“Astaghfirullah! Apa yang kalian berdua lakukan?!”Suara jeritan Mariana menggema di kamar tidur yang dulu menjadi saksi cintanya dengan sang suami. Namun kini, pemandangan di hadapannya menghancurkan segalanya.Tubuh Mariana limbung, tapi ia memaksa dirinya tetap berdiri. Napasnya tersengal sementara dadanya mulai terasa sesak.Di atas ranjang mereka, suaminya berbaring tanpa busana. Dan yang lebih menghancurkan hatinya, wanita yang bersamanya adalah Bianca—adik kandung Mariana sendiri.Mariana menatap mereka dengan mata yang bergetar, berusaha mencari penjelasan yang sebenarnya tak lagi diperlukan. Segala sesuatu sudah terpampang jelas di hadapannya.“Kalian … bagaimana bisa?” suaranya nyaris tak terdengar.Darah di tubuhnya terasa beku. Kepalanya berdenyut hebat, seolah-olah dunia yang selama ini ia kenal runtuh begitu saja. Air mata menggenang di pelupuk matanya dan mengaburkan pandangannya.“Ka-kak ….” Bia tergagap, wajahnya pucat pasi saat buru-buru meraih selimut untuk menutupi
Keesokan harinya,Langit kelabu menaungi pemakaman kecil itu, seolah turut berduka atas kehilangan Mariana. Rintik hujan jatuh perlahan, membasahi tanah merah yang masih basah oleh galian segar. Udara dingin menusuk, tapi tak sebanding dengan kehampaan yang menggerogoti hatinya.Meski rasa sakit pasca operasi masih terasa, tetapi Mariana meneguhkan hatinya untuk mengantar bayinya ke peristirahatan terakhir.Wanita itu duduk kaku di samping batu nisan, kedua tangannya saling mencengkeram erat di atas pangkuan. Mata sembabnya menatap kosong ke gundukan tanah merah yang baru saja ditutup.Di sanalah, di dalam bumi yang dingin itu, bayi yang seharusnya lahir dalam hitungan hari kini tertidur selamanya.Suara ustaz terdengar khidmat saat ia membacakan ayat-ayat suci. Isak tangis pecah di antara keluarga yang hadir, tetapi Mariana sendiri hanya terdiam, tak mampu mengeluarkan suara.‘Sayang … maafkan Mama.’ Suara itu hanya terucap dalam hati Mariana.Tidak ada air mata lagi yang bisa Marian
“Aku ingin bercerai, Bara. Aku nggak bisa lagi melihatmu tanpa merasa hancur.”Seisi ruangan seketika sunyi.Bara menegang, wajahnya langsung pucat saat menatap Mariana yang berdiri dengan ekspresi kosong. Kedua orang tua Mariana pun tak kalah terkejut mendengar perkataan putri sulung mereka itu.“Mariana,” gumam Bara tak percaya. “Kita bisa membicarakan ini. Tolong jangan buat keputusan ceroboh seperti itu sekarang.”Mariana tidak bergeming. Matanya tetap menatap lurus ke arah pria yang telah mengkhianatinya dan membuatnya terluka lebih dari apa pun.“Aku sudah memutuskan.” Suara Mariana terdengar tenang, tetapi di baliknya ada luka yang begitu dalam. “Nggak ada lagi yang perlu dibicarakan.”Bara melangkah maju, tetapi ayah Mariana langsung mengangkat tangan untuk menghentikannya. Tatapan tajam pria tua itu penuh peringatan saat menatap menantunya.“Meski kami tidak tahu apa yang terjadi. Tapi, sepertinya Mariana butuh waktu,” katanya tegas. “Jika kamu benar-benar peduli padanya, kam
Ratna—ibu Mariana—keluar dari kamar putrinya dengan langkah gontai. Matanya yang basah masih menyiratkan keterkejutan dan kesedihan yang mendalam. Saat pintu tertutup di belakangnya, ia mendapati suaminya, Armand, berdiri tak jauh dari sana.Pria tua itu mengernyit saat melihat wajah istrinya yang tampak terguncang. Dengan sigap, ia melangkah mendekat.“Ada apa, Bu? Apa kata Mariana?” tanya Armand, suara dan raut wajahnya menunjukkan kegelisahan.Ratna menatap suaminya, tetapi tak langsung menjawab. Air matanya kembali jatuh tanpa bisa ditahan. Kedua tangannya mengepal erat, berusaha menahan emosi yang begitu meluap-luap.“Sekarang di mana pria kurang ajar itu?” Suara Ratna terdengar parau, tetapi penuh amarah yang tertahan. Matanya celingukan menatap di belakang Armand, seolah-olah sedang mencari seseorang di sana.Armand semakin kebingungan. Keningnya berkerut. “Maksud Ibu, Bara?” tanyanya ragu.Ratna mengangguk tegas. Tarikan napasnya terdengar berat. “Iya, Mas. Sekarang di mana pr
Mariana duduk diam di sisi ranjang, jari-jarinya gemetar saat ia membawa botol minyak kayu putih ke dekat hidung ibunya. Harapannya hanya satu—ibunya segera sadar.“Ibu ...,” gumamnya lirih.Waktu terasa berjalan begitu lambat, seakan menambah ketakutan yang menggelayuti hatinya. Mariana tidak pernah melihat ibunya jatuh pingsan seperti ini sebelumnya. Dan itu membuatnya begitu takut.Saat Mariana hampir kehilangan harapan, tubuh ibunya sedikit bergerak. Kelopak mata wanita paruh baya itu bergetar sebelum akhirnya terbuka perlahan.“Ibu!” seru Mariana dengan mata berkaca-kaca. Ia buru-buru menurunkan minyak kayu putih dan meraih tangan ibunya.Ratna menatap putrinya dengan sorot mata sendu, penuh penyesalan yang begitu dalam.“Maafin Ibu ya, Sayang ...,” suaranya terdengar lemah, tapi setiap kata yang keluar membawa luka di hatinya. “Ibu gagal mendidik Bianca sampai dia berbuat seperti ini ke kamu.”Mariana mengatupkan bibirnya dengan rapat. Ia ingin berkata banyak hal, ingin mengungk
Mariana menarik napas panjang, berusaha menahan sesak yang menggelayuti dadanya. Dengan langkah mantap, Mariana berbalik dan berjalan menuju pintu. Setiap langkah yang diambil terasa berat, seolah ada beban yang menahan pergelangan kakinya.Namun, ia tidak berhenti. Ia sudah membuat keputusan, dan kali ini, ia tidak akan goyah.Tangannya baru saja menyentuh kenop pintu ketika suara berat Armand menggema di ruangan itu.“Mariana, jangan pergi,” ucapnya tegas.Tubuh Mariana menegang. Perlahan, ia menoleh ke belakang dan mendapati ayahnya berdiri dengan tatapan yang begitu tegas.“Bara dalam perjalanan ke sini,” lanjut Armand. “Kita selesaikan semuanya sekarang juga.”Tatapan Mariana tidak berubah. Luka di matanya masih begitu jelas, tapi tidak ada lagi api kemarahan di sana. Ia tidak menolak, juga tidak menyetujui.Armand mendesah pelan, lalu melangkah mendekati putrinya yang masih terluka.“Ayah minta maaf jika kamu merasa ayah terlalu ikut campur. Tapi, ayah merasa ini adalah keputusan
Suasana ruangan seketika hening. Bianca menatap Bara dengan ekspresi terkejut, meski di dalam hatinya ada kepuasan yang sulit ia sembunyikan. Sementara itu, Mariana tetap berdiri tegak, matanya dingin tanpa ekspresi.Rumah tangga yang ia bina bertahun-tahun akhirnya karam. Namun bukannya merasa hancur, Mariana justru merasakan sesuatu yang berbeda—ia merasa ringan.Beban yang selama ini menghimpit dadanya seperti dicabut paksa. Luka itu masih ada, tetapi di baliknya ada kelegaan yang sulit dijelaskan.Mariana telah memberikan segalanya demi pernikahan ini. Bekerja tanpa mengenal lelah, menekan dirinya sendiri, menutup mata terhadap berbagai tanda yang seharusnya sudah ia sadari sejak lama. Namun pada akhirnya, semua pengorbanannya hanya dibalas dengan pengkhianatan.‘Aku kehilangan suami, anak, dan adikku sekaligus. Betapa ironisnya,’ batin Mariana.Mariana menarik napas dalam, mencoba meredam guncangan di hatinya.Ia menatap Bara, pria yang pernah ia cintai dan perjuangkan.Dulu ia be
“Bella-ku yang malang!” tangis Mariana pecah.Bahunya terguncang hebat saat ia mencengkeram jemari Bella, seolah berharap ada kehangatan yang tersisa. Namun, tidak ada.“Kenapa? Kenapa harus begini?” Air mata Mariana jatuh membasahi tangan Bella yang sudah tak bernyawa.Nate hanya berdiri di sudut ruangan. Tidak ada kata yang bisa ia ucapkan. Hanya keheningan yang menyelimuti kedukaan mereka.Mariana mengangkat kepalanya dan menatap Nate yang masih berdiri di sudut ruangan.“B-Bayinya,” suaranya serak dan gemetar. “Di mana bayi Bella?”Nate mengalihkan pandangannya. “Dia selamat,” jawabnya pelan.Mata Mariana melebar, sedikit kelegaan muncul di antara kesedihannya.“Di mana dia sekarang? Aku ingin melihatnya.”Nate mengangguk, lalu tanpa banyak bicara, ia melangkah keluar ruangan. Mariana buru-buru menyeka air matanya dan mengikuti Nate dengan langkah tergesa.Setibanya di ruang perawatan bayi, Mariana melihat seorang perawat sedang menggendong seorang bayi mungil yang dibungkus selimu
Begitu sesi nail art usai, Mariana memandangi kukunya yang kini dihiasi motif bunga daisy kecil. Jemarinya bergerak pelan, kagum melihat hasilnya. Di sampingnya, Arsita ikut tersenyum.Mariana menoleh, tersenyum manis pada ibu kekasihnya. “Terima kasih, Tante. Aku benar-benar senang hari ini.”“Sama-sama, Sayang,” sahut Arsita lembut.Keduanya kembali menuju mobil. Ternyata, hari itu belum berakhir.“Kita masih akan ke satu tempat lagi,” ujar Arsita dengan senyum penuh misteri.Mariana menatapnya penasaran. “Ke mana, Tante?” “Ke butik langganan Tante,” jawab Arsita ringan. “Kamu pasti suka lihat-lihatnya.”Mariana hanya mengangguk kecil. Ia tak merasa perlu menolak. Lagi pula, sejauh ini, semuanya membuatnya merasa lebih baik.Butik yang mereka datangi terletak di kawasan elite. Bangunannya tampak mewah, beraksen kaca besar dan dinding berlapis kayu mahoni mengilap. Begitu melangkah masuk, wangi parfum eksklusif langsung menyambut mereka, bersatu dengan alunan musik jazz lembut yang
Mariana diam membisu setelah meletakkan ponselnya yang sudah gelap. Ia menarik napas pelan, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan.Setelah semua yang terjadi. Ibunya akhirnya percaya.Seharusnya itu melegakan. Seharusnya Mariana bahagia mendengar suara Ratna yang lirih meminta maaf, mengaku salah, dan menyatakan dukungan yang dulu nyaris mustahil didapatkan.Tapi kenapa rasanya seperti ditusuk?Matanya memanas. Perasaannya berkecamuk. Mariana berusaha tidak menangis, namun seperti luka yang baru saja dikelupas paksa, perihnya tak bisa diabaikan begitu saja.‘Ibu terlalu lama membela orang yang salah.’Kalimat itu terus terngiang, menghantam dada Mariana dengan keras. Sudah berapa kali ia menunggu kata-kata itu keluar dari mulut ibunya? Sudah berapa luka yang harus ia telan sendirian hanya karena ibunya memilih percaya pada kebohongan orang lain?Kini kata-kata itu akhirnya datang. Tapi mereka datang seperti hujan sesudah kebakaran. Terlambat, tak bisa menyelamatkan apa pun.“Kena
Dua hari setelah insiden itu, kantor pusat Adikara Global Energy berjalan seperti biasa. Para staf tampak fokus di meja masing-masing, mengejar tenggat sebelum istirahat makan siang tiba. Namun, kedatangan dua orang wanita di lobi utama membawa cerita lain hari itu. Bianca dan Ratna. Dengan wajah tegang dan mata sembap, Bianca melangkah cepat ke meja resepsionis. Ratna menyusul di belakangnya, dengan ekspresi yang tampak tidak bersahabat. “Kami ingin bertemu dengan Pak Nathaniel,” ujar Bianca tajam. “Bilang saja, Bu Ratna datang.” Resepsionis tampak terkejut, namun langsung mengangguk dan menghubungi lantai atas. Hanya dalam beberapa detik, mereka sudah mengantongi izin dan dipersilakan untuk naik. Kebetulan, di ruangan Nate sedang ada Arsita yang datang berkunjung. Kedatangan Ratna dan putri bungsunya lantas memercikkan ketegangan yang tak seharusnya ada. “Tante Ratna,” sambut Nate sopan seraya berjalan menghampiri. “Senang bertemu—” Namun, tamunya langsung memotong. “Senang b
Setelah tim medis membawa Bara pergi dan pihak keamanan memastikan kantor kembali steril, Nate menggenggam erat tangan Mariana yang terasa dingin. Jari-jari wanita itu tak henti menggigil, dan tubuhnya sesekali bergetar walau ia berusaha tegar.“Ayo kita pulang,” ucap Nate lembut.Mariana hanya mengangguk. Matanya sembap, wajahnya pucat. Ia tak mengucapkan sepatah kata pun ketika Nate merengkuh tubuhnya dan membawanya ke mobil.Sepanjang perjalanan, Mariana tetap diam. Pandangannya kosong menatap keluar jendela yang sudah gelap.Nate mengepalkan tangannya di atas kemudi. Ia membenci ini. Membenci kenyataan bahwa Mariana harus melalui semua itu … dan ia datang terlambat.Sesampainya di rumah, Nate langsung menggendong Mariana masuk. Di ruang tengah, mereka berpapasan dengan Bi Imah yang terkejut melihat kondisi Mariana—tapi tidak berani bertanya.“Bi, tolong buatkan teh hangat. Sekalian bawakan air hangat dan lap bersih ke kamar Mariana, ya,” ucap Nate cepat.“Baik, Tuan,” jawab Bi Ima
Sudah lewat pukul delapan malam, kantor pusat Adikara Global Energy nyaris sepenuhnya sunyi. Mariana duduk di balik meja kerjanya dengan mata yang mulai terasa berat. Di hadapannya terbuka beberapa berkas cetak dan laptop yang menampilkan file dokumen.Ia sedang menyusun laporan triwulan internal—ringkasan kegiatan CEO, agenda kerja yang telah dijalankan, serta tindak lanjut dari hasil rapat sebelumnya. Laporan itu harus diserahkan esok pagi ke bagian dewan komisaris.Deadline-nya sebenarnya minggu depan, tapi tadi siang, sekretaris komisaris mendadak memberi tahu bahwa jadwal rapat dimajukan. Mariana tidak punya pilihan selain menyelesaikannya malam itu juga.Ia tidak memberi tahu Nate. Pertama, karena pria itu sedang mengurus penyelidikan yang menyita pikirannya. Kedua, karena Mariana tahu Nate pasti tidak akan membiarkannya lembur sendirian jika tahu. Dan Mariana tidak ingin membebani kekasihnya lebih dari ini.Ia menarik napas dalam-dalam, memijit pelipis yang mulai berdenyut. Lamp
Beberapa waktu telah berlalu sejak insiden tabrak lari Armand—ayah Mariana. Pria itu akhirnya diperbolehkan pulang setelah kondisi fisiknya dinyatakan stabil. Meski masih harus menjalani rawat jalan dan banyak beristirahat, Mariana dan Ratna akhirnya bisa bernapas lega.Namun tidak dengan rasa was-was yang terus menghantui Mariana.Mariana belum memberi tahu Nate tentang pesan-pesan ancaman yang ia terima. Ia memilih diam. Bukan karena tidak percaya pada pria itu, tapi karena tidak ingin membebani Nate, apalagi dalam kondisi seperti ini.Namun malam itu, segalanya terungkap secara tidak sengaja.Nate tengah memeriksa laporan proyek di ruang kerjanya ketika Mariana masuk untuk mengantarkan kopi. Tapi sebuah suara notifikasi membuat Mariana berhenti melangkah. Ponselnya yang tergeletak di meja kerja Nate tiba-tiba menyala.Nate tidak berniat mengintip, tetapi matanya secara refleks menangkap kata yang sangat mencolok di layar.[Kamu belum juga menurut. Bersiaplah kehilangan yang lain.]
Bianca mendekat dan berhenti tepat di samping ibunya. Tatapannya sempat melirik ke arah Nate sejenak, lalu ia menyapa pria itu dengan nada sopan. Namun tak sekalipun ia menoleh pada Mariana, seolah kakaknya itu tak pernah ada di sana.Mariana tidak mempermasalahkan sikap dingin itu. Ia sudah terlalu lelah untuk peduli. Justru Nate-lah yang terlihat menahan kekesalannya.Nate melirik Bianca singkat, sorot matanya tajam, tetapi memilih diam demi menghormati situasi.“Gimana kondisi Ayah?” tanya Bianca.Ratna tersenyum tipis. “Sudah membaik. Kata dokter, kemungkinan besar ayahmu akan segera sadar. Tanda-tandanya positif.”“Syukurlah,” ucap Bianca singkat, kemudian duduk di kursi bersama Ratna.Suasana sempat hening beberapa saat. Bianca tampak sibuk membuka ponselnya, sementara Ratna mengelus punggung tangannya pelan-pelan. Melihat keadaan itu, Nate menoleh pada Mariana.“Kita cari sarapan dulu, ya?” ajaknya lembut.Ratna yang tak sengaja mendengar hal itu langsung menimpali. Ia mengarah
Belum genap dua menit sejak pesan itu terkirim, ponsel Mariana berdering. Nama Nathaniel Adikara terpampang jelas di layar.Mariana menarik napas panjang sebelum menjawab. “Halo…?”“Moonie,” suara Nate terdengar rendah namun tajam, penuh kekhawatiran yang tak bisa ditutupi. “Kamu di mana sekarang?”“Di rumah sakit,” jawab Mariana lirih. Suaranya nyaris tenggelam oleh gemuruh emosi yang kembali menyeruak ke permukaan. “Ayah di ICU. Belum sadar.”“Rumah sakit mana?” tanya Nate cepat.“Rumah Sakit Sehat Bahagia.”“Aku ke sana sekarang.”“Nathaniel—”“Aku akan ke sana sekarang,” ulang Nate, tak memberi ruang untuk sanggahan. “Tunggu aku, Moonie.”Panggilan berakhir tanpa Mariana sempat menolak. Ia menatap layar ponsel yang kembali gelap, lalu menunduk, menyembunyikan wajahnya di antara jemari. Bagian dari dirinya lega karena Nate akan datang. Tapi bagian lain masih bergulat dengan rasa takut, bahwa semua ini akan menyeretnya lebih jauh ke dalam pusaran kekacauan.Sekitar tiga puluh menit
Hari-hari berlalu, dan meskipun segala sesuatunya tampak normal, ada yang berbeda dalam diri Mariana. Nate bisa merasakan perubahan itu. Setiap kali mereka berinteraksi, seperti ada jarak yang terbentang di antara mereka.Mata sang kekasih yang biasanya cerah dan penuh semangat, kini lebih sering terlihat kosong.Pagi itu, di ruang makan yang tenang, Nate memandangi Mariana dengan seksama. Wanita itu duduk di seberangnya, memegang cangkir teh dengan kedua tangan sementara matanya terfokus pada taman di luar jendela.“Moonie,” suara Nate memecah keheningan yang sempat menggantung. “Akhir-akhir ini aku perhatikan kamu tidak seperti biasanya. Kamu lebih banyak diam. Ada apa, Sayang?”Mariana menoleh pelan, terkejut. Dan untuk beberapa detik, ada kebisuan yang menggelayuti udara di sekitar mereka. Lalu dengan senyum yang hampir tak terlihat, Mariana menundukkan kepala dan mengaduk-aduk teh di dalam cangkirnya.“Aku cuma capek,” jawabnya lirih. Sebuah jawaban yang sudah Nate duga akan Mari