Share

Mendadak Dilamar Pria Tampan
Mendadak Dilamar Pria Tampan
Penulis: Nova Irene Saputra

Pemuda Asing

🏵️🏵️🏵️

“Baru pulang?” tanya Ayah kepadaku. Aku pun berdiri di sampingnya.

“Iya, Ayah.” Aku menjawab sembari menyunggingkan senyuman.

Entah kenapa aku merasa kalau pria yang duduk bersama Ayah sedang memperhatikan diriku. Aku meliriknya, terlihat guratan tipis di pipinya. Ia mengembangkan senyuman. Ia tampak sok akrab, padahal aku tidak mengenalinya sama sekali.

“Masih ingat anak Om?” tanya Ayah kepadanya. Aku curiga melihat tingkah Ayah yang mengangkat alis kanannya kepada pria itu.

“Pasti, Om. Mana mungkin saya lupa.” Ih, ia masih tetap sok kenal.

“Tapi kalian udah lama tidak bertemu. Mungkin udah belasan tahun.” Ayah kembali melanjutkan pembicaraannya.

“Saya selalu menyimpan fotonya, Om.” What? Foto? Sejak kapan ia punya fotoku. Lihat wajahnya juga baru kali ini. Pemuda itu benar-benar berlebihan.

“Foto waktu masih kecil?” tanya Ayah.

“Bukan hanya saat masih kecil, Om. Saya bahkan punya banyak fotonya.” Pemuda tersebut kembali tersenyum.

Mana mungkin ia kenal aku sejak kecil, ketemu juga baru beberapa menit ini. Namun, kenapa ia mengaku telah lama mengenalku? Pun Ayah juga terlihat akrab dengannya. Sementara bagiku, ia sangat asing.

“Rena ke dalam, ya, Ayah.” Aku pun membalikkan badan mengarah pintu masuk rumah. Namun, sebelum aku melangkah, pemuda itu memanggilku.

“Rena, apa kabar?” Ia benar-benar sok akrab.

Aku pun kembali berbalik badan lalu menatapnya dengan wajah kesal. Eh, ia malah menunjukkan barisan gigi putihnya yang tampak rapi. Aku lebih terkejut lagi saat ia memainkan mata kanannya kepadaku. Ternyata pemuda itu tidak hanya sok akrab, tetapi juga sok semuanya. Aku kesal.

“Kenapa diam aja, Ren? Arfan lagi nanya kabar kamu, tuh.” Ayah kembali membuka suara. “Panggil dia ‘Mas’ karena dia lima tahun di atasmu.”

Ternyata nama pemuda sok akrab itu Arfan. Entah kenapa aku tidak ingin membalas sapaannya. Mungkin karena ia telah menunjukkan kesan pertama yang membuatku kesal terhadapnya. Julukan yang pantas untuknya adalah sok … entahlah.

Untuk menghargai Ayah, aku pun membuka suara. “Aku kabar baik, Mas.”

“Besok aku yang anterin kamu ke kampus, ya.” What? Pemuda itu benar-benar membuatku makin kesal!

“Nggak perlu,” jawabku singkat.

“Kenapa?” Pertanyaannya membuatku makin kesal terhadapnya.

“Nggak usah sok akrab, deh. Kenal juga nggak.” Aku melontarkan kalimat itu, kemudian memilih beranjak memasuki rumah.

Aku melangkah ke kamar lalu menghempaskan tubuh ke tempat tidur. Aku meraih ponsel dari tas, ternyata ada pesan masuk. Aku pun membuka benda tersebut, kemudian membaca pesan dari nomor yang tidak tersimpan.

[Kamu tetap cantik dan menawan seperti dulu.]

Siapa pengirim pesan itu? Kenapa ia sangat berani menuliskan kalimat tersebut kepadaku? Apa mungkin Mas Arfan yang mengirimkan pesan itu? Jika memanga benar, artinya Ayah yang telah memberikan nomor ponselku kepadanya karena mereka tampak akrab.

🏵️🏵️🏵️

Mentari kembali menyapa dengan cahayanya yang sangat cerah. Sungguh agung Yang Mahakuasa sebagai penciptanya. Benda langit itu selalu menyinari alam semesta dan aku sangat bahagia menyambut sinarnya.

Hari ini, aku bersiap-siap ke kampus untuk bertemu dosen pembimbing. Setelah selesai mandi dan mengenakan pakaian, aku pun menyiapkan tas dan buku, kemudian keluar kamar menuju meja makan.

Sungguh, aku menyaksikan pemandangan langka pagi ini. Pemuda yang berkunjung ke rumahku kemarin, kini duduk di meja makan bersama Ayah, Bunda, dan Al—adik semata wayang yang masih duduk di bangku SMA kelas sebelas. Kenapa Al masih di meja makan? Kenapa ia tidak sekolah?

“Arfan udah nungguin kamu dari tadi.” Ayah langsung memberikan laporan.

“Nggak ada yang minta dia nungguin Rena, Yah.” Aku memberikan jawaban dengan nada kesal. Aku pun memilih duduk di samping Al.

“Kok, jutek banget, Kak?” Al melontarkan pertanyaan yang tidak penting menurutku.

“Nggak usah ikut campur. Kenapa kamu nggak sekolah? Ini udah jam delapan kurang,” kataku sambil melihat arloji di tangan kananku. Aku ingin tahu apa alasan Al masih di rumah saat waktu sekolah.

“Ketahuan banget pikiran Kakak lagi di tempat lain, padahal aku udah bilang kalau aku libur. Anak kelas dua belas lagi ujian.” Aku baru ingat ternyata Al libur. Aku pun segera mengambil piring lalu mengisinya dengan nasi goreng buatan Bunda.

Pagi ini, aku tidak sepenuhnya menikmati sarapan yang telah Bunda hidangkan. Aku kembali kesal melihat sikap laki-laki yang bernama Arfan tersebut, eh, maksudku Mas Arfan. Saat ini, posisi duduk kami berhadapan. Ia tersenyum kepadaku.

Apa yang Mas Arfan janjikan kemarin, pagi ini ia tepati. Ternyata dirinya benar-benar datang untuk mengantarku ke kampus. Aku tidak mampu menolak karena menghargai orang tuaku. Aku juga tidak ingin dianggap sebagai gadis sombong atau apalah namanya. Setelah selesai sarapan, kami pun berangkat ke kampus.

“Kenapa diam aja?” tanya Mas Arfan saat mobilnya meluncur menyusuri jalan menuju kampus.

“Maksud kamu, aku harus sok akrab gitu?” Aku memberikan jawaban dengan nada ketus.

“Juteknya nggak hilang-hilang, ya?”

“Nggak usah merasa sok kenal, deh. Ketemu juga baru kemarin.”

“Yang bener?”

“Ya, iyalah.”

“Kapan selesai nyusun skripsi?” Sepertinya ia mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Apa urusannya denganmu?”

“Aku udah nggak sabar untuk segera melamarmu.” Pernyataan yang ia keluarkan benar-benar membuatku naik darah.

“Apa? Kamu salah orang.”

“Aku nggak mungkin salah, Renata Cantika Ardian.”

Aku tidak mengerti kenapa Mas Arfan tahu nama lengkapku. Apa mungkin Ayah yang memberitahukannya? Kenapa Ayah melakukan itu? Bagiku, Mas Arfan adalah pemuda asing yang tiba-tiba muncul dan bersikap sok akrab.

“Kamu udah sampai.” Aku melihat ke luar, ternyata kami sudah berada di depan kampus tercinta, STIE Pembangunan Tanjungpinang. Sejak kapan ia tahu kalau aku kuliah di sini?

Mas Arfan segera turun lalu membukakan pintu untukku. Entah kenapa mahasiswi-mahasiswi yang masih berada di sekitar pagar melihat ke arah kami. Apa yang mereka pikirkan? Aku pun langsung keluar dari kendaraan roda empat itu lalu memasuki kampus tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepada Mas Arfan.

“Tunggu, Ren!”Aku mendengar suara Devi—sahabatku.

Aku pun menghentikan langkah lalu berbalik. Aku kembali kesal karena ternyata Mas Arfan masih berdiri di samping mobilnya. Ia melambaikan tangan sembari tersenyum kepadaku. Ia benar-benar menyebalkan.

“Mentang-mentang diantar cowok ganteng, nggak nyadar ada sahabat sendiri di dekat pagar.” Devi memukul bahuku pelan.

Apa? Cowok ganteng? Sepertinya Devi melihat Mas Arfan dari lubang jarum. Bagiku, ia hanya merasa sok ganteng. Entah dari mana datangnya pemuda itu hingga membuat hariku menjadi tidak bersemangat. Ia sangat menyebalkan.

=========

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status