Masuk“Kamu takut padaku?” bisik Hamish. Pria itu menatap Kalea yang sepanjang jalan terus menutup mulut dengan kepala tak henti menoleh ke luar jendela mobil yang berkabut karena hujan.Kalea terus melamun. Tatapannya kosong. Jiwanya seperti tak sedang berpijak di bumi. Meski begitu, satu tangannya tak pernah melepaskan genggaman Hamish.Kalea perlahan menolehkan kepalanya. Memandang Hamish yang tengah menatapnya begitu lekat.Di belakang kemudi, Jordi yang menjadi sopir malam itu, memperhatikan dari spion tengah. Suasana terasa dingin. Tak sehangat biasanya. Dan hal itu selalu membuatnya was-was.“Aku membuatmu bersedih?” tanya Hamish. Satu tangannya meraih pipi Kalea, lalu mengecupnya dengan perlahan.“Tidak.” Kalea menggeleng.“Saya hanya terkejut. Ini terlalu mengejutkan,” jawabnya pelan. Bibirnya tersenyum, tetapi Hamish merasa bahwa senyum itu palsu. Senyum itu tak datang dari hati Kalea.Dan sesampainya di rumah, Elias belum pergi tidur. Pria itu menunggu kedatangan anak dan menantu
“Kenapa?” Hamish bangkit dari duduknya. Ia mendatangi Kalea dan mengambil alih ponselnya.Pria itu menatap Kalea, lalu menunduk menyalakan ponsel.“E-eksekusi apa?” Kalea terbata setengah berbisik. Menanyakan isi pesan yang datang dari Jordi.Hamish yang membaca pesan dari Jordi refleks membasahi bibir. Wajahnya perlahan terangkat, kembali menatap Kalea.“Apa yang terjadi dengan ayahku?” tanya Kalea lagi.Hamish menoleh, memandang Elias dan Sarah yang tengah memperhatikannya.“Mmmm, kita bicara di kamar,” ucapnya, lalu membimbing Kalea pergi dari ruang makan. Menjauh dari telinga dan mata Elias serta Sarah.Dan baru saja mereka tiba di kamar, ponsel Hamish kembali berdering. Nama Jordi muncul di layar.“Ya?” Hamish menjawab panggilan tersebut.Pria itu diam. Menyimak setiap kata yang terucap dari mulut Jordi. Setelah panggilan selesai, ia menatap Kalea lekat.“Ayo. Kita pergi,” ucapnya dengan suara mengambang.“Pergi? Pergi kemana?”Hamish mendekati Kalea dan meraih kedua tangan istri
Beberapa jam sebelumnya ….Putri saya yang mencoba membunuh saya. Dia bekerja sama dengan suaminya. Putri saya malu karena punya ayah miskin seperti saya. Dia malu karena saya hanya seorang petugas kebersihan! Malu karena saya gelandangan. Mana mau dia mengakui saya sementara suaminya sekarang pengusaha kaya raya.” Dion berbicara dengan tampang menyedihkan dan suara memelas di hadapan para penyidik.“Itu bukan penyerangan. Saya hanya melakukan pembelaan. Saya membela diri. Menantu saya itu yang tiba-tiba menyerang.” Dion pun menceritakan kronologi sesuai versinya.“Lihat! Lihat ini!” Dion menunjukkan jari jemarinya yang sudah kehilangan jempol. Bentuknya mengerikan. Kisut, berongga-rongga dan kehitaman, gosong.“Ini bukti kekejaman menantu saya. Hamish yang pengusaha kaya itu adalah seorang bajingan psikopat. Kalian pasti tak tahu, kan? Dia yang memotong jempol saya dengan tanpa belas kasih. Memotong dengan pisau pengawalnya dengan muka tak berperasaan. Dia benar-benar iblis! Dia sang
Seorang wanita berambut panjang kusut duduk sendirian di meja bartender. Dia adalah Gwen.Wanita itu sudah duduk di sana dari tiga jam yang lalu. Tempat favoritnya biasa melepas penat.Wajah Gwen sudah memerah dan ia mengusir siapa saja yang mencoba mendekat padanya. Wanita itu benar-benar sedang ingin sendirian. Tak butuh siapa pun untuk mengenyahkan gundah gulananya.Gwen menatap gelas kosong di tangannya dengan gelisah. Sesekali satu tangannya yang bebas meremat rambutnya. Tampak sekali jika wanita berhidung lancip dengan tindik berlian di salah satu cupingnya tersebut tengah dilanda kecemasan.“Kenapa kamu tak mau mengangkat teleponku?” gumam Gwen serak. Ia mengambil ponsel yang tergeletak di meja bar. Sudah berpuluh kali panggilan telepon yang dilakukannya, tetapi tak pernah ada sahutan sekalipun.“Hamish!” erangnya, lalu membenturkan dahinya ke meja. “Tolong angkat! Sekali ini saja! Aku mohon.”Terakhir, nomornya sudah diblokir. Dan ia menggunakan nomor baru demi bisa kembali me
Tak hanya Diana dan May yang begitu gelisah, tetapi semua pekerja di rumah Hamish. Mereka menanti Hamish yang kabarnya akan keluar dari rumah sakit siang ini.Kecemasan mereka bukan tanpa alasan. Semua karena ada seseorang yang sudah menunggu di rumah.Semua orang tak ada yang berani bersuara. Tak ada yang berani menunjukkan batang hidung jika tak dipanggil. Mereka diam, menahan napas. Takut sekali ada pertumpahan darah jilid dua.“Kemarin bapak mertua yang datang dan sekarang bapak kandung. Aduuuh! Kita harus siap siaga. Entah kepala siapa yang akan bocor duluan kali ini.” Diana berbisik pada May. Mengintip ke ruang depan di mana Elias sedang duduk bersilang kaki, menunggu.Tak jauh dari Elias, Sarah—ibunya—melangkah mondar-mandir mengamati interior ruangan tersebut. Wajahnya masam, sudut bibirnya terangkat satu, dengan kepala ditarik sedikit ke belakang. Sedang kedua tangannya melipat di dada. Tampak sekali jika wanita tua berambut super pendek itu tengah meremehkan segala hal yang
“Nanti siang, penyidik akan datang untuk meminta keterangan dari Tuan dan Nyonya.” Jordi datang dan berbisik.“Baiklah,” jawab Hamish tak kalah pelan. Di sisinya, Kalea sedang meringkuk, tertidur pulas. Ia tak ingin membuat sang istri terjaga. Keduanya berbincang dengan volume suara sekecil mungkin.“Apa rencanamu sudah siap untuk dieksekusi?” Pria itu mendesis di sudut bibir. Menatap Jordi.“Semua sudah siap, Tuan,” jawab Jordi.“Tapi, masalahnya, kondisi pria itu masih memerlukan perawatan,” ucapnya pelan. “Ap akita selesaikan di rumah sakit?”“Tidak! Jangan berbuat terlalu vulgar. Jangan terburu-buru. Tunggu dia keluar dari rumah sakit,” ucap Hamish.Jordi membasahi bibirnya. “Apa … Tuan yakin akan melakukan ini?” tanyanya hati-hati.“Kapan aku memutuskan sesuatu dengan tak yakin?” balas Hamish.“T-tapi … apa Nyonya … tak masalah? Bagaimana pun, pria itu adalah ayahnya.” Jordi melirik Kalea yang tertidur dengan mulut setengah terbuka. Tubuhnya naik turun teratur seiring sirkulasi n







