Bastian berbalik menatap Nala yang ada di belakangnya. "Gimana? Cuma ada satu kamar."Nala mengerutkan keningnya. Ya, memang kenapa? Apanya yang salah? "Ya udah, Om. Emangnya kenapa, sih? Kita kan udah nikah juga, bukan yang mau kumpul kebo di hotel. Kalau digrebek ya aman aja."Bastian meringis, tak salah memang. Akhirnya ia pun memutuskan untuk mengambil kamar tersebut, lagi pula lokasi pemotretan untuk besok juga berada di sekitaran sini, terlalu merepotkan jika harus mencari penginapan lain.Sesampainya di kamar hotel, Nala langsung merebahkan tubuhnya ke atas ranjang, sementara Bastian memilih duduk di sofa. Sampai pada akhirnya perhatian Bastian teralihkan saat mendengar suara perut Nala. "Laper?""Hehe." Nala bangkit dari posisi berbaringnya, memamerkan dertan gigi putihnya. "iya nih, Om.""Kita bersih-bersih dulu, abis itu cari makan. Mau makan di mana? Di resto apa di angkringan aja? Kalau di sini kan banyak yang jualan.Nala menganggukkan kepalanya setuju. Saat ini tubuhnya
Pagi hari yang cerah pun datang, Nala bangun dari tidurnya yang berkualitas maksimal. Matanya masih belum bisa terbuka lebar, rasa kantuknya tak sepenuhnya menghilang, ia menguap lebar-lebar seperti Naga tengah menyembur."Eugh," lenguhnya sembari berusaha bangkit dari posisi duduknya. "eh--" Buru-buru ia membenarkan posisi baju atasnya yang sudah tersibak hingga ke perut dan kancing area dadanya terlepas.Jam masih menunjukkan pukul enam, masih terlalu pagi untuk melakukan aktivitas dilihatnya laki-laki yang masih tertidur lelap di sampingnya itu. Tak berniat mengganggu, Nala membiarkan Bastian menggunakan baik-baik waktu tidurnya sebelum kembali bergempur dengan pekerjaannya.Setelahnya Nala lekas bergegas menuju kamar mandi, membersihkan tubuhnya di pagi hari ini. Sengaja mandi menggunakan air dingin, menurut Nala ini akan jauh lebih berefek pada tubuhnya dan tentu saja lebih segar dan mengembalikan tenaganya.Ketika keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit di pinggangnya
Benda pipih itu Nala letakkan di sampingnya, ia masih menunggu Bastian mencarinya jika laki-laki itu pulang ke hotel dan tak menemukan keberadaannya.Malam ini Nala pergi ke pantai dekat hotel, menikmati suara deburan ombak yang terus datang. Mengagumi bagaimana pantulan bulan itu terlihat di atas air dan juga menikmati angin yang semakin menusuk baju tipis hingga menembus kulitnya tersebut."Gue kenapa, sih?" tanya Nala pada dirinya sendiri. Tak paham sama sekali dengan apa yang dirasakannya saat ini. Kenapa ia tak rela melihat Bastian pergi hanya untuk menemui perempuan lain dan kenapa pula ia harus memiliki perasaan aneh itu, sementara Nala sendiri sadar dirinya tak memiliki hak untuk melarang laki-laki itu pergi.Nala sangat menyukai suasana ini. Bising, namun terasa menenangkan untuknya. Entah berapa lama ia menghabiskan waktu di tempat ini, ponselnya sama sekali tak menunjukkan adanya pesan atau panggilan masuk. Semakin lama perutnya semakin terasa perih, ini sudah terlalu lama d
Perdebatan panjang itu berakhir dengan posisinya masing-masing, dasarnya sama-sama keras kepala hingga tidak ada yang mau mengalah. Sonya tetap kekeh ingin duduk di depan, menolak segala macam bujuk rayu dan mengabaikan makian Nala."Nggak apa-apa ya, Nala. Lagian kan cuma masalah duduk aja. Nanti gantian kamu yang duduk di depan." Kata-kata itulah yang akhirnya mengakhiri perseteruan.Suasana di dalam mobil hanya diisi keheningan, tak ada siapapun yang berniat membuka suara. Nala sendiri memilih menyibukkan diri dengan meggulir sosial media, mencari sesuatu dan berhenti kala menemukan postingan yang membuatnya tertarik. Sampai pada akhirnya...."Bas, nanti makan siang di mana? Ini mau ke mana dulu?"Tak berniat menguping, tapi bagaimana lagi, Nala juga memiliki telinga yang masih berfungsi dengan baik."Nggak tau juga sih mau ke mana dulu? Belanja atau wisata alam? Ada pantai di deket sini. Atau mau lihat gua, lupa nama guanya apa, tapi lumayan makan waktu kalau dari sini, deketan ke
Malam itu Nala benar-benar memutuskan untuk pulang tanpa niat memberitahu Bastian, bukan hal penting. Untung saja semesta seakan mendukung keputusan Nala, di dalam tas miliknya ada kartu yang tempo hari Bastian serahkan padanya, sedikit ia gunakan untuk kembali pulang ke Jakarta.Sengaja Nala mematikan ponselnya, ia tak ingin perjalanan pulangnya terganggu oleh hal lain. Raut wajahnya begitu buruk, tak ada senyuman sedikitpun di sana. Ia hanya duduk manis di pesawat dengan terus berusaha memejamkan kedua matanya. Sesampainya di Jakarta pun Nala langsung mencari taksi untuk membawanya pulang ke rumah.Hampir pukul lima pagi saat Nala benar-benar sampai di kamarnya. Tubuhnya terasa begitu lelah, membuatnya langsung memutuskan untuk membersihkan tubuhnya, sengaja menggunakan air dingin agar lebih segar dan energinya terisi kembali."Dingin," gumamnya dengan suara pelan. Tubuhnya menggigil, ditambah dengan kini ia hanya memakai pakaian pendek.Tubuh itu dilemparkan dengan kasar ke atas ra
"Makasih, Wa."Setelah menempuh perjalanan cukup lama, Nala pun keluar dari mobil Dewa usai mengembalikan jaket yang tadi sengaja dipinjamkan Dewa padanya. Kata Dewa dingin, karena Nala memang hanya memakai atasan crop top, meskipun Nala menolaknya karena terbiasa dengan pakaian seperti ini, tapi tampaknya Dewa tak rela membiarkan hawa dingin menghunus kulit putih Nala.Melangkahkan kaki tanpa beban, sampai akhirnya langkah kaki kecilnya harus terhenti kala netranya menangkap sosok Bastian yang duduk di sofa dengan nuansa mencekam, tatapan itu begitu tajam padanya."Dari mana?""Rumah temen," balas Nala apa adanya."Duduk."Nala yang hendak melangkahkan kakinya itupun kembali menoleh ke arah Bastian. "Apa? Gue capek."Mendengar penolakan itu membuat Bastian bangkit dari posisi duduknya. "Nggak cuma kamu yang capek, Nala. Saya juga, saya kerja terus pulang dadakan gara-gara kamu."Meskipun benar demikian, namun nampaknya kata-kata itu tak dapat ditangkap dengan baik oleh penalaran Nala
"Di mana?" Kening Bastian berkerut mendengar panggilan seseorang di seberang sana. "okay."Panggilan terputus, Bastian lekas menoleh ke arah Nala yang masih sibuk mengunyah mie kuah buatannya. Ya, untuk kedua kalinya dalam hari ini Nala kembali memakan makanan itu, tak ada pilihan lain, mie instan jauh lebih enak baginya ketimbang spaghetti buatan Bastian tadi.Mendadak bibir Bastian menjadi kaku, agak tak enak hati sebenarnya, tapi apa boleh buat, ia tak memiliki pilihan lain untuk saat ini. "Ehemm, Nala, Saya mau keluar sebentar, jemput Sonya. Nanti saya pulang, janji."Gerakan mulut Nala dalam mengunyah makanan itupun terhenti. Otaknya memikirkan sesuatu sebelum mulutnya merealisasikan jawabannya. Ia sudah kalah tempo hari, tak boleh ada lagi kekalahan dalam hidupnya. "Bandara?" Bastian menganggukkan kepala membenarkan tebakan Nala. "ikut.""Yakin?" tanya Bastian memastikan. Agaknya ini bukan waktu yang tepat, jika Nala dan Sonya bertemu, maka kemungkinan besarnya kedua wanita itu
Usai menyantap nasi goreng di pinggir jalan, Nala dan Bastian pun kembali ke rumah dengan perut terisi penuh."Om, besok masih libur, kan?"Bastian yang ditodong dengan pertanyaan seperti itupun lekas menoleh ke arah Nala dan menganggukkan kepalanya singkat. "Iya, kenapa?""Om masih ngerasa bersalah, nggak? Gue masih belum maafin soalnya. Makanan yang Om buat nggak enak."Ujung bibir Bastian tertarik, terdengar lucu di telinganya. "Iya, maaf. Jadi, saya harus gimana biar dimaafin, hm?""Emmm ... besok tuh aku pengen produktif. Kayak yang pagi-pagi work out, terus sambung masak sesuatu, nonton, dan yang lain-lain gitu.""Iya, boleh. Sesenengnya kamu aja, nikmati liburnya."Mendengar jawaban yang sama sekali tak diinginkannya itu lekas membuat Nala melirik tajam ke arah Bastian, berdecak dengan jelas hingga membuat Bastian kembali menoleh sekilas ke arahnya. "Hihhh. Gue ngomong gitu tuh ya maksudnya temenin, Om. Anggap aja sebagai bentuk permintaan maaf." Dirogohnya dengan kasar ponseln