Masuk"Kepalamu korslet?"
Andra tersenyum pahit mendengar pertanyaan dari sebrang sana. Salahnya sendiri yang menelpon dan tiba-tiba mengajak menikah. "Kamu dimana?" Tanya Andra akhirnya. "Di rumah. Mau kemari? Aku tunggu kalau begitu." Andra mengiyakan. Sudah lama juga tidak bertemu, ada sedikit rasa rindu disana. Sekitar 30 menit dari rumah Andini, Andra tiba di sebuah rumah mewah di perumahan elit. Seorang wanita cantik rambut sebahu menyambutnya. "Apa kabar, An?" Wanita ini memeluk Andra dengan erat. "Baik. Kamu gimana?" Tanya Andra. "Baik juga. Ayo, masuk!" Andra masuk ke rumah mewah ini dan duduk di ruang keluarga. Itu karena Andra sudah dikenal baik dengan keluarga ini. Ia sering bolak balik mengantar Rena, nama wanita ini ketika pulang dari bekerja. "Kamu mau minum apa?" Tanya Rena. "Minum kopi saja." Jawab Andra memandang lekat. Tak lama Rena kembali lagi dari dapur dan membawa secangkir kopi. "Kamu dari mana tadi?" "Dari rumah seseorang. Tumben kamu pulang cepat. Biasanya kamu lembur di kantor." Jawab Andra. "Hari ini pekerjaannya selesai lebih cepat." Rena menatap pria yang tengah meminum kopi itu. "Ada masalah, An?" "Apa terlihat di wajahku?" Rena mengangguk. "Ada apa?" "Rena.. apa kamu mau menikah denganku?" Rena lalu tertawa akan pertanyaan Andra. "Kamu kenapa sih? Tiba-tiba aja." "Kamu nggak menyukaiku?" Andra bertanya serius. "Suka sekali malah. Kamu adalah teman terbaikku." Rena tersenyum manis. "Jadi di matamu aku sudah berubah jadi teman?" "Lalu kamu mau disebut apa? Mantan pacar?" Rena tertawa pelan. "Tapi aku masih mencintaimu, Ren. Kenapa kita nggak balikan dan melanjutkan kisah lama kita?" Melihat keseriusan Andra, Rena jadi terdiam. Dia sungguh tahu sebesar apa rasa cinta Andra padanya. Tapi, hubungan mereka tak bisa dilanjutkan. Rena adalah pewaris dari sebuah perusahaan besar. Papa dan mamanya tidak setuju jika Rena mendapatkan jodoh yang tak sepadan dengannya. Sebab itulah hubungan Rena dan Andra tak bisa dilanjutkan. Rena pun sudah menyulap hubungan mereka menjadi teman. "Kamu tahu hubungan kita complicated, Ndra." Rena menggeleng. "Lupakan semua kenangan kita dan lanjutkanlah hidupmu." Andra menghela nafas panjang. Sekali lagi harapan yang dibangunnya sudah dihancurkan wanita ini. "Kalau begitu aku pulang dulu." "Cepat sekali, rasanya belum 15 menit." "Sudah malam, Ren. Kamu harus istirahat." Andra melangkah lunglai ke pintu depan bersama Rena. Sebelum benar-benar pergi, Rena menahan lengan mantan kekasihnya. "Kamu nggak marah sama aku, kan?" "Aku nggak punya alasan untuk marah." Andra tersenyum pahit. "Aku pulang dulu, ya. Selamat malam." Rena melambaikan tangan pada pria yang sudah beranjak pergi dari hadapannya. "Maaf, Andra." Gumam Rena. Jauh dilubuk hatinya masih tersisa rasa untuk pria ini, tapi dia tak bisa berbuat banyak. Hidupnya ada dalam kendali orang tuanya. Lain lagi dengan Andra yang patah hati, Andini masuk ke kamar Lastri dan menginterogasi ibunya. Pasti ada sesuatu yang membuat Andra memarahinya tadi. "Mama nggak bilang apa-apa." Ucap Lastri terbata. "Asal mama tahu, dia datang kemari untuk memarahiku bukan melanjutkan perjodohan ini. Tolong, ma.. jangan paksa kami." Lastri berdecak. "Kapan sih kamu nurut omongan mama? Umurmu sudah 33 tahun, Dini. Mau sampai kapan kamu melajang? Kamu nggak malu udah jadi gunjingan keluarga besar kita karena nggak laku-laku!" Lastri rasanya ingin bersembunyi ketika ada acara keluarga besar. Nama Andini selalu disebut karena tidak kunjung menikah. Padahal umurnya sudah matang, pekerjaannya bagus, namun jodoh enggan mendekat. "Aku percaya jodoh itu datang di waktu yang tepat, ma." Lirih Andini. Sebenarnya dia lelah juga terus didesak menikah seperti ini. "Tapi cinta itu nggak bisa dipaksakan. Aku dan Andra itu tidak cocok dari segi manapun. Jadi kutegaskan, aku menolak perjodohan ini." "Andini.." tegur Lastri. "Aku akan mengabari bu Maryam dan mengatakan yang sebenarnya. Maaf sudah mengecewakan." Andini lalu keluar dari kamar ibunya dan menuju kamarnya sendiri. Diam-diam air mata itu mengalir ke wajahnya. Padahal, dia sudah berusaha sebisa mungkin untuk tegar. Hidup ini bukan sebuah perlombaan. Andini tahu maksud orang tuanya baik dengan mencoba mencarikan suami untuknya. Tapi, Andini juga punya hak untuk memilih. Dia yakin Andra bukan yang terbaik untuknya. Dunia mereka berbeda dan Andini tak akan sanggup untuk bersama dengan orang yang tak sepaham dengannya. Andini sudah berpasrah akan takdir jodohnya. Jikapun Tuhan menakdirkannya untuk hidup melajang seumur hidup, maka Andini akan ikhlas. Dia sadar bahwa Tuhan akan selalu memberikan yang terbaik untuk hambaNya. Pagi menjelang, Andini yang sudah mengantungi nomor Maryam menghubungi wanita itu. Dia meminta untuk bertemu walau hanya sebentar. Untung saja Maryam mau bertemu. Kebetulan, Maryam memiliki restoran ayam geprek dan selalu menghabiskan waktu disana. Andini pun menyempatkan diri untuk bertemu dengannya ketika makan siang. "Maaf, bu.. aku jadi mengganggu waktu ibu." Ucap Andini sopan. "Ya, ampun.. ibu malah senang ketemu kamu, nak? Udah makan siang?" Maryam membawa Andini ke salah satu meja yang ada disana. "Kebetulan belum." "Kamu nggak kerja, sayang?" Tanya Maryam lembut. Oh, dia sungguh menyukai Andini. "Kerja. Tadi cuma izin sebentar buat ketemu sama ibu." Nah, Maryam tersentak. Pasti ada sesuatu yang besar hingga membuat Andini menemuinya kemari. "Ada apa, sayang?" Tanya Maryam. "Ada yang ingin aku sampaikan soal perjodohan kami, bu." Jawab Andini serius. "Memangnya kenapa, nak?" "Aku minta maaf sebelumnya. Mungkin ini terdengar mengecewakan. Tapi, aku menolak perjodohan ini." Deg! Mata Maryam membulat sempurna. "Kenapa, nak? Apa kamu diancam oleh Andra?" Andini tersenyum di balik masker yang ia pakai dan menggelengkan kepalanya. "Kami sudah berbicara dari hati ke hati. Ternyata, kami banyak sekali memiliki perbedaan. Baik dari visi dan misi mengenai pernikahan. Oleh sebab itu, aku dan Andra memutuskan untuk tidak melanjutkan perjodohan ini." "Tapi ibu sangat menyukaimu.." Maryam mendesah lirih. "Kamu pasti bisa menjadi istri idaman Andra yang bisa membuatnya kembali ke jalan kebaikan. Ibu yakin kamu bisa menuntunnya." Andini tertunduk mendengar ucapan Maryam. Sejenak dia mencari kata-kata yang pas untuk tidak menyakiti hati wanita ini. "Maafkan aku, bu. Andra adalah pria yang baik dan sempurna. Aku yakin dia akan mendapatkan istri yang sekufu dengannya." Ucap Andini seolah rendah diri. Setelah mendengar ucapan Maryam, Andini makin yakin kalau Andra tidak cocok dengannya. Maryam menikahkan Andra dengannya agar pria itu bisa kembali ke kebaikan dimana Andini akan menuntunya. Jika, begitu.. lalu tugas Andra apa? Sebagai suami, harusnya dia yang menuntun istrinya. Tapi kalau itu saja tidak bisa, maka rumah tangga mereka tidak akan bisa baik-baik saja. "Sebenarnya ibu kecewa, tapi ibu juga tidak bisa memaksa. Ibu hargai keputusan kalian." Andini tersenyum penuh haru, bahkan matanya sampai berkaca-kaca. Ternyata lebih mudah berbicara pada Maryam dibanding ibunya sendiri. "Terima kasih banyak, bu." Kabar putusnya perjodohan ini juga sampai pada Andra. Kali ini, Maryam tak mengomel seperti biasa. Setelah memberi kabar, dia hanya diam tanpa mengucapkan kata-kata. "Baguslah jika dia bilang begitu. Aku bisa lepas dari perjodohan konyol ini!" Andra merasa senang. Seperti yang diduga, Lastri memberikan reaksi yang berbeda. Ibu Andini bahkan mencak-mencak dan tidak menerima kekalahan. "Kamu mau cari jodoh yang gimana lagi sih, Din?" Tanya Lastri dengan pertanyaan keramatnya. Sedangkan, Andini memilih diam. "Mama nggak tahu lagi kalau sampai kamu jadi perawan tua seumur hidupmu! Terserah padamu saja!" Lastri masuk ke kamar dan membanting pintu. Oh, kesal sekali! Bagaimana caranya Lastri meluluhkan benteng yang dibuat Andini. Kenapa dia seperti alergi pada seorang pria.. Lastri lalu mengambil ponsel dan menghubungi Maryam. Kedua wanita paruh baya ini saling menukar keluh kesahnya. "Mungkin Andini rendah diri karena dijodohkan dengan Andra." Lastri melirih sedih di ujung ponselnya. "Dia merasa nggak pantas karena harus bersanding dengan Andra yang merupakan bintang besar, sementara Andini hanya wanita biasa." Terenyuh hati Maryam di sebrang sana, terpercik sebuah rasa keraguan dalam diri Maryam. Padahal tadi dia sudah menghormati keputusan Andra dan Andini. "Mungkin benar.." Maryam memahami posisi Andini yang bukan siapa-siapa di mata khalayak. "Sebenarnya aku juga menyayangkan putusnya perjodohan ini. Apalagi Andini itu begitu sempurna. Dia cocok menjadi menantu dan istri idaman." "Aku juga menyayangkan, bu.." pahit Lastri. "Apa memang mereka sudah tidak bisa bersama lagi?" "Entahlah.." Maryam juga tidak bisa berkata apa-apa. "Apa bu Maryam masih mau berbesan denganku?" "Jelas, aku ingin berbesan dengan bu Lastri. Kita berdua sangat cocok." Jawab Maryam dari sebrang sana. "Kalau begitu, kita harus membuat mereka kembali lagi." Ujar Lastri mantap. Malam menjelang, Andra baru saja pulang dari meeting bersama managernya. Rencananya akan ada talk show on the road yang akan dibintangi Andra. Maryam yang melihat putranya baru pulang langsung menyambut. "Ibu sakit?" Tanya Andra ketika melihat Maryam memegang dadanya. "Nggak tahu. Terasa kebakar aja di tenggorokan ini." "Kebakar gimana?" Tanya Andra mulai panik. Maryam lalu menutup mulutnya dan berlari ke belakang. Begitu juga dengan Andra yang mengejar. Rupanya pergi ke dapur, Maryam memuntahkan isi perutnya ke dalam washtafel. "Astaga!" Andra jadi cemas. "Ibu sakit apa?" Maryam mencuci mulutnya dengan lemas. Saat ingin menegakkan kepalanya. Pandangan Maryam seketika gelap gulita. Buk! Tubuh Maryam jatuh di tangan Andra. "Ibu!""Kamar mama ada di lantai 4." Ucap Tiara setelah Andini baru pulang dari minimarket."Kapan pindahnya?""Sebentar lagi."Oleh karena Lastri yang masih mengalami pusing, ia lalu dibawa pindah ke kamarnya menggunakan brankar. Sebuah kamar VIP di lantai 4. Lastri yang cerewet ingin istirahat dan tidak mau bergabung dengan pasien lain, sebagai anak, Andini dan adiknya memberikan yang terbaik saja.Sesampainya di lantai 4, Andini terkejut karena bertemu dengan teman sekolahnya yang merupakan perawat di lantai ini."Ra.. kamu jaga mama sebentar. Mbak mau ke depan, rupanya ada temen mbak kerja disini."Tiara mengangguk dan membiarkan Andini ke nurse station. Sementara Andini menemui Risa teman lamanya yang sedang mengerjakan laporan di nurse station."Ya Allah, Andini. Ini kamu?" Risa tersenyum dan memeluk Andini. "Apa kabar?""Baik sekali. Kamu apa kabar?""Baik juga! Udah lama kita nggak ketemu.""Hmm.. terakhir reuni beberapa tahun yang lalu."Jadi gimana sekarang? Udah dapet pangerannya?
Maryam dibawa ke unit gawat darurat dan menerima tindakan dari tim medis. Oleh karena tak darurat, Maryam diizinkan untuk pulang ke rumah."Hanya sakit maag biasa. Pasien diperbolehkan pulang." Ucap dokter wanita yang berjaga malam itu."Tapi kenapa ibu saya masih terlihat lemas ya, dok?" Tanya Andra keheranan karena melihat Maryam memejamkan matanya dengan rapat."Mungkin karena muntahnya tadi. Tapi saya sudah memberikan obat suntikan untuk meredakan nyeri."Andra mendekati ibunya dan memanggil. Tapi Maryam hanya melenguh tanpa membuka matanya."Masih terasa sakit, bu?"Maryam mengangguk. Kini bulir air mata terlihat meleleh di matanya."Dok.. apa ibu saya perlu rawat inap?" Andra kembali memburu dokter yang berjaga di nurse station. Dia jadi tak tega dengan keadaan ibunya."Sebenarnya tidak perlu." Dokter wanita itu jadi menghela nafas panjang. Sebenarnya dari segala pemeriksaan, dokter ini tak menemukan hal yang parah pada Maryam. Ia malah menduga ibu paruh baya itu mengalami psiko
"Kepalamu korslet?"Andra tersenyum pahit mendengar pertanyaan dari sebrang sana. Salahnya sendiri yang menelpon dan tiba-tiba mengajak menikah."Kamu dimana?" Tanya Andra akhirnya."Di rumah. Mau kemari? Aku tunggu kalau begitu."Andra mengiyakan. Sudah lama juga tidak bertemu, ada sedikit rasa rindu disana. Sekitar 30 menit dari rumah Andini, Andra tiba di sebuah rumah mewah di perumahan elit. Seorang wanita cantik rambut sebahu menyambutnya."Apa kabar, An?" Wanita ini memeluk Andra dengan erat."Baik. Kamu gimana?" Tanya Andra."Baik juga. Ayo, masuk!"Andra masuk ke rumah mewah ini dan duduk di ruang keluarga. Itu karena Andra sudah dikenal baik dengan keluarga ini. Ia sering bolak balik mengantar Rena, nama wanita ini ketika pulang dari bekerja."Kamu mau minum apa?" Tanya Rena."Minum kopi saja." Jawab Andra memandang lekat. Tak lama Rena kembali lagi dari dapur dan membawa secangkir kopi."Kamu dari mana tadi?""Dari rumah seseorang. Tumben kamu pulang cepat. Biasanya kamu lem
Pesta ulang tahun hampir berakhir, apalagi anak-anak Prilia bangun dari tidurnya dan berteriak ingin bergabung dengan acara. Wajar saja, pukul sudah menunjukkan jam 11 malam. Anak-anak yang tadi telah tertidur jadi terbangun karena suara bising orang dewasa."Aku harus pulang, anak-anakku juga pasti menunggu." Ucap Dian."Aku juga. Sebelum suamiku mengomel, aku harus segera pulang!" Sambung Asti. "Belum mau pulang, Bem?" Tanyanya pada Bembi.Bembi lalu melirik Andra. "Mau pulang nggak?""Kenapa nanya aku?" Tanya Andra balik."Apa ini? Kalian berdua pacaran?" Seru Dian hingga geleng-geleng kepala."Sudah pulanglah sana. Nanti ibu Maryam nelpon lagi!" Prilia jadi geli mengingat pesan yang ia terima tadi."Ah.." Dian langsung menatap ke arah pintu depan pada wanita yang baru saja masuk. "Kayaknya Andra nggak bisa pulang.""Kenapa?" Oh, Prilia dan yang lain ikut terkejut akan kedatangan seseorang. Begitu juga Andra yang langsung berdecak kesal."Malam semua.. aduh, maaf aku telat. Tadi ba
Andini berdiri menatap taman kecil yang ada di depan teras rumahnya. Taman yang dipenuhi dengan aglonema kesayangan ibunya. Andini sendiri mendedikasikan hidupnya untuk bekerja di rumah sakit hingga sedikit sekali dia ikut campur dalam penataan rumahnya.Andra yang baru menyusul melihat wanita bercadar ini sedang berdiri memandang lurus ke sebuah taman."Padahal ada kursi." Gerutunya pelan.Suasana menjadi canggung karena keduanya sama-sama tak mau membuka suara. Padahal dari dalam, suara dua ibu paruh baya itu sangat memekakkan telinga. Akhirnya, Maryam menemukan teman sepermainannya. Mereka tampak cocok bergosip bersama"Jadi kamu bekerja sebagai perawat?" Andra mencoba memecah keheningan.Andini menoleh sampai membuat Andra memalingkah wajah. Ada apa dengan mata itu? Andra jadi ingin mencongkelnya saking tajamnya."Seperti yang kamu dengar."Apakah ini di kutub utara? Lagi-lagi Andra menggerutu di dalam hatinya. Suara Andini boleh diadu dengan dinginnya es disana."Jadi kamu lulusa
"Apa? Nikah dengan gadis biasa?" Yang benar saja. Mata Andra sampai mau keluar menatap ibundanya.Sudah biasa jika Andra disinggung soal pernikahan. Maklum usianya sekarang sudah 35 tahun. Kalau tinggal di desa, Andra pasti sudah dipanggil bujang lapuk. Tapi, kan Andra ini pria metropolitan. Aktor besar yang sudah membintangi puluhan film ternama. Kalau dia menikah di puncak karirnya, itu sama saja mematikan karirnya."Terus kamu mau nikah dengan siapa? Laki-laki?" Mata Maryam juga mau keluar."Bukan begitu. Cuma aku belum mau nikah!""Kenapa sih? Nggak doyan cewek kamu?""Astaga!" Andra sampai mengelus dada. "Mama tahu sendiri jadwalku sampai dua tahun kedepan itu full. Ada dua film yang akan aku bintangi. Belum lagi modelling, dan membintangi variety show. Jadwalku full.""Lalu hubungan jadwalmu full dengan menikah apa, hah?""Sudah." Andra mengibaskan tangan. Percuma bicara dengan ibunya seperti berbicara pada tembok."Mau sampai kapan kamu nggak menikah, nak?" Maryam menatap putr







