Share

BAB 6 - Masalah Baru

Hatiku terasa sesak. Kenapa aku harus menjalani hidup seperti ini? Selama ini aku menjadi Hamba yang baik. Kenapa Allah mengujiku bertubi-tubi? Katanya setiap masalah ada hikmahnya. Dari peristiwa ini, hikmah apa yang bisa kuambil? Hikmah kalau keluargaku adalah orang yang menjualku?

            Aku sudah melajukan motor sekuat yang kumampu. Aku tidak peduli dengan klakson yang mengingatkanku untuk tidak ugal-ugalan. Sudah tak terhitung berapa kali aku ngerem mendadak atau hampir serempetan dengan kendaraan lain. Aku benar-benar tak peduli dengan semuanya. Mungkin malam ini juga aku akan mati konyol di jalanan. Yang penting aku sudah memakai helem. Selebihnya biar takdir yang bekerja.

Ayah, katamu aku harus menurut ke Ibu. Tapi, apakah perintahnya ini patut kuturuti? Apa Ayah nggak marah kalau aku dipaksa menikah demi utang? Siapa manusia di bumi ini yang benar-benar menyayangiku seperti Ayah?

Pandanganku semakin kabur karena tertutup lapisan bening yang sama sekali tidak mau berhenti sejak tadi. Keinginanku terkabul untuk mati konyol. Aku sudah berhasil membuat kegaduhan di sini. Aku baru saja menabrak mobil yang terparkir di pinggir toko. Bunyi dentuman keras membuat banyak orang berkerumun. Mereka mengelilingiku. Ada yang membantuku untuk berdiri dari himpitan motor. Ada pula yang memakiku degan kata kasar.

“Tolol banget, Mbak.”

“Mbak ini emang ngebut banget naik motornya.”

            “Kalau naik motor pake mata, Mbak.”

            “Mbak, nggak papa?”

            “Neng, ini mobilnya parah, lho, rusaknya.”

            Aku mendengar semua ucapan itu. Namun, tidak ada yang bisa masuk ke otakku. Semuanya seperti angin lalu begitu saja. Aku malah menangis semakin kencang karena tidak tahu harus berbuat apa. Kenapa aku tidak sekalian mati saja? Dengan begitu aku tidak perlu mengalami kebingungan ini.

Sampai tiba-tiba aku merasa ada orang yang membuka kaitan helemku. Dia melepaskan helemku secara perlahan. Pria itu bertumpu dengan salah satu lututnya untuk melihatku yang masih bersimpuh di atas aspal. Dia menatapku dengan ekspresi datar.

            “Lubna?” katanya pelan dengan alis yang hampir menyatu.

            Saat dia menyebut namaku, aku langsung memegangi jaket yang dikenakannya. Ini menandakan bahwa aku tidak mau dia pergi. Setidaknya ada yang mengenalku di sini. Aku membutuhkannya. Mataku semakin panas ketika dia masih saja menatapku dengan keningnya yang makin berkerut. Ada banyak yang ingin kuungkapkan, tapi yang keluar hanya kalimat. “Saya takut.”

            Dia menatapku sangat dalam sebelum akhirnya berdiri dan bertemu dengan pemilik mobil itu.

            “Saya kenal sama dia. Maaf, mobil Bapak sepertinya perlu ke bengkel. Saya akan ganti rugi.” Dia mengeluarkan dompetnya. “Sekarang saya hanya ada uang cash segini. Selebihnya akan saya transfer. Ini kartu nama saya.” Dia juga mengeluarkan selembar kertas pipih dan memberikan ke pemilik mobil yang kutabrak. “Saya dosen jurusan Ilmu Komunikasi di Universitas Dasa Guna.”

            “Lain kali adiknya diajarin naik motor yang bener, Mas. Mobil parkir anteng-anteng kok malah ditrabak.”

            “Iya. Maaf, Pak.”

            Perlahan orang-orang mulai menjauh. Pak Abi mengajakku untuk ke tepi. Saat berdiri aku baru merasakan rasa sakit di lutut dan lenganku. Ada bercak darah di kemeja abu yang kukenakan. Rokku juga sudah sobek. Pelan-pelan Pak Abi menuntunku berjalan dan membiarkanku duduk di depan toko yang sedang ramai. Aku melihat motorku yang sudah rusak di bagian depan dipinggirkan oleh seorang warga.

“Minum dulu, Nak.” Suara lembut itu membuatku menoleh. Kulihat ada seorang wanita tua yang mengulurkan sebotol air mineral untukku. Dia memberikan tatapan yang sangat tulus untukku. Aku mau seperti itu. Aku mau ada yang memberikan tatapan hangat untukku setiap saat.

            “Terima kasih.” Aku mengambil air itu dengan tangan yang bergetar. Perpaduan antara rasa terkejut bercampur kemarahan dengan keadaan membuatku tak bertenaga walau hanya sekadar membuka botol minum. Tanpa kuminta, Pak Abi langsung mengambil botol air itu dan membukanya, lalu membantuku untuk meminumnya sedikit. Aku mengelap cairan bening yang terus keluar dan membasahi pipiku. Aku hanya menunduk karena sama sekali tidak punya tenaga untuk melakukan apa pun. Jangankan berpikir tentang apa yang harus kulakukan, bernapas saja terasa sangat sesak.

            “Kamu harus ke rumah sakit. Baju dan rokmu berdarah, pasti ada luka.”

            “Saya nggak bawa dompet,” jawabku lirih menanggapi Pak Abi. Kalaupun aku membawa dompet, aku juga tidak akan membelanjakannya sembarangan. Lebih baik kuobati luka ini sendiri daripada di bawa ke rumah sakit. Itu buang-buang uang.

            “Orang tuamu?”

            “Saya nggak bawa hp.”

            “Kamu gila?”

            “Iya, saya memang menuju gila,” kataku asal sambil mengatur napas dan terus menunduk. Aku memang hampir gila karena kegilaan Ibu yang mau menjualku. “Jangan marahi saya dulu, saya beneran hampir gila, Pak.”

            “Saya nggak marahi kamu. Saya hanya memberitahukan fakta kalau kamu bodoh. Keluar kebut-kebutan nggak bawa hp, dompet, dan identitas lainnya. Motor kamu sampai rusak cukup parah di bagian depan. Kamu mengendarai motor dengan kecepatan berapa?”

            Aku mendongak ke arahnya. Aku sudah bilang jangan memarahi, tapi dia tetap memberikan omelan. Kenapa tidak ada satu pun manusia di bumi ini yang bisa memahamiku?

            “Kita ke rumah sakit dulu.” Pak Abi menarikku.

            “Nggak usah, Pak. Nanti juga sembuh sendiri.”

            “Sembuh sendiri gimana?” Dia mengangkat lengan tanganku dan menggulung kemeja sampai siku. Aku meringis ketika kurasa ada jaringan kulitku yang ikut menempel di sana. “Lihat ini. Memangnya kamu punya kekuatan sihir yang bisa menyembuhkan sendiri tanpa infeksi?”

            Lukanya cukup lebar, hampir memenuhi sisi lenganku. Ya, aku tidak punya pilihan lain selain harus menuju rumah sakit.

            Lubna memang pintar sekali membuat masalah. Batinku terus membodohi diri sendiri. Jika ada malaikat maut di sini, tolong bantu aku untuk segera pergi. Rasanya dunia sudah tidak mau menampungku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status