Pertemuan keluarga berjalan dengan lancar. Semuanya sepakat jika pesta pernikahan akan diadakan dalam seminggu lagi. Setelah acara selesai, Mahesa pulang bersama dengan sopirnya, sedangkan Dave dan Alana pulang ke apartemen mereka berdua. Sepanjang perjalanan, suasana begitu hangat. Senyum merekah di wajah keduanya. Namun, tiba-tiba senyum itu sirna dari wajah Alana. “Dave, apa bisa menyiapkan pernikahan dalam seminggu?” Alana menatap Dave yang sedang menyetir. Dave menatap Alana sejenak. Senyum tipis menghiasi wajahnya. “Bisa, tenang saja. Aku punya banyak koneksi untuk mempersiapkan pesta dalam seminggu.” Dave tinggal menyuruh orang untuk mengurus. Uang tidaklah menjadi urusan besar. Berapapun ia bayar agar pesta dapat terlaksana minggu depan. Jangankan seminggu lagi. besok pesta diadakan pun ia bisa melakukannya. Alana melihat wajah Dave yang begitu tenang. Sejenak ia lupa jika Dave adalah Presdir yang bisa melakukan apa pun. Mobil terus melaju, tetapi mobil tidak mengarah
Alana hanya terdiam, matanya membesar. Dave tidak menjelaskan berapa banyak orang yang datang ke rumah. Kini halaman dipenuhi dengan banyak orang. Orang-orang tersebut membawa kotak bingkisan di tangan mereka. “Itu karyawan kantor Pak Dave yang diminta untuk membawa barang. Bukan keluarga.” Suara Jenny terdengar ketika suasana sedikit panik.Alana mengalihkan pandangannya pada kakaknya. Kakaknya bekerja di perusahan Dave. Jadi yang diucapkan kakaknya, pastinya tidak asal. Kakaknya pasti tahu mana karyawan dan mana keluarga. Dave berjalan beriringan dengan kakeknya. Di belakangnya ada beberapa orang yang membawa hadiah untuk di tangan. Tepat di depan rumah, sudah disambut oleh keluarga Alana. Senyum mereka begitu semringah menerima tamu. “Selamat pagi, Pak Alvin.” Dave mengulurkan tangan pada Alvin. “Pagi, Dave.” Alvin menerima uluran tangan. “Perkenalkan, ini kakek saya.” Dave mengalihkkan pandangan pada kakeknya. “Selamat pagi, Pak. Saya Alvin-ayah Alana.” Alvin mengulurkan t
Mahesa menghela napas pelan, lalu tersenyum tipis. “Aku hanya mendukung Dave. Maaf kalau sikapku kemarin membuatmu kecewa.” Tatapan mata pria tua itu begitu teduh, seakan ada ketulusan yang sulit dibantah.Alana yang awalnya berniat marah, terpaksa menahan diri. Ia sadar, sebagai kakek, sudah sewajarnya Mahesa berdiri di pihak cucunya. Jika dirinya menjadi seorang orang tua kelak, mungkin ia pun akan melakukan hal yang sama.“Sejujurnya aku juga kesal padanya,” lanjut Mahesa, kali ini menatap Dave dengan sorot yang tajam. “Dia menikah tanpa memberi tahu aku. Apa pantas seorang cucu memperlakukan kakeknya seperti itu?”Dave tetap tenang. Wajahnya datar, tidak terguncang meski tatapan Mahesa menusuk dalam. Ia tahu kakeknya sedang meluapkan kekecewaan yang selama ini dipendam.Alana bisa merasakan rasa sakit hati Mahesa. Kekecewaan itu mirip sekali dengan apa yang ayahnya rasakan ketika ia tiba-tiba menikah tanpa izin. Ia mengerti betapa sulitnya menerima kenyataan ditinggalkan begitu sa
Apa pun alasan mamanya, bagi Alana satu hal yang terpenting sekarang adalah sikap mamanya sudah berubah menjadi jauh lebih baik. Itu membuat hatinya sedikit lega. Ia sempat merasa malu jika sampai Dave, yang sudah begitu banyak membantu, harus menghadapi perlakuan buruk dari keluarganya. Untungnya, semua berjalan lebih lancar dari yang ia bayangkan.Sore itu mereka memutuskan segera pulang. Tepat ketika tiba di apartemen, bel pintu berbunyi. Rupanya makanan yang mereka pesan sudah datang. Dave yang lebih dekat ke pintu segera menyambut kurir, lalu membawanya masuk.“Aku siapkan dulu makanannya, kamu mandi saja dulu, biar lebih segar,” kata Alana sambil berusaha mengambil alih kantong makanan dari tangan Dave.“Baiklah.” Dave menyerahkan makanan itu dengan santai, lalu melangkah menuju kamar mandi.Alana mulai membuka bungkusan, memindahkan makanan ke piring agar lebih rapi. Aroma sedap memenuhi ruangan, membuat perutnya yang sejak tadi kosong semakin lapar. Tangannya bergerak menata m
“Saya bersungguh-sungguh mencintai Alana, Pak.” Suara Dave terdengar tulus dari hati. Alana sampai menatap ke arah Dave, ketika mendengar saat Dave memberitahu ayahnya jika ia mencintainya. Apa Dave benar mencintai Alana? Alvin melihat ketulusan dari Dave. Di satu sisi, ia masih merasa kecewa karena dibohongi. Tapi, di sisi lain, ia bisa melihat kesungguhan dalam mata Dave. Alvin beralih pada Alana. Ia memegangi tangan anaknya erat. “Apa kamu menikah semua demi ayah atau kamu benar-benar mencintai Dave?” Hati Alan mencelos. Pertanyaan itu membuat Alana bingung. Jujur ia menikah dengan Dave karena untuk menyelamatkan ayahnya. Namun, ia tidak mungkin mengungkapkanya pada sang ayah. Sebelum ia menjawab, Alana melihat ke arah Dave. “Aku mencintai Dave, Yah.”Jawaban itu membuat Alavin menghela napas. Tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi jika anaknya menikah dengan orang yang dicintainya. “Sejujurnya Ayah marah dan kecewa padamu, Alana. Kamu menikah tanpa memberitahu pada Ayah sama
Alana hampir tersedak napasnya sendiri. Jantungnya berdegup kencang, dan ia tak tahu harus menjawab apa.Reaksi itu membuat Dave tersenyum. Ia puas tebakannya benar. “Tidak perlu dijawab.” Dave mengalihkan pandangan ke layar bioskop. Alana langsung menoleh ke arah Dave. Suaminya seperti bisa menebak pikirannya, karena itu ia tidak membutuhkan jawaban. Mereka kembali menonton film sampai selesai. Alana sedikit canggung. Namun, Dave yang tidak kembali membahas. Setelah selesai menonton film, Alana dan Dave melanjutkan makan bersama. Mereka memilih restoran yang ada di mal. “Kira-kira kapan kamu akan memberitahu ayahmu?” Dave menatap Alana di tengah-tengah makan. “Aku akan lihat dulu keadaan ayah. Aku takut kabar pernikahan kita akan membuat ayah sakit lagi.” Alana mengembuskan napasnya pelan. Ia bisa bayangkan bagaimana ayahnya akan terkejut jika mendengar kabar pernikahannya, “Baiklah. Kita tunggu keadaan ayah lebih baik.” Dave mengangguk setuju. ***Beberapa hari setelah kejad