Drake menuntun Elena keluar dari mobil menuju mansionnya. Meski mabuk, Elena masih sanggup berjalan dengan cukup baik.
“Wah, akhirnya aku sampai di rumah. Terima kasih sudah mengantarkanku pulang. Hati – hati di jalan, mantan suami.” Wanita dengan rambut sebahu itu masuk ke dalam kamar yang luas. Karena terlalu mengantuk dan merasa pusing, ia langsung merebahkan diri di ranjang besar itu. Drake menyusulnya. Pria tinggi itu hanya berdiri di samping ranjang tempat Elena telah tertidur. Seraya menggelengkan kepalanya saat menatap wanita di hadapannya itu.“Sudah kuperingatkan berkali – kali sebelumnya, jangan terlalu banyak minum, Elena.” Drake membantu Elena melepaskan mantel dan sepatunya. Ia juga membenarkan posisi tidur wanita itu sebaik mungkin. Pria itu menatap lama wajah polos wanita yang kini tengah larut dalam mimpinya itu. Sesaat kemudian, Drake segera menuju kamar mandi. Ia berakhir tidur di sofa tang tak jauh dari ranjangnya. Persis seperti kebiasaannya beberapa waktu terakhir ini.***“Itu tidak benar. Kemarilah, bahaya jika kau semakin mundur.” Elena merentangkan tangannya ke depan sejauh yang ia bisa untuk menjangkau wanita di depannya. Ekspresinya memelas, berbeda dengan wanita itu yang tampak dengan muak menatapnya. Sekilas, wanita di hadapan Elena menyeringai sebelum semua itu terjadi.“Tidaaak!” Begitu berteriak hingga tenggorokannya sakit, Elena terbangun dalam posisi terduduk. Tangannya masih terulur ke depan, menjangkau angin kosong.“Elena,” suara berat Drake membuyarkan lamunan Elena.“Kau ... kenapa bisa ada di rumahku?” Mata wanita itu beredar ke sekeliling ruangan. Perlahan, ia mengernyitkan kening. Kamar siapa ini?“Kau yang ada di rumahku, Elena.” Drake mendekati ranjang. Pria itu tampak sudah rapi dengan kemeja berwarna biru muda dan sedang menenteng jas biru navynya.“Bagaimana aku bisa ke sini?”“Itulah yang terjadi saat kau mabuk. Kau bahkan tak ingat apa pun saat aku membawamu ke sini?” Elena menggeleng pelan, seolah tak yakin dengan pikirannya sendiri. Ia merasa benar – benar telah pulang ke rumah tadi malam. Bukannya ke rumah pria di depannya ini.“Kau bermimpi apa hingga berteriak sekencang itu?” Wanita bermata amber itu menatap Drake sesaat. Mimpi? Itu bukan mimpi! Batin Elena yakin.“Seolah aku terjatuh dari ranjang, itu saja.” Drake tak mengalihkan pandangan ketika Elena turun dari ranjang. Tentu saja, siapa lagi kalau bukan dia yang mengenal Elena dengan baik? Begitu mudah membaca Elena. Wanita itu berbohong padanya.“Maaf jika teriakanku mengganggu pagimu yang tenang. Aku izin menggunakan kamar mandimu, sudah hampir terlambat pergi ke kantor.”“Pakailah dengan nyaman.” Elena tak membuang waktu lagi dan segera menuju kamar mandi. Ia baru bisa bernapas dengan lega dan menenangkan dirinya di dalam kamar mandi. Seolah ia baru saja lari maraton karena mimpi yang baru saja ia lihat. Kebiasaan sama dari Drake dan Elena adalah bersiap lebih pagi untuk berangkat ke kantor. Disiplin adalah satu kesamaan dari keduanya sejak masih kecil. Setelah memakai pakaian kerja yang telah Drake siapkan, Elena meluangkan waktu sebentar melihat – lihat ke dalam rumah besar itu. Mirip dengan rumahnya sendiri, hanya saja ini versi lebih besar dan mewahnya.“Pantas saja tadi malam aku mengira pulang ke rumahku sendiri. Rumahmu sangat mirip dengan rumahku.”“Benarkah? Kuharap kau bisa lebih nyaman tinggal di sini kalau begitu.”“Aku perlu waktu mengemas beberapa barang penting dari rumahku.”“Tentu saja. Mulai sekarang, ke mana pun kau pergi, Carl yang bertugas mengantarmu.” Elena menatap Drake dengan tatapan jengah. Tapi, apa boleh buat? Ia harus bersikap profesional sesuai perjanjian untuk membentuk kesan pasangan mantan suami istri yang rukun dan kompak sehingga saham kedua perusahaan mereka membaik dan menguat. Menepis gosip yang beredar jika keduanya bersitegang dan berpisah dengan buruk.“Baiklah.” Ketika Elena bersiap masuk ke mobil, ia menyempatkan diri menatap kembali rumah mewah itu dari depan. Ia menggeleng pelan, menyadari betapa miripnya rumah ini dengan versi mini miliknya.*** Drake baru saja kembali dari rapat penting. Ia segera melepas jasnya, lalu duduk di kursinya ketika sebuah panggilan masuk. Alfred, itulah nama yang tertera di layar.“Drake, aku hanya menelepon untuk mengingatkanmu akan kesepakatan kita.”“Aku bukan anak kecil yang perlu diingatkan.”“Oh, jangan marah, tenang saja. Aku yakin kau pasti akan menepati janjimu.”“Lebih baik kau urus saja dirimu sendiri. Kita sudah sepakat tak akan saling mengganggu.”“Jadi, menurutmu aku mengganggu?”“Ya, jika bersikap tak penting seperti ini. Membuang waktu saja.”“Baiklah, baiklah, Tuan Muda Drake. Maafkan aku yang mengganggumu. Terima kasih sudah menyarankan rencana besar ini. Aku akan terus mengamati perkembangannya.” Drake masih sempat mendengar suara tawa yang keras dari ujung telepon sebelum menutup panggilan. Tangannya meremas ponsel cukup kuat. Ekspresinya sedingin salju.“Kita lihat, sejauh mana semua akan berjalan.” Drake tersenyum miring begitu menatap ke arah pigura kecil di meja kerjanya. Potret seseorang yang membuatnya memulai semua rencana ini. Menjadikannya seperti gosip yang beredar. Pria licik yang dingin. Ia lalu menatap layar ponselnya lagi untuk memanggil seseorang.“Will, tambah personil untuk memantaunya. Kita perlu mengenal lebih dekat untuk menambah amunisi.”“Baik, Bos.” Drake menutup panggilan. Ia lalu mengambil dokumen dari lemari kecilnya di sebelah meja kerja. Setelah mengeluarkan isinya dan memperhatikan sejenak, Drake tersenyum lebar.“Jaga sahabatmu tetap dekat, tapi, jaga musuhmu lebih dekat lagi. Ini semua baru dimulai,” gumam Drake seraya menyeringai.*** Elena memanggil sekretarisnya, Kate, sebelum membereskan barangnya. Wanita berambut cokelat gelap dengan kaca mata tebal itu masuk ke ruangan.“Ada apa?”“Apa pria itu tak terlihat masuk ke kantor hari ini?”“Belum. Sepertinya, ia masih mencari cara untuk memperbaiki citranya.”“Beritahu aku jika kau melihatnya, Kate.”“Apa yang akan kau lakukan?”“Aku hanya ingin mencari tahu. Mengapa ia melakukannya?”“Semua sudah terjadi, Elena.”“Aku tahu, Kate. Tapi, aku tidak bisa membiarkannya begitu saja menempatkan perusahaan kita ke dalam posisi sulit lagi. Ia harus tahu, aku tak main – main dengan kesalahannya.”“Jangan pedulikan dia lagi. Lebih baik kita fokus pada perusahaan dan memperkuat posisimu.”“Aku tahu, Kate. Beritahu saja kalau kau melihatnya.”“Ya, baiklah. Apa kau akan pulang?”“Ya, kau juga?”“Sebentar lagi.”“Kalau begitu, aku pulang dulu, Kate.”“Berhati – hatilah.”“Kau juga. Elena bergegas menuju ke depan gedung kantornya. Ia yakin Carl sudah menunggunya di depan. Ia menyempatkan diri mengetik pesan untuk Drake. Ia harus segera memulai rencana mereka berdua agar urusan dengan mantan suaminya itu segera selesai. Ia yakin jika Drake juga pasti ingin semua urusan ini berjalan lancar. Dengan memperbaiki hubungan mereka pasca perceraian agar kepercayaan publik dan pemegang saham lain meningkat, semua ini mau tak mau harus dilakukan. Jadi, kelak ketika ia dan Drake benar – benar berpisah, tak ada lagi efek yang merugikan untuk kedua belah pihak. Pernikahan ini dimulai untuk keuntungan bisnis keduanya, tentu saja harus diakhiri dengan keuntungan yang setara. Ia bertekad, tak akan lagi membuang waktu dan perasaannya dengan percuma. Baru saja ia berjalan keluar, seorang pria menyapanya.“Elena, kau pulang sekarang?” Kakinya berhenti melangkah. Matanya melebar kala melihat pria yang tersenyum lebar di hadapannya. Ia tak salah lihat, kan?Drake menatap layar datar di seberang meja kerjanya. Sore itu sidang putusan yang akan membacakan vonis untuk Alfred dan Paman Smith, serta Alexa akan dibacakan. Momen yang paling ditunggu oleh Drake dan Elena. Will duduk di sofa tamu, tak jauh dari meja Drake, juga turun memperhatikan jalannya sidang di layar kaca. Menit demi menit hingga jam berlalu. Alexa dan Paman Smith telah menyelesaikan sidang lebih dulu dibandingkan Alfred. Karena Alexa yang membuka semua pintu di kasus ini, layaknya whistle blower, ia divonis 5 tahun penjara atas tuduhan intimidasi, ancaman dan membantu Alfred dalam menjual nark*ba. Sedangkan Paman Smith dijatuhi hukuman seumur hidup atas percobaan pembunuhan. Sampai pada saat sebelum putusan dibacakan. Hakim memberikan kesempatan pada Alfred untuk bersuara. Dalam pembelaannya, Alfred menyangkal semua bukti dan tuduhan yang selama ini diajukan pihak lawan. Usai menyampaikan suaranya, hakim membacakan vonis. Dalam sidang putusan hari in
Usai melaksanakan tugas dari Drake hari itu, Carl bergegas memasuki mobilnya. Dalam perjalanan, ia menelepon Kate. “Halo, kau ke mana saja?” “Kate, aku sedang dalam perjalanan pulang. Apa Steven dan Dean masih di sana?” “Tentu saja. Kami sedang bermain kartu.” “Apa kalian minum?” “Sedikit wine. Dean, jangan coba-coba curang ya.” Suara Kate terlihat memarahi Dean, rekan setim Carl yang bertugas menjaga keluarga Drake Graysen. Hari ini mereka bertugas menjaga Kate karena Carl sibuk di luar seharian. “Sial! Jangan minum dengan mereka.” “Carl, kau mengumpat padaku?” “Tidak, Kate. Aku mengumpat pada Steven dan Dean. Aku akan segera sampai.” Carl buru-buru menutup panggilannya, ia menambah kecepatan mobilnya. *** “Kami hanya bosan dan bermain kartu terlihat seru.” Kate memberi penjelasan seraya menuangkan jus apel ke sebuah gelas. Pria di depannya itu diam tak bergeming. Hanya menatapnya dengan tajam. “Ini, minumlah.” Carl dan Kate duduk di ruang makan. Pria itu meneguk seg
“Aku tak mengerti mengapa kau menanggapi pendekatan Alfred padahal kau tahu jelas motif di baliknya.”“Karena dia yakin bisa memanfaatkanku untuk menjatuhkan Elena, aku ingin melakukan hal yang sama dan membalikkan situasinya. Aku yakin bila dekat dengan Alfred, aku bisa membantu Elena dengan caraku.”“Apa Nyonya Elena saat itu tahu rencanamu?”“Elena tahu, tentu saja ia tak setuju. Katanya seolah menjadikanku umpan atau martir.”“Perkataannya benar.”“Carl, waktu itu aku hanya ingin membantu.”“Kau pasti bersikeras menjalankan rencanamu, kan? Meski Nyonya Elena tak setuju?”“Ya. Jadi, aku mencoba bersabar di dekat. Semuanya tampak berjalan sesuai rencana dan aku bisa tahu lebih awal rencana Alfred terhadap Elena. Sampai pria kasar itu .... Ya, akhirnya aku memilih pergi dan tak melanjutkan rencana konyol itu.”“Kenapa berhenti?”“Apa?”“Kate, kau mendadak memutuskan menghentikan rencanamu. Kalimatmu berhenti usai mengatakan ‘sampai pria kasar itu .... Apa yang dilakukannya
“Katakan padaku detailnya, Will. Apa yang terjadi?”“Nona Alexa mengaku mendapatkan intimidasi di lingkungan penjara.”“Dari siapa? Sipir?”“Tidak hanya dari sipir, sesama narapidana juga.” Drake mengerutkan keningnya, ia tak menduga kehidupan Alexa yang ingin mengutarakan kebenaran di depan pengadilan, harus dibayar sepahit itu. Kehidupan di penjara bukanlah hal yang mudah, bagai hukum rimba. Jika tidak dibantu, Alexa, yang merupakan satu-satunya kunci mengungkap keburukan Alfred dan ayahnya, bisa celaka. Tentu ini buruk untuknya dan Elena. “Tempatkan orang-orang kita untuk membantu Alexa bertahan. Bagaimana pun caranya, kita harus menjaganya tetap hidup, karena Alexa adalah saksi kunci.”“Ya, kami akan menempatkan orang-orang kita di antara sipir, narapidana dan ada seorang dokter yang cukup bisa dipercaya.”“Dokter? Siapa?”“Kakaknya Carl. Sudah empat tahun ini bekerja di penjara tempat Alexa ditahan.”“Oh, ya? Apa Carl yakin kalau kakaknya bisa dipercaya untuk tuga
Kate langsung menekan tombol panggil pada kontak dengan nama Carl. Tangannya gemetaran saat mengangkat ponsel ke telinganya.“Halo, Kate, aku sedang di depan rumahmu.”“Jadi, itu kau? Yang berdiri di depan pintuku sekarang?”“Iya, buka pintunya.”Kate langsung bernapas lega sebelum membuka pintunya. Begitu melihat wajah Carl di depannya, tubuhnya langsung lemas seketika. Ia bersandar di ambang pintu.“Hey, ada apa?”Carl menahan tubuh Kate dengan memegangi pundak wanita di depannya itu.“Aku melihat ada mobil mencurigakan di bawah. Dari tadi orangnya mondar mandir di depan gedung.”“Tak apa, aku di sini.”Keduanya segera memasuki flat Kate, lalu duduk di ruang tamu. Carl mengamati ekspresi Kate yang perlahan melembut, seraya melihat ke depan gedung melalui jendela. “Aku ingin keluar, membeli bahan makanan, lalu mengecek ke jendela. Mobil itu tak pergi sama sekali sejak tadi.”“Orang itu juga mondar mandir saat aku datang.”“Tadi kukira orang itu yang ada di depan pintu.
Terlahir menjadi seorang pewaris dari keluarga kaya menjadi impian hampir setiap orang. Tapi, itu tak lagi berlaku bagi Drake yang menginjak usia 7 tahun dan menyadari situasinya berbeda dengan harapan. Ia pernah melihat sorot mata penuh cinta dari kedua orang tuanya, hingga menyadari, perasaan itu lenyap sempurna dari sorot mata sang ibu. Usia di mama seharusnya Drake bisa membaca layaknya seperti anak-anak lain, membuat tekanan dari sang ayah semakin keras. Drake merasa ia berusaha sebaik mungkin untuk bisa membaca. Tapi, apa daya, matanya seolah melihat huruf-huruf itu lepas dari posisinya dan menari-nari tak beraturan. “Sampai kapan kau menjadi anak bodoh? Membaca saja kau tidak bisa bagaimana mau mewarisi perusahaan?” Dari situlah, Drake kecil mendapat beberapa cambukan sebagai hukuman. Malamnya, ia langsung demam. Mama Lily menangis pilu saat menemaninya semalaman. “Maaf, Ma. Maafkan putramu yang bodoh ini.” “Tidak, Drake. Ini bukan salahmu. Mama akan cari cara untuk mem