Share

Menikah

Keesokan harinya, seperti yang telah diberitahukan oleh Ducan, bahwa kini keduanya akan menikah pada tanggal dan waktu yang sudah ditetapkan oleh Ducan, dengan tamu dan semua urusan pernikahan yang telah dipercayakannya kepada Ajudan terbaik yang selama ini bersamanya, yaitu Tony.

"Selamat pagi, hadirin yang terkasih. Kita berkumpul di hadapan Tuhan dan di hadapan satu sama lain untuk menyaksikan ikatan suci antara Ducan Alexan dan Hanisa Mila," ucap seorang pendeta yang kini menjadi saksi pernikahan mereka beserta keluarga terdekat saja.

"Ducan Alexan, apakah engkau bersedia mengambil Hanisa Mila jadi istrimu, untuk mencintai dan menghormatinya, dalam suka dan duka, dalam kesehatan dan sakit, selama keduamu hidup?"

"Ya, saya bersedia."

"Hanisa Mila, apakah engkau bersedia mengambil Ducan Alexan menjadi suamimu, untuk mencintai dan menghormatinya, dalam suka dan duka, dalam kesehatan dan sakit, selama keduamu hidup?" kata pendeta lagi.

"Ya, saya bersedia."

"Dengan persetujuan kalian berdua, mari kita lanjutkan dengan pertukaran sumpah dan cincin sebagai lambang kesetiaan dan cinta abadi," ucap pendeta lagi.

Hingga tidak berapa lama, acara pun selesai, akhirnya keduanya telah resmi menikah dan menjadi pasangan suami istri.

*

"Huff, bagaimana ini? Sekarang aku resmi menikah dengannya dan menjadi istrinya, apakah aku juga harus melayaninya?" ucap Hanisa berbicara sendiri di sebuah kamar mewah milik Ducan yang telah dihiasi oleh pekerja di rumah mewahnya.

Tak lama kemudian, Ducan pun masuk ke ruangan itu yang ternyata sejak tadi sudah mendengar semua yang diucapkan wanita itu. Dengan malu dan tegang, ia tetap memasuki kamar, meski sempat terhenti, seraya melepas kerah kancing baju yang terasa sesak oleh lilitan dasi itu.

"Ehem."

Seketika wanita yang fokus dengan pikirannya tiba-tiba teralihkan oleh suara mendehem pria yang masuk ke kamar itu.

"Aku akan mandi dulu, kalau kau ingin tidur, tidur saja," gugup Ducan, padahal sebelumnya ia tidak pernah segugup ini di hadapan si wanita.

Namun entahlah, entah apa yang merasukinya, nafas yang tadinya terkontrol itu, kini berpacu sangat cepat. Entah itu karena ucapan yang sempat didengarnya atau karena sesuatu di dalam hatinya, tapi kan tidak mungkin secepat itu.

Kemudian ia kembali menyadarkan atensinya pada kamar mandi yang tak jauh darinya, setelah melirik kembali wanita yang telah berpakaian kaos putih dipadu celana panjang polos itu dan memasuki ruangan mandinya.

Kini tubuh kekar berkulit putih itu dibasahi habis-habisan oleh air dingin yang menyegarkan dirinya. Hingga tak lama kemudian, ia keluar dari kamar sejuk itu dan melihat sesosok wanita bertubuh mungil membaringkan tubuhnya di atas kasur putih yang dihiasi bunga mawar merah.

Namun ia hanya membiarkannya, lalu fokus terhadap pekerjaan kantor yang sempat tertunda itu. Namun setelah beberapa menit, ia fokus bekerja, tiba-tiba perhatiannya teralihkan pada sosok jauh yang tampak meringkuk di depannya.

Melihat si wanita yang tampak kedinginan, akhirnya si pria berusaha menyelimutinya. Hingga tanpa disadari, wajah pria itu sangat dekat terhadap wajah Hanisa dan tertegun memandangi sosok wajah putih mulus itu. Menelan saliva, memandang wajah tanpa polesan make-up yang tetap terlihat cantik.

Kemudian melanjutkan pekerjaannya setelah tersadar dari pemandangan tadi.

*

"Aku di mana?" terkejut Hanisa melihat suasana yang dirasa berbeda dari kamarnya, merasa itu bukan kamarnya, ia pun bergegas meraih ponselnya berusaha menelpon ibunya untuk memberitahu bahwa ia diculik.

Namun sesaat ia ingin menekan nomor yang tertera, ia langsung tersadar, "Astaga, aku hampir lupa, aku kan sudah menikah," menepuk pelan keningnya yang frustasi.

"Tapi kemana dia, pagi-pagi begini sudah pergi?"

Tok-tok.

"Selamat pagi, Nyonya," ucap seorang wanita paruh baya yang memasuki setengah kamar itu yang menjadi pertanyaan si wanita.

"Tuan berpesan bahwa tuan ada rapat hari ini, jadi tidak bisa ikut sarapan bersama Nyonya. Nyonya bisa sarapan dahulu, tuan akan sarapan di kantor nanti," ucap pelayan itu lalu kembali berbicara, "Tuan muda juga berpesan akan lembur hari ini, jadi Nyonya tidak perlu menunggu tuan nanti," ucapnya lagi.

"Iya, Bu," jawab wanita itu setelah kemudian pelayan itu pergi, dan merasa bingung sebab sebelumnya dia tidak pernah merasa begini sehingga terdengar cukup aneh.

Namun tidak ingin memusingkan Hanisa yang mendengar itu, kemudian mengalihkan pandangannya pada beberapa interior yang belum sempat dilihatnya semalam, sebab terlalu lelah baginya saat itu.

Hingga kemudian ia terpaku pada sebuah bingkai foto milik sang suami bersama ajudannya yang sekalian menjadi sekretarisnya.

"Tidak ada foto wanita? Bersama keluarga pun tidak," tawa kecilnya, "sepertinya mereka memang sama-sama tumbuh bersama," ucapnya lagi seraya mengangguk seakan percaya.

Wanita itu terus memandangi kamar itu dan menyentuh satu demi satu yang dilihatnya, hingga ia tersadar waktu terus berjalan, "Harusnya aku mandi sekarang dan menyiapkan semuanya," ucapnya.

"Apa ini," kagumnya pada ruangan yang tak lain adalah lemari pakaian miliknya dan Ducan, "apa ini sungguh lemari? Aku memang tidak kesini semalam, namun bukankah ini terlalu wow," ucapnya sambil melihat-lihat semua yang ada di sana.

Setelah selesai membersihkan diri dan menuju sebuah ruangan yang bahkan tidak pernah terbayang olehnya sebelumnya, bahkan lemari itu sudah persis seperti toko Minimall, pikirannya.

Benar saja kalau saat ini wanita itu tengah berada pada lemari yang ukurannya bahkan lebih lebar dari kamar miliknya.

"Wow, dia benar-benar sultan. Aku jadi penasaran, begitu banyaknya wanita di dunia ini, kenapa dia harus memilih aku?" ucapnya lagi pada diri sendiri, "meskipun ini karena hutang, seharusnya dia memikirkannya lagi."

Setelah beberapa menit berada di dalam lemari yang rasanya seperti mall, akhirnya ia pun memutuskan untuk turun ke bawah dan melihat hal apa yang bisa ia kerjakan. Namun belum cukup jauh ia melangkahkan kakinya, hal yang membuatnya tercengang kembali menyambutnya lagi.

Bahkan para pelayan baik pria maupun wanita datang menghampirinya, dengan layanan terbaik bak mall besar. Wanita itu tidak bisa berkata-kata. Dia hanya menerima layanan dengan senang hati, meskipun sedikit merasa tidak enak hati.

"Terima kasih, tidak apa-apa, aku bisa saja," Hanisa menolak untuk dilayani makan, dan mengisi sebuah piring yang akan digunakannya dengan senyum yang agaknya tidak enak hati.

*

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status