Aku meringis ketika cairan infus membersihkan lukaku. Perihnya langsung membuatku tersadar kalau aku baru saja membuat repot Pak Abi. Aku tidak tahu kecelakaan tadi di mana dan kenapa Pak Abi bisa mengenaliku yang mengenakan helem. Selama perawat melakukan tugasnya, otakku malah berpikir bahwa aku baru saja menumpuk utang. Uang lagi, uang lagi!
Pak Abi masuk ketika perawat sudah selesai.
“Kamu hapal nomor orang tuamu?”
Aku menggeleng. Bukan karena tidak hapal, tapi aku tidak mau berhubungan dengan Ibu dulu.
“Setelah ini saya langsung antar kamu pulang.”
Aku menggeleng lagi. “Saya berantem sama Ibu saya.”
“Kalau gitu kamu harus minta maaf. Gara-gara kamu berantem dengan ibumu, kamu kecelakaan, motor rusak, dan badanmu luka.”
Ingin sekali kuplester mulut Pak Abi. Dia berbicara asal yang membuatku kembali terpancing emosi. Aku mengatur napas sejenak, kemudian mendongak ke Pak Abi yang berdiri di depanku. “Apa hanya begitu konsep yang berlaku di dunia, anak akan selalu kena karma kalau durhaka ke orang tua? Kalau orang tua yang durhaka ke anak, bagaimana? Apa orang tua akan kecelakaan dan harus minta maaf ke anak juga? Saya nggak salah. Saya hanya sedang memperjuangkan hak saya. Apa menolak menikah itu bagian dari anak durhaka? Apa saya nggak bisa menentukan dengan siapa ingin menghabiskan sisa hidup? Apa saya harus menikah demi uang yang akan digunakan untuk membayar utang? Apa saya durhaka kalau sekarang saya nggak mau pulang? Apa saya harus minta maaf untuk kesalahan yang saya yakini itu bukanlah kesalahan? Saya sudah dewasa. Ini hidup saya. Kenapa semuanya harus tentang anak yang durhaka. Saya sudah berusaha menjadi anak baik, menghormati, dan menyangi Ibu walau dia hanya ibu tiri. Tapi, apa saya tidak boleh membantahnya ….”
Aku menutup wajahku dengan tangan. Aku tahu ini memalukan sekali. Menangis di depan dosen itu hal konyol. Kalau menangis untuk urusan skripsi itu masih wajar. Namun, aku malah menangis tentang kisah hidupku. Rasanya ada yang memilin di ulu hati. Aliran darah yang tidak mengalir sempurna membuat kepalaku semakin pusing. Rasanya sesak sekali mengungkapkannya. Pak Abi nggak akan paham. Dia nggak akan mengerti bagaimana dunia di sekelilingku berputar. Dia pasti nggak pernah mengalami kerumitan situasi sepertiku.
Dalam tangisku aku mendengar suara tirai penghalang bilik ditutup. Pak Abi meninggalkanku sendirian di sini. Dia pasti langsung pulang. Biar saja. Semua orang memang begitu. Mereka tidak ada yang benar-benar peduli denganku. Hanya Ayah yang mempedulikan dan sayang denganku.
Ayah, aku mau ikut ayah saja. Ayah lihat hidupku di sini, aku nggak baik-baik saja. Katanya mau selalu menjagaku, mana buktinya? Ayah malah pergi secepat ini. Harusnya malam itu aku ikut dengan Ayah dan kita pergi sama-sama. Dengan begitu, aku nggak akan hidup sekarang. Aku nggak perlu merasakan kesakitan ini. Bahkan, nggak ada manusia di bumi yang menyayangiku seperti Ayah.
Aku menangis cukup lama sampai kelelahan. Kubaringkan tubuhku di ranjang karena benar-benar bingung dengan semua ini. Kutarik napas dan kuembuskan untu mengontrol emosi. Ini malam apa? Ini hari apa? Rasanya ini hari kutukan untukku.
Tiba-tiba, suara tirai penghalang yang dibuka membuatku kaget. Aku lansung terperanjat dan terduduk di tepi ranjang. Itu Pak Abi. Dia membawa sekeresek obat dan sebotol minum dan dua bungkus roti
“Minum obat antibiotiknya dulu.” Dia menyerahkan sebungkus roti yang sudah dibuka dan air mineral yang juga sudah dibuka tutupnya. Kukira dia sudah pulang. Kenapa Pak Abi masih di sini?
Aku tidak punya tenaga untuk mendebatnya. Kuturuti apa yang diperintahkan Pak Abi. Sedikit kelegaan bisa kurasakan karena aku tidak sendirian. Meski terasa pahit bercampur asin, aku berusaha mendorong roti untuk masuk ke dalam perut. Rasa asin itu pasti berasal dari ingusku.
Dia menyodorkan dua pil obat yang katanya harus kuminum.
“Terima kasih, Pak. Maaf merepotkan. Nanti saya ganti uang Bapak.”
Dia tidak jawab dan malah sibuk membereskan bungkusan obat dan roti. Kenapa Pak Abi repot-repot mengurusiku sampai sekarang? Bisa saja dia langsung pulang setelah mengantarku ke sini. Atau malah meninggalkanku saat di pinggir jalan tadi.
“P-pak, saya boleh pinjam handphone? Saya mau menghubungi teman untuk menjemput saya di sini.”
“Saya akan antar kamu, tapi sekarang kamu tenangin diri dulu.”
Pak Abi menatapku dengan sangat intens. Dia pasti mengasihaniku. Dia mengasihani anak didiknya yang sering menghujatnya dalam hati ini memiliki kisah yang menyedihkan. Dia menyuruhku menenangkan diri, tapi bagaimana caranya kalau tatapan matanya malah membuatku tidak tenang?
Jalanan Kota Jakarta masih saja ramai di jam yang sudah dini hari. Aku menatap ingar bingat jalanan itu dari balik jendela mobil. Kendaraan yang berlalu lalang, gedung yang gemerlap, dan orang-orang dengan kesibukannya masing-masing. Entah apa yang mereka lakukan di jam selarut ini. Apa mereka sama sepertiku? Apa kami sama-sama menjadi makhluk bumi yang sedang merasakan sakitnya pengkhianatan? Aku merebahkan kepala di sandaran mobil. Kucari posisi ternyaman dengan tatapan yang tak teralih dengan pemandangan di luar. Otak, hati, dan fisikku semuanya kelelahan. Badanku seperti baru saja digebuki warga saking pegalnya. Hatiku lelah karena baru mendapakan serangan dadakan. Otakku rasanya seperti baru diforsir berpikir selama 24 jam untuk mengerjakan ujian tanpa jeda. Mataku yang sedari tadi menangis juga sudah sembab dan terasa sangat berat. Suasana mobil yang tenang membuatku seperti dininabobokkan. Aku memejamkan mata sejenak selama perjalanan. Rasa lelah ini sudah tidak bis
Aku tak peduli dengan pernikahan. Aku tak peduli dengan Pak Abi. Aku tak peduli setelah ini bagaimana. Yang jelas, aku suka dipeluk begini. Aku belum pernah bertemu dengannya sebelumnya. Namun, kenapa pelukannya seperti begitu pas untukku? Apa tubuhku dan tubuhnya dirancang seperti lego yang saling mengikat? Aku baru saja memberikan anggukan untuk permintaan mama Pak Abi. Aku tahu ini salah. Ini nggak benar. Ini bahkan lebih menjijikan dari pernikahan dengan Mas Harun yang demi uang. Aku juga paham ini akan menimbulkan banyak kejutan ke depannya. Namun, tidak salah kalau aku begitu mendamba pelukan ini, kan? Sekarang aku bisa lupa dengan tamparan Ibu dan Mbak Tasya. Aku bahkan tidak merasakan sakitanya kulitku yang baru tergores aspal tadi. Ini … ini sangat nyaman. Air mataku luruh begitu saja. Ini bukan air mata kebagiaan setelah lamaran absurd tadi. Ini air mata karena aku sangat begitu rindu. Aku tidak pernah dipeluk Ibu. Kalau ada yang mau men
"Saya nggak tahu ini dosa atau enggak. Saya nggak tahu pernikahan ini benar atau enggak. Saya nggak peduli. Untuk sekarang, saya hanya perlu rumah. Rumah yang sungguhan definisi rumah. Malam itu saya bener-bener memilih untuk mati saja. Andai Bapak nggak membantu saya, pasti saya memilih untuk dipenjara. Uluran tangan mama Pak Abi membuat saya silau. Saya mau itu. Terserah setelah ini mau bagaimana. Yang jelas, izinkan saya sebentar saja bisa mengerti arti keluarga. Agar saya bisa mengingatnya dan dengan begitu bisa perlahan pergi," ucapaku. Ini pertama kalinya kami mendapatkan momen berdua. Aku dan Pak Abi baru dari KUA untuk mendaftarkan pernikahan yang akan dilangsungkan di kediaman orang tuanya, yaitu Bogor. "Kamu nggak akan suka dengan apa itu keluarga. Saya malah ingin hidup sendiri tanpa ada yang peduli sepertimu.” Tatapan matanya masih awas di kemudi mobil. "Tapi, kalau itu maumu. Baiklah. Supaya saya memiliki teman menderita tentang busuknya keluarga." Aku terdiam begitu saj
“Hamil duluan, ya?” Satu pertanyaan itu membuatku sadar kalau aku masih mengenakan kebaya berwarna putih. Aku masih di sini. Di tempat di mana aku baru melakukan sesuatu yang sakral dan mengikat. Suara itu terdengar dari seseorang yang tak kukenal. Entah itu pegawai KUA atau salah satu keluarga Pak Abi. “Enggak,” jawabku jujur. “Kok nikahnya buru-buru dan diam-diam?” Sebenarnya aku malas sekali menanggapi pertanyaan itu yang terus berulang. Rasanya lelah saja. Apa perlu aku membawa berkas bukti dari dokter yang menunjukkan selaput daraku masih utuh? Mulutku ini lagi kaku dan tidak selera berbicara panjang lebar. Kenapa, ya, orang-orang itu senang sekali mengurusi kehidupan orang lain? Entah datang dari mana, tiba-tiba aku merasakan ada yang merangkul. Ketika kumendongak ke kanan, ternyata Pak Abi. “Nggak usah cari bahan gosip,” selorohnya kepada wanita paruh baya itu. Kemudian dia menuntuntku untuk keluar KUA. Dia hanya berjalan dan
“Selera Pak Abi boleh juga,” ucapku ketika dia baru bergabung ke ruang tengah. Kuacungkan kedua jempol sambil meringis, “Cantik.” Dia tidak menjawab dan hanya menatapku tanpa ekspresi. Dia merebahkan punggungnya ke sandaran sofa. Kami sama-sama lelah. Pak Abi sih enak bisa dapat pelukan dari pacarnya, sedangkan aku dari siapa? Oh, iya, kan aku sudah dapat pelukan yang lama dari ibu mertua tercinta. “Saya tidur di mana?” tanyaku lagi. “Sesukamu asal jangan di kamar saya.” “Dih, saya juga nggak berniat ke sana. Saya tidur di kamar Aksa?” “Di mana pun asal jangan di kamar SAYA!” Pak Abi menegaskan kata saya. Aku mendecih karena kalimatnya sangat kecut. Berbeda saat tadi dia dengan pacarnya, siapa tadi namanya Rania, ya? Iya, Rania. “Saya ngapain aja di sini? Nggak enak kalau numpang makan tidur, tapi nggak ngelakuin apa-apa.” “Kerja sama sama Bik Tun tentang rumah dan bersikap seperti mamanya Aksa.” “Kalau begitu Bapak juga harus bersikap seperti papanya Aksa, dong.” “Sudah say
Meski masih sangat mengantuk, tapi aku harus tetap bangun. Ini kewajiban yang tidak bisa ditawar. Aku sudah tidak memiliki siapa-siapa, masa iya mau meninggalkan Sang Maha Pencipta? Suara azan sahut-sahutan berkumandang. Aksa yang tertidur di sampingku pun masih tampak begitu tenang. Suasana di sini remang-remang karena hanya lampu tidur yang menyala. Siapa yang mematikannya? Seingatku, semalam aku tidak sempat mematikan lampu. Jangankan mematikan lampu, pakaian dan barang-barangku saja masih berserakan. Aku keluar kamar untuk melihat situasi. Semuanya tampak tenang dan lenggang. Kamar Pak Abi yang ada di depan kamar Aksa pun tampak tidak ada kehidupan. Kuketuk kamarnya beberapa kali untuk menayakan apakah di rumah ini ada musala. Selain itu, aku juga tidak tahu arah kiblat. “Pak Abi ….” ucapku setelah mengetuk pintu. Aku menunggu untuk beberapa saat, tapi tidak ada jawaban. Apa dia masih tidur? Atau sedang salat? “Pak Abi ….” Aku sedikit menaikkan intonasi nada sura. Na
Kesibukan baruku menjadi mama muda, yaitu harus telaten mengurusi Aksa yang segala tingkah dan mood-nya membuatku kebingungan. Anak-anak memang seperti itu, kan? Apalagi di usia lima tahun yang sedang aktif-aktifnya. Untuk sekarang, anak ini masih sangat bersikap manis denganku. Dia menurut ketika jam tujuh kupaksa untuk bangun. Mau tahu apa yang membuatku kebingungan di hari Minggu yang cerah ini? Jawabannya adalah memandikan Aksa. Sudah kubilang, aku sama sekali tidak punya pengalaman mengurus anak-anak. Pada akhirnya, semua pakaian yang kukenakan basah hanya untuk memandikan anak ini. Ketika aku dan Aksa keluar kamar mandi, sudah ada Pak Abi di sana. Dia menyiapkan pakaian Aksa. “Saya malah basah semua,” keluhku kepadanya sambil menunjukkan semua pakaian yang kukenakan sungguhan basah. “For the first time dalam hidup, saya mandikan anak.” “Saya yang urus Aksa, kamu mandi dulu aja.” “Iya.” Hanya jawaban itu yang bisa kujawab karena memang aku butuh mandi. Nggak mungkin aku basah-
Di sinilah aku sekarang. Duduk di tepi kasur milik Pak Abi. Ini sungguh canggung. Sangat cangung! Dia sedang mandi. Alasan aku harus berada di kamar yang sama dengannya karena Mama dan Papa. Mereka tiba-tiba datang ke sini. Berhubung tidak mau menambah kerumitan, Pak Abi langsung menyuruhku ke sini. Selain itu, malam ini kami benar-benar hanya berdua di rumah. Mama dan Papa membawa Aksa dan Bik Tun keluar. Mereka tidak mengajakku, tidak mungkin aku tiba-tiba ikut. Bagaimanapun aku masih anggota baru di keluarga ini. Pak Abi pun memilih di rumah saja. Jika aku hanya duduk diam, otakku akan semakin memikirkan berbagai pemikiran yang membuatku semakin canggung. Kuputuskan untuk bergerak mengelilingi kamar ini. Jika hanya melihat-liat, Pak Abi nggak mungkin memarahiku, kan? Kamar ini sangat cowok kalau kubilang. Atau malah terkesan gelap. Cat dindingnya perpaduan antara abu, putih, dan ada bagian sisi yang full hitam. Semua perabotan juga berkisar di