Share

Wanita asing

Suara pintu yang tertutup kencang membuatku menoleh. Aku mengernyitkan kening.

Bi Susan? Kok cepat?

Aku segera melangkah keluar untuk menyambutnya. Tapi ada dua suara yang kudengar. Mereka saling bersautan. Suara Tama dan seseorang yang tidak kukenal tentunya. Keduanya terlibat perdebatan.

Aku merasa takut seketika. Kejadian terakhir soal perdebatan seperti ini kemarin berakhir dengan tidak baik. Apa kali ini mereka kembali memperdebatkan keberadaanku?

Dengan jantung yang berdegup kencang aku segera menyembunyikan diriku di balik pintu untuk mencuri dengar percakapan mereka.

Dari tempatku berdiri aku dapat melihat Tama. Dia tampak menawan dengan setelan jas biru tuanya dipadu dengan jam tangan platinum di pergelangan tangan kirinya dan tangan yang dimasukkan ke saku celana. Sepatunya terlihat mengkilap dan mahal, rambutnya sedikit tidak beraturan mungkin karena seharian dia sudah bekerja keras. Tama terlihat berbeda dengan penampilan semi rapinya. Seperti pengusaha-pengusaha yang sering aku lihat di majalah rumah sakit. Tapi kenapa perasaan mencekam dan tidak tenang selalu menyapaku setiap kali aku berdekatan dengan Tama.

Tama itu menawan sekaligus menakutkan. Yang menjadi pertanyaanku saat ini adalah. Kenapa aku bisa menikah dengan pria seperti Tama?

Aku segera beralih menatap lawan bicara Tama. Dan sesuatu terasa meremat hatiku meski yang kulihat hanya punggungnya. Dia seorang wanita.

Entah siapa pun dia aku merasa terganggu. Dia mengenakan dress merah yang hanya menutupi setengah pahanya, menonjolkan lengkuk tubuhnya yang seperti gitar spanyol. Belum lagi stilleto runcing di kakinya menambah kesan liar dalam sekali pandang. Rambut hitamnya yang di curly menutupi punggungnya dengan sempurna. Aku saja sangat membenci melihat wanita lain berpakaian sexy di depan Tama tapi kenapa aku memiliki banyak pakaian seperti itu juga?

"Ayolah datang ke pestanya." Dia merengek.

Mendengar suaranya yang tampak dibuat-buat agar mendayu itu membuat dadaku kembang-kempis karena kesal. 

"Lo udah ninggalin perusahaan lama cuma buat nemanin istri lo di rumah sakit. Kontrak kerjasama di kantor sampai terbengkalai. Dia juga udah keluar, jadi bisa kan lo fokus ke kerjaan?"

Nada suaranya saat menyebutkan kata istri terdengar menyepelekanku. Dia berhasil membangkitkan emosi yang sudah susah payah kutahan.

Memangnya dia siapa? Bahasa tubuhnya membuatku kesal karena dia selalu mencari kesempatan untuk menempel pada Tama, tatapanku beralih ke Tama ingin menyaksikan bagaimana reaksi pria itu saat ditempeli lalat pengganggu.

"Gue udah bilang bakal nyelesain semua kontrak minggu ini, jadi lo nggak usah khawatir."

"Tapi lo bakal datang ke pestanya, kan?" desak wanita itu masih tetap menempelkan tubuhnya pada Tama.

Terlalu dekat, sampai membuatku muak karena tingkah wanita itu. Aku masih tidak yakin bagaimana tepatnya perasaanku pada Tama tapi melihat bagaimana tingkah gatal wanita itu membuatku kesal. Sangat menjijikan.

"Gue udah ngasih tahu soal kondisi Luna. Nggak mungkin gue ngebiarin dia berdiri di tengah-tengah orang asing."

Wanita itu tahu tentang kondisiku? Tama pasti yang memberitahu. Tapi kenapa? Rasanya kesal saat tahu Tama semudah itu membicarakan tentang kondisiku pada orang lain.

Dia mencibir, "Ya nggak usah dibawa. Pestanya bakal diisi sama rekan kerja dan mereka juga tahu gimana parahnya skandal yang istri lo buat sampai ngejelekin nama lo. Kecelakaan kemarin nambah ngasih dampak jelek buat lo."

Tama melonggarkan dasinya dan aku membeku di tempatku karena Tama tidak mengatakan sesuatu untuk membelaku.

Tingkah Tama seperti memberi tanda pada wanita itu. Dia mendekat menempelkan wajahnya di bahu Tama seraya berbisik, "Lo bisa berangkat sama gue sebagai gantinya."

Aku tidak tahan jika harus bersembunyi lebih lama, dengan segera aku melangkah keluar dari tempat persembunyianku. Tama yang sadar kehadiranku segera menoleh ke arahku.

Kami bertatapan. Aku mencoba mengatur ekspesiku agar terlihat datar karena Tama tetap membiarkan wanita itu bergelayut manja. Kenapa rasanya aneh?

"Gimana? Lo mau pergi ke pestanya sama gue, kan?" Wanita itu kembali bertanya pada Tama. Karena Tama terus menatapku membuat wanita itu menoleh dan segera melepaskan diri dari Tama.

Akhirnya kamu tahu ada aku di sini. Batinku.

Hal pertama yang aku lakukan adalah memperhatikan wanita itu. Kulitnya putih dengan wajah oval dan bibir mungil. Ditambah penampilannya yang kelewat terbuka membuatku memberikan nilai minus padanya. Apalagi belahan dadanya yang terlalu rendah membuatku mendesis kesal.

"Kayaknya kita kedatangan tamu," suaraku terdengar sinis. Untuk apa aku beramah-tamah pada wanita itu.

"Luna," Tama memanggilku pelan dia melangkah mendekat ke arahku. Dia menatapku dari atas ke bawah menelisik apa yang tengah aku pakai.

Kemeja milik Tama memang hanya menutupi sampai setengah pahaku. Aku menggunakan hotpants di dalamnya tapi mereka tidak perlu tahu.

Aku beralih mendekat ke arah Tama, menyempilkan tanganku ke lengannya dan menarik dirinya mendekat. Entah dari mana keberanian ini kudapat karena aku hanya ingin menunjukkan pada wanita itu bahwa Tama itu milikku.

Aku menatap wanita itu terang-terangan, "Dia siapa? Apa kita saling kenal?" pandangan menilai yang sebelumnya dia layangkan kepadaku kukembalikan lagi kepadanya sebelum aku beralih menatap Tama.

Jika wanita itu tidak ada di sini aku pasti akan langsung mundur saat bertatapan dengan Tama tapi tidak untuk kali ini. Aku tidak ingin kalah di hadapannya. Aku tahu Tama pasti merasa aneh dengan tingkahku tapi dia tetap bersikap santai dan menjawab pertanyaanku.

"Dia Sheila, sekertarisku. Aku nggak tahu kamu kenal sama dia apa nggak."

Dua tahun menikah dan aku tidak kenal dengan wanita itu? Apa mungkin? Aku menatapnya sekali lagi. Sekertaris?

Aku menyeringai, "Apa kita pernah ketemu sebelumnya? Kamu pasti udah dikasih tahu sama bos kamu kalo saya amnesia." Aku menekankan kata bos untuk memberitahu jika dia dan Tama memiliki batasan dalam berinteraksi. Dari sebutan saja sudah berbeda dan tentu saja dia harus tahu di mana posisinya yang sebenarnya.

Sheila berkedip kaget tapi segera menormalkan ekspresinya. Ternyata dia cukup pintar merubah ekspresi.

"Belum pernah secara pribadi tapi saya sering lihat ibu di kantornya Pak Tama karena ibu istrinya Bapak," katanya dengan senyum cerah. 

Aku ingin tertawa keras dia tahu jika aku istrinya Tama dan dia memberikan pandangan menilai padaku? Apa dia gila.

"Tapi kenapa saya nggak percaya?" Aku menyipitkan mataku .

"Luna," Tama menyelipkan tangannya kepingganggku memberi peringatan agar aku tidak memancing keributan.

Aku menepis tangan Tama, "Jadi pesta apa yang tadi kalian omongin? Apa aku nggak diundang?"

Aku sudah tidak peduli jika mereka tahu aku menguping. Biar saja.

"Cuma pesta kecil-kecilan. Lagian di sana juga cuma bahas soal kerjaan kamu pasti bakal bosan kalo ikut. Di sana isinya cowok-cowok juga kok."

Apa yang dia ucapkan memang masuk akal tapi menurutku dia bersikap seperti itu karena ada Sheila di sini. Dia ingin menenangkanku tapi aku tidak mau ditenangkan dan tidak mau juga dia pergi dengan Sheila. 

"Beneran cuma itu alasannya?"

Tama mengusap pelan pipiku dia bersikap manis yang membuatku sulit untuk melanjutkan aksi kesalku, "Aku juga nggak berniat buat pergi, Luna. Aku bakal tetap di sini sama kamu."

"Kenapa? Aku bikin kamu malu?"

"Kenapa kamu mikirnya gitu?" ada nada tidak suka dari kalimat Tama. Aku harus berhenti sekarang jika tidak ingin membangunkan macam dalam diri Tama.

Pria itu masih menatapku, "Kamu mau pergi ke pesta? Jadi ini tujuan kamu?"

"Aku cuma tanya. Kamu kelihatan banget nggak mau ngajak aku ke sana."

Aku hanya ingin tahu apa yang akan suamiku lakukan tidak lebih. Jika memang Tama ingin pergi tanpaku aku pasti akan mengizinkan tapi tidak jika dia pergi bersama dengan Sheila. Entah mengapa aku merasa tidak senang dengan kehadiran wanita itu.

Aku beralih menatap mata Tama dengan berani, hal yang jarang aku lakukan karena aku selalu merasa takut dengan suamiku sendiri.

"Aku bakal ngebiarin kamu pergi kalau emang kamu harus pergi. Aku juga nggak ada niatan buat ikut. Aku cuma mau mastiin saja," gumamku kemudian berbalik untuk pergi.

"Siap-siap kita bakal pergi dua jam lagi."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status