Apakah Renata tidak akan mengingat Dylan lagi?
🏵️🏵️🏵️ Aku sama sekali tidak berniat untuk menolak keinginan Mas Arfan, tetapi aku menyadarkannya yang saat ini sedang sakit pinggang. Aku berusaha memberikan pengertian yang akhirnya dapat ia pahami. Aku kembali mengoleskan minyak urut ke pinggangnya, lalu memijatnya secara pelan-pelan. Mas Arfan banyak bercerita tentang bagaimana ia mengetahui barang-barang yang aku suka dulu. Ia bahkan mengaku kalau dirinya sudah lama mendekati Ayah. Ia juga mengatakan kalau awalnya, Ayah menganggap usahanya hanya sekadar kagum saja kepadaku. Akan tetapi, Mas Arfan membuktikan kalau dirinya benar-benar serius untuk menjadikan aku sebagai pendamping hidupnya. Aku baru sadar sekarang, pantas saja Ayah mengaku kalau Mas Arfan adalah menantu idaman untuknya. Mas Arfan telah berhasil meluluhkan hati orang tuaku tersebut. Aku masih sangat ingat saat pertama kali menerima kiriman paket dari Mas Arfan waktu kelas tujuh SMP. Aku sangat terkejut karena nama pengirimnya sangat asing. Ternyata ia sengaja
🏵️🏵️🏵️ “Mungkin kamu nggak ngerti saat ini bagaimana rasanya mendapatkan perhatian dari orang yang kamu cintai. Kamu berjanji akan berusaha membuka hati untukku, itu anugerah yang sangat luar biasa.” Ia memegang tanganku. “Maafin aku karena saat ini belum membalas perasaanmu.” “Nggak apa-apa, Sayang. Aku akan tetap menunggu.” Ia mencium jemariku. “Nggak nyangka, ya, cowok yang dulu usil dan jail ternyata seromantis ini.” Aku tersenyum kepadanya. “Tapi cowok usil dan jail ini yang akhirnya nikahin kamu.” Ia menarik pelan hidungku. “Ih, nggak ada yang minta kamu nikahin aku.” Aku mengejeknya dengan menjulurkan lidah. “Udah, ah … yuk, jalan lagi.” Aku pun menjauhkan tanganku dari genggamannya. “Nggak perlu ada yang minta aku nikahin kamu, Sayang. Niatku memang ingin menjadikanmu ibu dari anak-anakku. Semoga perjuangan kita yang kemarin membuahkan hasil, ya.” Ia memainkan mata kanannya. Aku merasakan pipiku memanas. Ucapannya benar-benar membuatku malu. Keusilan dan kejailannya
🏵️🏵️🏵️ Akhirnya, aku kembali menghempaskan tubuh ke tempat tidur di rumah Ayah dan Bunda. Kamar ini menjadi saksi bisu atas apa yang kulakukan sebelum menyandang status sebagai istri. Dulu, aku berharap akan meninggalkan ruangan ini setelah lulus kuliah dan menikah dengan laki-laki yang aku cintai. Akan tetapi, harapan itu tidak sesuai dengan kenyataan. Saat aku masih berstatus sebagai mahasiswi, aku telah memiliki suami dan harus meninggalkan kamar ini. Terus terang, sebenarnya aku tidak menyesal harus menikah di usia muda dengan orang yang mungkin belum aku cintai saat ini, tetapi aku hanya merasa bahwa semua rencana yang telah aku susun dulu, benar-benar berubah. Ketika masih duduk di bangku SMA, aku ingin melanjutkan kuliah jurusan akuntansi, alhamdulillah harapan itu terwujud. Setelah lulus, aku ingin bekerja di sebuah perusahaan dengan profesi sebagai akuntan. Mungkinkah Mas Arfan memberikan aku izin bekerja setelah wisuda nanti? Aku berharap semoga ia mengerti dengan keing
🏵️🏵️🏵️ Papa dan mama mertua tidak mungkin memiliki pemikiran seperti itu. Mereka sangat menyayangiku, lagi pun Mas Arfan juga mengaku tulus mencitaiku sejak dulu. Kenapa aku berpikiran yang tidak-tidak setelah mengetahui jalan hidup Kak Citra? Tidak semua orang tua berpikiran seperti mantan mertua wanita tersebut. Aku harus menepiskan jauh-jauh pikiran tidak mengenakkan itu. Aku harus yakin bahwa dalam waktu dekat ini, akan segera memberikan kabar gembira kepada papa dan mama mertua. Walaupun saat ini aku belum menyelesaikan kuliah, tetapi jika nemang Yang Kuasa memberikan anugerah hamil, aku akan tetap terima dengan ikhlas. “Ngapain Citra samperin Arfan?” Aku terkejut mendengar suara Bunda yang kini berada di belakangku. “Bunda bikin Rena kaget.” “Kenapa kamu nggak langsung nyamperin Arfan? Kenapa malah ngintip dari sini?” Bunda tampak serius. “Gimana mau nyamperin, Bun, Kak Citra langsung manggil Mas Arfan tadi.” “Kamu nggak cemburu?” Kenapa Bunda bertanya seperti itu? “Sa
🏵️🏵️🏵️ Hari ini, aku ingin memberikan kejutan kepada Mas Arfan. Aku sengaja tidak memberitahu kalau Bu Riani tidak masuk kampus karena sedang ke luar kota. Jadi, tadi Mas Arfan tetap mengantarku ke kampus. Setelah selesai teleponan dengan Devi sekitar tiga puluh menit, aku pun memesan taksi online menuju kantor Mas Arfan. Semenjak resmi menjadi istrinya, aku belum pernah berkunjung ke perusahaan milik keluarga Mas Arfan. Hari ini, aku berencana akan sarapan bersama dengannya. Aku pun membeli bubur ayam yang merupakan salah satu makanan favoritnya. Semoga kedatanganku tidak menggangu pekerjaannya. Tidak sampai lima belas menit, akhirnya aku pun tiba di tempat tujuan. Aku segera turun dari kendaraan roda empat yang membawaku ke tempat ini, lalu melangkah memasuki perusahaan milik keluarga suamiku tersebut. Hampir semua mata karyawan dan karyawati tertuju kepadaku sambil menyunggingkan senyuman. Ternyata mereka sangat ramah. Sebelum memasuki ruangan Mas Arfan, aku terlebih dahulu m
🏵️🏵️🏵️ “Siapa, Sayang?” Aku dikagetkan suara Mas Arfan yang baru keluar dari kamar mandi. “Kontaknya nggak tersimpan, Mas. Aku angkat teleponnya, tetapi nggak ada suara.” Aku pun menyerahkan ponsel tersebut kepadanya. Laki-laki itu melihat layar, lalu berkata, “Ini orang gila, Sayang. Lain kali nggak usah diangkat.” Ia langsung mematikan telepon. “Orang gila gimana maksud kamu, Mas?” tanyaku penasaran. “Memang kenyataannya orang gila.” “Kenapa orang gila sampai tahu nomor kamu? Aku baru ingat, itu nomor yang pernah hubungi kamu, tetapi kamu nggak angkat.” Akhirnya, aku berhasil mengingat nomor tersebut. “Aku nggak pernah angkat nomor itu.” “Kenapa kamu nggak blokir kalau memang nggak mau angkat atau merasa terganggu?” “Udah beberapa kali aku lakukan, tapi dia ganti nomor lagi.” Aku terkejut mendengar pengakuannya. Itu artinya, ia kenal dengan pemilik nomor tersebut. “Jadi, kamu kenal dia, Mas?” tanyaku dengan nada meninggi. “Iya, Sayang.” “Siapa dia, Mas?” Mas Arfan tid
🏵️🏵️🏵️ Setelah merebahkan tubuh hampir satu jam, rasa kram di perutku akhirnya hilang, tetapi mual yang kurasakan masih muncul sesekali. Tiba-tiba terdengar suara langkah ke arah kamar, mungkin Mas Arfan sudah pulang. Lebih baik aku berpura-pura tidur saja supaya tidak bicara dengannya. Aku pun menutupi tubuh dengan selimut. Aku masih berharap agar apa yang kulihat tadi bersama Devi, hanya mimpi buruk, tetapi kenyataannya sangat jelas kalau pemandangan itu sungguh menyakitkan. Selama ini, aku selalu merasa menjadi wanita paling beruntung karena memiliki suami seperti Mas Arfan karena ia selalu mengaku sangat mencintaiku. Perhatian dan rasa peduli yang ia tunjukkan selama ini, mampu membuatku terpana. Aku selalu yakin dan percaya bahwa apa yang ia lakukan semuanya terlihat indah dan sempurna. Ia bahkan mengaku sangat beruntung memilikiku. Ternyata ucapannya berbanding terbalik dengan apa yang kusaksikan malam ini. “Sayang, kamu udah tidur? Aku bawain martabak kesukaan kamu, nih.
🏵️🏵️🏵️ “Aku lagi malas lihat dia, Dev. Aku masih kesal dan kecewa dengan apa yang dia lakuin.” Ternyata Devi berhasil menebak apa yang kurasakan. “Jadi, kamu tetap menganggap Mas Arfan selingkuh?” “Iya. Apa lagi namanya jika ketemu sembunyi-sembunyi dengan wanita lain kalau bukan selingkuh?” Mungkin kepercayaanku terhadap Mas Arfan sudah mulai goyah. “Kalau menurut aku, sih, lebih baik kamu selidiki dulu.” Devi seolah-olah memberikan pembelaan terhadap Mas Arfan. “Kamu harusnya dukung aku, Dev. Aku sahabat kamu, bukan Mas Arfan.” Aku sedikit kesal mendengar ucapan Devi. Entah kenapa tiba-tiba perutku kembali kram seperti tadi malam. “Auh!” “Kamu kenapa, Ren? Aku minta maaf kalau ucapanku membuatmu kesel.” Ia memegang lengan kiriku. “Perut aku kram lagi, nih, Dev.” Aku memegang perutku sambil menahan sakit. “Kita pulang aja, ya.” “Kita pulang ke rumah kamu, ya. Aku istirahat di sana aja.” “Bukannya aku nggak mau, tapi aku merasa nggak enak sama keluarga suamimu, Ren.” “Kam