Menjelang siang, merupakan waktu paling menyiksa untuk Nala. Pasalnya, pada periode datang bulan kali ini, tubuhnya terasa dihajar habis-habisan. Kakinya terasa pegal pada bagian betis, perutnya kram luar biasa, dan ditambah lagi tulang belakangnya terasa begitu linu. Komplit sudah penyiksaan ini."Nghh ... Hnggg. Ssttt." Perutnya diremas kuat, berharap rasa nyerinya akan segera berakhir. Keringatnya sudah membanjiri kening sampai area lehernya. Tubuhnya terus bergerak gelisah, sebab tak merasakan kenyamanan sedikitpun.Dengan tertatih-tatih, Nala turun dari ranjangnya, tubuhnya tak bisa berdiri tegap dan terus membungkuk, tulang belakangnya terasa semakin ngilu saja, sakit. Alhasil, Nala berusaha kuat untuk membalikkan tubuhnya, mencoba posisi kayang agar tulang belakangnya tak lagi terasa ngilu. Hampir sepuluh detik Nala bertahan dalam posisi ini, cukup memerlukan banyak usaha, ditambah dengan Nala yang sengaja menahan nafasnya supaya rasa sakit yang melanda tubuhnya teredam.Ceklek
Saat Nala memilih untuk sambung tidur part 2, Bastian pun terbangun karena merasa sesak saat bernafas, saat bangun ternyata hidungnya tertutup oleh dahi Nala. Dengan amat pelan Bastian mendorong pelan kepala Nala--akhirnya Nafasnya kembali lega."Nghhh--" Nala mengerutkan keningnya dengan mata mengerjab pelan. Perlahan lahan-lahan kedua mata cokelatnya itu terlihat, meskipun sangat kecil karena menyipit. "Om udah bangun?" Sebenarnya Nala tak benar-benar tertidur, susah karena sebelumnya telah terbangun. Ia pun merubah posisinya menjadi duduk."Kenapa bangun? Tidur lagi aja." Bastian hendak menarik pelan lengan Nala, namun perempuan itu justru menepisnya lembut. Alhasil, Bastian pun ikut merubah posisinya menjadi duduk.Tangan besar Bastian terulur untuk menyusup masuk ke celah-celah rambut Nala, mengusapnya pelan dan memberi pijitan lembut di sana. Rasanya nyaman sekali sampai-sampai membuat Nala memejamkan mayanya karena terlena. Dalam diamnya Nala dan pejaman matanya, tanpa sengaja
"Cantik banget, badjingan.""Loh? Bas, kenapa nggak langsung masuk aja?"Suara lembut menyapa rungu Nala, padahal sudah terlihat jelas dari raut wajahnya kalau perempuan itu terkejut, tapi kenapa nada bicaranya tidak ikutan naik?Dari penglihatan Nala, wanita itu pembawaannya anggun, berbeda dengan dirinya yang awur-awuran. Bahkan, dari cara berpakaiannya pun berbanding terbalik dengannya. Dress selutut dengan rambut panjang tergerai indah, senyumannya pun tampak manis saat Bastian menyodorkan makanan yang tadi di belinya."Makasih, ya, Bas. Tadi bingung banget, kenapa malah dibawain sup ayam, emangnya sejak kapan aku makan itu." Kekehan pelan diujung kalimatnya langsung ditutup dengan kepalan tangannya, seperti tak akan membiarkan mulutnya terbuka lebar. Pembawaannya terluhat sangat lembut, bahkan saat menyingkirkan sesuatu yang menempel di pundah Bastian.Eh! Kenapa malah terpesona dengan perempuan itu, sih. Tidak boleh! Nala langsung menggelengkan kepalanya, meskipun memang berbeda
Bastian langsung meraih lengan Nala dengan kasar. "Kamu kurang ajar banget, Nala! Nggak diajarin sopan santun sama orang tua kamu, hah!" bentak Bastian dengan raut wajah penuh api amarah.Netra cokelat Nala perlahan-lahan mulai mengabur, kerongkongannya tiba-tiba terasa tercekat, dadanya sakit, dan nafasnya mulai terasa berat. Pandangan matanya tak lepas dari sorot mata yang menampakkan kilatan amarah di sana."Ayo! Sekarang kita pulang!" Tanpa ba bi bu lagi, Bastian langsung menarik kasar lengan Nala tanpa menghiraukan rintihan pelan dari Nala.Beberapa kali Nala hampir terjatuh kala kakinya tersandung oleh kakinya yang lain, namun Bastian masih kekeh menarik tangannya, menahan tubuh Nala agar tidak tumbang."Sak-it, O-om." Nala berusaha melepaskan cengkeraman tangan pria itu dari lengannya, namun semuanya berakhir sia-sia. Laki-laki itu sama sekali tak berniat melepaskan tangannya begitu saja.Sakit. Nala merasakan tubuhnya sakit, hati dan fisiknya sempurna sakitnya. Selama hidup di
"Nal-Nala?"Tok ... tok ... tokBastian mengetuk pintu kamarnya dengan pelan dan berhati-hati, rungunya terpasang dengan baik untuk mendengarkan setiap suara yang berasal dari dalam kamar. Memang benar ini kamarnya, namun selama lima hari ini ia terusir dari tempat ternyamannya dan harus mengungsi ke ruang tengah untuk menghabiskan malam setiap hari. Tak apa, sungguh ia tak kesal sama sekali, ini pantas untuknya."Nala, udah siang, kamu belum sarapan, makan dulu, ya?"Selama lima hari ini pula Bastian membawa semua pekerjaannya ke rumah. Sengaja agar ia tak jauh dari Nala, meskipun perempuan itu lebih sering pulang malam sekedar untuk menghindarinya. Sekali lagi tak apa, setidaknya ia selalu menghidangkan makanan agar Nala tak perlu repot-repot memasak. Bukan hanya itu saja, mencuci pakaian, mengurus semua perkerjaan rumah juga sudah tugasnya."Maaf, Nala. Saya buka pintunya, ya?" Rasa cemas terus menjalar dipikiran Bastian. Hari ini Nala bolos kuliah dan tak keluar sejak semalam, apa
"Hah?""Mulai sekarang panggil gue Sayang, Om!""Eh--" Bastian menggelengkan kepalanya. "Nal--""Iya, Mas Bas?"Aduh. Mendadak tubuh Bastian bergeridik ngeri mendengar panggilan Nala barusan. Gimana, ya bilangnya. Panggilan Nala barusan tuh kayak 'Mas' nya mengalun kayak cewek manja, sedangkan pada 'Bas' belakangnya kayak ada desisan selama 2 detik, fasih sekali ngomong 'S'Sialnya, panggilan Nala barusan malah terus berputar di otak Bastian layaknya kaset yang berulang kali diputar. Terngiang-ngiang.Bastian tersentak kaget kala merasakan lengannya digoyang pelan. "Ya, Mas Bas." Susah payah Bastian menenggak ludahnya melihat ekspresi Nala yang dibuat manja-manja gemas. Lalu mengerucutkan bibirnya beberapa senti kala yang diajak bicara tak kunjung memberi jawaban. "yah! Berati nggak niat minta maaf. Padahal ini tuh syatat biar dimaafin." Dihempaskan lengan besar itu sebelum membuang pandangan ke arah lain."Eh--Iya, boleh." Bastian langsung menarik pelan pundak Nala agar menatap ke ar
"Boleh, ya?" Nala mengerjabkan matanya pelan, terlihat begitu polos. "kan udah janji."GlekSusah payah Bastian menelan ludahnya sendiri, bahkan setelah tertelan pun rasanya ludahnya masih tersangkut di kerongkongan. Ia salah dan ini adalah satu cara untuk menebus kesalahannya, sial! Ia tak bisa menolaknya. Susah payah Bastian menganggukkan kepalanya. "I-iya."Menang, lagi-lagi Nala meraih kemenangannya. Dengan heboh ia langsung menendang selimut yang menutup tubuhnya dan Bastian ke sembarang arah, menatap dengan lapar area selangkangan Bastian. Yang ditatap pun lekas meraih bantal, hendak digunakan untuk menutupi objek pandangan Nala. Belum sempat bantal itu sampai ke area bawahnya, tangan Nala terlebih dahulu menepisnya dengan kasar hingga benda itu tergeletak di lantai. "Ish! Apa sih, Mas?""T-tapi kamu jangan agresif dong, Sayang. Kan Mas jadi takut."Aduh, Nala ingin tertawa kencang melihat wajah memelas Bastian. Buru-buru ia berdehem untuk menetralkan diri. "Iya udah, Sok atuh.
"Masak udah loyo sih, Mas?""Ini kamu lagi nantangin? Yakin sanggup?" tanya Bastian memastikan sebelum sampai pada tahap dua, Nala mengangguk yakin. "kamu beneran belum pernah gituan?"Nala mengangguk yakin. "Beneran. Selama ini nggak pernah gituan. Baru pertama kali juga lihat itu secara langsung. Btw, Pewpew-nya gemuk banget, panjang lagi."Tak menghiraukannya, Bastian lantas kembali membuka suara. "Kamu maunya yang kayak gimana? Hm? Jangan langsung ke inti, ya? Kita lakuin itu kalau nanti udah sama-sama siap. Hati aku, hati kamu, kita sama-sama siap untuk itu." Nala lekas melingkarkan tangannya pada leher Bastian, menyatukan kening hingga hidung keduanya bertabrakan.Suasana di dalam kamar terasa begitu hening, wajar saja karena memang sudah larut. Hembusan angin malam yang masuk ke dalam kamar melalui jendela yang tak tertutup rapat membuat Nala semakin mengeratkan pelukannya, mencari kehangatan dalam dekap.Bastian sendiri tak masalah melakukan ini, memang seharusnya sudah dilaku