🏵️🏵️🏵️
“Baru pulang?” tanya Ayah kepadaku. Aku pun berdiri di sampingnya.
“Iya, Ayah.” Aku menjawab sembari menyunggingkan senyuman.
Entah kenapa aku merasa kalau pria yang duduk bersama Ayah sedang memperhatikan diriku. Aku meliriknya, terlihat guratan tipis di pipinya. Ia mengembangkan senyuman. Ia tampak sok akrab, padahal aku tidak mengenalinya sama sekali.
“Masih ingat anak Om?” tanya Ayah kepadanya. Aku curiga melihat tingkah Ayah yang mengangkat alis kanannya kepada pria itu.
“Pasti, Om. Mana mungkin saya lupa.” Ih, ia masih tetap sok kenal.
“Tapi kalian udah lama tidak bertemu. Mungkin udah belasan tahun.” Ayah kembali melanjutkan pembicaraannya.
“Saya selalu menyimpan fotonya, Om.” What? Foto? Sejak kapan ia punya fotoku. Lihat wajahnya juga baru kali ini. Pemuda itu benar-benar berlebihan.
“Foto waktu masih kecil?” tanya Ayah.
“Bukan hanya saat masih kecil, Om. Saya bahkan punya banyak fotonya.” Pemuda tersebut kembali tersenyum.
Mana mungkin ia kenal aku sejak kecil, ketemu juga baru beberapa menit ini. Namun, kenapa ia mengaku telah lama mengenalku? Pun Ayah juga terlihat akrab dengannya. Sementara bagiku, ia sangat asing.
“Rena ke dalam, ya, Ayah.” Aku pun membalikkan badan mengarah pintu masuk rumah. Namun, sebelum aku melangkah, pemuda itu memanggilku.
“Rena, apa kabar?” Ia benar-benar sok akrab.
Aku pun kembali berbalik badan lalu menatapnya dengan wajah kesal. Eh, ia malah menunjukkan barisan gigi putihnya yang tampak rapi. Aku lebih terkejut lagi saat ia memainkan mata kanannya kepadaku. Ternyata pemuda itu tidak hanya sok akrab, tetapi juga sok semuanya. Aku kesal.
“Kenapa diam aja, Ren? Arfan lagi nanya kabar kamu, tuh.” Ayah kembali membuka suara. “Panggil dia ‘Mas’ karena dia lima tahun di atasmu.”
Ternyata nama pemuda sok akrab itu Arfan. Entah kenapa aku tidak ingin membalas sapaannya. Mungkin karena ia telah menunjukkan kesan pertama yang membuatku kesal terhadapnya. Julukan yang pantas untuknya adalah sok … entahlah.
Untuk menghargai Ayah, aku pun membuka suara. “Aku kabar baik, Mas.”
“Besok aku yang anterin kamu ke kampus, ya.” What? Pemuda itu benar-benar membuatku makin kesal!
“Nggak perlu,” jawabku singkat.
“Kenapa?” Pertanyaannya membuatku makin kesal terhadapnya.
“Nggak usah sok akrab, deh. Kenal juga nggak.” Aku melontarkan kalimat itu, kemudian memilih beranjak memasuki rumah.
Aku melangkah ke kamar lalu menghempaskan tubuh ke tempat tidur. Aku meraih ponsel dari tas, ternyata ada pesan masuk. Aku pun membuka benda tersebut, kemudian membaca pesan dari nomor yang tidak tersimpan.
[Kamu tetap cantik dan menawan seperti dulu.]
Siapa pengirim pesan itu? Kenapa ia sangat berani menuliskan kalimat tersebut kepadaku? Apa mungkin Mas Arfan yang mengirimkan pesan itu? Jika memanga benar, artinya Ayah yang telah memberikan nomor ponselku kepadanya karena mereka tampak akrab.
🏵️🏵️🏵️
Mentari kembali menyapa dengan cahayanya yang sangat cerah. Sungguh agung Yang Mahakuasa sebagai penciptanya. Benda langit itu selalu menyinari alam semesta dan aku sangat bahagia menyambut sinarnya.
Hari ini, aku bersiap-siap ke kampus untuk bertemu dosen pembimbing. Setelah selesai mandi dan mengenakan pakaian, aku pun menyiapkan tas dan buku, kemudian keluar kamar menuju meja makan.
Sungguh, aku menyaksikan pemandangan langka pagi ini. Pemuda yang berkunjung ke rumahku kemarin, kini duduk di meja makan bersama Ayah, Bunda, dan Al—adik semata wayang yang masih duduk di bangku SMA kelas sebelas. Kenapa Al masih di meja makan? Kenapa ia tidak sekolah?
“Arfan udah nungguin kamu dari tadi.” Ayah langsung memberikan laporan.
“Nggak ada yang minta dia nungguin Rena, Yah.” Aku memberikan jawaban dengan nada kesal. Aku pun memilih duduk di samping Al.
“Kok, jutek banget, Kak?” Al melontarkan pertanyaan yang tidak penting menurutku.
“Nggak usah ikut campur. Kenapa kamu nggak sekolah? Ini udah jam delapan kurang,” kataku sambil melihat arloji di tangan kananku. Aku ingin tahu apa alasan Al masih di rumah saat waktu sekolah.
“Ketahuan banget pikiran Kakak lagi di tempat lain, padahal aku udah bilang kalau aku libur. Anak kelas dua belas lagi ujian.” Aku baru ingat ternyata Al libur. Aku pun segera mengambil piring lalu mengisinya dengan nasi goreng buatan Bunda.
Pagi ini, aku tidak sepenuhnya menikmati sarapan yang telah Bunda hidangkan. Aku kembali kesal melihat sikap laki-laki yang bernama Arfan tersebut, eh, maksudku Mas Arfan. Saat ini, posisi duduk kami berhadapan. Ia tersenyum kepadaku.
Apa yang Mas Arfan janjikan kemarin, pagi ini ia tepati. Ternyata dirinya benar-benar datang untuk mengantarku ke kampus. Aku tidak mampu menolak karena menghargai orang tuaku. Aku juga tidak ingin dianggap sebagai gadis sombong atau apalah namanya. Setelah selesai sarapan, kami pun berangkat ke kampus.
“Kenapa diam aja?” tanya Mas Arfan saat mobilnya meluncur menyusuri jalan menuju kampus.
“Maksud kamu, aku harus sok akrab gitu?” Aku memberikan jawaban dengan nada ketus.
“Juteknya nggak hilang-hilang, ya?”
“Nggak usah merasa sok kenal, deh. Ketemu juga baru kemarin.”
“Yang bener?”
“Ya, iyalah.”
“Kapan selesai nyusun skripsi?” Sepertinya ia mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Apa urusannya denganmu?”
“Aku udah nggak sabar untuk segera melamarmu.” Pernyataan yang ia keluarkan benar-benar membuatku naik darah.
“Apa? Kamu salah orang.”
“Aku nggak mungkin salah, Renata Cantika Ardian.”
Aku tidak mengerti kenapa Mas Arfan tahu nama lengkapku. Apa mungkin Ayah yang memberitahukannya? Kenapa Ayah melakukan itu? Bagiku, Mas Arfan adalah pemuda asing yang tiba-tiba muncul dan bersikap sok akrab.
“Kamu udah sampai.” Aku melihat ke luar, ternyata kami sudah berada di depan kampus tercinta, STIE Pembangunan Tanjungpinang. Sejak kapan ia tahu kalau aku kuliah di sini?
Mas Arfan segera turun lalu membukakan pintu untukku. Entah kenapa mahasiswi-mahasiswi yang masih berada di sekitar pagar melihat ke arah kami. Apa yang mereka pikirkan? Aku pun langsung keluar dari kendaraan roda empat itu lalu memasuki kampus tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepada Mas Arfan.
“Tunggu, Ren!”Aku mendengar suara Devi—sahabatku.
Aku pun menghentikan langkah lalu berbalik. Aku kembali kesal karena ternyata Mas Arfan masih berdiri di samping mobilnya. Ia melambaikan tangan sembari tersenyum kepadaku. Ia benar-benar menyebalkan.
“Mentang-mentang diantar cowok ganteng, nggak nyadar ada sahabat sendiri di dekat pagar.” Devi memukul bahuku pelan.
Apa? Cowok ganteng? Sepertinya Devi melihat Mas Arfan dari lubang jarum. Bagiku, ia hanya merasa sok ganteng. Entah dari mana datangnya pemuda itu hingga membuat hariku menjadi tidak bersemangat. Ia sangat menyebalkan.
=========
🏵️🏵️🏵️Aku masih tidak habis pikir kenapa Mas Arfan berani melontarkan kalimat yang tidak masuk akal menurutku. Berani-beraninya pemuda itu mengucapkan sesuatu yang membuatku ingin mengeluarkan amarah.Apa Mas Arfan tidak sadar dengan apa yang ia ucapkan tadi saat di mobil? Bagaimana mungkin ia mengeluarkan kata melamar kepada gadis yang baru bertemu dengannya dalam dua hari ini? Ini benar-benar tidak masuk akal.Siapa Mas Arfan sebenarnya? Kenapa aku tidak mengenalnya? Sementara ia mengaku telah lama mengenalku. Kenapa aku tidak mengingat Mas Arfan sama sekali? Ia benar-benar membuatku penasaran. Kesal!“Ren, dari tadi kamu diam aja. Ada apa?” Devi kembali memukul pundakku.“Aku lagi kesel.” Aku memberikan jawaban sembari berjalan menuju ruangan Bu Riani, dosen pembimbing kami berdua.“Kesel kenapa?” Devi pun menyejajarkan langkahnya di samping kananku.“Kesel aja.”“Oh, ya, cowok ganteng tadi siapa, sih? Kok, baru hari ini nganterin kamu ke kampus?” Entah kenapa Devi mengingatkan
🏵️🏵️🏵️Mas Arfan adalah cucu salah satu tetanggaku yang tinggal di luar kota Tanjungpinang. Aku masih sangat ingat kalau keluarganya menetap di Palembang. Dulu, ia berkunjung ke kota ini hanya saat liburan sekolah. Ia mengunjungi rumah kakek dan neneknya. Aku tidak pernah menyangka akan bertemu dirinya lagi setelah kami dewasa.Mas Arfan pernah mempermalukanku saat dirinya liburan kelulusan SMP. Ia memgirimiku surat, tetapi justru Tiara—temanku yang membacakannya. Di dalam surat itu, Mas Arfan mengutarakan isi hatinya. Ia mengaku suka dan jatuh cinta kepadaku. Aku benar-benar kesal dan sangat malu jika mengingat kejadian tersebut. Nama panggilannya kala itu bukan Arfan, tetapi Fandy.“Surat apa ini, Bang?” tanya Tiara kepada Mas Arfan. Kami pun akhirnya menghentikan permainan kasti yang sedang kami gemari waktu itu.Mas Arfan tidak memberikan respons, ia hanya tertunduk. Ketika Tiara membacakan isi surat pemuda yang kini berada di sampingku, di depan teman-teman lain, hati ini bena
🏵️🏵️🏵️Bagiku, ini seperti mimpi karena pemuda yang dulu membuatku kesal, kini ada di depan mata. Aku tidak pernah menyangka kalau akhirnya kembali bertemu dengan dirinya. Ia telah tumbuh menjadi sosok yang berwibawa. Stop, Rena! Jangan memujinya walaupun hanya dalam hati.Kenapa aku sepolos ini hingga bersedia memenuhi keinginan Mas Arfan? Aku kesal jika mengingat jawaban Ayah tadi. Beliau sama sekali tidak mengerti dengan perasaan anaknya, padahal tadi aku berharap agar Ayah tidak memberikan izin kepada Mas Arfan karena telah membawaku ke tempat ini.Aku benar-benar bingung dengan sikap Ayah. Kenapa beliau bersikap seolah-olah sudah sering bertemu dengan Mas Arfan? Aku sangat tahu kalau Mas Arfan tidak pernah menunjukkan batang hidungnya lagi setelah menuliskan surat untukku kala itu. Ini aneh, tetapi nyata.“Hai, Mah. Coba tebak, deh, Fandy bawa siapa.” Ya, aku tahu namnya Fandy waktu kecil. Entah kenapa sekarang berubah menjadi Arfan.Aku dan Mas Arfan kini berada di ruangan ya
🏵️🏵️🏵️Ternyata Mas Arfan mengikutiku. Ia menyejajarkan dirinya berjalan di samping kananku. Aku tidak mengerti kenapa pemuda itu masih saja tidak berhenti menggangguku. Ia seolah-olah ingin mengetahui apa pun yang aku lakukan. Ia tidak sewajarnya bersikap seperti itu karena dirinya bukan siapa-siapa bagiku.Seandainya Kak Dylan yang berada di posisi Mas Arfan sekarang, aku pasti akan langsung menggandeng tangannya. Namun, itu tidak mungkin karena kenyataannya, Kak Dylan hanya ada di dunia maya. Ia selalu menolak bertemu denganku di kehidupan nyata walaupun kami sudah sangat sering berbalas pesan bahkan menelepon.Sebenarnya, aku sangat bingung kenapa Kak Dylan tidak bersedia bertemu denganku, padahal ia mengaku sangat mengagumi bahkan mencintaiku. Jika dirinya bersedia bertemu denganku, aku ingin memperkenalkannya kepada Devi. Sahabatku itu selalu meledekku yang masih berstatus jomlo.“Ngakunya udah punya cowok yang dicintai, tapi mana? Tunjukin, dong.” Devi sering melontarkan kal
🏵️🏵️🏵️ Malam ini seperti biasa, kami makan bersama di meja makan. Sambil menyantap menu yang disuguhkan asisten rumah tangga di rumahku, aku kembali mengingat kata lamaran yang Mas Arfan ucapkan. Kenapa pemuda itu tampak yakin kalau aku yang akan mendampingi dirinya kelak? Di samping itu, mamanya juga bersikap seolah-olah aku pasti tinggal di rumah mereka nanti. Kenapa saat aku telah menyerahkan hati dan perasaanku kepada Kak Dylan, justru Mas Arfan tiba-tiba muncul? Jika memang benar ia serius ingin melanjutkan hubungan pertemanan masa kecil kami ke jenjang yang lebih serius, harusnya ia hadir lebih awal, bukan sekarang. Aku merasa semuanya sudah terlambat. Aku akui kalau dulu hati dan pikiranku tidak ingin lagi mengingat Mas Arfan setelah kejadian waktu itu. Namun, jika ia menemuiku lebih cepat dan bukan sekarang, mungkin aku akan berpikir untuk mempertimbangkan lamarannya. Aku tidak yakin langsung menolak niatnya. “Ren, tadi Ayah ketemu Om Mandala.” Ayah membuyarkan lamunanku
🏵️🏵️🏵️ Aku mencoba membuka diri untuk menerima Mas Arfan sebagai calon pasangan hidupku. Tidak ada gunanya lagi menunggu Kak Dylan yang tiba-tiba menghilang tanpa sebab. Ia bahkan memblokir semua akun sosial media milikku yang selama ini kami gunakan sebagai alat komunikasi. Nomor ponselnya juga tidak dapat dihubungi. Apa mungkin ia tahu kalau aku akan segera menikah dengan pemuda lain? Namun, bagaimana ia tahu tentang hal itu? Status sebagai sepasang kekasih dengannya, hanya dalam dunia maya. Aku belum pernah bertemu secara langsung dengannya. Lagi pun, aku juga tidak mengetahui seperti apa wajahnya. Di samping Kak Dylan yang telah menghilang, aku juga tidak kuasa menolak kebaikan Mas Arfan dan keluarganya. Mereka selalu bersikap layaknya keluarga terhadapku walaupun kenyataannya, aku dan Mas Arfan belum resmi menjadi pasangan suami istri. Mas Arfan tiap hari berkunjung ke rumah dan mengantar jemput aku kuliah. “Dek, besok kita pesan cincin nikah, ya. Besok, kan, Minggu. Aku ng
🏵️🏵️🏵️ Hari ini, aku pun resmi menyandang status sebagai istri Mas Arfan. Aku masih merasa seperti mimpi karena harus berpisah dengan Ayah dan Bunda setelah acara resepsi selesai tadi sore. Sekarang, aku berada di kamar yang sama dengan Mas Arfan. Aku tidak kuasa menahan air mata saat ingat pelukan Bunda. Ayah dan Bunda berpesan agar aku bersikap layaknya seorang istri dan menantu yang menghormati suami dan mertua. Mereka juga mengaku sangat yakin kalau aku pasti hidup bahagia bersama Mas Arfan. Ayah mengatakan kalau Mas Arfan pemuda baik dan bertanggung jawab. Sejak kemunculan Mas Arfan di rumah kami, Ayah tidak jarang memuji perbuatan laki-laki itu. Aku tidak tahu sejak kapan Ayah mulai berkomunikasi dengan Mas Arfan hingga beliau selalu mengaku sangat bangga memiliki menantu seperti pria yang kini berstatus sebagai suamiku tersebut. Ayah hanya menjelaskan kalau Mas Arfan sudah lama meminang aku dan ingin membuatku bahagia. Aku hanya terdiam mendengar apa yang Ayah sampaikan.
🏵️🏵️🏵️ Jika ada yang bertanya bagaimana perasaanku saat ini, aku tidak tahu harus berkata apa. Sungguh, tatapan Mas Arfan membuatku salah tingkah. Entah kenapa pandangan itu sangat sendu dan seolah-olah menghilangkan akal sehatku. Apakah diriku menginginkan sesuatu harus terjadi? Tidak! Aku harus membuang jauh-jauh pikirin seperti itu. Aku masih harus fokus kuliah dan sedang menjalani bimbingan dengan dosen untuk menyusun skripsi. Aku belum siap mengandung anak Mas Arfan. Lagi pun, aku belum memiliki cinta untuknya. Aku harus menghentikan adegan ini, apalagi saat ini, Mas Arfan mulai mengusap-usap pipiku lalu berpindah ke bibir. Aku yakin kalau dirinya pasti ingin melanjutkan apa yang seharusnya terjadi tadi malam. Aku segera menepiskan tangannya, lalu menolaknya sekuat tenaga hingga ia terbaring di samping kiriku. Tidak menunggu lama, aku segera duduk, kemudian beranjak dari tempat tidur. “Maafin aku, Mas, karena belum mampu memenuhi keinginanmu,” ucapku. “Kenapa, Sayang?” tan