Mimpi itu datang...
Semerbak asap rokok, lampu disko yang berpijar dan juga suara musik di club membuatku mabuk. Dan semakin bertambah mabuk setelah aku menyesap habis empat batang rokok dengan sebotol vodka di tangan kananku. Aku bergoyang mengikuti irama musik, pinggulku kuliukan dengan sengaja untuk menggoda para pria yang ada di dalam sana. Mata-mata lapar itu menatapku penuh minat seperti binatang liar. Gairah dari pandangan mereka tidak mereka sembunyikan.
Dress pass body yang kukenakan membuat bagian-bagian tubuhku menonjol dengan sempurna. Tatapan mereka membuat tubuhku semakin bertambah panas dan bergairah. Dengan sengaja aku menggigit pelan bibirku sambil memberi tatapan menggoda.
Seseorang melingkarkan tangannya di pinggulku.
"Deftia Aluna?"
"Deftia Aluna Irfandi." Aku mengoreksi sambil tersenyum menunjukkan padanya cincin kawin yang terpasang indah di jari manisku, "gue udah nikah."
"Menantang sekali." Dia mulai mengecup pelan punda polosku dan membuatku memberikannya akses untuk mencium leherku. Aku menutup mataku menikmati cumbuannya yang semakin merambat naik dari leher.
Detik berikutnya, aku telah berputar melingkarkan tanganku di lehernya, menekan kepalanya agar ciuman kami semakin intens.
***
Aku terbangun dari tidurku. Kepalaku berdenyut kencang menunggu waktu untuk meledak. Keringat pun membanjiriku. Aku seperti habis berlari bermil-mil hanya karena mimpi sialan itu.
Benarkah itu mimpi? Tapi di dalam sana aku sangat menikmati kejadian tersebut. Atau jangan-jangan itu salah satu kenangan masa laluku?
Aku masih ingat jelas rasa sentuhan dari pria asing itu. Bau alkohol yang menguar dari mulutnya juga rasa tembakau dari bibirnya. Semua terasa amat nyata. Apa Tama berbohong padaku? Tapi kenapa?
Teringat Tama, aku segera menoleh kesampingku. Hanya ada bantal dan seprai yang kusut dengan permukaanya yang sudah mendingin. Tama tidak ada di sampingku. Aku menatap ke sekeliling ruangan. Rasanya amat sepi dan mencekam. Bulu kudukku sampai berdiri seketika.
"Tama?"
Tidak ada jawaban.
Aku menutup mataku sejenak, mengusap pelan pelipisku yang berdenyut dan dengan segera melangkah keluar untuk mencari Tama. Tidak ada siapa pun di luar. Aku kembali menatap kamar dan tangga bergantian sebelum mebulatkan tekad untuk turun mencari keberadaan Tama.
"Tama? Kamu di mana?"
Apa dia pergi keluar? Tapi kenapa dia tidak memberitahuku? Aku tidak familiar dengan tempat ini dan rasanya sangat asing harusnya dia tahu itu. Bahkan kata sandi penthouse ini saja aku juga tidak tahu.
"Pagi sayang."
Aku terlonjak mendengar suara asing dari wanita di belakangku. Dengan cepat aku berbalik. Di pintu dapur seorang wanita paruh baya dengan celemek cokelat yang menghiasi dirinya muncul. Rambutnya sudah putih sebagian dengan keriput yang mulai menghiasi wajahnya.
"H-halo." Aku merasa takut tiba-tiba karena bertemu dengan orang asing di tempat asing.
Wanita itu memberi senyum maklum padaku, "Tama tadi kasih tahu Bibi tentang kondisi kamu. Kamu pasti kaget karena ada Bibi di sini. Kenalin Bi Susan, pengasuhnya Tama dulu dan sekarang jadi asisten rumah tangga yang biasanya bantu-bantu di sini."
"Saya Deftia Aluna Irfandi," kataku pelan.
"Bibi tahu. Kan kamu jadi bos bibi juga sekarang." Bi Susan tersenyum ramah. Dia memberi isyarat padaku agar aku mengikutinya masuk ke ruang makan, "Tama tadi pesan ke bibi. Kamu nggak boleh ngelewatin waktu makan. Tapi karena kamu tidurnya kelewat nyenyak jadi bibi nggak enak buat ngebangunin."
Aku terkejut mendengarnya, "Memang sekarang jam berapa bu?"
"Panggil Bibi aja. Sekarang udah sore. Kamu duduk dulu biar Bibi siapin makanan." Bi Susan mempersilahkanku untuk menunggu di meja makan sedangkan dia langsung bergerak cepat untuk menyiapkan menu makanku yang sangat terlambat. Aku duduk di sana dan menatap bi Susan yang cekatan mengeluarkan mangkuk dan memindahkan semua sayur ke dalam mangkuk. Dia kelihatan nyaman di dapur ini dan terlihat baik. Tapi sayangnya aku tidak mengingatnya sama seperti yang lainnya.
"Ini, sayang. Silahkan dimakan." Bi Susan meletakan nasi merah dengan ayam kecap dan juga segelas jus didepanku. Mencium aroma yang menguar dari ayam kecap itu membuat perutku bergemuruh seketika. Ternyata aku selapar itu.
Mataku membeliak sempurna saat merasakan lezatnya rasa masakan yang dihidangkan, "Enak Bi."
Bi Susan tersenyum sayang padaku, "Mungkin karena itu masakan favoritmu."
"Pantas."
Dia masih tersenyum menatapku yang sangat menikmati makanan buatannya.
"Bibi udah berapa lama kerja di sini?" Aku bertanya.
"Bibi dulu pengasuhnya Tama. Dan waktu kamu sama Tama nikah bibi dibawa ke sini buat jadi asisten rumah tangga. Tapi bibi udah tahu kamu dari lama."
Kalimat Bi Susan menarik perhatianku, aku segera beralih untuk menatapnya, "Jadi bibi kenal aku? Sedekat apa kita bi?"
Tiba-tiba raut wajah bi Susan berubah. Wajahnya tegang seketika seperti menyembunyikan sesuatu. Dia berusaha untuk tetap tersenyum meski hasil dari senyumnya tidak terlihat natural.
"Bibi udah kebanyakkan ngomong kayaknya. Maaf, tapi Tama ngelarang bibi buat cerita soal masa lalu. Bibi mau nyiapin air mandi buat dulu kamu lanjutin aja makannya."
Bi Susan berjalan keluar sebelum aku sempat membalas kalimatnya.
Tama melarang untuk membicarakan masa lalu? Kenapa?
Aku tahu dokter memang menyarankan agar tidak memaksakan diri untuk mengingat kembali tentang masa lalu. Tapi kenapa aku malah merasa orang-orang di sekitarku seperti sengaja menyembunyikan tentang jati diriku yang sebenarnya.
Sampai saat ini aku sendiri hanya mengetahui hal-hal dasar tentang diriku. Tentang siapa aku dan usiaku saat ini. Aku Deftia Aluna Irfandi. Berusia dua puluh tiga tahun dan menikah dengan seorang pengusaha. Dia Dytama Caka Irfandi usianya dua puluh delapan tahun. Ternyata pernikahan kami sudah berjalan cukup lama, dua tahun. Ibuku sendiri meninggalkanku saat aku kecil dan papaku meninggal dua bulan lalu. Hanya itu.
Aku masih memiliki banyak pertanyaan. Soal ibuku yang kenapa memilih pergi. Tentang pertemuanku dengan Tama, hubunganku dengan papa, dan soal mamanya Tama yang kelihatan sangat membenciku.
Aku kembali fokus pada makananku dan menyelesaikan makanku dengan cepat. Setelah membereskan sisa-sisa kotoran dan mencuci bekas makanku sendiri aku kembali ke kamar. Jacuzzi sudah disiapkan. Bi Susan meninggalkanku sendiri untuk mandi tanpa mau menatap mataku.
Kenapa dia juga tiba-tiba bertingkah aneh?
Berendam air hangat tidak membuatku merasa nyaman. Karena tidak ingin menghabiskan banyak waktu hanya untuk berendam aku segera beranjak dari jacuzzi dan mulai memilih bajuku sendiri. Dan seperti sebelum-sebelumnya aku tidak menemukan pakaian yang layak untuk dikenakan. Aku tidak masalah jika harus menggunakan hotpants yang memperlihatkan kakiku karena itu batasannya. Tapi tidak untuk membiarkan bagian tubuh atasku terekspose dengan mudahnya.
Aku melirik pakaian Tama di sisi lain dan berpikir sejenak.
Apa dia bakal marah kalau aku menggunakan pakaiannya?
Seperti maling aku bergegas menarik kemeja putih miliknya dan segera memakainya, bahkan setelahnya dengan cepat aku melesat keluar dari sana. Takut ketahuan mengambil kemeja milik suamiku sendiri. Tersadar jika aku sedang bersikap konyol aku menggelengkan kepalaku dan memutuskan untuk turun.
"Bi Susan?" tidak ada jawaban.
Aku melangkah ke dapur tempat di mana bi Susan menghabiskan waktunya tadi pagi, tapi dia tidak ada di sana. Hanya ada segelas susu dan sebuah catatan.
Diminum untuk nutrisi bayi. Bibi ke supermarket sebentar.
Aku segera menyesap susu tersebut. Meski masih dalam kondisi yang membingungkan tapi aku tetap tidak boleh melupakan nutrisi untuk janin yang tengah kukandung. Aku juga tidak boleh stress karena bukan hanya aku yang menggunakan tubuh ini.
Aku menatap sekeliling ruangan. Rasanya sepi. Kakiku melangkah menuju ruang kerja Tama. Satu-satunya tempat yang belum aku sambangi. Aku duduk di meja kerjanya. Hanya berisi laptop dan bebeeapa berkas yang tidak aku mengerti. Anehnya tidak ada satu pun foto kami di sini. Hanya ada tumpukan koran lama yang membahas soal kebakaran pabrik sepatu.
Langkah kaki Kyla terdengar cepat saat ia memasuki ruang ganti rumah sakit. Seragam putihnya rapi, rambutnya ia ikat tinggi seperti biasa, tetapi ada sesuatu di wajahnya yang sedikit lebih kaku. Ia melirik ke arah Gibran yang berjalan di sampingnya sambil menyodorkan botol air.“Jangan dekat-dekat begini di rumah sakit,” bisik Kyla, suaranya terdengar waspada. “Aku nggak mau orang-orang mulai bergosip.”Gibran menahan tawa, meski bibirnya sedikit terangkat. “Aku cuma nemenin kamu masuk. Kita kan baru aja dari kantor catatan sipil, Ky. Aku cuma pengen pastiin kamu nggak kelihatan terlalu gugup.”Sejak hari ini keduanya memutuskan untuk mengganti panggilan mereka. Tidak ada lagi lo-gue ketika berkomunikasi berdua.“Justru itu masalahnya." Kyla melirik sekeliling. Beberapa perawat lewat dan menatap mereka sekilas. “Kamu nggak boleh sering-sering muncul di sini. Apalagi sekarang lagi ada seleksi buat posisi dokter spesialis umum. Aku nggak mau rekan sejawat mikir aku aji mumpung.”Gibran
Sinar matahari pagi menembus tirai ruang keluarga sehingga menciptakan garis-garis emas di lantai. Aluna berdiri di dekat jendela dengan secangkir teh hangat di tangannya. Ia menarik napas panjang, menikmati aroma segar dari halaman yang basah oleh embun. Hari ini cuaca terasa berbeda langit biru bersih, angin lembut, dan suara burung bersahut-sahutan.Tama baru saja keluar dari kamar, masih menyingsingkan lengan kaus putihnya. Rambutnya sedikit berantakan, tetapi senyum santainya muncul begitu melihat istrinya. Aluna menoleh, matanya berbinar. “Pa, lihat deh. Cerah banget. Kalau kita nggak keluar rumah rugi, lho.”Tama mendekat, menepuk bahunya pelan. “Kamu kepikiran piknik?”Aluna mengangguk antusias. “Iya. Udah lama kita nggak makan di luar bareng anak-anak.”Biasanya akan ada jadwal untuk mereka makan di luar bersama walau pun hanya sekedar di depan halaman rumah. Bukan hal yang mahal tapi sangat istimewa untuk semuanya.Sementara itu, di lantai ruang keluarga, keranjang piknik ko
Saat pada akhirnya semua orang keluar dari ruangan, Tama berakhir dengan terduduk di kursi rapat, melepas dasi. Triplets berlari-lari di sekeliling meja, seolah ruangan itu sekarang taman bermain mereka. Bahkan mereka tidak peduli bagaimana raut wajah yang penuh keprasahan itu tercetak di waja Tama.Randy mendekat sambil tertawa kecil. “Pak, sejujurnya… itu rapat paling menghibur sepanjang karier saya.”Tama hanya bisa mengusap wajahjya kasar. "Saya jadi bingung harus baangga atau malah malu."Tiba-tiba Raka datang menghampiri, menarik ujung jas Tama. “Pa, kita seru kan di kantor Papa?”Tama tidak bisa menahan senyum. “Iya, seru banget. Papa nggak akan lupa hari ini.”Rama menunjuk papan tulis yang penuh coretan krayon. “Itu karya kita, Pa. Biar kantor Papa cerah.”Rajen menambahkan, “Besok kita boleh ikut lagi?”Tama tertawa lepas. “Hmm… kayaknya Papa perlu rapat dulu sama Bunda buat jawab itu.” Karena saat mengiyakan, sudah pasti dirinya sendiri yang akan pusing dengan tingkah ajaib
Pagi itu, sinar matahari menyelinap lewat tirai jendela kamar Tama dan Aluna. Di meja kerja kecil di sudut kamar, beberapa dokumen penting sudah tertata rapi. Tama—atau Papa—baru saja menerima telepon dari asistennya yang mengingatkan bahwa hari ini ada pertemuan penting dengan para investor besar. Biasanya, ia akan berangkat sendiri dan memastikan rumah tenang. Tapi pagi itu berbeda: Aluna sedang ada janji dengan dokter gigi, dan pengasuh pembantu yang biasa datang mendadak izin.“Bun, gimana ini? Aku harus berangkat sebentar lagi,” kata Tama sambil merapikan dasinya.Aluna menoleh sambil menggenggam tangan Rajen yang baru bangun. “Aku nggak bisa batalin jadwal dokter. Mereka udah atur sejak bulan lalu. Kamu bisa nggak bawa mereka sebentar aja? Rapatnya kan nggak terlalu lama, ya?”Tama memandang ketiga malaikat kecil yang sedang berguling-guling di atas karpet. Raka sudah memegang mobil mainan, Rama menarik bantal, dan Rajen sedang mencoba memakai kaus kebalik. Mereka tampak begitu
Pagi itu, udara di rumah terasa segar. Matahari baru saja menembus jendela ruang tamu, menyinari lantai kayu yang bersih (atau setidaknya sebagian besar sudah bersih setelah drama tepung beberapa hari lalu). Raka, Rama, dan Rajen sudah bangun lebih pagi dari biasanya, seperti mendapat sinyal khusus dari tubuh kecil mereka bahwa hari ini akan ada keseruan baru.Aluna sendiri sedang menyiapkan sarapan sederhana—roti panggang, selai stroberi, dan susu hangat—sementara Tama duduk di sofa sambil menatap ketiganya dengan senyum penuh rencana. Hari ini dia punya ide permainan yang ia janjikan kemarin malam: petak umpet di rumah. Bagi Tama, ini bukan sekadar permainan biasa. Ini adalah “misinya” untuk melatih konsentrasi dan kerja sama di antara mereka.Walaupun dia tahu, sudah bisa ditebak rumah akan kacau kembali jika kegiatan baru akan dilaksanakan.“Raka, Rama, Rajen, hari ini kita main sesuatu yang seru, ya,” kata Tama sambil menatap mata ketiganya. “Ada permainan baru namanya petak umpe
Pagi itu rumah sudah mulai terasa agak tenang setelah ribut-ribut sarapan. Tapi tenang versi keluarga Raka, Rama, dan Rajen tentu tidak sama dengan rumah biasa. Bagi mereka, “tenang” berarti tidak ada tangisan, dan rebutan. Melainkan tawa keras, langkah kaki kecil berlarian di lantai keramik, dan suara mainan yang dipukul-pukul seolah benda itu adalah drum.Aluna duduk di ruang tamu sambil memunguti mainan yang tercecer. Tangannya meraih gitar kecil hadiah ulang tahun dari Bi Susan yang kini sudah menjadi nenek bagi triplet.“Oke, hari ini kita belajar nyanyi, ya. Raka, Rama, Rajen, sini kumpul sama Bunda!” serunya dengan nada penuh semangat.Ketiganya langsung menghampiri. Raka paling depan dengan wajah penuh antusias. Rama datang dengan membawa boneka dinosaurus hijau yang warnanya sudah pudar. Rajen? Tentu beda sendiri. Ia malah menyeret sendok besar bekas sarapan.“Nyanyi apa, Bun?” tanya Raka dengan suara lantang.“Kita coba lagu yang gampang dulu. ‘Balonku Ada Lima’, mau?” jawab