Lian menangis sembari memeluk tubuh Gavin yang telah kaku. Betapa terkejutnya Lian saat mendapati Gavin masih dalam posisi tidur di ranjangnya tapi dengan bibir yang sudah membiru."Ayah, adik kenapa, Yah?" tanya Kia masih dengan isakan-isakan kecil yang keluar dari bibirnya.Sebenarnya, Kia tahu apa yang terjadi pada adiknya. Tapi, anak sekecil itu tidak akan paham akibat dari sebuah kejadian. Semalam, Kia melihat saat adiknya menangis keras dan sang ibu berusaha mendiamkannya dengan cara menggendong dan memberinya susu.Namun, Gavin tak kunjung diam sampai akhirnya, Sari meletakkan Gavin kembali ke atas ranjang. Tangannya bergerak mengambil bantal besar miliknya, lalu, meletakkannya di atas tubuh Gavin.Bantal sebesar itu tentu saja mampu menutup seluruh tubuh termasuk wajah bayi yang mungil. Persis seperti malam kemarin dan Kia berusaha menolong sang adik. Namun, Sari justru mendorong tubuh Kia hingga tubuh bocah empat tahun itu terjatuh dari atas ranjang.Kia berusaha lari keluar,
Semua yang berada di dalam ruangan itu, terlebih Lian dan Sandi sangat terkejut dengan kedatangan Kamila. Wanita itu lantas menghampiri meja petugas, di mana sang suami dan kakak ipar berada."Kamu ngapain kesini, Mila?" tanya Sandi dengan nada lembut. "Aku disuruh ibu, Mas, untuk memastikan bahwa mbak Sari harus dihukum seberat-beratnya karena sudah membunuh Gavin."Sandi lantas berdiri lalu sedikit menyeret Kamila agar sedikit menjauh dari meja petugas. Sandi merasa malu dengan tindakan Kamila barusan. Menurutnya, hal itu bukanlah menjadi kewenangannya. Sari menjadi tersangka, sedangkan korban adalah anak kandung Sari sendiri. Tentu saja dalam hal ini, Lian yang menjadi penanggung jawab penuh atas apa yang terjadi pada Sari dan Gavin."Kamu jangan memperkeruh suasana di sini, Mila.""Memperkeruh apa sih, Mas? Aku cuma membawa amanah dari ibu aja, kok. Sebagai seorang nenek, ibu gak rela cucunya dibunuh oleh mbak Sari," jawab Kamila tegas. Ia sangat mendukung pemikiran bu Tri karen
"Bu Hesti, tolong, Bu!" teriak Lian saat dirinya baru saja turun dari motor Sandi. Kebetulan, saat itu Hesti baru saja selesai memeriksa seorang pasien di dalam tempat praktiknya. Seakan ikut merasakan kepanikan Lian, Hesti lantas segera menyuruh Lian untuk membaringkan Kia di atas tempat tidur periksa."Miringkan, Pak Lian. Agar Kia tidak tersedak air liurnya sendiri. Saya ambilkan obat dulu."Hesti bergerak cepat. Tubuh Kia masih kejang dengan Lian yang terus memegangi tubuh sang anak. Tak sampai satu menit, Hesti datang dan segera melepas celana dalam milik Kia."Apa itu, Bu?""Obat kejang, Pak. Harus dimasukkan melalui anus," jawab Hesti seraya memasukkan obat berbentuk pil itu ke dalam anus Kia.Perlahan, kejang yang Kia alami mulai berhenti. Hesti memulai pemeriksaan. Namun, bidan muda itu terkejut saat tubuh Kia kembali mengalami kejang dan terlihat semakin parah. Kedua bola mata Kia berputar ke atas hingga hanya terlihat bagian putihnya saja."Kita harus segera membawa Kia ke
"Alhamdulillah, kamu sudah bangun, Sayang?"Pertanyaan yang sungguh klise dan tak perlu lagi untuk dijawab saat Sandi melihat Mila sudah membuka matanya dan tengah mengedarkan padangannya ke seluruh ruangan."Aku dimana, Mas?""Kamu di klinik sekarang. Tadi, kamu pingsan dan Mas mau bawa kamu ke tempat bidan Hesti. Tapi, bidan Hesti sedang tidak ada di tempat."Mila mengingat apa yang terjadi padanya sebelum gelap menguasai dunianya. Tadi, ia merasa tiba-tiba pandangannya menghitam dan kepalanya terasa begitu sakit. Kini, ia justru merasa sangat lemah. Padahal, tadi ia tidak merasakan apapun. Hanya lelah biasa karena harus melayani keinginan ibu mertuanya."Aku kaya gini pasti karena kelelahan kan, Mas?"Sandi tersenyum lalu mengangguk. Ada satu hal lagi yang tidak Mila ketahui tentang penyebab ia tumbang hari ini."Kalau gitu, setelah dari sini, aku mau tetep pulang ke rumah mama papa. Ngerjain kerjaan rumah aja udah buat aku capek, Mas. Sekarang malah ditambah ngelayani ibu. Pokokny
"Ayah," lirih Kia yang baru saja sadar. Bocah empat tahun itu terlihat sangat lemah. Di sampingnya, Lian buru-buru mendekat dan mencium pucuk kepala anaknya."Kia pusing, Yah," adu Kia. Tubuhnya setengah telanjang karena ada beberapa kabel yang ditempel di dadanya. Selang oksigen juga menghiasi wajah kecil Kia."Ayah panggilkan dokter dulu, ya?"Kia hanya mengangguk lemah. Tubuhnya begitu sulit untuk digerakkan. Ia juga merasa tak nyaman dengan benda yang mengeluarkan udara dingin tepat di lubang hidungnya.Tak berapa lama, dokter datang dengan seorang perawat. Kedua petugas medis tersebut melakukan tugasnya dengan baik dan Lian merasa lega saat dokter mengatakan bahwa kondisi Kia berangsur-angsur membaik."Kia mau apa?" tanya Lian lembut sembari mengusap rambut anaknya."Ibu mana, Yah?"Tangan Lian yang semula berada di kepala Kia pun berpindah. Mengingat apa yang sudah Sari lakukan membuat Lian kembali didera rasa kesal. Ia juga belum tahu perkembangan kasus yang menimpa isterinya i
Semenjak Hesti menyatakan cintanya pada Lian dan Lian belum menjawab, keduanya tak lagi saling bertemu. Sudah dua hari Kia di rawat di rumah sakit dan hari ini Lian terpaksa meninggalkan anaknya itu untuk pergi ke kantor polisi. Hasil pemeriksaan terhadap Sari sudah keluar dan hasilnya, Sari memang menderita gangguan jiwa. Ada rasa marah dan kesal dalam diri Lian. Ia tak menyangka jika wanita yang pernah dikaguminya itu bisa mengalami hal demikian.Namun, sisi lain dalam dirinya mengatakan jika apa yang dialami Sari tak luput dari ketidakpeduliannya terhadap isterinya tersebut."Jadi bagaimana, Pak?""Sesuai undang-undang yang berlaku, Pak Lian. Ibu Sari tidak bisa kami jadikan tahanan dan dia akan dimasukkan ke dalam pusat rehabilitasi untuk mendapatkan perawatan hingga benar-benar sembuh."Setelah bertemu dengan komandan polisi, Lian dipersilahkan untuk melihat kondisi Sari di dalam sel tahanan yang sebentar lagi akan ditinggalkannya.Wanita yang dulu terlihat cantik apa adanya itu
"Waduh, pagi-pagi udah bocengan, asik bener!"Ternyata Mila juga penasaran dengan siapa yang bu Kokom maksud tadi. Ia lantas menoleh ke arah suara sepeda motor yang melintas di belakangnya."Mas Lian?" gumam Mila. Meski terkejut, tapi dalam hati Mila merasa senang jika yang ia lihat baru saja sama seperti apa yang ada dalam pikirannya.Memang benar, yang dimaksud bu Kokom tadi memanglah Lian. Sejak Lian menerima pernyataan cinta Hesti dua hari yang lalu saat Hesti memeriksa kondisi bu Tri di rumahnya, mereka seperti lupa akan status masing-masing.Bahkan, Hesti yang sebelumnya terkenal sebagai bidan muda penuh prestasi dan cantik, kini hanya dipandang sebagai perempuan pelakor. Hesti pun seperti tak mempermasalahkan hal itu. Jika ada orang yang menegurnya, Hesti hanya akan menjawabnya dengan santai bahwa ia dan Lian sama-sama saling mencinta."Lihat tuh, Mil. Kakak ipar kamu itu emang gak tahu diri banget. Udah isterinya gila, eh, dianya malah selingkuh," ucap bu Kokom sekali lagi. Mi
"Kamu Lian, kan? Suaminya Sari?"Lian tampak mengerutkan keningnya tanda berpikir. Ia seperti tak asing dengan lelaki berseragam sama dengan Hesti yang ada di depannya kini. Lian mencoba mengingat-ingat hingga muncul bayangan seseorang di dalam kepalanya."Kamu ... Damar?"Lelaki itu mengangguk sembari tersenyum. Tangannya yang berkulit putih langsat itu terulur ke depan. Lian kemudian menyambut jabatan tangan lelaki bernama Damar tersebut."Maaf ya, aku sibuk. Aku mau balik dulu."Lian hendak memutar kunci pada sepeda motornya, namun, Damar berusaha mencegah dengan cara menahan lengannya. Sebenarnya, Lian juga cuma beralasan bahwa dirinya sibuk. Tak ada hal yang harus ia lakukan setelah ini selain mengurusi Kia yang saat ini pun sepertinya masih tertidur. Lian hanya merasa tak nyaman jika harus berhubungan dengan orang dari masa lalunya dan Sari."Tunggu, Lian! Aku cuma ingin bicara sebentar sama kamu."Lian tak bisa mengelak, cekalan tangan Damar pada lengannya terasa cukup kuat, na