Keesokan harinya, seperti yang telah diberitahukan oleh Ducan, bahwa kini keduanya akan menikah pada tanggal dan waktu yang sudah ditetapkan oleh Ducan, dengan tamu dan semua urusan pernikahan yang telah dipercayakannya kepada Ajudan terbaik yang selama ini bersamanya, yaitu Tony.
"Selamat pagi, hadirin yang terkasih. Kita berkumpul di hadapan Tuhan dan di hadapan satu sama lain untuk menyaksikan ikatan suci antara Ducan Alexan dan Hanisa Mila," ucap seorang pendeta yang kini menjadi saksi pernikahan mereka beserta keluarga terdekat saja."Ducan Alexan, apakah engkau bersedia mengambil Hanisa Mila jadi istrimu, untuk mencintai dan menghormatinya, dalam suka dan duka, dalam kesehatan dan sakit, selama keduamu hidup?""Ya, saya bersedia.""Hanisa Mila, apakah engkau bersedia mengambil Ducan Alexan menjadi suamimu, untuk mencintai dan menghormatinya, dalam suka dan duka, dalam kesehatan dan sakit, selama keduamu hidup?" kata pendeta lagi."Ya, saya bersedia.""Dengan persetujuan kalian berdua, mari kita lanjutkan dengan pertukaran sumpah dan cincin sebagai lambang kesetiaan dan cinta abadi," ucap pendeta lagi.Hingga tidak berapa lama, acara pun selesai, akhirnya keduanya telah resmi menikah dan menjadi pasangan suami istri.*"Huff, bagaimana ini? Sekarang aku resmi menikah dengannya dan menjadi istrinya, apakah aku juga harus melayaninya?" ucap Hanisa berbicara sendiri di sebuah kamar mewah milik Ducan yang telah dihiasi oleh pekerja di rumah mewahnya.Tak lama kemudian, Ducan pun masuk ke ruangan itu yang ternyata sejak tadi sudah mendengar semua yang diucapkan wanita itu. Dengan malu dan tegang, ia tetap memasuki kamar, meski sempat terhenti, seraya melepas kerah kancing baju yang terasa sesak oleh lilitan dasi itu."Ehem."Seketika wanita yang fokus dengan pikirannya tiba-tiba teralihkan oleh suara mendehem pria yang masuk ke kamar itu."Aku akan mandi dulu, kalau kau ingin tidur, tidur saja," gugup Ducan, padahal sebelumnya ia tidak pernah segugup ini di hadapan si wanita.Namun entahlah, entah apa yang merasukinya, nafas yang tadinya terkontrol itu, kini berpacu sangat cepat. Entah itu karena ucapan yang sempat didengarnya atau karena sesuatu di dalam hatinya, tapi kan tidak mungkin secepat itu.Kemudian ia kembali menyadarkan atensinya pada kamar mandi yang tak jauh darinya, setelah melirik kembali wanita yang telah berpakaian kaos putih dipadu celana panjang polos itu dan memasuki ruangan mandinya.Kini tubuh kekar berkulit putih itu dibasahi habis-habisan oleh air dingin yang menyegarkan dirinya. Hingga tak lama kemudian, ia keluar dari kamar sejuk itu dan melihat sesosok wanita bertubuh mungil membaringkan tubuhnya di atas kasur putih yang dihiasi bunga mawar merah.Namun ia hanya membiarkannya, lalu fokus terhadap pekerjaan kantor yang sempat tertunda itu. Namun setelah beberapa menit, ia fokus bekerja, tiba-tiba perhatiannya teralihkan pada sosok jauh yang tampak meringkuk di depannya.Melihat si wanita yang tampak kedinginan, akhirnya si pria berusaha menyelimutinya. Hingga tanpa disadari, wajah pria itu sangat dekat terhadap wajah Hanisa dan tertegun memandangi sosok wajah putih mulus itu. Menelan saliva, memandang wajah tanpa polesan make-up yang tetap terlihat cantik.Kemudian melanjutkan pekerjaannya setelah tersadar dari pemandangan tadi.*"Aku di mana?" terkejut Hanisa melihat suasana yang dirasa berbeda dari kamarnya, merasa itu bukan kamarnya, ia pun bergegas meraih ponselnya berusaha menelpon ibunya untuk memberitahu bahwa ia diculik.Namun sesaat ia ingin menekan nomor yang tertera, ia langsung tersadar, "Astaga, aku hampir lupa, aku kan sudah menikah," menepuk pelan keningnya yang frustasi."Tapi kemana dia, pagi-pagi begini sudah pergi?"Tok-tok."Selamat pagi, Nyonya," ucap seorang wanita paruh baya yang memasuki setengah kamar itu yang menjadi pertanyaan si wanita."Tuan berpesan bahwa tuan ada rapat hari ini, jadi tidak bisa ikut sarapan bersama Nyonya. Nyonya bisa sarapan dahulu, tuan akan sarapan di kantor nanti," ucap pelayan itu lalu kembali berbicara, "Tuan muda juga berpesan akan lembur hari ini, jadi Nyonya tidak perlu menunggu tuan nanti," ucapnya lagi."Iya, Bu," jawab wanita itu setelah kemudian pelayan itu pergi, dan merasa bingung sebab sebelumnya dia tidak pernah merasa begini sehingga terdengar cukup aneh.Namun tidak ingin memusingkan Hanisa yang mendengar itu, kemudian mengalihkan pandangannya pada beberapa interior yang belum sempat dilihatnya semalam, sebab terlalu lelah baginya saat itu.Hingga kemudian ia terpaku pada sebuah bingkai foto milik sang suami bersama ajudannya yang sekalian menjadi sekretarisnya."Tidak ada foto wanita? Bersama keluarga pun tidak," tawa kecilnya, "sepertinya mereka memang sama-sama tumbuh bersama," ucapnya lagi seraya mengangguk seakan percaya.Wanita itu terus memandangi kamar itu dan menyentuh satu demi satu yang dilihatnya, hingga ia tersadar waktu terus berjalan, "Harusnya aku mandi sekarang dan menyiapkan semuanya," ucapnya."Apa ini," kagumnya pada ruangan yang tak lain adalah lemari pakaian miliknya dan Ducan, "apa ini sungguh lemari? Aku memang tidak kesini semalam, namun bukankah ini terlalu wow," ucapnya sambil melihat-lihat semua yang ada di sana.Setelah selesai membersihkan diri dan menuju sebuah ruangan yang bahkan tidak pernah terbayang olehnya sebelumnya, bahkan lemari itu sudah persis seperti toko Minimall, pikirannya.Benar saja kalau saat ini wanita itu tengah berada pada lemari yang ukurannya bahkan lebih lebar dari kamar miliknya."Wow, dia benar-benar sultan. Aku jadi penasaran, begitu banyaknya wanita di dunia ini, kenapa dia harus memilih aku?" ucapnya lagi pada diri sendiri, "meskipun ini karena hutang, seharusnya dia memikirkannya lagi."Setelah beberapa menit berada di dalam lemari yang rasanya seperti mall, akhirnya ia pun memutuskan untuk turun ke bawah dan melihat hal apa yang bisa ia kerjakan. Namun belum cukup jauh ia melangkahkan kakinya, hal yang membuatnya tercengang kembali menyambutnya lagi.Bahkan para pelayan baik pria maupun wanita datang menghampirinya, dengan layanan terbaik bak mall besar. Wanita itu tidak bisa berkata-kata. Dia hanya menerima layanan dengan senang hati, meskipun sedikit merasa tidak enak hati."Terima kasih, tidak apa-apa, aku bisa saja," Hanisa menolak untuk dilayani makan, dan mengisi sebuah piring yang akan digunakannya dengan senyum yang agaknya tidak enak hati.*Di ruangan yang tertutup tanpa cahaya, seorang pria berjambang tipis terbaring dengan pakaian serba hitam tanpa alas. Pria itu tampak terluka setelah mendapatkan pukulan dari beberapa penjaga yang ada di gedung itu. Gedung yang berdiri sendiri di tengah hutan yang lebat. “Sial, kurang ajar kau, Ducan,” umpatnya setelah dihajar habis-habisan oleh anak buah Ducan, yang tak lain adalah Hendri, orang yang kemarin disekapnya. “Aku sudah katakan, Hendri, jangan menolakku. Aku paling benci ditolak. Kau tahu kan, istrimu saat ini ada bersamaku beserta putramu.” “Jadi, jika kau masih ingin melihat mereka, maka lakukan saja apa yang aku katakan,” ucap Ducan penuh penegasan. “Ck, dari dulu kau memang brengsek. Kau selalu menggunakan kelemahan seseorang setiap kali membutuhkan sesuatu dari orang itu.” “Aku tahu itu,” jawab Ducan dengan enteng. “Sekarang katakan, apa kau mau mengikuti perintahku? Atau… kau mau melihat mayat anak dan istrimu?” tanya Ducan lagi. Pria itu tidak menjawab
Waktu terus berjalan, jam menunjuk pukul 07.30 pagi. Hanisa terbangun dari tidurnya, setelah ia memicingkan matanya agar dapat melihat dengan jelas, mengingat semalam ia menangis karena teror yang membuatnya terpukul.Ducan masih saja terlelap dengan pakaian kerja, kemeja putihnya. Hanisa menatap lekat-lekat wajah pria yang telah menjadi suaminya itu. Ia tak menyangka bahwa semalaman ini ia tertidur di pelukan Ducan dan memeluknya begitu erat, sampai tidak ada jarak di antara mereka.Sehingga Hanisa bisa dengan jelas menatap wajah pria itu. Wajahnya yang tampan dan berkarisma benar-benar membuat Hanisa gila. Betapa tampannya.Meski dalam tidur saja ia bisa terlihat sangat tampan dengan rambut teracak dan wajah sayu yang tampan. Pria itu tidak sempat mengganti pakaiannya karena ia tidak ingin meninggalkan Hanisa dan membuat wanitanya terbangun karena pergerakan yang Ducan lakukan. Karena itu, Ducan tidak menggantinya hingga matahari terbit."Dia, dia yang menemaniku sepanjang malam ini
"Ducan," peluk Hanisa sebelum pria itu bisa membenarkan posisinya, menangis di pelukan Ducan sambil tersedu-sedu. "Tolong jangan pergi. Aku takut. Ini pertama kalinya ada yang mengirimkan sesuatu seperti itu padaku. Aku takut," tangisnya yang tak henti. Ducan yang melihat itu seketika merasakan ada sesuatu yang terkoyak di dalam dirinya. Entah mengapa, tetapi yang pasti, di dalam lubuk hati Ducan yang paling dalam, ada suara keras dalam hatinya yang tak bisa ia ungkapkan, bahwa ia sama sekali tidak ingin melihat sesuatu terjadi pada Hanisa, meskipun itu hanyalah hal kecil. Ducan hanya bisa terdiam membiarkan Hanisa memeluk erat dirinya. Ia tidak bisa berkata-kata melihat kondisi Hanisa yang sangat terpukul karena teror itu, dan hanya bisa pasrah. Kemudian, ia mengelus lembut puncak kepala Hanisa. "Aku tidak akan pergi, tenanglah. Aku di sini bersamamu. Jangan khawatir," ucap Ducan menenangkan Hanisa. Hanisa sedang tidak berpikir apa-apa. Ia hanya terus berdiam di dalam pelukan Du
"Ada apa, Tuan? Apakah Anda percaya akan ucapan orang sialan itu?" ucap Tony setelah melihat reaksi wajah Ducan yang berbeda. "Tidak, bukan itu, Tony. Aku hanya merasa bahwa apa yang orang itu katakan tidak sepenuhnya benar, tapi juga tidak sepenuhnya salah." "Maksud Tuan?" tanya Tony penasaran setelah mendengar ucapan tuannya yang penuh teka-teki. "Aku hanya merasa kalau orang ini ada kaitannya dengan kejadian di masa lalu, tapi aku tidak tahu apa itu. Awalnya, aku kira orang ini hanyalah orang biasa yang disuruh untuk menerorku saja." "Tapi setelah ia mengucapkan beberapa kata yang membuatku tak percaya, sekarang aku yakin dia bukanlah orang biasa." "Selama ini kita sudah salah menilainya," ucap Ducan lagi. "Iya, Tuan, Anda benar. Selama ini kita salah mengenalnya. Awalnya, saya juga mengira begitu, tapi setelah mendengar semua ucapannya, sekarang saya juga yakin." "Ini, Tuan, coba lihat ini. Beberapa hari ini saya telah menyelidiki tentang Hendri ini," ucap Tony lagi s
"Bagaimana dengan ini?" ucap Ducan, menyuruh anak buahnya untuk membawa seseorang ke hadapan mereka."Apa kau masih mementingkan bosmu itu?" Ducan menunjuk pada wanita yang agaknya berusia 25 tahun, yang tak lain adalah istri pria itu."Dasar bajingan kau, Ducan!" umpatnya meludah, dengan bibir yang masih berdarah. Namun, hal itu bukanlah masalah bagi Ducan. Ia malah tersenyum licik dengan penuh kemenangan; orang yang selama ini berusaha membunuhnya telah kalah telak dan tak bisa melarikan diri lagi.Tapi itu bukan berarti ia akan terjamin keselamatannya. Selama musuh dari musuh ke musuhnya masih hidup dan mengganggu ketenangan keluarganya, ia akan tetap waspada dan tidak buta diri akan hal ini."Sekarang katakan, siapa orang yang menyuruhmu?" ucap Ducan dengan nada sedikit tidak sabar, melihat orang di depannya tampak ragu-ragu untuk menjawab."Cepat katakan, atau..." ancamnya sambil menyodorkan pistol ke kepala wanita yang sedang pingsan akibat bius yang Ducan berikan."Iya. Baik, b
"Mau ke kamar mandi," jawabnya berbicara dengan mulut yang tidak terlalu lebar, yang diangguki Ducan, percaya.Ducan kemudian memperhatikan Hanisa berjalan sampai memasuki kamar mandi, tampak perhatikannya.Hingga sampai di depan pintu kamar mandi, Hanisa pun dengan cepat menutup pintunya.Dan..."Aaaa...," teriak Hanisa, menutup mulutnya agar tidak terlalu sakit dan terdengar oleh Ducan. Dia melompat-lompat kecil tak percaya, kalau tadi ia baru saja membayangkan hal yang tidak-tidak bersama Ducan, yang hampir saja ketahuan karena kecerobohannya."Bodoh! Bodoh kau, Hanisa. Kenapa kau bisa-bisanya membayangkan hal-hal yang seperti itu bersama dia? Kenapa?" gerutunya kesal."Apa tadi dia tahu kalau aku sedang memikirkannya?" serunya menatap diri dalam cermin. "Hufff... ini benar-benar membuatku gila. Apa yang harus kukatakan padanya? Dan... apa yang dia pikirkan tentangku saat ini?""Apa dia tahu? Tidak. Aku rasa dia tidak akan tahu apa yang aku pikirkan tadi," ucapnya meyakinkan diri,