Ratna menatap Mariana dari kejauhan dengan pandangan yang intens. Tatapan seorang ibu yang setengah khawatir, setengah ingin tahu, tapi tidak ingin langsung menghakimi. Ia mengusap punggung cucunya perlahan sebelum beralih pada Bianca yang masih berdiri di sampingnya.“Udah, jangan terlalu mikir,” gumamnya pelan. “Mungkin cuma iseng pakai aja.”Bianca mengangguk, tapi senyum liciknya muncul sekejap. “Iya, Bu. Tapi kalau Kak Mariana udah terikat sama seseorang, Ibu kan harus tahu duluan. Masa dia nggak kasih tahu keluarganya.”Beberapa saat kemudian, acara makan bersama dimulai. Suasana makin ramai. Obrolan, gelak tawa, dan suara piring saling berdenting mengisi ruangan.Mariana duduk di sudut, sesekali ikut menyendok makanan ke piring walau selera makannya tak seberapa. Ia menyadari beberapa pasang mata diam-diam melirik ke arahnya, terutama Ratna yang tampak memperhatikannya lebih sering malam ini.Hingga akhirnya, ketika acara hampir usai dan para kerabat mulai pamit pulang, Ratna m
Siang itu, Mariana masuk ke ruang kerja Nathaniel sambil membawa berkas yang perlu ditandatangani. Pria itu sedang menelepon seseorang. Begitu melihat Mariana, ia mengangkat tangan, memberi isyarat agar menunggu.Mariana mengangguk kecil, lalu meletakkan berkas di meja.Namun Nate tak langsung menoleh ke dokumen. Pandangannya tertahan. Matanya membeku beberapa detik saat melihat jari manis kiri Mariana.Cincin yang ia berikan kemarin kini melingkar di sana.Begitu telepon selesai, Nate melangkah mendekat. Sorot matanya tak berubah.“Kamu pakai,” ucapnya pelan.Mariana mengangkat alis, sedikit bingung. “Maaf?”Tatapan Nate jatuh lagi ke tangan kiri Mariana. Kali ini Mariana ikut menunduk dan baru sadar bahwa cincin itu terlihat jelas. Pipinya langsung memerah.“Oh … iya,” gumamnya cepat, berusaha terdengar biasa saja. “Aku pikir nggak ada salahnya.”Senyum kecil namun sangat tulus merekah di wajah Nate. “Tidak ada salahnya?” Ia mengulang kalimat itu dengan nada rendah. “Bagi aku, itu b
Malam harinya, Mariana duduk di sofa setelah selesai makan malam. Di hadapannya, Elhan tampak asyik bermain di atas playmat, menepuk-nepuk mainan warna-warni dengan tawa renyah yang memenuhi ruang keluarga. Bayi lucu itu terlihat begitu bahagia.Namun, Mariana tak sepenuhnya hadir. Tatapannya kosong, menerawang jauh, tenggelam dalam riak pikirannya sendiri. Percakapannya dengan Nate tadi siang berputar-putar di benaknya—tentang cincin yang pria itu berikan padanya, dan segala makna di baliknya.Mariana menarik napas panjang, lalu menyandarkan tubuh ke sandaran sofa. ‘Apa aku memang pantas jika menerimanya?’ pikirnya lirih.Mariana sadar, ia bukan siapa-siapa. Hanya seorang janda, mantan istri dari pria yang kini menjadi suami adiknya. Ia hanya wanita biasa yang kebetulan tinggal di rumah ini karena Elhan.Suara Elhan mengalihkan lamunannya. Bayi menggemaskan itu tertawa lepas saat berhasil meraih mainan yang sebelumnya terlalu jauh. Mariana tersenyum, lalu beringsut turun dari sofa, d
Mariana duduk di sofa kecil dekat jendela besar yang menghadap ke kota, sementara Nate berjalan pelan ke arah coffee table dan menuangkan dua cangkir teh dari pot kaca yang sudah disiapkan. Sinar matahari siang menyusup lewat tirai setengah terbuka, membentuk pola hangat di karpet.Tanpa berkata apa pun, Nate menyerahkan secangkir teh ke tangan Mariana, lalu duduk di sisi lain sofa. Jarak mereka nyaris tidak ada.“Moonie,” panggil Nate pelan. “Aku ingin kita membicarakan sesuatu yang lebih dari sekadar pekerjaan atau masalah yang terus mengejarmu.”Mariana menoleh, menatap pria itu tanpa bicara.“Aku tahu kita belum pernah benar-benar duduk dan memikirkan ke mana arah hubungan ini. Setelah semua yang kamu hadapi—Bara, Bianca, ibumu, bahkan Elhan ….” Suaranya merendah. “Aku tahu kamu lelah terus jadi sasaran. Tapi aku tidak ingin kamu terus berjalan sendirian sambil terus menoleh ke belakang.”Mariana menunduk, jemarinya menggenggam cangkir erat. “Aku nggak berjalan sendirian, Nathanie
Lantai eksekutif tampak sepi saat Mariana kembali dari pantry dengan segelas air di tangan. Hari ini ia mulai bekerja lagi setelah beberapa hari libur. Kondisinya sudah membaik, dan ia memutuskan untuk kembali ke rutinitas.Suara langkah kaki asing di lorong membuatnya menoleh sejenak. Sosok yang muncul membuat napasnya mengendap. Bukan karena terkejut, melainkan karena sudah terlalu sering ia menghadapi hal semacam ini.“Bianca.” Sapaan itu datar, nyaris seperti formalitas. Tak ada nada senang atau terkejut.Bianca mendekat dengan langkah ringan, membawa senyum penuh kemenangan. Setelan mahal dan riasan sempurna tak bisa menyembunyikan pancaran kepuasan dari wajahnya.“Aku sengaja ke sini. Ada yang ingin kusampaikan langsung sama kamu,” ujar Bianca, berdiri di depan meja kerja Mariana. “Mas Bara sudah pulang dari rumah sakit kemarin. Dan ....”Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan. “Dia mencintaiku sekarang. Katanya, selama ini hanya butuh waktu untuk menyadarinya.”Mariana menatap
Bara membuka matanya perlahan. Cahaya lampu di langit-langit kamar rumah sakit terasa menyilaukan, membuatnya menyipit.Ia menoleh ke sekeliling. Tak ada siapa pun di ruangan.Beberapa menit kemudian, seorang perawat masuk dan memeriksanya. “Bapak sudah sadar. Dokter akan datang untuk evaluasi siang nanti. Tapi secara umum, Anda stabil.”“Sudah berapa lama saya di sini?” tanya Bara serak.“Dua hari,” jawab si perawat singkat.Dua hari.Namun sebelum Bara sempat bertanya lebih jauh, perawat itu menerima panggilan darurat dan buru-buru keluar.Bara menoleh ke samping ranjang. Di sana, ponselnya tergeletak rapi. Dengan tangan gemetar, Bara meraihnya, menyalakan layar, dan menemukan puluhan notifikasi yang belum sempat dibaca.Sebuah kerutan samar menghiasi dahinya saat melihat email dari HRD perusahaan tempatnya bekerja.Surat pemecatan. Efektif sejak dua hari lalu. Tanpa penjelasan rinci.Hanya satu kalimat pendek yang menegaskan semuanya adalah keputusan langsung dari CEO.Napasnya ter
Begitu sesi nail art usai, Mariana memandangi kukunya yang kini dihiasi motif bunga daisy kecil. Jemarinya bergerak pelan, kagum melihat hasilnya. Di sampingnya, Arsita ikut tersenyum.Mariana menoleh, tersenyum manis pada ibu kekasihnya. “Terima kasih, Tante. Aku benar-benar senang hari ini.”“Sama-sama, Sayang,” sahut Arsita lembut.Keduanya kembali menuju mobil. Ternyata, hari itu belum berakhir.“Kita masih akan ke satu tempat lagi,” ujar Arsita dengan senyum penuh misteri.Mariana menatapnya penasaran. “Ke mana, Tante?” “Ke butik langganan Tante,” jawab Arsita ringan. “Kamu pasti suka lihat-lihatnya.”Mariana hanya mengangguk kecil. Ia tak merasa perlu menolak. Lagi pula, sejauh ini, semuanya membuatnya merasa lebih baik.Butik yang mereka datangi terletak di kawasan elite. Bangunannya tampak mewah, beraksen kaca besar dan dinding berlapis kayu mahoni mengilap. Begitu melangkah masuk, wangi parfum eksklusif langsung menyambut mereka, bersatu dengan alunan musik jazz lembut yang
Mariana diam membisu setelah meletakkan ponselnya yang sudah gelap. Ia menarik napas pelan, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan.Setelah semua yang terjadi. Ibunya akhirnya percaya.Seharusnya itu melegakan. Seharusnya Mariana bahagia mendengar suara Ratna yang lirih meminta maaf, mengaku salah, dan menyatakan dukungan yang dulu nyaris mustahil didapatkan.Tapi kenapa rasanya seperti ditusuk?Matanya memanas. Perasaannya berkecamuk. Mariana berusaha tidak menangis, namun seperti luka yang baru saja dikelupas paksa, perihnya tak bisa diabaikan begitu saja.‘Ibu terlalu lama membela orang yang salah.’Kalimat itu terus terngiang, menghantam dada Mariana dengan keras. Sudah berapa kali ia menunggu kata-kata itu keluar dari mulut ibunya? Sudah berapa luka yang harus ia telan sendirian hanya karena ibunya memilih percaya pada kebohongan orang lain?Kini kata-kata itu akhirnya datang. Tapi mereka datang seperti hujan sesudah kebakaran. Terlambat, tak bisa menyelamatkan apa pun.“Kena
Dua hari setelah insiden itu, kantor pusat Adikara Global Energy berjalan seperti biasa. Para staf tampak fokus di meja masing-masing, mengejar tenggat sebelum istirahat makan siang tiba. Namun, kedatangan dua orang wanita di lobi utama membawa cerita lain hari itu. Bianca dan Ratna. Dengan wajah tegang dan mata sembap, Bianca melangkah cepat ke meja resepsionis. Ratna menyusul di belakangnya, dengan ekspresi yang tampak tidak bersahabat. “Kami ingin bertemu dengan Pak Nathaniel,” ujar Bianca tajam. “Bilang saja, Bu Ratna datang.” Resepsionis tampak terkejut, namun langsung mengangguk dan menghubungi lantai atas. Hanya dalam beberapa detik, mereka sudah mengantongi izin dan dipersilakan untuk naik. Kebetulan, di ruangan Nate sedang ada Arsita yang datang berkunjung. Kedatangan Ratna dan putri bungsunya lantas memercikkan ketegangan yang tak seharusnya ada. “Tante Ratna,” sambut Nate sopan seraya berjalan menghampiri. “Senang bertemu—” Namun, tamunya langsung memotong. “Senang b