Share

Cacian Tiada Henti

Sari segera mendekap erat sang anak saat ia sadar dengan apa yang ia lakukan. Beruntung, tubuh bayi itu tadi baru saja melayang sedikit dari tangan Sari.

"Astaghfirullahaladzim, apa yang sudah kulakukan?" gumamnya sendiri.

Buru-buru Sari menutup pintu belakang rumah dan membawa Gavin yang berada dalam pelukannya ke dalam kamar. Anak pertamanya, Saskia, tampak bingung saat tadi ia melihat ibunya hendak melempar sang adik.

"Adik mau dibuang ya, Bu?" tanya bocah berusia empat tahun itu. Sari tersentak kaget saat Saskia tiba-tiba muncul dari balik gorden penutup kamar.

"Tidak, Sayang. Mana mungkin adik lucu mau dibuang," jawab Sari dengan tubuh yang masih gemetar.

Sari tak tahu kenapa ia melakukan hal itu. Untung saja, Saskia belum begitu mengerti. Jadi, dengan mudahnya ia percaya dengan ucapan sang ibu.

"Tapi, tadi Ibu mau lempar adik kaya aku lempar bungkus permen. Gini, 'kan?"

Saskia mencontohkan gerakan yang ia lihat tadi. Mata Sari seketika menutup. Tak mau bayangan saat melempar anaknya tadi terlintas kembali.

"Sudah, ya. Adik gak mau dibuang, kok. Sekarang, Kakak main di depan TV aja, ya?"

Saskia mengangguk, kaki kecil bocah itu berayun untuk sampai ke depan televisi dan bermain lego di sana. Melihat Gavin yang masih menangis, Sari buru-buru membuka resleting daster di bagian depan dan mulai menyusui anaknya. Namun, Gavin justru menolak. Bayi itu menangis semakin keras.

Brak

Brak

Brak

Bunyi pintu yang digedor oleh seseorang. Sari masih sibuk dengan Gavin yang tak bisa didiamkan. Ia pun memutuskan untuk membuatkan susu formula untuk anaknya. Seolah tuli, Sari tak menghiraukan gedoran pada pintu depannya.

Dengan sebelah tangan menggendong Gavin, Sari sedikit kerepotan saat ia harus merebus air guna menyeduh susu. Air panas dalam termos sudah habis. Ia hanya merebus sedikit air agar cepat mendidih. Saat hendak menuang air ke dalam termos, tiba-tiba saja pintu belakang rumah yang memang tak terkunci itu dibuka dengan keras.

Brak

Sari terkejut hingga air dalam panci itu jatuh dan mengenai kakinya. Ia menjerit dan nyaris melepaskan Gavin dari gendonganya. Beruntung, Sari masih memegang tubuh Gavin dengan erat. Ia pun meringis merasakan sensasi terbakar pada kakinya.

"Ya ampun, Sari! Kamu ini bisa jaga anak gak, sih? Anak kamu itu kerjanya nangis terus, nangis terus. Tahu kamu? Tangisannya itu kedengeran sampai rumah Bu Nurul. Dia sampai bilang kalau aku gak bisa ngajarin kamu buat rawat anak yang bener."

Tak menghiraukan menantunya yang menahan sakit di area kakinya, bu Tri lantas meraih tubuh Gavin dari gendongan Sari lalu dibawanya duduk di sebuah amben yang ada di dapur menantunya itu.

Merasa bahwa sang ibu mertua akan membantunya menenangkan Gavin, Sari lantas pergi ke kamar mandi untuk membasuh kakinya. Dengan sedikit pincang, Sari masuk ke dalam kamar mandi.

Namun, saat ia keluar dari kamar mandi, betapa terkejutnya ia saat mendapati mulut Gavin sudah belepotan dengan sesuatu yang berwarna putih kekuningan. Lalu, matanya menangkap tangan bu Tri yang memegang sesuatu.

"Ibu kasih makan Gavin sama pisang?" tanya Sari dengan raut wajah khawatir. Ia tentu tahu jika bayi sebelum usia enam bulan tidak boleh diberi makan apapun kecuali susu.

"Iya, kenapa memangnya? Anak kamu ini lapar, dan kamu sebagai seorang ibu malah gak peka. Lihat, sekarang dia anteng, 'kan?"

Wajah bu Tri seakan begitu bangga karena bisa menghentikan tangisan Gavin. Sedangkan Sari, entah apa yang dipikirkan dan dirasakan wanita yang baru saja melahirkan empat hari yang lalu itu.

Dengan langkah pincangnya, ia berjalan menuju kamar. Tak peduli dengan teriakan sang ibu mertua yang memanggil-manggil namanya.

"Oooh ... dasar menantu edan! Dipanggil mertuanya malah pura-pura gak denger. Biar budeg sekalian kamu sana!"

Setelah Gavin merasa kenyang dan akhirnya tertidur, bu Tri tanpa perasaan langsung menidurkan cucu keduanya itu di depan televisi di atas sebuah karpet tipis tanpa bantal dan kasur. Hanya jarik yang ia lipat asal untuk mengganjal kepala bayi mungil itu.

"Heh, Kia! Kamu jagain itu adek kamu, nenek mau pulang dulu. Nanti, kalau ibu kamu sudah keluar dari kamar, bilangin, suruh mandiin adek kamu. Bayi, kok, bau banget. Gak dipakein pempes, gak dipakein bedak. Emang dasar, ibumu itu gak bisa ngerawat anak."

Saskia, bocah berusia empat tahun itu tak mengerti apa yang neneknya katakan. Ia hanya membuka mulutnya sedikit lebar saat bu Tri berbicara panjang kali lebar.

Tanpa bu Tri tahu, sebenarnya Sari sudah keluar dari kamar dan kini ia tengah berdiri mematung di depan pintu setelah mendengar ucapan sang ibu mertua.

Bukan tanpa alasan Sari tak memakaikan popok sekali pakai ataupun bedak bayi. Selama di rumah sakit, Gavin dipakaikan popok sekali pakai sepanjang hari dan malam. Sari yang belum bisa bergerak bebas tentu tak bisa sering-sering menggantikan popok Gavin.

Lian yang menjaganya dan juga bayinya tak begitu peka terhadap keadaan anaknya. Semalaman, lelaki itu akan tidur tanpa terganggu tangisan sang bayi. Padahal, bayi itu merasa risih dengan popoknya yang tak kunjung diganti meski telah penuh oleh air kencing.

Sepulang dari rumah sakit, daerah kemaluan Gavin terkena ruam. Itulah sebabnya, untuk sementara waktu, Sari tak memakaikan Gavin popok sekali pakai. Sedangkan untuk bedak, Sari mendapatkan wejangan dari dokter anak yang menangani anaknya, bahwa bedak bayi sudah tidak direkomendasikan untuk dipakai setiap hari.

Bedak bayi cukup berbahaya, sebab, partikel super kecilnya bisa saja terhirup oleh hidung bayi. Sari yang berpikiran terbuka tentu menerima nasehat dari sang dokter. Tapi rupanya, hal itu bertolak belakang dengan sang ibu mertua.

"Ibu? Ibu kenapa? Kok, diam aja disitu?"

"Ibu mau rebus air buat adik dulu."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status