Potret seseorang yang membuatnya memulai semua rencana ini. Menjadikannya seperti gosip yang beredar. Pria licik yang dingin. Ia lalu menatap layar ponselnya lagi untuk memanggil seseorang.

“Will, tambah personil untuk memantaunya. Kita perlu mengenal lebih dekat untuk menambah amunisi.”

“Baik, Bos.”

Drake menutup panggilan. Ia lalu mengambil dokumen dari lemari kecilnya di sebelah meja kerja. Setelah mengeluarkan isinya dan memperhatikan sejenak, Drake tersenyum lebar.

“Jaga sahabatmu tetap dekat, tapi, jaga musuhmu lebih dekat lagi. Ini semua baru dimulai,” gumam Drake seraya menyeringai.

***

Elena memanggil sekretarisnya, Kate, sebelum membereskan barangnya. Wanita berambut cokelat gelap dengan kaca mata tebal itu masuk ke ruangan.

“Ada apa?”

“Apa pria itu tak terlihat masuk ke kantor hari ini?”

“Belum. Sepertinya, ia masih mencari cara untuk memperbaiki citranya.”

“Beritahu aku jika kau melihatnya, Kate.”

“Apa yang akan kau lakukan?”

“Aku hanya ingin mencari tahu. Mengapa ia melakukannya?”

“Semua sudah terjadi, Elena.”

“Aku tahu, Kate. Tapi, aku tidak bisa membiarkannya begitu saja menempatkan perusahaan kita ke dalam posisi sulit lagi. Ia harus tahu, aku tak main – main dengan kesalahannya.”

“Jangan pedulikan dia lagi. Lebih baik kita fokus pada perusahaan dan memperkuat posisimu.”

“Aku tahu, Kate. Beritahu saja kalau kau melihatnya.”

“Ya, baiklah. Apa kau akan pulang?”

“Ya, kau juga?”

“Sebentar lagi.”

“Kalau begitu, aku pulang dulu, Kate.”

“Berhati – hatilah.”

“Kau juga.

Elena bergegas menuju ke depan gedung kantornya. Ia yakin Carl sudah menunggunya di depan. Ia menyempatkan diri mengetik pesan untuk Drake. Ia harus segera memulai rencana mereka berdua agar urusan dengan mantan suaminya itu segera selesai. Ia yakin jika Drake juga pasti ingin semua urusan ini berjalan lancar. Dengan memperbaiki hubungan mereka pasca perceraian agar kepercayaan publik dan pemegang saham lain meningkat, semua ini mau tak mau harus dilakukan. Jadi, kelak ketika ia dan Drake benar – benar berpisah, tak ada lagi efek yang merugikan untuk kedua belah pihak.

Pernikahan ini dimulai untuk keuntungan bisnis keduanya, tentu saja harus diakhiri dengan keuntungan yang setara. Ia bertekad, tak akan lagi membuang waktu dan perasaannya dengan percuma. Baru saja ia berjalan keluar, seorang pria menyapanya.

“Elena, kau pulang sekarang?”

Kakinya berhenti melangkah. Matanya melebar kala melihat pria yang tersenyum lebar di hadapannya. Ia tak salah lihat, kan?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status