Hatiku terasa sesak. Kenapa aku harus menjalani hidup seperti ini? Selama ini aku menjadi Hamba yang baik. Kenapa Allah mengujiku bertubi-tubi? Katanya setiap masalah ada hikmahnya. Dari peristiwa ini, hikmah apa yang bisa kuambil? Hikmah kalau keluargaku adalah orang yang menjualku?
Aku sudah melajukan motor sekuat yang kumampu. Aku tidak peduli dengan klakson yang mengingatkanku untuk tidak ugal-ugalan. Sudah tak terhitung berapa kali aku ngerem mendadak atau hampir serempetan dengan kendaraan lain. Aku benar-benar tak peduli dengan semuanya. Mungkin malam ini juga aku akan mati konyol di jalanan. Yang penting aku sudah memakai helem. Selebihnya biar takdir yang bekerja.
Ayah, katamu aku harus menurut ke Ibu. Tapi, apakah perintahnya ini patut kuturuti? Apa Ayah nggak marah kalau aku dipaksa menikah demi utang? Siapa manusia di bumi ini yang benar-benar menyayangiku seperti Ayah?
Pandanganku semakin kabur karena tertutup lapisan bening yang sama sekali tidak mau berhenti sejak tadi. Keinginanku terkabul untuk mati konyol. Aku sudah berhasil membuat kegaduhan di sini. Aku baru saja menabrak mobil yang terparkir di pinggir toko. Bunyi dentuman keras membuat banyak orang berkerumun. Mereka mengelilingiku. Ada yang membantuku untuk berdiri dari himpitan motor. Ada pula yang memakiku degan kata kasar.
“Tolol banget, Mbak.”
“Mbak ini emang ngebut banget naik motornya.”
“Kalau naik motor pake mata, Mbak.”
“Mbak, nggak papa?”
“Neng, ini mobilnya parah, lho, rusaknya.”
Aku mendengar semua ucapan itu. Namun, tidak ada yang bisa masuk ke otakku. Semuanya seperti angin lalu begitu saja. Aku malah menangis semakin kencang karena tidak tahu harus berbuat apa. Kenapa aku tidak sekalian mati saja? Dengan begitu aku tidak perlu mengalami kebingungan ini.
Sampai tiba-tiba aku merasa ada orang yang membuka kaitan helemku. Dia melepaskan helemku secara perlahan. Pria itu bertumpu dengan salah satu lututnya untuk melihatku yang masih bersimpuh di atas aspal. Dia menatapku dengan ekspresi datar.
“Lubna?” katanya pelan dengan alis yang hampir menyatu.
Saat dia menyebut namaku, aku langsung memegangi jaket yang dikenakannya. Ini menandakan bahwa aku tidak mau dia pergi. Setidaknya ada yang mengenalku di sini. Aku membutuhkannya. Mataku semakin panas ketika dia masih saja menatapku dengan keningnya yang makin berkerut. Ada banyak yang ingin kuungkapkan, tapi yang keluar hanya kalimat. “Saya takut.”
Dia menatapku sangat dalam sebelum akhirnya berdiri dan bertemu dengan pemilik mobil itu.
“Saya kenal sama dia. Maaf, mobil Bapak sepertinya perlu ke bengkel. Saya akan ganti rugi.” Dia mengeluarkan dompetnya. “Sekarang saya hanya ada uang cash segini. Selebihnya akan saya transfer. Ini kartu nama saya.” Dia juga mengeluarkan selembar kertas pipih dan memberikan ke pemilik mobil yang kutabrak. “Saya dosen jurusan Ilmu Komunikasi di Universitas Dasa Guna.”
“Lain kali adiknya diajarin naik motor yang bener, Mas. Mobil parkir anteng-anteng kok malah ditrabak.”
“Iya. Maaf, Pak.”
Perlahan orang-orang mulai menjauh. Pak Abi mengajakku untuk ke tepi. Saat berdiri aku baru merasakan rasa sakit di lutut dan lenganku. Ada bercak darah di kemeja abu yang kukenakan. Rokku juga sudah sobek. Pelan-pelan Pak Abi menuntunku berjalan dan membiarkanku duduk di depan toko yang sedang ramai. Aku melihat motorku yang sudah rusak di bagian depan dipinggirkan oleh seorang warga.
“Minum dulu, Nak.” Suara lembut itu membuatku menoleh. Kulihat ada seorang wanita tua yang mengulurkan sebotol air mineral untukku. Dia memberikan tatapan yang sangat tulus untukku. Aku mau seperti itu. Aku mau ada yang memberikan tatapan hangat untukku setiap saat.
“Terima kasih.” Aku mengambil air itu dengan tangan yang bergetar. Perpaduan antara rasa terkejut bercampur kemarahan dengan keadaan membuatku tak bertenaga walau hanya sekadar membuka botol minum. Tanpa kuminta, Pak Abi langsung mengambil botol air itu dan membukanya, lalu membantuku untuk meminumnya sedikit. Aku mengelap cairan bening yang terus keluar dan membasahi pipiku. Aku hanya menunduk karena sama sekali tidak punya tenaga untuk melakukan apa pun. Jangankan berpikir tentang apa yang harus kulakukan, bernapas saja terasa sangat sesak.
“Kamu harus ke rumah sakit. Baju dan rokmu berdarah, pasti ada luka.”
“Saya nggak bawa dompet,” jawabku lirih menanggapi Pak Abi. Kalaupun aku membawa dompet, aku juga tidak akan membelanjakannya sembarangan. Lebih baik kuobati luka ini sendiri daripada di bawa ke rumah sakit. Itu buang-buang uang.
“Orang tuamu?”
“Saya nggak bawa hp.”
“Kamu gila?”
“Iya, saya memang menuju gila,” kataku asal sambil mengatur napas dan terus menunduk. Aku memang hampir gila karena kegilaan Ibu yang mau menjualku. “Jangan marahi saya dulu, saya beneran hampir gila, Pak.”
“Saya nggak marahi kamu. Saya hanya memberitahukan fakta kalau kamu bodoh. Keluar kebut-kebutan nggak bawa hp, dompet, dan identitas lainnya. Motor kamu sampai rusak cukup parah di bagian depan. Kamu mengendarai motor dengan kecepatan berapa?”
Aku mendongak ke arahnya. Aku sudah bilang jangan memarahi, tapi dia tetap memberikan omelan. Kenapa tidak ada satu pun manusia di bumi ini yang bisa memahamiku?
“Kita ke rumah sakit dulu.” Pak Abi menarikku.
“Nggak usah, Pak. Nanti juga sembuh sendiri.”
“Sembuh sendiri gimana?” Dia mengangkat lengan tanganku dan menggulung kemeja sampai siku. Aku meringis ketika kurasa ada jaringan kulitku yang ikut menempel di sana. “Lihat ini. Memangnya kamu punya kekuatan sihir yang bisa menyembuhkan sendiri tanpa infeksi?”
Lukanya cukup lebar, hampir memenuhi sisi lenganku. Ya, aku tidak punya pilihan lain selain harus menuju rumah sakit.
Lubna memang pintar sekali membuat masalah. Batinku terus membodohi diri sendiri. Jika ada malaikat maut di sini, tolong bantu aku untuk segera pergi. Rasanya dunia sudah tidak mau menampungku.
“Di hari kematian Ayah, aku dan Ibu langsung ke rumah sakit. Di sana kami menunggu jenazah Ayah yang masih dalam perjalanan. Di UGD yang ramai, aku melihat ada anak kecil yang berdiri linglung di ujung ruangan. Dia mendekatiku dan menarik-narik bajuku. ‘Mama Papa nggak bangun lagi,’ ucapnya. Aku berjongkok dan menyejajarkan pandang. Tatapan matanya sangat polos. Aku langsung memeluknya karena kutahu kami di posisi yang sama. Hebatnya dia nggak menangis. Dia keren sekali. Ya, anak itu adalah Aksa. Sesaat kemudian keluarga Aksa datang, aku nggak ingat siapa, yang jelas Aksa langsung bersama mereka. Mungkin itu Mama sama Papa. Aku nggak sempat bertemu karena jenazah Papa sudah datang. Malam itu UGD memang ramai banget, mungkin malaikat maut sedang berbondong menjemput orang-orang baik.”Itu adalah awal pertemuanku dengan Aksa. Pertemuan pertama kami bukan di ruangan dosen, melainkan jauh dari itu. Sekarang Mas Abi masih memelukku. Dia memelukku sangat erat dan menciumi ujung kepalaku. Di
Sekarang aku hidup seperti zombi. Menapak tanah, tapi tanpa nyawa. Berpikir, tapi seperti nggak punya otak. Aku benar-benar masa bodo dengan yang terjadi padaku sekarang. Semua orang di kampus sudah tahu mengenai hubunganku dengan Mas Abi. Aku juga sudah melakukan sidang skripsi dengan ala kadarnya. Sidang ini diundur satu minggu, itu pun Mas Abi yang mengurus. Semua persiapanku sudah lenyap. Aku tidak peduli dengan penjelasanku yang kurang memuaskan. Aku seharusnya mendapatkan nilai B, tapi Prof. Nanang memberiku nilai A. Apa dia merasa bersalah? Harusnya enggak. Kan, di sini aku yang salah.Sejak kembali ke Jakarta, Ibu tinggal bersamaku di sini. Mas Abi yang membawanya. Katanya supaya aku nggak banyak melamun. Padahal, aku nggak melamun. Aku hanya tidur dalam waktu yang sangat lama. Aku tetap lelah padahal nggak melakukan apa-apa. Aneh, kan? Psikolog yang merawatku mengatakan kalau aku depresi. Dulu aku menyepelekan Rania yang harus menjalani terapi ke psikolog, sekarang aku yang m
Pesan yang tidak terkirim membuat Aksa mengira aku sudah datang ke sekolahnya tepat tiga puluh menit setelah panggilan dengan Miss Yuli. Dia begitu antusias menantiku karena kami sudah janjian untuk main. Dia nggak sabar untuk ke playzone dan makan es krim. Alhasil, dia nggak mau menungguku di dalam kelas atau taman bermain seperti biasa setelah tiga puluh menit berlalu. Dia menungguku di depan gerbang. Mulanya masih ditemani satpam yang bertugas. Sejenak satpam itu ke toilet dan bersamaan Aksa melihatku datang. Dia mengira seorang wanita yang mengendarai motor seperti milikku di seberang jalan adalah aku. Dia sudah berjingkat-jingkat sambil melambaikan tangan. Namun, orang itu langsung pergi begitu saja. Aksa yang panik karena merasa ditinggal pun langsung berlari menyeberang tanpa mempedulikan apa yang ada di samping kanan dan kirinya. Setelahnya semua orang mengerumuni jalan itu.Rangkuman cerita itu kudengar langsung dari seseorang yang datang. Aku tidak tahu siapa. Mungin aku ken
Besok lusa aku sidang dan sekarang pada jam sebelas siang masih di kampus. Harusnya ini hari tenang untukku menyiapkan mental. Namun, aku harus menunggu satu dosen pengujiku yang sibuknya mengalahi rektor. Dia guru besar yang aktivitasnya nggak cuma di kampus ini. Aku sedang menunggu Prof. Nanang untuk memberikan draft skripsiku beserta surat tugas.Aku duduk di kursi ruang tunggu yang berada di front office. Bosan sekali menunggu, apalagi suasananya sangat sepi. Aku tidak tahu ke mana perginya mahasiswa lain. Saat kumainkan kakiku di lantai, aku melihat ada orang yang melewatiku. Aku mengenalnya dan dia mengenalku. Namun, kami nggak saling menyapa. Kami benar-benar menjadi orang asing. Itu Kak Alex. Dia baru saja masuk ke ruang dosen. Aku pandangi punggungnya dan bergumam dalam hati menyatakan ini memang yang terbaik untuk kami.Aku tidak akan mempermasalahkan mengenai Kak Alex karena yang lebih rumit sekarang adalah si Abimayu. Sampai tadi pagi, kami masih melakukan gencatan senjata
Hari ini aku pulang larut karena harus ke fotokopian untuk menyetak empat draft skripsi yang akan diberikan ke dosen pembimbing dan penguji. Aku nggak tahu ini pukul berapa, yang jelas sudah lewat jam sembilan malam. Tadi Aksa melakukan video call denganku. Dia minta didongengin karena aku nggak menemaninya tidur. Bayangkan, aku di fotokopian menunggu pegawai menyetak skripsi sambil membacakan kisah Nabi Nuh dengan penuh ekspresif. Sesekali aku melihat mereka yang menertawaiku. Tak apa, toh, mereka juga nggak mengenalku.Aku sudah sampai di rumah dan melihat ada mobil yang terparkir. Mobil honda jazz berwarna putih itu seperti tidak asing. Aku pernah melihatnya, tapi tidak tahu di mana. Di samping mobil itu ada seorang pria yang sedang merokok.“Cari siapa, Mas?” tanyaku ke pria itu.“Lagi nunggu Mbak Rania.”Rania? Ah, iya, mobil ini milik Rania. Aku pernah melihatnya saat dia datang ke sini. Jadi, Rania ada di dalam rumah? Mau ngapain lagi dia? Jangan bilang Mas Abi membohongiku. Ka
Aku menganggap urusanku dengan Kak Alex sudah selesai. Sejak kejadian di kantin, esoknya Jessica mengirimkan video untukku. Video itu berisi permintaan maaf darinya. Aku tahu itu bukan permintaan maaf yang tulus, tapi tak apa, aku tetap memaafkannya. Sisanya biar menjadi urusan Tuhan Yang Maha Esa.Sekarang aku harus melanjutkan hidupku lagi. Tanggal sidang sudah ditetapkan dan aku perlu menyiapkan banyak hal, terkhusus mentalku. Beruntung suamiku sangat supportif, meski caranya sangat menyiksa. Setiap malam kepalaku pasti benjol akibat diketok dengan pulpen olehnya. Tenang, itu bukan KDRT, ketokan pulpen itu nggak sakit karena setelahnya dihadiahi kecupan yang lebih banyak.Hari ini hari terakhirku untuk menghadap ke Bu Ambar sebelum sidang. Setelah ini aku akan fokus ke persiapan di luar materi.“Kamu pernah bilang mau melanjutkan S2, kan?” tanya Bu Ambar tiba-tiba.“Iya, Bu.”Bu Ambar menyodorkan sebuah brosur untukku. Pelan-pelan kubaca setiap rangkaian huruf yang tertera. Ini br