Share

BAB 7 - Anak Durhaka

Aku meringis ketika cairan infus membersihkan lukaku. Perihnya langsung membuatku tersadar kalau aku baru saja membuat repot Pak Abi. Aku tidak tahu kecelakaan tadi di mana dan kenapa Pak Abi bisa mengenaliku yang mengenakan helem. Selama perawat melakukan tugasnya, otakku malah berpikir bahwa aku baru saja menumpuk utang. Uang lagi, uang lagi!

            Pak Abi masuk ketika perawat sudah selesai.

            “Kamu hapal nomor orang tuamu?”

            Aku menggeleng. Bukan karena tidak hapal, tapi aku tidak mau berhubungan dengan Ibu dulu.

            “Setelah ini saya langsung antar kamu pulang.”

            Aku menggeleng lagi. “Saya berantem sama Ibu saya.”

            “Kalau gitu kamu harus minta maaf. Gara-gara kamu berantem dengan ibumu, kamu kecelakaan, motor rusak, dan badanmu luka.”

            Ingin sekali kuplester mulut Pak Abi. Dia berbicara asal yang membuatku kembali terpancing emosi. Aku mengatur napas sejenak, kemudian mendongak ke Pak Abi yang berdiri di depanku. “Apa hanya begitu konsep yang berlaku di dunia, anak akan selalu kena karma kalau durhaka ke orang tua? Kalau orang tua yang durhaka ke anak, bagaimana? Apa orang tua akan kecelakaan dan harus minta maaf ke anak juga? Saya nggak salah. Saya hanya sedang memperjuangkan hak saya. Apa menolak menikah itu bagian dari anak durhaka? Apa saya nggak bisa menentukan dengan siapa ingin menghabiskan sisa hidup? Apa saya harus menikah demi uang yang akan digunakan untuk membayar utang? Apa saya durhaka kalau sekarang saya nggak mau pulang? Apa saya harus minta maaf untuk kesalahan yang saya yakini itu bukanlah kesalahan? Saya sudah dewasa. Ini hidup saya. Kenapa semuanya harus tentang anak yang durhaka. Saya sudah berusaha menjadi anak baik, menghormati, dan menyangi Ibu walau dia hanya ibu tiri. Tapi, apa saya tidak boleh membantahnya ….”

            Aku menutup wajahku dengan tangan. Aku tahu ini memalukan sekali. Menangis di depan dosen itu hal konyol. Kalau menangis untuk urusan skripsi itu masih wajar. Namun, aku malah menangis tentang kisah hidupku. Rasanya ada yang memilin di ulu hati. Aliran darah yang tidak mengalir sempurna membuat kepalaku semakin pusing. Rasanya sesak sekali mengungkapkannya. Pak Abi nggak akan paham. Dia nggak akan mengerti bagaimana dunia di sekelilingku berputar. Dia pasti nggak pernah mengalami kerumitan situasi sepertiku.

Dalam tangisku aku mendengar suara tirai penghalang bilik ditutup. Pak Abi meninggalkanku sendirian di sini. Dia pasti langsung pulang. Biar saja. Semua orang memang begitu. Mereka tidak ada yang benar-benar peduli denganku. Hanya Ayah yang mempedulikan dan sayang denganku.

            Ayah, aku mau ikut ayah saja. Ayah lihat hidupku di sini, aku nggak baik-baik saja. Katanya mau selalu menjagaku, mana buktinya? Ayah malah pergi secepat ini. Harusnya malam itu aku ikut dengan Ayah dan kita pergi sama-sama. Dengan begitu, aku nggak akan hidup sekarang. Aku nggak perlu merasakan kesakitan ini. Bahkan, nggak ada manusia di bumi yang menyayangiku seperti Ayah.

            Aku menangis cukup lama sampai kelelahan. Kubaringkan tubuhku di ranjang karena benar-benar bingung dengan semua ini. Kutarik napas dan kuembuskan untu mengontrol emosi. Ini malam apa? Ini hari apa? Rasanya ini hari kutukan untukku.

            Tiba-tiba, suara tirai penghalang yang dibuka membuatku kaget. Aku lansung terperanjat dan terduduk di tepi ranjang. Itu Pak Abi. Dia membawa sekeresek obat dan sebotol minum dan dua bungkus roti

“Minum obat antibiotiknya dulu.” Dia menyerahkan sebungkus roti yang sudah dibuka dan air mineral yang juga sudah dibuka tutupnya. Kukira dia sudah pulang. Kenapa Pak Abi masih di sini?

Aku tidak punya tenaga untuk mendebatnya. Kuturuti apa yang diperintahkan Pak Abi. Sedikit kelegaan bisa kurasakan karena aku tidak sendirian. Meski terasa pahit bercampur asin, aku berusaha mendorong roti untuk masuk ke dalam perut. Rasa asin itu pasti berasal dari ingusku.

Dia menyodorkan dua pil obat yang katanya harus kuminum.

            “Terima kasih, Pak. Maaf merepotkan. Nanti saya ganti uang Bapak.”

            Dia tidak jawab dan malah sibuk membereskan bungkusan obat dan roti. Kenapa Pak Abi repot-repot mengurusiku sampai sekarang? Bisa saja dia langsung pulang setelah mengantarku ke sini. Atau malah meninggalkanku saat di pinggir jalan tadi.

            “P-pak, saya boleh pinjam handphone? Saya mau menghubungi teman untuk menjemput saya di sini.”

            “Saya akan antar kamu, tapi sekarang kamu tenangin diri dulu.”

            Pak Abi menatapku dengan sangat intens. Dia pasti mengasihaniku. Dia mengasihani anak didiknya yang sering menghujatnya dalam hati ini memiliki kisah yang menyedihkan. Dia  menyuruhku menenangkan diri, tapi bagaimana caranya kalau tatapan matanya malah membuatku tidak tenang?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status