Sari berjalan perlahan menuju dapur. Panci yang tadi terjatuh ke lantai pun diambilnya. Diisinya panci itu dengan air dari keran hingga nyaris penuh dan menaruhnya lagi di atas kompor yang sudah dinyalakan apinya. Sari lalu kembali berjalan menuju depan televisi, di mana kedua anaknya berada di sana.
Saskia terlihat begitu anteng memainkan mainannya. Mata Sari kemudian beralih ke arah Gavin yang tertidur dengan mulut sedikit terbuka. Ia usap kepala bayi mungil itu lalu ia cium pipinya."Ternyata betul kata nenekmu, Nak. Kamu bau."Setelah mengatakan hal itu, Sari mengangkat Gavin untuk dibawanya ke bagian belakang rumah. Ia mengambil bak mandi plastik milik Kia dulu, lalu mengisinya dengan air dingin dari keran menggunakan satu tangan karena tangan satunya tengah menggendong Gavin.Dilepasnya semua pakaian yang menempel pada tubuh sang bayi. Dengan berdendang kecil, Sari mulai mengangkat tubuh polos Gavin dan sedetik kemudian, Gavin yang semula tertidur itu menangis dengan kerasnya, lalu tangisan itu menghilang sebab tubuh mungilnya sudah sempurna terendam air di dalam bak.Lian yang baru saja sampai di rumah terkejut saat mendengar suara tangis anak lelakinya. Ia lalu bergegas menuju bagian belakang rumah dan betapa terkejutnya Lian saat mendapati tubuh Gavin sudah tenggelam di dalam air di bak mandi."Sari! Gila kamu, ya?""Kenapa memangnya, Mas? Aku cuma mau memandikan Gavin saja, kok."Lian benar-benar tak menyangka dengan apa yang dilakukan isterinya. Dan setelah mendengar ucapan Sari, Lian jadi teringat dengan cerita sang istri mengenai ibunya."Apa ibu tahu tentang masalah ini, ya?"Dengan Gavin yang masih dalam gendongannya, Lian berjalan sedikit tergesa menuju rumah sang ibu yang memang bersebelahan dengannya. Di sana, Lian melihat bu Tri sedang asik menonton acara televisi. Sesekali wanita paruh baya itu tergelak saat acara komedi yang ia tonton memperlihatkan tingkah kocak sang pelawak."Bu?"Bu Tri menoleh saat mendengar suara anak pertamanya. Ia menurunkan kedua kakinya yang semula berselonjor di atas kursi panjang. Matanya melirik tak suka dengan Gavin yang berada di gendongan Lian."Sudah mandi itu anakmu? Tumben dipakein bedak?" tanya bu Tri yang nadanya lebih mirip menyindir.Biasanya, jika Sari yang mengganti pakaian Gavin memang tak pernah dibedaki, tapi, kali ini Gavin terlihat segar dengan bedak yang hampir menutup seluruh kulit tubuh dan wajahnya. Tentu karena yang memakaikan pakaiannya adalah Lian. Itu juga ia lakukan atas perintah sang ibu yang mengatakan jika bayi belum bisa dikatakan sudah mandi kalau belum pakai bedak yang tebal."Gak tahu, udah mandi atau belum," jawab Lian dengan wajah masam."Lho, kok gak tahu. Gimana, sih? Lha itu siapa yang makein baju sama bedak?""Aku, Bu. Si Sari udah gila itu kayanya. Masa, Gavin diceburin gitu aja di dalam bak air. Untung aja aku pas banget baru pulang. Kalau gak, udah tinggal nama ini si Gavin."Bu Tri melotot mendengar ucapan sang anak. Meski ia tak begitu suka dengan anak-anak Sari, tapi, mereka tetaplah cucunya. Sebenarnya, bu Tri sangat mengharapkan cucu dari anak keduanya, Sandi, yang menikah dengan seorang perempuan yang memang menjadi menantu idamannya. Namun, sudah empat tahun berumah tangga, Sandi dan isterinya tak kunjung mendapatkan momongan."Memang udah gila itu istrimu, Lian. Terus, gimana itu anak kamu, gak apa-apa?"Bu Tri beranjak dari duduknya dan mendekati Lian yang masih menggendong Gavin. Ditelisiknya bayi tersebut dan tak mendapati sesuatu yang aneh darinya."Syukurnya sih, enggak apa-apa, Bu. Mungkin bener baru kecelup terus keburu ketahuan sama aku.""Apa aku bilang, Mas. Mending anak Mas Lian itu biar aku aja yang urus. Kata mamaku, aku butuh pancingan. Dari pada aku adopsi anak orang lain, 'kan mending rawat keponakan sendiri. Iya 'kan, Bu?" ucap Kamila-- isteri Sandi.Kamila turut duduk di kursi kosong yang masih tersedia. Lebih tepatnya, kursi kosong di sebelah Lian. Wanita yang usianya hanya terpaut dua tahun lebih muda dari pada Sari itu terlihat jauh lebih muda. Tentu saja karena ia yang belum mempunyai anak dan masih bisa melakukan perawatan untuk tubuhnya. Sedangkan Sari, jangankan untuk merawat tubuh, sekadar mandi dengan bersih saja hanya bisa ia lakukan kadang-kadang."Ya, mau gimana lagi, Mil. Sari 'kan, gak ngijinin," jawab Lian."Gavin juga 'kan anak kamu, Mas. Malah, kamu itu kepala keluarga. Harusnya, kamu lebih berkuasa atas apapun di rumah dari pada Mbak Sari.""Betul kata Mila, Lian. Lagi pula, kamu lihat sendiri, 'kan, isterimu itu gak becus urus anak. Lihat, anakmu ini lho, kurus banget kaya gak terawat. Anak-anak yang lain baru lahir udah makan pisang kerok. Lha anakmu, dikasih ASI seret, sufor juga yang murahan. Mana ada gizinya?""Betul kata Ibu, Mas. Kalau Gavin aku rawat, aku janji bakal kasih dia makanan dan susu yang berkualitas. Baju dan skincarenya juga bakal aku beliin yang bagus. Dijamin, anak kamu nanti pasti bakal jadi anak yang ganteng kalau di tangan aku."Lian tampak berpikir, sesekali ia melihat ke arah Gavin yang kembali tertidur. Anaknya memang terlihat kecil dan kurus. Saat lahir, bobotnya hanya 2,7 kilogram. Berusia empat hari, bukannya terlihat semakin gemuk, Gavin malah terlihat lebih kurus."Nanti biar aku coba bicara lagi sama Sari, ya?""Ok-"PRANG!KLONTANG!Mereka semua terperanjat kaget saat mendengar suara barang-barang seperti sengaja dilempar ke lantai. Gavin yang semula sudah tertidur lelap pun jadi menangis."Sepertinya dari rumahmu itu, Lian. Coba kita lihat, jangan-jangan, memang sudah gila betulan si Sari sampai ngamuk-ngamuk kaya gitu," ucap bu Tri yang seketika membuat Lian geram.Lian menitipkan Gavin pada Kamila dan ia bersama dengan ibunya pergi ke rumahnya untuk melihat apa yang terjadi. Benar dugaan bu Tri, di dapur, ia melihat Sari tengah melempar barang-barang dapur ke lantai."Hei! Sudah hebat kamu rupanya, main buang-buang barang begini? Emang, kamu bisa gantinya kalau sampai rusak, hah?!" Bu Tri berteriak dengan tatapannya yang nyalang."Mana Gavin, Mas?!" teriak Sari dengan tatapan nyalang.Lian sedikit terkejut melihat reaksi sang istri. Selama enam tahun berumah tangga, baru kali ini Lian melihat Sari menatapnya dengan tatapan seperti itu."Heh, Sari! Yang sopan kamu kalau ngomong sama suami. Mau jadi isteri durha
"Atau apa? Memangnya, apa yang mau kamu lakukan, Sandi? Jangan ikut campur urusan rumah tanggaku dengan Sari!" sentak Lian yang tak suka dengan sikap sang adik."Jangan pikir, aku gak tahu kalau kamu sering main tangan sama Mbak Sari karena suruhan Ibu, Mas. Aku bisa melaporkan kamu ke polisi atas kasus kekerasan dalam rumah tangga."Ucapan Sandi telak membuat rahang Lian mengeras karena geram. Sedangkan bu Tri, ia cukup terkejut saat Sandi seolah tengah mengancam kakaknya sendiri. Mendengar kata 'polisi' ternyata juga membuat bu Tri sedikit takut dan merasa geram dengan anak bungsunya itu."Heh, Sandi! Jangan macam-macam kamu, ya! Masa, kamu mau laporin kakakmu sendiri ke polisi."Sandi yang semula masih menghadap ke arah Lian dan Sari pun kini berbalik menjadi menghadap ke arah bu Tri yang tampak emosi. Sandi sangat menyayangi ibunya, tapi, jika wanita yang sudah melahirkannya itu berbuat salah, tentu Sandi tak akan segan untuk mengingatkan."Sandi gak tahu, apa yang bikin Ibu begit
Sari memukuli tubuh sang suami. Lian terus melindungi tubuhnya dengan kedua tangan hingga akhirnya ia merasa berang.Plak!Mata Sari membulat sempurna, dengan deru napas yang kian berat, Sari seakan menjadi patung dengan posisinya yang masih setengah berbaring di atas sofa."Apa-apaan kamu, Mas!" sentak Sandi. Segera lelaki itu mendekati Sari yang masih bergeming dengan tatapan kosong."Mbak Sari? Mbak Sari gak apa-apa?"Seakan telinganya tuli untuk mendengar suara Sandi. Mata Sari justru tertuju pada bayi merah yang ada dalam gendongan Sandi. Lekas, wanita itu meraih Gavin untuk dipeluknya."Jangan tinggalin Ibu, Nak. Gavin di sini saja sama Ibu, ya? Jangan mau ikut Tante Mila, Gavin anaknya Ibu."Sari menciumi wajah mungil Gavin. Bayi merah itu tak merasa terganggu dengan apa yang dilakukan ibunya. Justru, Sandi yang kini tengah memikirkan apa yang baru saja dikatakan oleh kakak iparnya itu."Memang sudah gila si Sari ini," gumam Lian yang tertangkap pendengaran Sandi."Aku mau bica
"Sari? kamu kenapa?" tanya Lian saat mendapati Sari terlihat seperti kebingungan. Tubuhnya terus bergerak kesana dan kemari seperti mencari sesuatu."Anakku ... anakku, di mana? Tidak boleh ada yang mengambil anakku!"Rupanya Sari tengah mencari keberadaan bayinya. Lian juga tidak tahu. Tadi, Lian menitipkan Gavin pada ibunya di rumah ini. Atau mungkin, Gavin sedang diajak pergi ke rumah ibunya di sebelah."Kamu tenang dong, Sar! Gavin gak akan kemana-mana. Paling juga lagi di rumah ibu. Jangan lebay kamu!"Tanpa menunggu lebih lama, Sari berlari menuju rumah sang ibu mertua. Benar saja, di sana, Gavin sedang dibiarkan tergeletak di atas sofa tanpa didampingi apapun. Sedangkan, ibu Tri sedang asik menonton acara televisi bersama dengan menantu kesayangannya."Ibu kalau tidak ikhlas menjaga anakku, lebih baik tidak usah dijaga sekalian," ujar Sari dingin membuat bu Tri seketika menghentikan gerakan rahangnya yang tengah mengunyah jajanan ringan."Ngomong apa, kamu? Gak sopan! Udah anak
Lian terperanjat kaget saat Sari menghadangnya tepat di belakang pintu. Mendengar ucapan Sari, Lian mendadak gugup. Ia seperti seseorang yang ketahuan telah mencuri."Apaan, sih, kamu."Sari mengambil Gavin dari dalam gendongan Lian. Melirik tepat ke arah mata sang suami yang berusaha lari dari tatapannya. Sari melihat saat bagaimana tangan bidan Hesti mengusap lembut pundak suaminya. Rasanya, itu bukan hal yang pantas dilakukan seorang wanita lajang terhadap seorang laki-laki beristri."Ngapain tadi bidan Hesti kesini?"Mendengar nama bidan cantik itu disebut, Lian makin salah tingkah. Padahal, Sari hanya ingin tahu tanpa ada nada menuduh di sana."Cuma lewat aja, terus mampir karena mau lihat Gavin. Kenapa, sih? Kamu kaya nuduh aku ngapain aja sama bidan Hesti. Aneh!"Lian berlalu dari hadapan Sari. Justru, kali ini Sari yang mengerutkan kening tak mengerti karena Lian yang terlihat aneh. Tak mau ambil pusing, Sari lantas menutup pintu dan membawa Gavin ke kamar karena adzan magrib
Sari masih tetap mematung di tempatnya berdiri. Lian, suaminya itu tengah menatapnya dengan tajam setelah baru saja keluar dari kamar dengan menggendong Gavin yang sepertinya masih terjaga."Tidur kamu di dalam kamar mandi?""M-mas, itu jamnya mati, kan?" tunjuk Sari pada jam dinding yang menunjukkan pukul dua belas malam."Otakmu itu yang mati!" ucap Lian geram. Sari semakin gugup melihat kilat marah dari mata Lian.Rambutnya yang masih meneteskan air itu membasahi baju bagian pundak dan punggungnya, membuatnya merasa kedinginan padahal tadi tidak. Lian yang melihat gelagat Sari pun menghampirinya."Kia sudah kusuruh pulang dari tadi dan aku baru saja pulang jam sebelas. Kata Kia, kamu sudah di dalam kamar mandi sejak dia pulang sehabis Isya'. Ngapain aja kamu? Keramas malam-malam begini, habis main sama siapa kamu?"Sari tersentak saat Lian dengan teganya mengatakan hal itu. Seolah, suaminya itu tengah menuduhnya berselingkuh."Apa maksud kamu, Mas? Aku cuma mandi gak lebih dari lim
"Mbak Sari! Mbak Sari! Mau kemana, Mbak?"Bagaikan tuli, Sari tetap melanjutkan langkahnya menuju kebun kosong yang gelap tak jauh dari rumahnya. Tangisan Kia seakan sama sekali tak menyentuh gendang telinganya meskipun bocah itu sudah mengeluarkan suaranya sekuat tenaga."Gak mungkin aku ngikutin, kebun sana, kan, gelap banget. Mending aku kasih tahu suaminya aja."Salma, menantu dari bu Ratmi yang memang rumahnya hanya berjarak dua rumah dari rumah Sari itu melihat Sari berjalan menuju kebun kosong bersama anak perempuannya. Tadi, Salma baru saja melepas kepergian sang suami yang bekerja shift malam dan memutuskam untuk duduk-duduk sebentar di teras rumah sambil memainkan ponsel.Salma heran saat pintu rumah Sari terbuka lebar. Beberapa kali ia memanggil nama Lian, tapi tak ada yang menjawab."Duh! Mas Lian kemana, sih?"Salma meremat tangannya sendiri karena takut. Sesekali ia menoleh ke belakang, di mana arah perginya Sari tadi. Ia masih mendengar suara tangis Kia meskipun sudah t
Sandi buru-buru menggendong Kia yang masih menangis. Apalagi, ditambah dengan ia yang terjatuh sebab diam-diam Sandi menarik tubuh Sari dari belakang hingga menyebabkan Sari dan Kia terjatuh secara bersamaan."Mas, cepat bawa mbak Sari pulang!" teriak Sandi saat mendapati kakaknya itu masih terpaku di tempatnyaMungkin Lian juga sama terkejutnya.Sedangkan, Sari sudah menangis meraung dengan posisi masih duduk di atas tanah yang berumput itu. Ia meracau tidak jelas.****"Nyusahin banget isteri kamu itu Lian," gerutu bu Tri yang saat ini berada di ruang tamu rumah sang anak.Lian hanya mampu mengusap wajahnya kasar. Sari sudah tidur di kamarnya. Tadi, ia sempat pingsan ketika sampai di rumah dan mendapati kedua anaknya tengah menangis. Terutama Kia. Bocah itu sampai menolak untuk Sari dekati, membuat pukulan besar terhadap diri Sari sendiri."Ya, mau gimana lagi, Bu. Kayanya, Sari emang beneran sakit," jawab Lian lesu.Pikirannya kini benar-benar kacau. Melihat Sari yang kian hari kia