'Nggak tertarik sama body kamu."
Ah, sial! Kata-kata itu terus terngiang di telinga Nala. Tadi, usai Nala terus memojokkan Bastian yang dianggapnya loyo, tahu-tahu pria itu mendekat dan membisikkan kata-kata itu di telinganya.Nala menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, geram. Kenapa sih susah sekali untuk menghilangkan memori itu dari otaknya? Ia menarik nafas panjang guna menormalkan kembali emosinya. "Brengsek! Dikiranya gue tertarik apa sama bentukan kek gitu?! Gue aja ragu itu monas masih bisa berdiri!"Disibak dengan kasar selimut tebal yang menutupi tubuhnya saat ini. Setiap langkah kakinya begitu menghentak, menunjukkan betapa kesalnya ia saat ini."Dasar Om Tua, sialan!"Gerakan kaki Nala terhenti setelah ia berdiri di depan meja rias. Ia mendudukkan bokongnya di kursi kayu dengan ukiran seperti bunga-bunga batik. Kini, pandangannya tertuju sepenuhnya pada wajah kusutnya dari pantulan cermin. Ia menatap iba pada wajah yang tak bahagia di sana. Pernikahan seharusnya membuat ia bahagia, tapi tidak dengan pernikahannya ini.Embusan napas berat terdengar dengan jelas di rungunya, menatap manik matanya dari pantulan cermin yang kian lama mulai berair. Buru-buru Nala langsung mengusapnya, agaknya ia tak ingin menangis lagi sendirian. Pasalnya, ketika ia menangis, sudah dapat dipastikan setelah itu kepalanya akan pusing, tak ada Mama yang akan mengelus kepalanya nanti. "Nggak boleh nangis, Nala cantik nggak boleh nangis." Tepukan cukup keras diberikan pada kedua pipinya.Ah, mengingat mamanya dan melihat tampilannya saat ini langsung membuatnya teringat sesuatu. Katanya, seorang Ibu memiliki kepekaan yang tinggi terhadap suatu hal yang terjadi pada anaknya, kali ini Nala mengakui kebenaran itu. Jika dipikir-pikir lagi, semua nasehat mamanya tentang bakti dan kewajiban seorang istri beberapa hari yang lalu dan sempat dianggapnya angin lalu, malah kini berubah menjadi bekal serta pengingat untuknya.Ibu adalah seorang malaikat yang sengaja dikirim Tuhan untuk anaknya bahkan sejak masih dalam kandungan. Apakah saat mengatakan rentetan nasihat itu mamanya baru saja mendapatkan bisikan halus dari Tuhan bahwa ia akan segera menikah?Sekali lagi Nala menatap lurus pantulan dirinya di cermin, menarik napasnya dalam-dalam sebelum kemudian dihembuskan dengan perlahan. "Nala bakalan tepatin janji itu, Ma. Demi Mama, cuma Mama." Nala meraba pantulan dirinya dari kaca cermin. Dirinya baru saja dengan sadar kembali mengucap janji pada dirinya sendiri, meyakinkan hati bahwa apapun rintangan yang akan dilalui nanti, ia tak akan melepas tittle-nya sebagai seorang Istri Bastian Wilantara.Sesuai keinginan mamanya, pernikahan sebaiknya memang dilakukan seumur hidup sekali.Merasa kepalanya masih pusing, Nala kembali membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Sial! Nala sama sekali tak bisa memejamkan matanya, suasana ini terlalu asing untuknya, mungkin dirinya memang perlu waktu untuk membiasakan diri di tempat ini.CeklekkSuara pintu yang terbuka langsung menyita perhatian Nala. Buru-buru ia bangkit dari posisi berbaringnya, menatap sebal pada laki-laki yang melangkahkan kaki dengan santai ke arahnya. Sebenarnya ia masih kesal dan malu, tapi tentu saja ia harus memasang wajah judes untuk menutupinya. Ia tak boleh kalah dalam hal apapun.Tak mendapat sambutan yang baik, itulah yang dapat Bastian simpulkan dari raut wajah Nala. "Mau makan dulu? Tadi belum sempet makan, ayo."Wah ... benar juga sih. Terlau fokus pada kekesalannya membuat Nala sendiri lupa jika perutnya harus segera diisi. Tentu saja ia tak mengambil tindakan bodoh, mengesampingkan semua gengsi dan kekesalannya sejenak. Nala menyibak pelan selimut yang menutupi tubuhnya sampai sebatas dagu tersebut, tentu saja masih dengan mempertahankan wajah ketusnya."Astaga ...." Bastian terkejut bukan main saat selimut tebal itu tak lagi menutupi tubuh Nala. Bagaimana tidak kaget, perempuan kecil itu tengah memakai gaun tidur berbahan satin selutut dengan meng-eskpos bagian atas tubuhnya karena gaun itu hanya bertali spaghetti. "kenapa pakai baju gitu sih?"Rahang Bastian mengeras, tentu saja ia tak nyaman dengan pemandangan semacam ini.Nala yang sudah berada di depan Bastian dengan jarak kurang dari satu meter hanya menatap heran. Orang ini kenapa sih? Perasaan nggak ada yang aneh dengan dirinya?! "Apasih? Gue nerima ajakan Om makan karena emang Gue laper ya, Om. Inget! Gue masih kesel dikatain soal body tadi. Nggak tau aja kalau ini body idaman Mas-mas Teknik di kampus!”Tanpa menghiraukan laki-laki di depannya lagi, Nala lekas melangkahkan kakinya keluar kamar. Keningnya berkerut karena tak tau lagi harus melangkahkan kakinya ke mana membuatnya langsung berhenti saat itu juga. "Ini ke mana?" Tak ada jawaban, membuat Nala menoleh ke belakang dan mendapati laki-laki itu tengah sibuk mencari sesuatu di kamar. Pandangan mata Nala beralih memindai rumah ini."Pake ini, biar nggak dingin.” Nala terkejut saat tiba-tiba ada sesuatu yang hangat menutupi tubuhnya. “Lain kali, jangan pake baju tidur kebuka gini, takutnya malah masuk angin. Nggak ada yang kerokin kamu nanti."Keduanya duduk berdampingan menikmati makanan yang dipesan melalui aplikasi dengan nikmat. Tak ada percakapan yang terjadi selama sesi makan malam yang telat ini, sampai pada akhirnya keduanya memisahkan diri kembali.Menu makan malam terlalu nikmat, membuat Nala kekenyangan hingga sulit menggerakkan tubuhnya.Sudah sejak lima menit yang lalu setelah makan, tapi ia masih setia bersandar pada headboard ranjangnya sembari menunggu perutnya lebih nyaman. Tangannya terulur untuk mengelus pelan perutnya yang kini terasa buncit. "Tuh orang ilfeel nggak ya lihat gue makan kayak barongan tadi? Ini juga kenapa sih kelepasan nggak bisa nahan diri lihat makanan enak?!" Nala menepuk bibirnya cukup keras. Menyalahkannya karena terlalu beringas memasukkan makanan tanpa henti.Sementara itu di sisi lain, seorang laki-laki yang mulai hari ini resmi menyandang status sebagai suami sah Nala Gevania dimata agama dan negara tengah memandang lurus langit malam yang tampak cerah. Sebatang rokok terselip diantara jari telunjuk dan tengahnya.Kepulan asap rokok yang baru saja keluar dari mulutnya itu terkumpul tepat di depan wajahnya sebelum kemudian tersapu oleh embusan angin malam dan menghilang."Maaf, kalau ternyata keputusanku ini salah."Tangan besar Bastian terulur untuk meraih sebotol minuman beralkohol yang ada di meja dan langsung menenggaknya langsung dari botol itu.Pria itu memejam, menikmati sensasi panas, pahit, manis yang bersatu ketika cairan itu melewati kerongkongannya.Kegiatannya menikmati minuman dan rokok itu kemudian terhenti lantaran terganggu oleh suara deringan ponsel. Layar benda pipih itu menyala dengan menampilkan nama kontak 'Sonya'. Bukannya langsung meraih benda pipih tersebut, Bastian malah memilih untuk tidak acuh pada ponselnya yang terus meraung tak berhenti. "Ah! Sial!"Tiga tahun kemudian"Mas, gendongg." Rengek Saluna, bocah yang hampir menginjak usia pendidikan pertama itu merengek pada sang kakak, tangannya terbentang luas meminta agar segera digendong.Bastian dan Nala yang sama-sama menuruni anak tangga dan melihat tingkah putrinya itu hanya menggelengkan kepala. Kedekatan antara Adimas dan Saluna sudah bisa diibaratkan seperti lem, saling menempel, meskipun lebih tepatnya Saluna yang selalu ingin ikut dengan kakaknya.Merogoh ponselnya dalam saku celana, Nala pun mengambil potret buah hatinya itu. Dimana Saluna yang masih merentangkan tangannya, sementara Adimas sengaja menggoda adiknya. "Adek, kan udah gede. Berat kalau digendong, kasihan Mas-nya.""Aaaa. Adek mau digendong Mas." Tak terima ditegur begitu saja, bocah kecil ini melipat kedua tangannya di depan dada, persis seperti orang yang tengah merajuk. "Mas," panggil Saluna pada Adimas dengan mata yang sudah mulai berkaca-kaca.Runtuh sudah pertahanan Adimas dalam misi mengganggu sang adi
Sesuai rencana, hari ini keluarga kecil Bastian dan Nala mengadakan liburan singkat. Dufan, adalah tempat yang dipilih keluarga kecil ini.Sepanjang perjalanan, Adimas kecil yang duduk di belakang lebih banyak diam, bahkan hanya sesekali saja menimpali pertanyaan yang Nala atau Bastian lontarkan, mungkin karena masih belum nyaman."Mas, nanti mau naik apa?" tanya Nala yang langsung menoleh ke belakang, terlihat antusias sekali mengajak bicara anak laki-lakinya ini.Si kecil yang tadinya fokus memandang ke arah luar jendela pun lekas menoleh ke arah Nala. "Terserah aja, Ma. Adek mau main apa?""Adek nanti naik yang puter-puter aja sama Mama. Nanti Mas main sama Papa, ya. Seneng-seneng, biasanya Mas kalau sama papa Garren naik apa?""Biasanya naik bumcars, Ma.""Oke. Nanti naik sama Papa." Sahut Bastian yang membuat percakapan ini berakhir.Sesampainya di lokasi tujuan, dengan sigap Bastian menggandeng tangan kecil Adimas disisi kanannya, sementara tangan kirinya dikenakan untuk menyang
Hari ini Bastian sudah kembali disibukkan dengan pekerjaannya. Bastian sengaja memberi jeda untuk Adimas beradaptasi di rumah ini terlebih dahulu beberapa hari sebelum membiarkan anak kecil itu kembali beraktivitas di sekolah.Dibandingkan kemarin, hari ini Adimas lebih banyak makan. Mungkin lebih merasa nyaman berada di sini perlahan-lahan, meskipun tak jarang juga bocah kecil ini ragu-ragu bersuara atau lebih memilih memendam diri.Seperti saat ini, saat Nala tengah sibuk mengecek Saluna. Adimas kecil yang berada di samping tampak seperti ingin mrnawarkan bantuan, tapi tak berani bersuara."Mas Dimas, boleh minta tolong, nggak?""Boleh." Langsung saja anak kecil itu membalasnya dengan penuh semangat.Tak dapat Nala menyembunyikan senyuman tipisnya, terlebih dahulu ia mengusap sayang puncak kepala anak laki-lakinya. "Tolong ambilin pempers adek di sana, Mas." Nala menunjuk pada pojok ruangan. Dengan cepat Adimas langsung beranjak dari posisi duduknya dan setengah berlari menuju area
"Ren, lo pasti bisa, Ren. Percaya sama gue." Bastian mencengkeram pelan punggung tangan Garren. Mayakinkan laki-laki itu jika semuanya akan baik-baik saja.""Huwaaa. Pa, Papa ayo besok main, Pa. Pengen main bola." Suara isakan tangis terselip dalam rengekan anak laki-laki berusia sekitar lima tahun itu. Matanya memerah dengan air mata yang terus membasahi pipi tembamnya, ingusnya bahkan sudah meleber ke area pipi. "ayo, Pa, bangun. Kita pulang, nggak suka di sini." Tangan kecil itu terus berusaha mengguncang tubuh besar yang tengah berbaring di depannya ini.Bangunan rumah sakit menjadi tempat di mana do'a tulus sering dilangitkan dengan sepenuh hati, bahkan lebih tulus dan dalam dari pada di rumah ibadah sekalipun.Nala sendiri tak dapat menahan bendungan air matanya melihat anak kecil bernama Adimas itu terus merengek. Menarik tangan papanya, seakan ingin cepat membawa laki-laki itu pergi dari tempat ini.Melihat bagaimana reaksi anak semata wayangnya membuat Garren tertawa pelan, t
Sentuhan terakhir, Nala menambahkan bando manis untuk putri kecilnya. Disambut dengan gelak tawa dan tubuh mungil itu yang meronta-ronta, terlihat senang sekali."Nah, anak Mama udah cantik banget." Tak rela jika harus melewatkannya begitu saja, Nala langsung mencium wajah putrinya bertubi-tubi, gemas sekali rasanya. Tangannya langsung terulur untuk meraih kasar ponselnya di atas nakas, setiap momen harus diabadikan. Nala mengambil beberapa gambar mengemaskan Saluna, sebelum membawa gadis itu dalam gendongannya, mengajak foto bersama.Puas dengan banyak gambar yang berhasil diambilnya, Nala pun langsung meraih tas dan membawa putrinya pergi. Baru saja Dewa mengatakan sudah hampir sampai, Dina tak bisa menjemputnya karena berangkat bersama Argi. Terlalu mutar jauh jika menjemputnya terlebih dahulu.Timingnya pas sekali. Baru saja Nala selesai dengan menutup pintu, mobil putih itu berhenti tepat di depan rumahnya. Dengan senyuman lebar, Nala yang menggendong Saluna menghadap depan itupu
"Mbrrr hik hik hik.""Loh! Kok nyembur." Nala pura-pura kaget, melihat putri kecilnya yang menyemburkan air susu dimulutnya. Bukannya takut, gadis mungil ini justru tertawa lebar menunjukkan gusi lucunya sembari bertepuk tangan. Mamanya terlihat menggemaskan di matanya."Abmrrrr."Nala meletkkan putri kecilnya di atas ranjang, tak lupa memberikan mainan gigit-gigitan padanya. Langsung saja Saluna memainkannya, menggigit-gigitnya. Tak terasa gadis kecil ini akan segera memasuki fase pertumbuhan gigi.Tak berselang lama Bastian pun datang dengan handuk kecil di kepalanya, menggosok-gosoknya agar rambut basahnya lekas mengering.Melihat buah hatinya berbaring riang di atas ranjang membuat Bastian langsung melompat menyusul putrinya, melemparkan asal handuk kecil yang tadi dikenakannya. Tanpa permisi laki-laki beranak satu itupun langsung mencium wajah putri kecilnya bertubi-tubi. "Ih anak papa lagi apa, emesnya. Emesnya anak Papa. Mwah mwah mwah.""Hek hek." Bibir Saluna langsung mengeru
"Akhhh. Mas!" Pekik Nala yang merasakan sakit teramat, tangannya dengan ringan langsung menjambak surai tebal Bastian.Sakit, tapi Bastian sadar yang dirasakannya saat ini tak lebih sakit dari yang tengah dirasakan sang istri dalam memperjuangkan kelahiran buah hati yang diprediksi berjenis kelamin perempuan ini."Sayang, kamu pasti kuat. Sebentar lagi Adek bayi lahir, Sayang. Kita bisa lihat dia yang selama ini nendang-nendang terus." Berbagai kata penyemangat selalu Bastian lontarkan. Tangannya pun tak pernah lepas menggenggam tangan kecil istrinya."Oekkk ... oekkk ... Oekkk."Setelah penantian panjang mulai dari kontraksi, pembukaan, hingga proses lahiran yang begitu menyakitkan untuk Nala. Akhirnya suara tangisan menggelengar buah hatinya pun terdengar. Baik Bastian maupun Nala sendiri pada akhirnya bisa bernafas lega. Bukan hanya Nala saja yang bermandikan peluh, melainkan Bastian juga. Laki-laki ini tak kalah takutnya, dalam hatinya pun tak henti-hentinya merapalkan do'a untuk
Kurang lebih dua tahun ini Bastian benar-benar berada di samping Nala selalu, ia tak lagi mengambil project, hanya mengandalkan hasil dari studio miliknya. Tak terlalu banyak memang, tapi masih lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhannya selama ini.Entah berapa banyak Bastian menahan diri dan sesak selama ini, kala Nala sama sekali tak memberinya kepastian. Bahkan beberapa kali Nala berniat mengakhiri hidup, itulah titik paling menyakitkan dihidup Bastian. Sehancur itulah mental Nala. Beruntung, sedikit demi sedikit mental Nala mulai kembali pulih, meskipun masih belum menjadi Nala sepenuhnya."Hati-hati, Sayang." Bastian menyodorkan secangkir cokelat hangat yang langsung diterima oleh Nala.Mendudukkan bokongnya di samping sang puan, keduanya sama-sama menikmati suasana malam hari ini. Angin berhembus cukup kuat hingga membuat rambut keduanya tergerak-gerak, mengikuti arah pandang Nala, Bastian menyandarkan tubuhny pada sandaran kursi."Bagus banget ya bintangnya, banyak. Kesukaan
"Sayang." Bastian menatap nanar perempuan yang kini tengah duduk di kursi panjang dengan pandangan kosong, tak tau apa yang tengah menjadi objek penglihatannya.Sakit? Tentu saja hati Bastian terasa dicabik-cabik melihat kondisi istrinya yang seperti itu. Saat ini Nala lebih terlihat seperti raga tanpa jiwa, entah kemana menghilangnya jiwa itu.Tepukan pelan pada bahunya langsung membuat Bastian menoleh ke samping, terkejut melihat seseorang di sampingnya, buru-buru tangannya tergerak untuk menghapus bulir air matanya. Kemudian terkekeh pelan, tak ingin suasana menjadi canggung."Nggak apa, masih banyak waktu. Mbak Nala pasti bisa sembuh, perlahan-lahan.""Apa istriku masih bisa sembuh?" tanyanya mengingat hingga saat ini Nala masih sering bungkam, enggan mengatakan aapapun. Bahkan, beberapa kali perempuan itu juga menangis dalam diam, memukul-mukul kepalanya sendiri. Terlalu berisik, katanya.Dengan mantap laki-laki disamping itupun menganggukkan kepalanya. "Tentu saja. Lagi pula ini