Share

BAB 7 - Anak Durhaka

Auteur: Alina Lin
last update Dernière mise à jour: 2022-05-26 22:14:46

Aku meringis ketika cairan infus membersihkan lukaku. Perihnya langsung membuatku tersadar kalau aku baru saja membuat repot Pak Abi. Aku tidak tahu kecelakaan tadi di mana dan kenapa Pak Abi bisa mengenaliku yang mengenakan helem. Selama perawat melakukan tugasnya, otakku malah berpikir bahwa aku baru saja menumpuk utang. Uang lagi, uang lagi!

            Pak Abi masuk ketika perawat sudah selesai.

            “Kamu hapal nomor orang tuamu?”

            Aku menggeleng. Bukan karena tidak hapal, tapi aku tidak mau berhubungan dengan Ibu dulu.

            “Setelah ini saya langsung antar kamu pulang.”

            Aku menggeleng lagi. “Saya berantem sama Ibu saya.”

            “Kalau gitu kamu harus minta maaf. Gara-gara kamu berantem dengan ibumu, kamu kecelakaan, motor rusak, dan badanmu luka.”

            Ingin sekali kuplester mulut Pak Abi. Dia berbicara asal yang membuatku kembali terpancing emosi. Aku mengatur napas sejenak, kemudian mendongak ke Pak Abi yang berdiri di depanku. “Apa hanya begitu konsep yang berlaku di dunia, anak akan selalu kena karma kalau durhaka ke orang tua? Kalau orang tua yang durhaka ke anak, bagaimana? Apa orang tua akan kecelakaan dan harus minta maaf ke anak juga? Saya nggak salah. Saya hanya sedang memperjuangkan hak saya. Apa menolak menikah itu bagian dari anak durhaka? Apa saya nggak bisa menentukan dengan siapa ingin menghabiskan sisa hidup? Apa saya harus menikah demi uang yang akan digunakan untuk membayar utang? Apa saya durhaka kalau sekarang saya nggak mau pulang? Apa saya harus minta maaf untuk kesalahan yang saya yakini itu bukanlah kesalahan? Saya sudah dewasa. Ini hidup saya. Kenapa semuanya harus tentang anak yang durhaka. Saya sudah berusaha menjadi anak baik, menghormati, dan menyangi Ibu walau dia hanya ibu tiri. Tapi, apa saya tidak boleh membantahnya ….”

            Aku menutup wajahku dengan tangan. Aku tahu ini memalukan sekali. Menangis di depan dosen itu hal konyol. Kalau menangis untuk urusan skripsi itu masih wajar. Namun, aku malah menangis tentang kisah hidupku. Rasanya ada yang memilin di ulu hati. Aliran darah yang tidak mengalir sempurna membuat kepalaku semakin pusing. Rasanya sesak sekali mengungkapkannya. Pak Abi nggak akan paham. Dia nggak akan mengerti bagaimana dunia di sekelilingku berputar. Dia pasti nggak pernah mengalami kerumitan situasi sepertiku.

Dalam tangisku aku mendengar suara tirai penghalang bilik ditutup. Pak Abi meninggalkanku sendirian di sini. Dia pasti langsung pulang. Biar saja. Semua orang memang begitu. Mereka tidak ada yang benar-benar peduli denganku. Hanya Ayah yang mempedulikan dan sayang denganku.

            Ayah, aku mau ikut ayah saja. Ayah lihat hidupku di sini, aku nggak baik-baik saja. Katanya mau selalu menjagaku, mana buktinya? Ayah malah pergi secepat ini. Harusnya malam itu aku ikut dengan Ayah dan kita pergi sama-sama. Dengan begitu, aku nggak akan hidup sekarang. Aku nggak perlu merasakan kesakitan ini. Bahkan, nggak ada manusia di bumi yang menyayangiku seperti Ayah.

            Aku menangis cukup lama sampai kelelahan. Kubaringkan tubuhku di ranjang karena benar-benar bingung dengan semua ini. Kutarik napas dan kuembuskan untu mengontrol emosi. Ini malam apa? Ini hari apa? Rasanya ini hari kutukan untukku.

            Tiba-tiba, suara tirai penghalang yang dibuka membuatku kaget. Aku lansung terperanjat dan terduduk di tepi ranjang. Itu Pak Abi. Dia membawa sekeresek obat dan sebotol minum dan dua bungkus roti

“Minum obat antibiotiknya dulu.” Dia menyerahkan sebungkus roti yang sudah dibuka dan air mineral yang juga sudah dibuka tutupnya. Kukira dia sudah pulang. Kenapa Pak Abi masih di sini?

Aku tidak punya tenaga untuk mendebatnya. Kuturuti apa yang diperintahkan Pak Abi. Sedikit kelegaan bisa kurasakan karena aku tidak sendirian. Meski terasa pahit bercampur asin, aku berusaha mendorong roti untuk masuk ke dalam perut. Rasa asin itu pasti berasal dari ingusku.

Dia menyodorkan dua pil obat yang katanya harus kuminum.

            “Terima kasih, Pak. Maaf merepotkan. Nanti saya ganti uang Bapak.”

            Dia tidak jawab dan malah sibuk membereskan bungkusan obat dan roti. Kenapa Pak Abi repot-repot mengurusiku sampai sekarang? Bisa saja dia langsung pulang setelah mengantarku ke sini. Atau malah meninggalkanku saat di pinggir jalan tadi.

            “P-pak, saya boleh pinjam handphone? Saya mau menghubungi teman untuk menjemput saya di sini.”

            “Saya akan antar kamu, tapi sekarang kamu tenangin diri dulu.”

            Pak Abi menatapku dengan sangat intens. Dia pasti mengasihaniku. Dia mengasihani anak didiknya yang sering menghujatnya dalam hati ini memiliki kisah yang menyedihkan. Dia  menyuruhku menenangkan diri, tapi bagaimana caranya kalau tatapan matanya malah membuatku tidak tenang?

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Mendadak Jadi Istri Dosen   BAB 53 - Memulai Kisah Baru

    “Di hari kematian Ayah, aku dan Ibu langsung ke rumah sakit. Di sana kami menunggu jenazah Ayah yang masih dalam perjalanan. Di UGD yang ramai, aku melihat ada anak kecil yang berdiri linglung di ujung ruangan. Dia mendekatiku dan menarik-narik bajuku. ‘Mama Papa nggak bangun lagi,’ ucapnya. Aku berjongkok dan menyejajarkan pandang. Tatapan matanya sangat polos. Aku langsung memeluknya karena kutahu kami di posisi yang sama. Hebatnya dia nggak menangis. Dia keren sekali. Ya, anak itu adalah Aksa. Sesaat kemudian keluarga Aksa datang, aku nggak ingat siapa, yang jelas Aksa langsung bersama mereka. Mungkin itu Mama sama Papa. Aku nggak sempat bertemu karena jenazah Papa sudah datang. Malam itu UGD memang ramai banget, mungkin malaikat maut sedang berbondong menjemput orang-orang baik.”Itu adalah awal pertemuanku dengan Aksa. Pertemuan pertama kami bukan di ruangan dosen, melainkan jauh dari itu. Sekarang Mas Abi masih memelukku. Dia memelukku sangat erat dan menciumi ujung kepalaku. Di

  • Mendadak Jadi Istri Dosen   BAB 52 - Janji Berdua

    Sekarang aku hidup seperti zombi. Menapak tanah, tapi tanpa nyawa. Berpikir, tapi seperti nggak punya otak. Aku benar-benar masa bodo dengan yang terjadi padaku sekarang. Semua orang di kampus sudah tahu mengenai hubunganku dengan Mas Abi. Aku juga sudah melakukan sidang skripsi dengan ala kadarnya. Sidang ini diundur satu minggu, itu pun Mas Abi yang mengurus. Semua persiapanku sudah lenyap. Aku tidak peduli dengan penjelasanku yang kurang memuaskan. Aku seharusnya mendapatkan nilai B, tapi Prof. Nanang memberiku nilai A. Apa dia merasa bersalah? Harusnya enggak. Kan, di sini aku yang salah.Sejak kembali ke Jakarta, Ibu tinggal bersamaku di sini. Mas Abi yang membawanya. Katanya supaya aku nggak banyak melamun. Padahal, aku nggak melamun. Aku hanya tidur dalam waktu yang sangat lama. Aku tetap lelah padahal nggak melakukan apa-apa. Aneh, kan? Psikolog yang merawatku mengatakan kalau aku depresi. Dulu aku menyepelekan Rania yang harus menjalani terapi ke psikolog, sekarang aku yang m

  • Mendadak Jadi Istri Dosen   BAB 51 - Kehilangan

    Pesan yang tidak terkirim membuat Aksa mengira aku sudah datang ke sekolahnya tepat tiga puluh menit setelah panggilan dengan Miss Yuli. Dia begitu antusias menantiku karena kami sudah janjian untuk main. Dia nggak sabar untuk ke playzone dan makan es krim. Alhasil, dia nggak mau menungguku di dalam kelas atau taman bermain seperti biasa setelah tiga puluh menit berlalu. Dia menungguku di depan gerbang. Mulanya masih ditemani satpam yang bertugas. Sejenak satpam itu ke toilet dan bersamaan Aksa melihatku datang. Dia mengira seorang wanita yang mengendarai motor seperti milikku di seberang jalan adalah aku. Dia sudah berjingkat-jingkat sambil melambaikan tangan. Namun, orang itu langsung pergi begitu saja. Aksa yang panik karena merasa ditinggal pun langsung berlari menyeberang tanpa mempedulikan apa yang ada di samping kanan dan kirinya. Setelahnya semua orang mengerumuni jalan itu.Rangkuman cerita itu kudengar langsung dari seseorang yang datang. Aku tidak tahu siapa. Mungin aku ken

  • Mendadak Jadi Istri Dosen   BAB 50 - Berita Buruk

    Besok lusa aku sidang dan sekarang pada jam sebelas siang masih di kampus. Harusnya ini hari tenang untukku menyiapkan mental. Namun, aku harus menunggu satu dosen pengujiku yang sibuknya mengalahi rektor. Dia guru besar yang aktivitasnya nggak cuma di kampus ini. Aku sedang menunggu Prof. Nanang untuk memberikan draft skripsiku beserta surat tugas.Aku duduk di kursi ruang tunggu yang berada di front office. Bosan sekali menunggu, apalagi suasananya sangat sepi. Aku tidak tahu ke mana perginya mahasiswa lain. Saat kumainkan kakiku di lantai, aku melihat ada orang yang melewatiku. Aku mengenalnya dan dia mengenalku. Namun, kami nggak saling menyapa. Kami benar-benar menjadi orang asing. Itu Kak Alex. Dia baru saja masuk ke ruang dosen. Aku pandangi punggungnya dan bergumam dalam hati menyatakan ini memang yang terbaik untuk kami.Aku tidak akan mempermasalahkan mengenai Kak Alex karena yang lebih rumit sekarang adalah si Abimayu. Sampai tadi pagi, kami masih melakukan gencatan senjata

  • Mendadak Jadi Istri Dosen   BAB 49 - Duel

    Hari ini aku pulang larut karena harus ke fotokopian untuk menyetak empat draft skripsi yang akan diberikan ke dosen pembimbing dan penguji. Aku nggak tahu ini pukul berapa, yang jelas sudah lewat jam sembilan malam. Tadi Aksa melakukan video call denganku. Dia minta didongengin karena aku nggak menemaninya tidur. Bayangkan, aku di fotokopian menunggu pegawai menyetak skripsi sambil membacakan kisah Nabi Nuh dengan penuh ekspresif. Sesekali aku melihat mereka yang menertawaiku. Tak apa, toh, mereka juga nggak mengenalku.Aku sudah sampai di rumah dan melihat ada mobil yang terparkir. Mobil honda jazz berwarna putih itu seperti tidak asing. Aku pernah melihatnya, tapi tidak tahu di mana. Di samping mobil itu ada seorang pria yang sedang merokok.“Cari siapa, Mas?” tanyaku ke pria itu.“Lagi nunggu Mbak Rania.”Rania? Ah, iya, mobil ini milik Rania. Aku pernah melihatnya saat dia datang ke sini. Jadi, Rania ada di dalam rumah? Mau ngapain lagi dia? Jangan bilang Mas Abi membohongiku. Ka

  • Mendadak Jadi Istri Dosen   BAB 48 - Pillow Talk

    Aku menganggap urusanku dengan Kak Alex sudah selesai. Sejak kejadian di kantin, esoknya Jessica mengirimkan video untukku. Video itu berisi permintaan maaf darinya. Aku tahu itu bukan permintaan maaf yang tulus, tapi tak apa, aku tetap memaafkannya. Sisanya biar menjadi urusan Tuhan Yang Maha Esa.Sekarang aku harus melanjutkan hidupku lagi. Tanggal sidang sudah ditetapkan dan aku perlu menyiapkan banyak hal, terkhusus mentalku. Beruntung suamiku sangat supportif, meski caranya sangat menyiksa. Setiap malam kepalaku pasti benjol akibat diketok dengan pulpen olehnya. Tenang, itu bukan KDRT, ketokan pulpen itu nggak sakit karena setelahnya dihadiahi kecupan yang lebih banyak.Hari ini hari terakhirku untuk menghadap ke Bu Ambar sebelum sidang. Setelah ini aku akan fokus ke persiapan di luar materi.“Kamu pernah bilang mau melanjutkan S2, kan?” tanya Bu Ambar tiba-tiba.“Iya, Bu.”Bu Ambar menyodorkan sebuah brosur untukku. Pelan-pelan kubaca setiap rangkaian huruf yang tertera. Ini br

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status